Anda di halaman 1dari 3

1.

Dasar hukum poligami :


Dasar hukum poligami dapat kita jumpai dalam Pasal 3 ayat (2) UU
Perkawinan yang mengatur secara jelas bahwa:
Pengadilan dapat memberi  izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang  apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Khusus bagi yang beragama Islam, dasar hukum poligami diatur pula
dalam Pasal 56 ayat (1) KHI:
Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
Salah satu syarat untuk mengajukan permohonan poligami ke pengadilan
daerah tempat tinggalnya adalah diharusakan adanya persetujuan dari istri
istri. Sehingga pada dasarnya jika istri pertama tidak menyetujui suami
untuk menikah lagi, maka suami tidak dapat melakukan poligami,
mengingat persetujuan istri merupakan syarat yang wajib dipenuhi jika
suami hendak beristri lebih dari 1 orang.
2. Islam meletakkan empat kriteria dalam preferensi pemilihan
pasangan hidup yaitu agama, keturunan, harta dan kecantikannya.
Rasulullah SAW menyatakan di dalam sebuah hadis: “Wanita biasanya
dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya,
karena parasnya dan karena agamanya. Akan tetapi, pemilihan
berdasarkan pemahaman yang benar terhadap agama dan akhlak yang
baik menjadi skala prioritas karena kelak sang ibu atau ayah akan
menjadi pendidik bagi keturunannya. Maka dapat dikatakan bahwa jika
pemahaman terhadap agama ini baik, maka pada umumnya berakhlak
mulia tidak akan menjadi suatu hal yang sukar. Karena akhlak
merupakan sikap yang lahir dari diri seseorang yang dilakukan secara
spontanitas tanpa melewati pemikiran yang panjang.

3. Syarat materil adalah syarat yang mengenai atau berkaitan dengan diri


pribadi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan yang harus
dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinannya. Syarat
perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11
UU No. I tahun 1974 yaitu :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang
tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila
kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada
penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.

Apabila syarat materiil tersebut tidak terpenuhi, maka


berdasarkan UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak yang melangsungkan perkawinan tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan tersebut.

4. Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan Pengadilan yang berupa


putusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan
tidak sah (no legal force ordeclared void), sehingga perkawinan tersebut
dianggap tidak pernah ada (never existed). Pembatalan perkawinan
merupakan hal yang mungkin terjadi karena adanya kekhilafan atau
kurangnya persyaratan-persyaratan yang tidak diketahui pada saat
orang akan melangsungkan perkawinan. Kekhilafan atau kekurangan-
kekurangan tersebut baru diketahui setelah perkawinan berlangsung.
Maka orang tersebut harus segera mengambil tindakan agar perkawinan
tersebut segera dapat dibatalkan, sehingga kesalahan  tidak berlarut-
larut. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan tidak berlaku kepada :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut (Pasal 28 ayat
(2) huruf a.
b. Suami atau isteri yang beritikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya
perkawinan lain yang lebih dahulu (Pasal 28 ayat (2) huruf b).
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap (Pasal 28 ayat (2) huruf c).
5. Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal
12 yaitu :
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)).
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) ).
3. Usia calon mempelai sudah 19 tahun dan usia calon mempelai wanita
sudah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)).
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tdak dalam
hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8).
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9).
6. Bagi suami isteri yang bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak
melarang mereka untuk kawin ketiga kalinya (Pasal 10).
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
janda.
Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan tindak pidana
perkawinan secara Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 memang tidak
diatur, tetapi dalam PP No. 9 Tahun 1975 orang yang melakukan tindak
pidana perkawinan dapat dikenai sanksi pidana berupa denda.
Perbedaanya ialah terdapat pada sanksi pidana yang ada dalam KUHP
dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sanksi pidana yang ada
dalam KUHP bagi oarang yang melakukan tindak pidana perkawinan
diatur dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP “dihukum penjara selama-lamanya
5 tahun. Sedangkan sanksi orang yang melakukan tindak pidana
perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 hanya dapat dikenai sanksi
pidana dengan hukuman denda sebesar Rp. 7.500’- (tujuh ribu lima ratus
rupiah).

Anda mungkin juga menyukai