Anda di halaman 1dari 15

KELOMPOK 7 :

DESTY ARDIANTI 21902022021


YURIDIKA GALIH PRATAMA 21902022022
RIZQY AULIA FITRI 21902022023
AHMAD SHIDDIQ RIDHA 21902022024
YUNIAR AHMAD A.P.P. 21902022025
M. DHAFAN FIRMANSYAH 21902022027
NIZAR MAISYA RAHMAN 21902022028
SYUKRON ZAMZAMI 21902022029
 Dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 Perkawinan menurut hukum islam adalah akad atau persetujuan antara calon suami dan
calon istri karena berlangsung melalui ijab dan qobul atau serah terima. Apabila seorang
laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk membentuk suatu rumah tangga, hendaknya
keduanya melakukan akad nikah terlebih dahulu

 Perkawinan menurut KUHPerdata adalah perbuatan hukum dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang dilangsungkan menurut cara-cara sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang dengan maksud untuk hidup bersama.
berdasarkan ketentuan Pasal 1 UUP, dapat diuraikan bahwa sendi-sendi dan unsur-unsur utama
dari perkawinan adalah:
1. Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dengan seorang wanita.
Artinya Undang-Undang Perkawinan menutup kemungkinan dilangsungkannya
perkawinan antara orang-orang yang berjenis kelamin sama meskipun dalam Pasal 8 dari
Undang-Undang Perkawinan, yang mengatur mengenai larangan perkawinan, tidak
dicantumkan secara eksplisit tentang larangan perkawinan sesama jenis.
2. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku di
Indonesia. Keabsahan perkawinan hanya terjadi jika memenuhi syarat formil dan materil
berserta prosedur dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya.
3. Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama. Agama merupakan sendi utama
kehidupan bernegara di Indonesia.
Larangan perkawinan di dalam Undang-Undang Perkawinan termasuk dalam syarat-yarat
perkawinan. Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dilarang
antara dua orang yang :
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan;
5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
Selain larangan diatas, terdapat larangan-larangan lain yang diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan, yaitu:
1. Larangan kawin terhadap seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain (pasal 9)
Larangan ini bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak kepada pihak perempuan
saja yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak
mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang sedang terikat dengan perkawinan atau seorang
laki-laki yang beristeri tidak mutlak dilarang untuk melakukan perkawinan dengan isteri kedua.

2. Larangan kawin terhadap pasangan suami isteri yang telah bercerai sebanyak dua kali
(Pasal 10)
Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua)
kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang
kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar
dipertimbangkan. Pasal 10 bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
sehingga suami maupun isteri saling menghargai satu sama lain.
3. Larangan kawin terhadap seseorang wanita yang masih dalam waktu tunggu (Pasal
11)
Larangan dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan sendirinya apabila
masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan masa lamanya waktu tunggu.
Masa tunggu terjadi karena perkawinan perempuan telah putus karena:
 Suaminya meninggal dunia.
 Perkawinan putus karena perceraian.
 Isteri kehilangan suaminya.
Sedangkan masa tunggu itu sendiri diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

 Pasal 39
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang
ditentukan sebagai berikut:
- Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh)
hari;
- Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi
yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
- Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara
janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian
suami
Perkawinan Dilarang Antara Mereka Yang Satu Sama Lainnya Mempunyai Hubungan
Darah Dalam Garis Ke Atas Maupun Garis Ke Bawah, Baik Karena Kelahiran Yang Sah
Maupun Karena Kelahiran Yang Tidak Sah, Atau Karena Perkawinan; Dalam Garis Ke
Samping, Antara Kakak Beradik Laki Perempuan, Sah Atau Tidak Sah.

Pasal 30
Perkawinan Dilarang Antara Mereka Yang Satu Sama Lainnya Mempunyai Hubungan Darah
Dalam Garis Ke Atas Maupun Garis Ke Bawah, Baik Karena Kelahiran Yang Sah Maupun
Karena Kelahiran Yang Tidak Sah, Atau Karena Perkawinan; Dalam Garis Ke Samping,
Antara Kakak Beradik Laki Perempuan, Sah Atau Tidak Sah.
Pasal 31
Juga dilarang perkawinan:
1. antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang
menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si
suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk
melakukan perkawinan lain;
2. antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan,
demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang
sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi,
berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

Pasal 32
Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zina, sekali-kali tidak
diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu
Pasal 33
Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 199
nomor 3e atau 4e, tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali
setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam
daftar Catatan Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur bahwa untuk melangsungkan perkawinan,
diantara pasangan suami isteri tidak boleh ada halangan perkawinan. Hal ini berarti sebuah
perkawinan tidak dapat berlangsung jika terdapat larangan-larangan tertentu seperti yang telah
diatur dalam Kompilas Hukum Islam sebagai berikut:

a. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita


disebabkan (Pasal39)
1) Karena Pertalian Nasab
a) Dengan seorang wanita yanng melahirkan atau menurunkannya atau
keturunannya
b) Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c) Dengan seorang wanita saudara yang melahirkan
2) Karena Pertalian Kerabat Semenda:
a) Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya
b) Dengan seorang wanita bekas istri yang menurunkanya
c) Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla ad dukhul
d) Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya
3) Karena Pertalian Sesusuan:
a) Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b) Dengan seorang waita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah
c) Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah
d) Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas
e) Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya

Jadi, dilarangnya melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena adanya 3 (tiga) sebab yaitu, karena adanya pertalian nasab, karena adanya pertalian
kerabat semenda, dan karena adanya pertalian sesusuan.
b. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu (Pasal 40) :
1) Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan pria lain;
2) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
3) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
c. Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai
hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya (Pasal 41)
1) Saudara kandung, seayah atau seibu atau kemenakannya
2) Wanita dengan bibinya atau kemenakannya
d. Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria
tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terkait
tali perkawinan atau mash dalam masa iddah talaq raj’i ataupun salah seorang diantara
mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talaq raj’i
(Pasal 42).
e. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
bekas isterinya yang ditalaq tiga kali, atau dengan seorang wanita bekas isterinya
yang dili’an. Larangan tersebut gugur jika bekas isteri tersebut telah kawin
dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah
habis masa iddahnya (Pasal 43).
f. Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama islam (Pasal 44).

Anda mungkin juga menyukai