Anda di halaman 1dari 6

1.

Dari kasus diatas, berikan analisis anda apakah dari pernikahan tersebut SAH
secara hukum Indonesia?
Jawab:
Pada prinsipnya baik menurut UU Perkawinan mapupun KHI, apabila suami ingin
beristri lebih dari satu (berpoligami) maka ia harus mendapat persetujuan dari
isteri.
Persetujuan yang dimaksud tidak diperlukan apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila
tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya Secara hukum suami yang menikah lagi tanpa ada izin dari istri
pertama (istri terdahulu) tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran hukum. Akibat
hukum atas perkawinan kedua yang dilakukan suami tanpa izin dari istri pertama
(terdahulu) adalah batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada. Sebab menurut
hukum, baik Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi
Hukum Islam, bila suami-suami ingin menikah lagi (berpoligami) maka ia harus
mendapat persetujuan/izin dari istri pertama (istri terdahulu), selengkapnya sebagai
berikut:
Pasal 4 ayat 1 UU Perkawinan:
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.”
Pasal 5 UU Perkawinan:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam:
(1) Beristri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
istrI-istri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristri dari seorang.
Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam:
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin
pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istrI-istri dan anak-
anak mereka.
Jadi jelas bahwa bila suami ingin menikah lagi ia wajib mendapat izin terlebih dahulu
dari istri pertama atau istri-istri yang terdahulu. Bila tidak mendapat izin, maka secara
hukum pernikahan tersebut adalah cacat hukum sehingga batal demi hukum.
Sanksi Hukum Bagi Suami Yang Menikah Lagi Tanpa Izin Istri Pertama
(terdahulu)?
Sanksi hukum yang bisa dikenakan kepada suami yang menikah lagi tanpa izin dari istri
pertama (terdahulu) adalah Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
dengan acaman pidana maksimal 5 sampai 7 tahun penjara.
Pasal 279 KUHP berbunyi sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1.barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2.barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada
pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Hal ini juga dipertegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang
Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung 2016 Sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengadilan yang menyatakan:
“Bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain
sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan izin istri untuk melangsungkan perkawinan
lagi, maka Pasal 279 KUHPidana dapat diterapkan.”
Jadi jelas, bila si suami tahu bahwa dia sudah dalam ikatan perkawinan namun tetap
menikah dengan orang lain tanpa izin dari istri pertama atau istri terdahulu, maka
kepadanya bisa dikenakan Pasal 279 KUHP dengan ancaman 5 sampai 7 tahun penjara.

2. Bagaimana dengan Putri yang masih berusia 15 Tahun apakah pernikahan tersebut
memenuhi syarat sah perkawinan? Coba saudara jelaskan dengan dasarkan
hukumnya!
Jawab:
Dalam Undang-undang Perkawinan juga diberikan solusi untuk pernikahan dibawah
umur , yaitu pemohon harus meminta izin ke pengadilan. Pemohon harus memberikan
alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup kenapa harus
menikah, padahal belum berusia sesuai dengan aturan yang berlaku. Alasan dan bukti-
bukti harus disampaikan dan dibawa langsung ke pengadilan untuk dikaji oleh tim
pengadilan. Nanti yang akan memutuskan disetujui atau tidaknya adalah pihak
pengadilan.
Dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan
wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun."
Kemudian di pasal 7 ayat (2), berbunyi "Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap
ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orangtua pihak wanita dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup."
Dalam hal ini, sesuai dengan penjelasap di atas, pemohon beserta kedua orangtua dari
dua belah pihak bisa meminta dispensasi dan solusi atas permasalahan tersebut kepada
pengadilan. Diharuskan membawa bukti serta dokumen penguat untuk mengajukan
dispensasi agar dikaji permohonannya oleh pihak pengadilan.
Pasal 7 ayat (3), berbunyi "Pemberian dispensasi oleh pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan
melangsungkan perkawinan."
Pasal ini juga menjelaskan bahwa pengkajian dispensasi tidak hanya sebatas pada
dokumen saja, namun juga menelisik permasalahan yang terjadi antara kedua calon
mempelai, kenapa memutuskan untuk melaksanakan pernikahan. Sebaiknya dijawab
dengan jujur agar bisa
dijadikan pertimbangan oleh pihak pengadilan. Permintaan dispensasi juga berlaku
mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (4) yang berbunyi "Dalam hal kedua orangtua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh
dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya."
Pasal 7 ayat (4) yang berbunyi"Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau
kedua orangtua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat
(4) berlaku juga ketentuan mengenal permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagalimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(6)."
Dalam Undang-undang Perkawinan, turyt menjelaskan Pasal 6 ayat (3) yang berbunyi
"Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orangtua yang masih hidup atau dari orangtua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
Untuk kasus di atas dikarenakan Putri masih berusia dan 15 tahun dan tidak dapat sah di
mata negara karena tidak ada cukup kuat alasan untuk melaksanakan pernikahan dini dan
jelas bahwa Valdhy masih berstatus suami sah dari Dian Sastro. Kalaupun menikah siri
tanpa ijin dari istri sah juga tidak dibenarkan. Jika ingin tetap melanjutkan pernikahan siri
maka bisa dengan risiko yang harus dipahami oleh kedua mempelai seperti, riskan
konflik rumah tangga, tidak bisa melanjutkan sekolah di SMA negeri, status hukum anak
yang dilahirkan, tidak bisa menggunggat harta gono-gini jika terjadi perceraian/ talak.
3. Apakah perkawinan antara valdhy dan putri anak kepala kampung dapat
dibatalkan ? Berikan analisa Anda!
Jawab:
Pada prinsipnya baik menurut UU Perkawinan mapupun KHI, apabila suami ingin
beristri lebih dari satu (berpoligami) maka ia harus mendapat persetujuan dari
isteri.
Persetujuan yang dimaksud tidak diperlukan apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila
tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Lebih jelas
diuraikan sebagai berikut:
Menurut UU Perkawinan, suami bisa mengajukan permohonan ke pengadilan untuk
memperoleh isteri lebih dari satu (poligami). Dan pengadilan hanya akan (hanya boleh)
memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila (lihat Pasal 4 ayat 2 UU
Perkawinan):
1. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tapi perlu diingat, berdasarkan Pasal 5 ayat 1 UU Perkawinan untuk dapat mengajukan
permohonan poligami ke pengadilan tersebut, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
suami yaitu:
1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteriisteri dan anak-anak mereka.
3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Persetujuan dari isteri ini dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, namun
sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini nantinya akan dipertegas dengan
persetujuan lisan dari isteri pada persidangan di Pengadilan. (lihat Pasal 41 huruf b
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)
Namun persetujuan yang dimaksud huruf a di atas, tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila: isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila tidak ada kabar dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Jadi pada intinya harus mendapatkan persetujuan dari isteri. Meski persetujuan tersebut
dalam keadaan tertentu tidak mutlak diperlukan.
Sementara menurut KHI Menurut Pasal 57 KHI, Pengadilan Agama hanya memberi izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang jika:
1. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain alasan untuk menikah lagi harus jelas, Kompilasi Hukum Islam juga memberikan
syarat lain untuk memperoleh izin menikah lagi dari Pengadilan Agama. Syarat-syarat
tersebut diatur dalam Pasal 58 KHI yang intinya merujuk atau sama dengan Pasal 5 UU
Perkawinan, yaitu:
1. adanya persetujuan istri;
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
Dari syarat-syaratnya yang wajib dipenuhi oleh suami yang ingin berpoligami. Izin dari
isteri sifatnya wajib. Jika dari kasus diatas maka pernikahan dapat dibatalkan, karena
tidak memiliki lasan kuat untuk melakukan pologami dan tidak mematuhi prosedur
hukum yang ada. Akibat hukum atas perkawinan kedua yang dilakukan suami tanpa izin
dari istri pertama (terdahulu) adalah batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.

Anda mungkin juga menyukai