Sementara KHI yang memuat tujuan perkawinan secara tersendiri dalam pasal 3 lebih
menginformasikan nilai-nilai ritual dari perkawinan seperti terdapat dalam kalimat: “untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Padahal, rata-rata kitab
hadis hukum dan fiqih memasukkan bahasan munakaḥat (perkawinan) dalam kitab (bab)
muamalah tidak dalam kitab (bab) ibadah. Ini menunjukkan bahwa aspek muamalah dalam
perkawinan jauh lebih menonjol dari pada aspek ibadah sungguhpun di dalamnya memang
terkandung pula nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan.
SYARAT PERKAWINAN
Menurut undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan syarat perkawinan yang
sah adalah sebagai berikut:
Namun dengan berjalannya waktu dan dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia
maka diadakan perubahan terhadap peraturan syarat kawin yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 dimana syarat perkawinan yang sah adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun.
2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti
pendukung yang cukup.
3. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan.
4. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan
mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).