Anda di halaman 1dari 15

Kelompok 3

Hukum perdata

Dewi safitri
Rifal aprijan
Rifal junivan
Toyibah
PERKAWINAN MENURUT KUHPER,
PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974
SYARAT SAH
01 MONOGAMI DALAM 02 PERKAWINAN
PERKAWINAN DAN
LARANGAN
PERKAWINAN

PERJANJIAN HARTA BENDA DALAM


03 04 PERKAWINAN
PERKAWINAN
DAN HAK DAN KEWAJIBAN DAN
SUAMI ISTRI PUTUSAN PERKAWINAN
MONOGAMI DALAM PERKAWINAN

Monogami dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

01
diartikan sebagai sistem yang hanya
memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu
istri pada jangka waktu tertentu.

Dalam pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan


bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun pada ayat
(2) ketentuan tersebut membuka peluang bagi seseorang
untuk berpoligami yang menyatakan bahwa pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
SYARAT SAH PERKAWINAN

a. Kedua pihak harus telah mencapai umur


yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu
untuk seorang lelaki 18 tahun dan untuk
seorang perempuan 15 tahun.

b. Harus ada persetujuan bebas antara kedua


pihak.

c. Untuk seorang perempuan yang sudah


pernah kawin harus lewat 300 hari duluan
sesudahnya putusan perkawinan pertama.

d. Tidak ada larangan dalam undang-undang


bagi kedua pihak.

e. Untuk pihak yang masih di bawah umur,


harus ada izin dari orang tua atau walinya.
LARANGAN PERKAWINAN
01

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1.Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas.
2.Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara
antara seorang dengan saudara saudara neneknya.
3.Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
4.Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, suadara susuan dan
bibi atau paman susuan.
5.Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri,
dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6.Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin.
Lanjutan

b. Pasal 9

Seorang yang masih terkait dalam suatu tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) ean pasal 4 Undang-Undang ini.
c. Pasal 10

Apabila seorang suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan yang lain.

Adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan larangan bagi seseorang untuk melakukan
perkawinan dengan orang tertentu, maka hal ini merupakan syarat materil yang relatif, yang terdiri
dari:

1.Larangan melakukan perkawinan dengan seseorang yang hubungannya sangat dekat didalam
kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan.

2.Larangan melakukan perkawinan dengan orang siapa orang tersebut pernah berbuat zina.

3.Memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, apabila belum lewat waktu satu tahun
ternyata dilarang.
Perjanjian perkawinan

Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan
memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan
(huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini menurut Undang-Undang harus diadakan
sebelumnya pernikahan dilangsungkan dan harus diletakan dalam suatu akta notaris.

Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut, sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada
umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua larangan
yang termuat dalam undang-undang dan asal saja mereka itu tidak melanggar ketertiban umum atau
keasusilaan.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

Suami istri harus setia satu sama lain, bantu membantu berdiam bersama-sama saling
memberikan nafkah dan bersama mendidik anak-anak.

Pengurusan kekayaan si istri itu, oleh suami harus dilakukan sebaik-baiknya (als een goed
huisvader) dan si istri dapat meminta pertanggungjawaban tentang pengurusan itu. Kekayaan
suami untuk ini menjamin, apabila ia sampai dihukum mengganti kekuranggan-kekuranggan
atau kemorosotan kekayaan si istri yang karena kesalahannya. Pembatasan yang terang dari
kekuasaan suami dalam mengurus kekayaan isrinya, tidak terdapat dalam undang-undang,
melainkan ada suatu pasal yang menyatakan, bahwa suami tidak diperbolehkan menjual atau
mengadaikan benda-benda yang tak bergerak kepunyaan si istri tanpa izin dari sih istri (pasal
105 ayat 5 B.W.
Harta Benda dalam perkawinan

Ketentuаn mengenаi hаrtа bersаmа аdа dаlаm perаturаn perundаngаn. Pаsаl 35 UU no. 1
tаhun 1974 tentаng Perkаwinаn mengemukаkаn bаhwа hаrtа bersаmа аdаlаh hаrtа yаng
diperoleh selаmа perkаwinаn. Hаrtа bersаmа аkаn terbentuk bersаmа dengаn аdаnyа
perkаwinаn kecuаli ditentukаn lаin oleh suаmi isri melаlui perjаnjiаn kаwin berupа
pemisаhаn hаrtа.

Menentukаn stаtus kepemilikаn hаrtа selаmа perkаwinаn penting untuk memperoleh


kejelаsаn bаgаimаnа kedudukаn hаrtа itu jikа terjаdi kemаtiаn sаlаh sаtu suаmi аtаu
istri yang mana merupаkаn hаrtа peninggаlаn yаng аkаn diwаrisi аhli wаris mаsing-
mаsing. Demikiаn pulа, аpаbilа terjаdi percerаiаn, hаrus аdа kejelаsаn mаnа yаng menjаdi
hаk isri dаn mаnа yаng menjаdi hаk suаmi. Аgаr suаmi isri dаpаt menerimа sesuаi hаknyа
mаsing-mаsing.
Putusan perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UU Perkawinan) dinyatakan bahwa

perkawinan dapat putus karena :

1. kematian

2. perceraian, dan

3. atas keputusan pengadilan.

Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 UU Perkawinan yang
menentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak. Adapun untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Kesimpulan

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila,


dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
erat dengan agama/ketuhanan, sehingga
perkawinan hukum saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi mempunyai unsur batin/rohani
juga mempunyai peranan penting. Masyarakat
Indonesia sangat heterogen dalam segala aspeknya,
termasuk aspek agama. Indonesia juga mempunyai
hukum perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sesi tanya jawab

Bukan sesi untuk mencurahkan hati


dan perasaan
Di mohon pertanyaan nya simpel
jelas dan padat

Anda mungkin juga menyukai