Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342380787

Persyaratan, Tata Cara, Perijinan, dan Hak Administratif dalam Perkawinan


Pegawai Negeri Sipil

Preprint · June 2020

CITATIONS READS

0 18,104

1 author:

Baren Sipayung
Badan Pemeriksa Keuangan
37 PUBLICATIONS   20 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Hukum Pidana View project

Kebijakan Publik View project

All content following this page was uploaded by Baren Sipayung on 23 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PERSYARATAN, TATA CARA, PERIJINAN, DAN HAK ADMINISTRATIF
DALAM PERKAWINAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

Sumber: https://bit.ly/370YiGQ

Oleh: Baren Sipayung, S.H., C.L.A.

Analis Hukum pada BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur


Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi Publik PPs-UT
baren.sipayung@bpk.go.id
HP. 08170072902
I. PENDAHULUAN
Negara telah menjamin hak konstitusional setiap warga negara untuk
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah,
menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perkawinan (atau biasa disebut ‘pernikahan’) ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. 1)
Lebih lanjut, perkawinan selain telah diatur dalam hukum adat, hukum agama, dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), juga diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana
telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(untuk selanjutnya disebut ‘UU Perkawinan’).
Di dalam UU Perkawinan tersebut terkandung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia. Adapun pokok-
pokok perubahan sebagaimana diatur dalam bagian konsiderans dan bagian umum
UU Perkawinan adalah sebagai pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MK) Nomor 22/PUU-XV/2017, yaitu khususnya berkenaan dengan batas
minimal usia perkawinan bagi perempuan. Namun, sayangnya pembahasan revisi
atas UU Perkawinan tersebut menunjukkan ketidakcermatan karena mengabaikan
dua putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan 69/PUU-XIII/2015, yaitu
seharusnya merubah Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) agar hasil pembahasan
menjadi komprehensif.2)
Selanjutnya, Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai
ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan

1
UU Perkawinan, Pasal 1.
2
Muhammad Yasin, 2019, Revisi UU Perkawinan Disetujui, Dua Putusan MK Ini Terlewat,
diakses dari https://bit.ly/2BGVTpd, pada tanggal 07 Juni 2020 pukul 03.50 WITA.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 1


pemerintahan.3) Kemudian, PNS sebagai warga negara juga mempunyai hak untuk
melangsungkan perkawinan. Lebih lanjut, status perkawinan merupakan salah satu
komponen data personal kepegawaian bagi seorang PNS.
Namun, perkawinan seorang PNS selain tunduk pada UU Perkawinan juga
tunduk kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
(untuk selanjutnya disebut ‘PP 10/1983’) dan mengikuti Surat Edaran Kepala Badan
Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 48/SE/1990 tanggal 26 April
1983 serta Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor:
48/SE/1990 tanggal 22 Desember 1990. Selain itu, perkawinan PNS juga
menimbulkan hak administratif berupa pemberian tunjangan keluarga dan tunjangan
pangan di luar gaji pokoknya. Oleh karena itu, tulisan hukum ini diharapkan dapat
bermanfaat dalam memahami aturan terkait perkawinan bagi seorang PNS.

II. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan menjadi
pokok pembahasan adalah:
1. Bagaimana persyaratan, tata cara, dan perijinan perkawinan bagi seorang PNS?
2. Bagaimana pengaturan terkait pemberian tunjangan keluarga dan tunjangan
pangan?

III. PEMBAHASAN
A. Persyaratan Perkawinan
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), dan Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan berdasarkan
kesepakatan kedua calon mempelai menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu serta dicatat perkawinannya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, seorang warga negara dinilai
kecakapan bertindak hukum apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan sebelum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus

3
UU ASN, Pasal 1 angka 3.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 2


mendapat izin kedua orang tua.4) Apabila belum mencapai umur 19 tahun, orang
tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup dan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang
akan melangsungkan perkawinan.5)
Dalam hal tidak terpenuhinya kondisi lengkapnya kedua orang tua yang
masih hidup dan/atau tidak berhalangan, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain, ketentuan dalam pemberian izin dan dispensasi pernikahan diatur sebagai
berikut:6)
Kondisi Alternatif
salah seorang dari kedua orang tua telah cukup diperoleh dari orang tua yang masih
meninggal dunia atau dalam keadaan hidup atau dari orang tua yang mampu
tidak mampu menyatakan kehendaknya menyatakan kehendaknya

kedua orang tua telah meninggal dunia diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau dalam keadaan tidak mampu untuk atau keluarga yang mempunyai hubungan
menyatakan kehendaknya darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya
Jika ada perbedaan pendapat antara Pengadilan dalam daerah hukum tempat
orang tua/wali, atau salah seorang atau tinggal orang yang akan melangsungkan
lebih diantara mereka tidak menyatakan perkawinan atas permintaan orang tersebut
pendapatnya dapat memberikan izin/dispensasi setelah
lebih dahulu mendengar orang tua/wali
Selain sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat larangan perkawinan
antara dua orang yang:7)
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan;
5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

4
UU Perkawinan, Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1).
5
UU Perkawinan, Pasal 7 ayat (1) dan (2).
6
UU Perkawinan, Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5).
7
UU Perkawinan, Pasal 8 s.d. 11.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 3


6. berhubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin;
7. masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali memenuhi syarat
perkawinan secara poligami;
8. apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain;
9. bagi seorang wanita yang putus perkawinannya yang mau menikah lagi
tidak pada jangka waktu tunggu yang berlaku.

B. Tata Cara Perkawinan


Tata cara perkawinan bagi seorang PNS diatur sebagai berikut:8)
1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak surat pengumuman
kehendak perkawinan ditempel oleh Pegawai Pencatat pada suatu tempat
yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di
hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
4. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
5. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang
menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
6. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat
secara resmi.

8
PP 9/1975, Pasal 10 dan 11.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 4


C. Perijinan Perkawinan
Bagi PNS yang melangsungkan perkawinan pertama dan yang berstatus
janda atau duda yang melangsungkan perkawinannya kembali wajib melaporkan
kepada pejabat secara hirarkhis selambat-lambatnya 1 tahun sejak tanggal
perkawinan.9) Yang dimaksud dengan Pejabat antara lain Menteri, Jaksa Agung,
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,
Pimpinan Bank milik Negara, Pimpinan Badan Usaha milik Negara, Pimpinan
Bank milik Daerah, atau Pimpinan Badan Usaha milik Daerah.10) Selanjutnya,
laporan perkawinan dibuat rangkap tiga dan dilampiri:11)
1. Salinan sah Surat Nikah/Akte Perkawinan untuk tata naskah masing-masing
instansi; dan
2. Pas foto isteri/suami ukuran 3x4 cm sebanyak 3 lembar.
Sedangkan bagi PNS pria yang akan beristri lebih dari seorang
(poligini), wajib menyampaikan surat permohonan tertulis kepada Pejabat
melalui atasan PNS yang bersangkutan.12) Kemudian setelah diterima oleh
atasan PNS tersebut, juga wajib memberikan pendapat dan menyampaikan
kepada Pejabat secara berjenjang selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung
mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin tersebut.13) Setelah itu, setiap
pejabat harus mengambil keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung
mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin tersebut.14)
Selanjutnya, izin PNS untuk poligini hanya dapat diberikan oleh Pejabat
apabila setelah memperhatikan pertimbangan dari atasan PNS yang
bersangkutan berkaitan dengan surat pemintaan izin tersebut yang disertai
dengan alasan-alasan yang dikemukakan yang memenuhi sekurang-kurangnya
salah satu syarat alternatif dan seluruh syarat kumulatif, yakni:15)

9
PP 10/1983, Pasal 2.
10
PP 10/1983, Pasal 1 huruf b.
11
SE Ka. BAKN 8/1983, Bagian II Angka 5 dan 7.
12
PP 10/1983, Pasal 4 ayat (1), (4), dan Pasal 5 ayat (1).
13
PP 10/1983, Pasal 5 ayat (2) jo. SE Ka. BAKN 48/SE/1990 Bagian III Angka 4.
14
PP 10/1983, Pasal 12.
15
Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 9 ayat (1) PP 10/1983 jis.
SE Ka. BAKN 8/SE/1983.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 5


1. Syarat alternatif (salah satu harus terpenuhi):
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya, karena menderita sakit
jasmani/rohani.
b. Isteri mendapat cacat badan/penyakit lain yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan setelah menikah sekurang-
kurangnya 10 tahun.
Terkait dengan syarat alternatif tersebut di atas dibuktikan dengan surat
keterangan dokter pemerintah.
2. Syarat kumulatif (semua harus terpenuhi):
a. Ada persetujuan tertulis secara ikhlas dari isteri dan/atau istri-istrinya
dan disahkan atasan PNS serendah-rendahnya pejabat eselon IV.
b. PNS pria mempunyai penghasilan yang cukup yang dibuktikan dengan
surat keterangan pajak penghasilan.
c. PNS pria berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anaknya dengan
membuat surat jaminan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
Surat Edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor
08/SE/1983 26 April 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil (untuk selanjutnya disebut ‘SE Ka. BAKN
08/SE/1983’)

Hal sebaliknya berlaku bagi seorang wanita yang berkedudukan sebagai isteri
kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi PNS dan selanjutnya PNS wanita tidak
diijinkan menjadi istri kedua/ketiga/keempat.16)

D. Sanksi
Dalam hal seorang PNS yang tidak patuh terhadap ketentuan
kepegawaian terkait perkawinan dapat dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil (dhi. telah dicabut dengan Peraturan Pemerintah

16
SE BAKN 48/SE/1990, Bagian IV angka 1 dan 2.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 6


Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil, untuk selanjutnya disebut ‘PP 53/2010’) apabila:17)
1. Tidak memberitahukan perkawinan secara tertulis kepada Pejabat dalam
jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan
dilangsungkan;
2. PNS pria beristri lebih dari seorang tanpa memperoleh izin terlebih dahulu
dari Pejabat;
3. PNS pria tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat
kepada Pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah
perkawinan dilangsungkan;
4. PNS wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat;
5. Hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah.

Sedangkan jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4)
PP 53/2010 terdiri dari:
1. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
2. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
3. pembebasan dari jabatan;
4. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS;
5. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 10 angka 13 PP 53/2010, salah satu
alasan dijatuhkannya hukuman disiplin berat adalah karena pelanggaran
terhadap kewajiban menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang. Dengan demikian, ketidakpatuhan terhadap peraturan
kedinasan terkait perkawinan dapat dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat.

E. Pemberian Tunjangan Keluarga dan Tunjangan Pangan


Perkawinan bagi seorang PNS mempunyai dampak keuangan, yaitu
berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang
Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedelapan Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977

17
PP 10/1983, Pasal 15.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 7


tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (untuk selanjutnya disebut ‘PP Gaji
PNS’), diberikan hak administratif berupa tunjangan keluarga (istri/suami/anak).
Adapun ketentuan pemberian tunjangan keluarga telah diatur sebagai berikut:
1. Kepada Pegawai Negeri Sipil yang beristeri/bersuami diberikan tunjangan
isteri/suami sebesar 10% (sepuluh persen) dari gaji pokok.18)
2. Kepada Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai anak atau anak angkat, yang
berumur kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, belum pernah kawin, tidak
mempunyai penghasilan sendiri, dan nyata menjadi tanggungannya,
diberikan tunjangan anak sebesar 2% (dua persen) dari gaji pokok tiap-tiap
anak.19)
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam poin 2 dapat diperpanjang sampai
umur 25 (dua puluh lima) tahun apabila anak tersebut masih bersekolah.20)
4. Apabila suami isteri kedua-duanya berkedudukan sebagai Pegawai Negeri,
maka tunjangan keluarga diberikan kepada yang mempunyai gaji pokok
yang lebih tinggi.21)
5. Tunjangan anak dan tunjangan beras untuk anak dibatasi untuk 2 (dua)
orang anak (termasuk anak angkat).22)
6. Dalam hal pegawai/pensiunan pada tanggal 1 Maret 1994 telah memperoleh
tunjangan anak dan tunjangan beras untuk lebih dari 2 (dua) orang anak,
kepadanya tetap diberikan tunjangan untuk jumlah menurut keadaan pada
tanggal tersebut.23)
7. Apabila setelah tanggal tersebut jumlah anak yang memperoleh tunjangan
anak berkurang karena menjadi dewasa, kawin atau meninggal,
pengurangan tersebut tidak dapat diganti, kecuali jumlah anak menjadi
kurang dari 2 (dua).24)

18
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1992 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977, Pasal 16 ayat (1).
19
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1992 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977, Pasal 16 ayat (2).
20
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1992 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977, Pasal 16 ayat (3).
21
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1992 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977, Pasal 16 ayat (5).
22
Keppres 42/2002, Pasal 31 ayat (1).
23
Keppres 42/2002, Pasal 31 ayat (2).
24
Keppres 42/2002, Pasal 31 ayat (3).

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 8


Selain pemberian tunjangan keluarga, bagi PNS yang telah
melangsungkan perkawinan juga kepada PNS beserta keluarganya dapat
diberikan tunjangan pangan.25) Adapun ketentuan pemberian tunjangan pangan
bagi pegawai negeri dan keluarganya diatur dalam Pasal 2 Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1982 tentang Tunjangan Pangan bagi
Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun, Penyediaan Pangan bagi Pegawai
Perusahaan dan untuk Keperluan Khusus serta Operasi Pasar (untuk selanjutnya
disebut ‘Keppres 9/1982’) sebagai berikut:
1. Pegawai Negeri Sipil beserta Keluarganya menerima tunjangan pangan
dalam bentuk beras masing-masing sebesar 10 (sepuluh) kilogram untuk
setiap orang setiap bulan.
2. Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menerima tunjangan
pangan dalam bentuk beras sebesar 18 (delapan belas) kilogram dan untuk
keluarganya masing-masing sebesar 10 (sepuluh) kilogram untuk setiap
orang setiap bulan.
3. Suami isteri yang kedua-duanya Pegawai Negeri Sipil masing-masing
menerima tunjangan pangan menurut haknya, untuk anaknya tidak
diberikan tunjangan pangan secara rangkap.
4. Pegawai Negeri yang di samping gaji menerima pensiun, tidak menerima
tunjangan pangan secara rangkap termasuk keluarganya.
5. Harga beras sebagai dasar untuk pemberian tunjangan pangan dalam bentuk
beras ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Selanjutnya, Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal
Perbendaharaan telah menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor PER-3/PB/2015 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-67/PB/2010 tentang Tunjangan Beras
dalam Bentuk Natura dan Uang (untuk selanjutnya disebut ‘Perdirjen PER-
3/PB/2015’). Dalam Pasal 3 ayat (2) Perdirjen PER-3/PB/2015, pemberian
tunjangan beras dalam bentuk uang kepada Pegawai Negeri dan
pensiun/penerima tunjangan yang bersifat pensiun ditetapkan sebesar
Rp7.242,00 per kilogram. Kemudian, pembayaran tunjangan dibatasi hanya

25
PP Gaji PNS, Pasal 18.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 9


untuk 2 orang anak saja ditambah 1 orang istri/suami. Sebagai contoh, seorang
PNS pria yang memiliki 2 orang anak dan 1 orang istri, maka besarnya
tunjangan berasnya akan dikalikan 4 orang berdasarkan banyaknya tanggungan.

IV. PENUTUP
Ketentuan terkait persyaratan, tata cara, dan perijinan perkawinan bagi
seorang PNS telah diatur dalam UU Perkawinan jo. PP 10/1983 jis. SE Ka. BAKN
08/SE/1983 dan SE Ka. BAKN 48/SE/1990. Walaupun telah berlaku sejak tahun
1983 dan terdapat dinamika peraturan perundang-undangan, ketentuan PP 10/1983
masih berlaku dan belum dicabut oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen
Pegawai Negeri Sipil. Dengan demikian, ketentuan dalam SE Ka. BAKN
08/SE/1983 dan SE Ka. BAKN 48/SE/1990 sebagai peraturan pelaksanaannya masih
berlaku sebagai petunjuk pelaksanaan persyaratan, tata cara, dan perijinan
perkawinan bagi seorang PNS. Adapun, dijelaskan bahwa berdasarkan Pasal 10
angka 13 PP 53/2010, ketidakpatuhan terhadap peraturan kedinasan terkait
perkawinan dapat dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 ayat (4) PP 53/2010.
Setelah perijinan perkawinan PNS disetujui oleh Pejabat, maka bagi PNS
yang bersangkutan dan keluarganya diberikan hak administratif berupa tunjangan
keluarga dan tunjangan pangan. Ketentuan terkait tunjangan keluarga dan tunjangan
pangan telah diatur dalam PP Gaji, Keppres 9/1982, Keppres 42/2002, dan Perdirjen
PER-3/PB/2015. Merujuk pada kriteria dimaksud, pemberian tunjangan anak dan
pangan dibatasi hanya untuk 2 orang anak saja ditambah 1 orang istri/suami dan
besaran tunjangan pangan yang disetarakan dengan uang senilai Rp72.420,00 per
orang dengan maksimal 4 orang dalam 1 keluarga.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 10


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas atas
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai
Negeri Sipil
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1982 tentang Tunjangan Pangan
bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun, Penyediaan Pangan bagi Pegawai
Perusahaan dan untuk Keperluan Khusus serta Operasi Pasar
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983
48/SE/1990 tanggal 26 April 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil
Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: 48/SE/1990
tanggal 22 Desember 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 11


Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.252.2535/99 tanggal 22
Agustus 2011 tentang Hukuman Disiplin bagi PNS yang Melanggar PP Nomor 10
Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi PNS
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-3/PB/2015 tentang Perubahan
Kelima atas Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-67/PB/2010
tentang Tunjangan Beras dalam Bentuk Natura dan Uang

Internet
Yasin, Muhammad. (2019, 20 September). Revisi UU Perkawinan Disetujui, Dua Putusan
MK Ini Terlewat. Diunduh 07 Juni 2020, dari situs World Wide Web:
https://bit.ly/2BGVTpd

Disclaimer:
“Seluruh informasi yang disediakan dalam Tulisan Hukum adalah bersifat umum dan
disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan
pendapat instansi”.

Baren Sipayung, S.H., C.L.A. 12

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai