NAMA :
Pengertian Poligami
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Pada dasarnya hukum perkawinan Indonesia berasaskan monogami. Pasal
3 ayat (1) Undang-undang Perkawinan “pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami (asas monogami). Namun, Undang-undang perkawinan memberikan pengecualian
yang memungkinkan seornag suami untuk melakukan poligami.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti poligami adalah sistem perkawinan yang
membolehkan seorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Dalam Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan bahwa poligami yaitu beristri lebih dari satu orang pada waktu
bersamaan, terbatas hanya sampa empat orang yang sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat
(1) KHI.1 Dalam Islam, poligami didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan
isteri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam waktu yang
bersamaan. Batasan ini didasarkan pada QS. al-Nisa‟ (4): 3 yang berbunyi: ”Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya” Dari ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa batasan
poligami itu boleh lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari sembilan isteri. Namun
batasan maksimal empat isterilah yang paling banyak diikuti oleh para ulama dan
dipraktikkan dalam sejarah dan Nabi Muhammad Saw. melarang melakukan poligami lebih
dari empat isteri.
1
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1992), h.126).
Abdul Halim Abu Syuqqah (1997, 5: 390) menguraikan faktor-faktor yang dapat mendorong
dilakukannya poligami, yakni: 1) memecahkan problema keluarga, seperti isteri mandul,
terdapat cacat fisik, dan isteri menderita sakit yang berkepanjangan; 2) memenuhi kebutuhan
yang mendesak bagi suami, seperti seringnya bepergian dalam waktu yang lama dan sulit
disertai oleh isterinya karena sibuk mengasuh anak-anak atau karena sebab lain; 3) hendak
melakukan perbuatan yang baik terhadap perempuan salih yang tidak ada yang
memeliharanya, misalnya perempuan itu sudah tua, karena memelihara anak-anak yatim, atau
sebab-sebab lainnya; dan 4) ingin menambah kesenangan karena kesehatannya prima dan
kuat ekonominya. Semua faktor ini harus dipenuhi oleh suami yang berpoligami ditambah
persyaratkan dapat berlaku adil, mampu memberi nafkah kepada isteri-isteri dan anak-
anaknya, dan mampu memelihara isteri-isteri dan anak-anaknya dengan baik (Abu Syuqqah,
1997, 5: 388).
Prosedur Poligami
2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3
Pasal 55 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
4
Pasal 55 Ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam.
5
Pasal 58 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
6
Pasal 58 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
7
Pasal 56 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
8
Pasal 56 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.
9
Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam.
10
Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam ketentuan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut disebutkan
bahwa : apabila seseorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis ke Pengadilan. disertai dengan alasan-alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal
41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 kepada Pengadilan Agama di daerah tempat
tinggalnya dengan membawa Kutipan Akta Nikah yang terdahulu dan suratsurat ijin yang
diperlukan. Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal sebagaimana diatur dalam pasal
41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu Pengadilan Agama dalam melakukan
pemeriksaan harus memanggil dan mendengar keterangan istri yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi permohonan untuk beristri
lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan yang berbentuk ijin
untuk beristri lebih dari seorang (poligami) kepada pemohon yang bersangkutan(pasal 14
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975).
Berdasarkan isi dalam aturan atau dasar hukum poligami, dapat disimpulkan bahwa
poligami dapat dilakukan dengan catatan memenehui syarat poligami yang telah
ditetapkan berdasarkan dasar hukum yang berlaku. Dalam kasus ini, pasangan suami
isteri yang bernama Rohman dan Siti melangsungkan pernikahan siri dan kemudian
memiliki anak yang berusia 7 bulan. Padahal faktanya Rohman telah menikah secara sah
dengan seorang Wanita Bernama Imah. Mengetahui hal tersebut Imah melaporkan
Rohman dan Siti ke kepolisian karena Imah tidak terima atas pernikahan tersebut. Atas
laporan tersebut Rohman dan Siti di tahan di Rumah Tahanan (Rutan) Sidoarjo. Mereka
ditahan atas tuduhan perselingkuhan yang sesuai dengan pasal 284 KUHP yakni
“Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa
Pasal 27 BW berlaku baginya;
2. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa
Pasal 27 BW berlaku baginya;
3. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui nya bahwa
yang turut bersalah telah kawin;
4. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku
baginya.”
5. Jika suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan
belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah
meja dan tempat tidur menjadi tetap”.
Sedangkan terkait dengan poligami, pada kasus tersebut pernikahan Rohman dan Siti
dapat dikatakan tidak sah karena mereka hanya menikah siri. Selain itu pernikahan
mereka tidak diketahui oleh Imah selaku istri sah dari Rohman. Pada dasarnya jika istri
pertama tidak menyetujui suami untuk menikah lagi, maka suami tidak dapat melakukan
poligami, mengingat persetujuan istri merupakan syarat yang wajib dipenuhi jika suami
hendak beristri lebih dari 1 orang hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, dan Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam. Dari kasus tersebut tidak memenuhi
prosedur Poligami yang tepat. Dalam hal permohonan izin poligami diajukan ke
Pengadilan Agama berdasarkan alasan yang sah menurut hukum, Pengadilan Agama
dapat memberi izin setelah memeriksa dan mendengar keterangan dari istri yang
bersangkutan. Kewajiban suami untuk memperoleh izin dari istri pertama jika ingin
melakukan permohonan ke pengadilan merupakan syarat perkawinan poligami, sehingga
mutlak dan wajib untuk dipenuhi.
Jadi, akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari pernikahan Rohman dan Siti yang tanpa
sepengetahuan dan izin Imah selaku istri sah Rohman maka, perkawinan poligami
tersebut tidak sah dan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat dan prosedur
perkawinan poligami, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka dari itu sebaiknya seorang laki-laki (suami) tidak
melakukan perkawinan poligami tanpa izin istri dan tanpa meminta izin Pengadilan
Agama karena dapat menimbulkan dampak yang merugikan baik terhadap isteri maupun
terhadap anak yang dihasilkannya kelak. Kalaupun suami melakukan perkawinan
poligami, hendaknya harus sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan serta Peraturan Pelaksananya.
BAB III
KESIMPULAN
Pernikahan Rohman dan Siti yang tanpa sepengetahuan dan izin Imah selaku istri sah
Rohman maka, perkawinan poligami tersebut tidak sah dan batal demi hukum karena
tidak memenuhi syarat dan prosedur perkawinan poligami, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Peraturan
Pelaksananya
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademik
Pressindo.
Indra Setiawan. 2020. Akibat Hukum Perkawinan Poligami tanpa adanya Permohonan
Izin Poligami : Jurnal Hukum Universitas Muhammadiyah Jember (hlm : 12-14).
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-poligami-dan-prosedurnya-yang-sah-di-
indonesia-lt5136cbfaaeef9, diakses pada 31 Maret 2022 pukul 10:27.
https://www.hukumonline.com/berita/a/simak-begini-prosedur-poligami-yang-sah-
lt60d1e6bc38a3f/?page=4, diakses pada 31 Maret 2022 pukul 11:39.