Anda di halaman 1dari 9

PERKAWINAN POLIGAMI

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Dr. Eko Pujiyono, S.H., M.H

NAMA :

Riconaldi Fitra Pratama


20210610038

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA


FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
SURABAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


KASUS 2 : PERKAWINAN POLIGAMI Pasangan suami-istri yang bernama Rohman
dan Siti melakukan nikah siri, kemudian memiliki anak yang sekarang berusia 7 bulan,
terpaksa mendekam di penjara. Keduanya ditahan di rumah tahanan (Rutan) Sidoarjo
setelah isteri pertama Rohman yang bernama Imah , mengadukan kasus nikah siri
suaminya tersebut ke polisi. Ali Siregar yang menjadi kuasa hukum Siti, warga Desa
Prambon Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo, menyatakan setelah disidik pihak
kepolisian, kasusnya saat ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Kedua pasangan suami
istri nikah siri tersebut, ditahan sejak kasusnya disidik pihak kepolisian pada tanggal 12
Mei 2020. Pihak kuasa hukum Siti, Ali Siregar berupaya agar Siti menjadi tahanan kota
dikarenakan Siti memiliki anak berusia 7 bulan karena anak tersebut masih membutuhkan
ASI dari ibunya, dan saat ini kuasa hukum Siti menghadiri sidang permohonan di
Pengadilan Negeri Sidoarjo pada tanggal 9 Juni 2020. Awal mula kasus ini muncul saat
Siti menikah dengan Rohman pada Februari 2018 dengan cara nikah siri. Pernikahan siri
berlangsung di wilayah Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo. Setelah Rohman menikah
siri dengan Siti, tidak lama kemudian istri pertama dari Rohman yang bernama Imah
mengetahui bahwa Rohman telah menikah siri, istri pertama rohman yang merupakan
warga Kota Surabaya melaporkan kasus tersebut ke Polsek Krian,dimana tempat
pernikahan tersebut berlangsung,pada 7 Januari 2019 lalu. Setelah mendapat laporan
tersebut, polisi menangkap pasangan suami istri nikah siri, Rohman dan Siti, dan
menjebloskannya ke penjara. Baik imah dan rohman berstatus sebagai pegawai negeri
sipil.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana syarat dan prosedur poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Indonesia?
2. Apa akibat hukum bila terjadinya poligami?
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Poligami
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Pada dasarnya hukum perkawinan Indonesia berasaskan monogami. Pasal
3 ayat (1) Undang-undang Perkawinan “pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami (asas monogami). Namun, Undang-undang perkawinan memberikan pengecualian
yang memungkinkan seornag suami untuk melakukan poligami.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti poligami adalah sistem perkawinan yang
membolehkan seorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Dalam Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan bahwa poligami yaitu beristri lebih dari satu orang pada waktu
bersamaan, terbatas hanya sampa empat orang yang sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat
(1) KHI.1 Dalam Islam, poligami didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan
isteri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam waktu yang
bersamaan. Batasan ini didasarkan pada QS. al-Nisa‟ (4): 3 yang berbunyi: ”Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya” Dari ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa batasan
poligami itu boleh lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari sembilan isteri. Namun
batasan maksimal empat isterilah yang paling banyak diikuti oleh para ulama dan
dipraktikkan dalam sejarah dan Nabi Muhammad Saw. melarang melakukan poligami lebih
dari empat isteri.

1
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1992), h.126).
Abdul Halim Abu Syuqqah (1997, 5: 390) menguraikan faktor-faktor yang dapat mendorong
dilakukannya poligami, yakni: 1) memecahkan problema keluarga, seperti isteri mandul,
terdapat cacat fisik, dan isteri menderita sakit yang berkepanjangan; 2) memenuhi kebutuhan
yang mendesak bagi suami, seperti seringnya bepergian dalam waktu yang lama dan sulit
disertai oleh isterinya karena sibuk mengasuh anak-anak atau karena sebab lain; 3) hendak
melakukan perbuatan yang baik terhadap perempuan salih yang tidak ada yang
memeliharanya, misalnya perempuan itu sudah tua, karena memelihara anak-anak yatim, atau
sebab-sebab lainnya; dan 4) ingin menambah kesenangan karena kesehatannya prima dan
kuat ekonominya. Semua faktor ini harus dipenuhi oleh suami yang berpoligami ditambah
persyaratkan dapat berlaku adil, mampu memberi nafkah kepada isteri-isteri dan anak-
anaknya, dan mampu memelihara isteri-isteri dan anak-anaknya dengan baik (Abu Syuqqah,
1997, 5: 388).

Dasar Hukum Poligami


Dasar hukum poligami terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang mengatur secara jelas bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Adapun alasan-alasan yang dijadikan pedoman oleh pengadilan untuk memberi izin poligami
ditegaskan pada pasal 4 ayat (2), yaitu:
1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan
3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan “Apabila seorang suami bermaksud untuk
beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Pengadilan”. Dalam Hukum Islam, dasar poligami diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam “Suami yang hendak beristeri lebih dari satu harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama”. Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam
pasal 4 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, sebagai berikut :
Pasal 4 ayat (2) :
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
1. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
2. istri medapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. istri tidak dapat melahirkan karena keturunan2.
Syarat poligami
Selain harus memiliki alasan-alasan, seorang suami harus memenuhi syarat-syarat bila ingin
berpoligami yang ketentuannya telah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974. Undang-Undang Perkawinan menetapkan syarat-syarat poligami sebagai berikut:
1) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka;
3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat syarat poligami lainnya yang harus diperhatikan,
yaitu: Suami hanya boleh beristri terbatas sampai 4 istri pada waktu bersamaan. 3Suami harus
mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya. Jika tidak mungkin dipenuhi,
suami dilarang beristri lebih dari seorang.4 Suami harus memperoleh persetujuan istri dan
adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. 5
Persetujuan ini dapat diberikan secara tertulis atau lisan.6 Harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.7 Jika nekat dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan itu
tidak mempunyai kekuatan hukum.8 Jika istri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin diajukan atas dasar alasan yang sah menurut hukum, Pengadilan Agama
dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan
di persidangan Pengadilan Agama. Atas penetapan ini, istri/suami dapat mengajukan banding
atau kasasi.9 Alasan yang sah yang dimaksud adalah jika istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak
dapat melahirkan keturunan.10

Prosedur Poligami
2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3
Pasal 55 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
4
Pasal 55 Ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam.
5
Pasal 58 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
6
Pasal 58 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
7
Pasal 56 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
8
Pasal 56 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.
9
Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam.
10
Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam ketentuan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut disebutkan
bahwa : apabila seseorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis ke Pengadilan. disertai dengan alasan-alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal
41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 kepada Pengadilan Agama di daerah tempat
tinggalnya dengan membawa Kutipan Akta Nikah yang terdahulu dan suratsurat ijin yang
diperlukan. Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal sebagaimana diatur dalam pasal
41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu Pengadilan Agama dalam melakukan
pemeriksaan harus memanggil dan mendengar keterangan istri yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi permohonan untuk beristri
lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan yang berbentuk ijin
untuk beristri lebih dari seorang (poligami) kepada pemohon yang bersangkutan(pasal 14
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975).

Akibat Hukum Poligami


Dalam Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa :
1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
agama.
2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
4) Harus didasarkan pada alasan yang jelas dan kuat. Tanpa dipenuhi salah satu alasan
tidak boleh poligami Berdasarkan hal tersebut, dikaitkan dengan pembahasan dalam
bab ini dapat dikemukakan bahwa akibat hukum yang dapat ditimbulkan apabila
dilakukan poligami tanpa melalui permohonan izin poligami bahwa perkawinan
poligami tersebut tidak sah dan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat dan
prosedur perkawinan poligami, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun demikian, dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan disebutkan persetujuan istri/istri-istrinya tidak diperlukan jika
istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2
tahun, atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan. Secara teknis, tata cara permohonan izin poligami melalui Pengadilan diatur
dalam Pasal 40-44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan. Apabila Pengadilan berpendapat cukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang atau ditolak jika tidak cukup alasan. Di luar
itu, tidak ada aturan hukum atau sanksi yang tegas jika seorang suami berpoligami tanpa
persetujuan istri/istri-istrinya. Secara hukum suami yang menikah lagi tanpa ada izin dari
istri pertama (istri terdahulu) tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran hukum.
Akibat hukum atas perkawinan kedua yang dilakukan suami tanpa izin dari istri pertama
(terdahulu) adalah batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada. Sebab menurut
hukum, baik Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun
Kompilasi Hukum Islam, bila suami ingin menikah lagi (berpoligami) maka ia harus
mendapat persetujuan/izin dari istri pertama (istri terdahulu). Kewajiban suami untuk
memperoleh izin dari istri pertama berikut permohonan ke pengadilan merupakan syarat
perkawinan poligami, sehingga mutlak dan wajib untuk dipenuhi.

Berdasarkan isi dalam aturan atau dasar hukum poligami, dapat disimpulkan bahwa
poligami dapat dilakukan dengan catatan memenehui syarat poligami yang telah
ditetapkan berdasarkan dasar hukum yang berlaku. Dalam kasus ini, pasangan suami
isteri yang bernama Rohman dan Siti melangsungkan pernikahan siri dan kemudian
memiliki anak yang berusia 7 bulan. Padahal faktanya Rohman telah menikah secara sah
dengan seorang Wanita Bernama Imah. Mengetahui hal tersebut Imah melaporkan
Rohman dan Siti ke kepolisian karena Imah tidak terima atas pernikahan tersebut. Atas
laporan tersebut Rohman dan Siti di tahan di Rumah Tahanan (Rutan) Sidoarjo. Mereka
ditahan atas tuduhan perselingkuhan yang sesuai dengan pasal 284 KUHP yakni
“Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa
Pasal 27 BW berlaku baginya;
2. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa
Pasal 27 BW berlaku baginya;
3. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui nya bahwa
yang turut bersalah telah kawin;
4. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku
baginya.”
5. Jika suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan
belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah
meja dan tempat tidur menjadi tetap”.
Sedangkan terkait dengan poligami, pada kasus tersebut pernikahan Rohman dan Siti
dapat dikatakan tidak sah karena mereka hanya menikah siri. Selain itu pernikahan
mereka tidak diketahui oleh Imah selaku istri sah dari Rohman. Pada dasarnya jika istri
pertama tidak menyetujui suami untuk menikah lagi, maka suami tidak dapat melakukan
poligami, mengingat persetujuan istri merupakan syarat yang wajib dipenuhi jika suami
hendak beristri lebih dari 1 orang hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, dan Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam. Dari kasus tersebut tidak memenuhi
prosedur Poligami yang tepat. Dalam hal permohonan izin poligami diajukan ke
Pengadilan Agama berdasarkan alasan yang sah menurut hukum, Pengadilan Agama
dapat memberi izin setelah memeriksa dan mendengar keterangan dari istri yang
bersangkutan. Kewajiban suami untuk memperoleh izin dari istri pertama jika ingin
melakukan permohonan ke pengadilan merupakan syarat perkawinan poligami, sehingga
mutlak dan wajib untuk dipenuhi.

Jadi, akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari pernikahan Rohman dan Siti yang tanpa
sepengetahuan dan izin Imah selaku istri sah Rohman maka, perkawinan poligami
tersebut tidak sah dan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat dan prosedur
perkawinan poligami, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka dari itu sebaiknya seorang laki-laki (suami) tidak
melakukan perkawinan poligami tanpa izin istri dan tanpa meminta izin Pengadilan
Agama karena dapat menimbulkan dampak yang merugikan baik terhadap isteri maupun
terhadap anak yang dihasilkannya kelak. Kalaupun suami melakukan perkawinan
poligami, hendaknya harus sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan serta Peraturan Pelaksananya.
BAB III
KESIMPULAN
Pernikahan Rohman dan Siti yang tanpa sepengetahuan dan izin Imah selaku istri sah
Rohman maka, perkawinan poligami tersebut tidak sah dan batal demi hukum karena
tidak memenuhi syarat dan prosedur perkawinan poligami, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Peraturan
Pelaksananya

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademik
Pressindo.
Indra Setiawan. 2020. Akibat Hukum Perkawinan Poligami tanpa adanya Permohonan
Izin Poligami : Jurnal Hukum Universitas Muhammadiyah Jember (hlm : 12-14).
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-poligami-dan-prosedurnya-yang-sah-di-
indonesia-lt5136cbfaaeef9, diakses pada 31 Maret 2022 pukul 10:27.
https://www.hukumonline.com/berita/a/simak-begini-prosedur-poligami-yang-sah-
lt60d1e6bc38a3f/?page=4, diakses pada 31 Maret 2022 pukul 11:39.

Anda mungkin juga menyukai