Anda di halaman 1dari 19

NAMA Emilia Nur Fitri

NPM / KELAS 20.0201.0014/2A


MAPEL Hukum perdata
PENGAMPU Puji Sulistyaningsih, SH., MH

A. PERKAWINAN dan PERCERAIAN

1. Bagaimana suatu perkawinan dapat berlangsung secara sah dan memiliki kepastian hukum
sehingga mempunyai akibat hukum menurut hukum perkawinan nasional ? jelaskan ! (penjelasan
meliputi: syarat-syarat, tata cara, hak dan kewajiban suami istri beserta dasar hukumnya)

Sesuai dengan

Pasal 1 yaitu :

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Mahaesa.”

Pasal 2

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

1. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

2. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4

1. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal
3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.

2. Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri- isteri dan anak-anak
mereka.

2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
Hakim Pengadilan.

 SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan
(4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,
maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.

Pasal 7

1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun.
2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

3. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

4. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai
permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal
yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua
kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11
1. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
lebih lanjut.

Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Syarat Syah Perkawinan

Syarat perkawinan secara materil dijelaskan dalam UU No. 1 tahun 1974 Pasal 6
yang berbunyi :

1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh

satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup

diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan

kehendaknya.

4. dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu

untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara

atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke

atasselama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4)

pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,

maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan

melangsungkanperkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin

setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4)

dalam pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain.

Syarat perkawinan secara formal diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.

9 tahun 1975 dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu

kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari

kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkansesuatu alasan
yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Syarat formal

berikut diatur Pada pasal 4 s/d pasal 13.

Syah tidaknya perkawinan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

yang menyatakan bahwa: “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada

1. Calon Suami

2. Calon Isteri

3. Wali nikah

4. Dua orang saksi dan

5. Ijab dan Kabul.

Ketentuan ini menegaskan bahwa apabila perkawinan tidak terpenuhi lima syarat di atas,

maka perkawinanya dianggap tidak syah.

Menurut Mohd Idris adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan yaitu :

a. Pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan yaitu calon suami dan calon

isteri;

b. Wali nikah;

c. Dua orang saksi, dan

d. Ijab dan qabul.6

Dalam praktek di masyarakat sering terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan,

sekalipun telah dilaksanakan secara agama dan juga kepercayaanya, tapi perkawinan

tersebut tidak diakui oleh Negara. sehingga mengakibatkan hak istri dan anak terlanggar.

Jadi menurut Undang-undang Perkawinan, perkawinan sah apabila Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Perkawinan dipenuhi dan kemudian dicatat sesuai ketentuan Pasal 2 ayat

(2) Undang-undang.

Sesuai pada BAB VI


HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31

(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32

(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri
bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada
Pengadilan.

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

2. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan. Siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan dan

jelaskan pula tata cara dan dasar hukumnya ! bagaimanakah akibat pembatalan perkawinan

Perkawinan dapat dibataalkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi syarat hal ini sesuai dengan
Bab III pencegahan perkawinan dan Bab IV batalnya perkawinan yaitu sebagai berikut :

BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 13

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal 14

1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan
kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-
pihak yang berkepentingan.

2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan,
sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon
mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut
dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15

Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan
atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16

1. Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila


ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-
undang ini tidak dipenuhi.

2. Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

1. Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana


perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat
perkawinan.

2. Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan


dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali
permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan


perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21
1. Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada
larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

2. Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari
penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

3. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan
didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan
berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan
penolakan tersebut diatas.

4. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan
ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar
supaya perkawinan dilangsungkan.

5. Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan


tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang
maksud mereka.

BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.

Pasal 23

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan
atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26

1. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi
dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari
suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini
gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan
akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan
perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27

1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan
tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya
gugur.

Pasal 28

1. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

2. Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka


memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dasar hukum Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

3. Putusnya perkawinan dapat dikarenakan perceraian yang hanya dapat dilakukan di


depan

siding pengadilan.

a. Uraikan alasan-alasan perceraian dan bagaimana akibat hukumnya menurut hukum


perkawinan nasional Indonesia !

b. Bagaimanakah tata cara perceraian bagi orang yang beragama Islam ? jelaskan !

 A.) Alasan-asalan tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni sebagai berikut:

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak yang lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga;

Khusus yang beragama Islam, ada tambahan dua alasan perceraian selain alasan-alasan di atas,
sebagaimana diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yaitu:

1. Suami melanggar taklik-talak;

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.

Dengan demikian, hakim tidak akan mengabulkan gugatan cerai di luar alasan-alasan di atas

Pasal 209 Kitab Un dang-Un dang Hukum Perdata (BW) mencantumkan

sebab-sebab perceraian sebagai berikut,

 Zinah,
 Meninggalkan tempat kediaman bersama dengan sengaja selama lima tahun,
 Penghukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman
yang Iebm berat, yang diucapkan setelah perkawinan ,
 Melukai berat atau menganiaya dilakukan oleh suami atau isteri
terhadap isteri atau suaminya yang demikian, sehingga membahayakan jiwa pihak yang
dilukai atau dianiaya atau mengakibatkan
luka-luka yang membahayakan.
Menurut Hukum Adat yang merupakan sebab sebab teriadinya perceraian dari suatu perkawinan
selain kematian adalah sebagai berikut:
o Perzinahan.
o Tidak mem beri nafkah.
o Penganiayaan.
o Cacat Tubuh/Kesehatan.
o Perselisihan

Menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat putusnya


perkawinan karena perceraian adalah sebagai berikut :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Oleh karena itu, dampak atau akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena
perceraian, telah jelas diatur dalam Undang-undang Perkawinan.

Akibat Terhadap Anak

Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah erjadi perceraian, bukan berarti kewajiban
suami istri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah umur berakhir.

Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu
belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan
suami.

Kewajiban memberi nafkah anak harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan
berakal serta mempunyai penghasilan sendiri.

Baik bekas suami maupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
berdasarkan kepentingan anak.

Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-
anaknya.

Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya
anak-anak.

Akibat Terhadap Harta Bersama

Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai
harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila
perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah
hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.

Memperhatikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang ini tidak
memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian.

Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagian harta bersama
apabila terjadi perceraian.

Maka sesuai dengan cara pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum yang hidup”
dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada. Kalau kita kembali
pada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian :

1. Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaranhukum yang hidup
dalam mengatur tata cara perceraian;

2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;

3. Atau hukum-hukum lainnya.

Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-masing. Apabila
bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat
melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.

Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam
menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata.

Akibat Terhadap Nafkah

Menurut pendapat umum sampai sekarang biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya tidak menjadi
tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-istri yang bersalah.

Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai biaya hidupnya
ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang selama 90 (sembilan
puluh) hari.

Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas istrinya lagi.

Bahkan sesudah masa iddah, bekas istri itu harus keluar dari rumahsuaminya andaikata ia masih hidup
di rumah yang disediakan oleh suaminya.

Jadi baik wanita yang masih dalam masa iddah ataupun masa iddahnya telah habis asal dalam
perceraian ia bukan berada di pihak yang bersalah, maka ia berhak menerima atas biaya penghidupan.

Ketentuan itu bisa dengan damai atas persetujuan bekas suami begitupun mengenai jumlah biaya
hidupnya atau dapat pula dengan putusan perdamaian apabila bekas suami tidak dengan sukarela
menyediakan diri untuk memberi biaya hidup tersebut.

Ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam Undang-undang Perkawinan diatur
dalam Pasal 41 huruf C, yang berbunyi :
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dan apabila bekas istri tidak mempunyai mata pencarian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas
suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas istrinya itu menikah lagi dengan pria lain.

 B. Bagaimanakah tata cara perceraian bagi orang yang beragama Islam ? jelaskan !

Tata cara yang dilakukan seorang suami menceraikan isterinya, adalah mengajukan permohonan cerai
talak kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. sedangkan inisiatif
perceraian oleh isteri, disebut dengan cerai gugat. Seorang isteri yang hendak menuntut perceraian
suaminya harus lebih dahulu mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya kepada Pengadilan
Agama yang berwenang. Selama berlangsungnya proses gugatan perceraiaan, atas permohonan
penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan situasi bahaya yang dapat terjadi, Pengadilan
mengizinkan suami isteri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah. Sebagaimana diatur dalam pasal 77
Undang-Undang no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Permohonan lainnya yang dapat
disampaikan kepada Pengadilan dalam proses cerai gugat, permohonan penggugat ( isteri )
sebagaimana diatur dalam pasal 78 Undang-Undang no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, untuk
a.menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami, b. menentukan menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak, c. menentukan hal tentang penjaminan atau terpeliharanya barang-barang yang
menjadi hak bersama suami isteri atau barang yang menjadi hak masing-masing, baik isteri maupun
suami.

4. Perwalian terhadap seorang anak dikarenakan anak tidak di bawah kekuasaan orang
tuanya.

Perwalian meliputi pribadi anak dan pengurusan harta kekayaan anak. Jelaskan pernyataan

tersebut ! siapakah yang dapat menjadi wali ? apakah tugasnya ? jelaskan dengan dasar

hukum !

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara
Penunjukan Wali

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai
orang tua terhadap anak.

2. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau
ibu angkat.

3. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.

4. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri
dan Anaknya, atau ayah dan Anaknya, atau ibu dan Anaknya, atau keluarga sedarah dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
5. Keluarga Anak adalah Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sampai dengan derajat
ketiga.

6. Saudara adalah kerabat Keluarga laki-laki maupun perempuan menyamping dari


kakek/nenek, bapak/ibu, dan Anak.

7. Pengadilan adalah pengadilan agama bagi yang beragama Islam dan pengadilan negeri bagi
lainnya.

8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Pasal 2

Penunjukan Wali bertujuan untuk melindungi hak dan memenuhi kebutuhan dasar Anak serta
mengelola harta Anak agar dapat menjamin tumbuh kembang dan kepentingan terbaik Anak

Tugas nya adalah sesuai pada pasal dua yaitu melindungi hak dan memenuhi kebutuhan dasar Anak
serta mengelola harta Anak agar dapat menjamin tumbuh kembang dan kepentingan terbaik Anak

5. Bagaimanakah tanggung jawab wali apabila dalam melaksanakan tugas melanggar

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku ? jelaskan dan berikan contoh !

Apabila wali dalam melaksanakan tugas nya melanggar maka wali tersebut dapat dicabut atau
berakhir masa perwaliannya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 pasal
17 yaitu :

Pasal 17

1. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Wali dapat berakhir karena
kekuasaan Wali dicabut berdasarkan penetapan/putusan Pengadilan.

2. Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikarenakan Wali:

a. melalaikan kewajiban sebagai Wali;

b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum;

c. menyalahgunakan kewenangan sebagai Wali;

d. melakukan tindak kekerasan terhadap Anak yang ada dalam pengasuhannya; dan/atau

e. Orang Tua dianggap telah mampu untuk melaksanakan kewajiban.

6. Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1/1974) tidak mengatur tentang anak luar kawin.

Yang dimaksud dengan anak luar kawin adalah anak yang lahir di luar perkawinan, namun

menurut doktrin terdapat beberapa istilah.

a. Jelaskan istilah-istilah lain tersebut ! Dimanakah masalah anak luar kawin diatur dan
bagaimnakah pengaturannya ?

b. Pengakuan berakibat timbulnya hubungan hukum keperdataan antara anak luar kawin

yang diakui dengan orang yang mengakui. Bagaimakah tata cara pengakuan anak luar

kawin ? dan apakah anak luar kawin dapat menjadi ahli waris dari orang yang

mengakuinya ?

A. Pengertian anak luar kawin berdasarkan Pasal 272 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
pengertian anak luar kawin dibagi menjadi dua yaitu dalam arti sempit dan luas. Anak luar
kawin dalam arti luas meliputi anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin lainnya
sedangkan anak luar kawin dalam arti sempit artinya tidak termasuk Anak zina dan anak
sumbang, anak luar kawin dalam arti sempit ini yang dapat diakui. Sedangkan dalam islam
anak luar kawin disebut sebagai anak zina. Anak yang lahir diluar perkawinan menurut istilah
yang dipakai atau dikenal dalam Hukum Perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alami).
Pendekatan istilah “Anak zina” sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah ,berbeda
dengan anak zina yang dikenal di hukum perdata sebab dalam hukum perdata, istilah Anak
zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang
bukan suami isteri, dimana salah seorang atau kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan
orang lain. Oleh sebab itu, Anak luar kawin yang dimaksud dalam hukum perdata adalah
Anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan
sebagai Anak zina Pengertian anak luar kawin menurut Pakar/Doktrin Ali Afandi dalam
menyebutkan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
mengadakan 3 (tiga) penggolongan terhadap anak-anak, yaitu : 1. Anak sah, yaitu seorang
anak yang lahir di dalam suatu perkawinan; 2. Anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi
diakui oleh ayah dan/atau ibunya. Di dalam hal ini antara si Anak dan orang yang mengakui
itu timbul pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang
mengakui anak itu saja, dan apabila ayah dan ibunya kawin, maka menjadi anak sah; dan 3.
Anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi tidak diakui oleh ayah maupun Ibunya. Anak ini
menurut hukum tidak mempunyai ayah dan ibu, karena merupakan anak luar kawin yang
tidak diakui, sehingga tidak mempunyai Keluarga maka juga tidak ada ketentuan tentang
hukum warisnya. Anak luar kawin dalam kompilasi hukum Islam disebut juga Anak zina.
Ibnu
Mahkamah Konstitusi (MK) sempat menerbitkan putusan No.46/PUU-VIII/2010 yang
merupakan uji materi terhadap UU No.1 Tahu 1974 tentang Perkawinan. Salah satu pasal
yang disasar Aisyah Mochtar alias Machica binti H Mochtar Ibrahim selaku pemohon yaitu
ketentuan yang mengatur status keperdataan anak luar kawin. Dalam putusan itu pada intinya
menyatakan hubungan perdata anak luar kawin bukan saja terhadap ibunya dan keluarga
ibunya, tapi juga laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan setelah putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010: “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
B. Mahkamah Konstitusi (MK) sempat menerbitkan putusan No.46/PUU-VIII/2010 yang
merupakan uji materi terhadap UU No.1 Tahu 1974 tentang Perkawinan. Salah satu pasal
yang disasar Aisyah Mochtar alias Machica binti H Mochtar Ibrahim selaku pemohon yaitu
ketentuan yang mengatur status keperdataan anak luar kawin. Dalam putusan itu pada intinya
menyatakan hubungan perdata anak luar kawin bukan saja terhadap ibunya dan keluarga
ibunya, tapi juga laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan setelah putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010: “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Dalam hukum Islam, Djubaedah memaparkan anak luar kawin juga tidak bisa mendapat
warisan dari ayah biologisnya. Tapi bukan berarti anak luar kawin tidak boleh mendapat harta
peninggalan dari orang tuanya. Anak luar kawin bisa mendapat harta peninggalan ayah
biologisnya melalui beberapa cara. Misalnya, ayah biologis si anak membuat surat wasiat,
bisa juga anak tersebut mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk mendapat wasiat
wajibah. Besaran harta penginggalan bagi anak luar kawin tidak boleh melebihi ahli waris sah
yang mendapat bagian paling kecil.

Bagi pasangan kawin campur yang memiliki anak luar kawin, Juliani, mengatakan biasanya
anak yang dilahirkan itu mendapat akta kelahiran sebagai anak dari ibu. Setelah berjalan
beberapa waktu, ayah biologisnya mengajukan permohonan untuk pengakuan terhadap si
anak. “Pengakuan ini melalui mekanisme di pengadilan, selaras itu orang tuanya yang
berkebangsaan asing harus melaporkannya kepada kedutaan negara asalnya,

7. Apa itu pengampuan ? bagaimanakah tata cara pengajuannya ? dan uraikan pula akibat
dari pengampuan !

engampuan adalah keadaan seseorang (curandus) karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di
dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas hukum. Atas dasar hal itu,
orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap
bertindak. Orang tersebut diberi wakil menurut Undang-undang yang disebut Pengampu (curator).

Dengan alasan tertentu, seseorang yang sudah dewasa disamakan kedudukannya dengan seseorang
yang minderjarig, karena walaupun sudah dewasa tetapi orang tersebut dianggap tidak cakap
bertindak untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam pasal 433 sampai dengan pasal 462 KUH
Perdata (Burgerlijk Wetboek) alasan yang mengharuskan seseorang ditaruh di bawah pengampuan
adalah:

 Karena keadaan dungu


 Karena sakit otak
 Mata gelap
 Karena boros
Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai Pengampu Pengawas (Toeziende Curator) dalam
pengampuan orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gangguan kejiwaan, dan boros.
Menurut pasal 449 KUH Perdata, setiap keputusan Pengadilan terhadap pengampuan yang telah
berkekuatan tetap, maka pengangkatan pengampu harus segera mungkin diberitahukan kepada Balai
Harta Peninggalan selaku Pengampu Pengawas.

Anak-anak yang belum dewasa tidak boleh dimintakan pengampuan karena ia tetap dalam kekuasaan/
tanggungjawab walinya yang masih hidup. Orang yang ditaruh dalam pengampuan karena boros ia
tetap berhak untuk melakukan perbuatan hukum seperti : membuat surat wasiat, mengadakan
perkawinan.

Dalam hal kedudukan dan peranan Balai Harta Peninggalan sebagai pengampu pengawas adalah sama
dengan perwalian pengawas. Tugas Pengampuan Pengawas berakhir apabila yang ditaruh dalam
pengampuan sembuh atau meninggal.

Menurut Pasal 434 Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata :

 Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya, berdasar
atas keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap;
 Bedasar atas keborosannya, pengampuan hanya dapat boleh diminta oleh para keluarga
sedarahnya dalam garis lurus dan oleh para keluarga semendanya dalam garis menyimpang
sampai derajat ke empat;
 Sedangkan berdasarkan kelemahan kekuatan akalnya, merasa tidak cakap mengurus
kepentingan-kepentingan diri sendiri sebaik-baiknya diperbolehkan meminta pengampuan
bagi diri sendiri;

Berdasarkan penjelasan diatas, maka yang berhak untuk mengajukan permohonan bagi si calon
terampu adalah anggota keluarga sedarahnya sampai derajat ke empat dan isteri atau suaminya

Permintaan pengampuan diajukan kepada Pengadilan Negeri dimana tempat yang dimohonkan
pengampuan tinggal. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 436 KUH Perdata yang berbunyi :

“Semua permintaan untuk pengampuan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dalam
daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan”

Lebih lengkapnya sebagai berikut:

1. Pengadilan Negeri setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut
dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, bila orang
itu tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh
seseorang atau beberapa orang hakim yang ditunjuk untuk itu, disertai panitera, dan dalam
segala hal dihadiri oleh jawatan kejaksaan;

2. Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal dari
Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan
setempat. Dan pemeriksaan ini, yang tidak perlu dihadiri kejaksaan, yang tidak perlu dihadiri
jawatan kejaksaan, harus dibuat berita acara yang Salinan otentiknya dikirimkan kepada
Pengadilan Negeri; (Pasal 439 KUHPerdata)

3. Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu
diberitahukan surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat anggota keluarga.

4. Bila Pengadilan Negeri, setelah mendengar dan memanggil dengan sah keluarga sedarah atau
semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat
bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka Pengadilan dapat memberi keputusan
tentang surat permintaan itu tanpa tata cara lebih lanjut, dalam hal sebaliknya Pengadilan
Negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa yang dikemukakannya
menjadi jelas. (Pasal 440 KUHPerdata)

5. Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam Pasal 439, bila ada alas an Pengadilan
Negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-
barang orang yang dimintakan pengampuannya;(Pasal 441 KUHperdata)

6. Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka,
setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak berdasarkan kesimpulan jaksa;
(Pasal 442 KUHPerdata)

Syarat kelengkapan dokumen pengampu yang dibutuhkan ialah :

1. Identitas Pengampu;

2. Identitas orang yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. KK orang yang ditaruh dibawah pengampuan;

4. Surat Keterangan Sehat orang yang berada dibawah pengampuan;

5. Surat Permohonan yang memuat keterangan/ alasan orang yang ditaruh dibawah

6. pengampuan.

Tata cara penngampuan tersebut harus sesuai dengan syarat syarat diatas

8.) Orang yang meninggalkan tempat untuk waktu yang relatif lama akan
menimbulkan

masalah di dalam hukum. Mengapa demikian ? dan bagaimanakah KUH Perdata mengatur

? jelaskan !

Karena jika terjadi suatu perikatan seperti misal terdapat rumah yang sudah lama tidak ditinggali oleh
pemilikknya akan tetapi tetangganya selalu membayar tagihan listriknya dengan upaya jika tiba2
pemilik aslinya pulang maka bisa mengantinya akan tetapi pemilik tak kunjung datang hal tersebut
menimbulkan masalah di dalam hukum karena tetangga tersebut merasa dirugikan

Anda mungkin juga menyukai