Anda di halaman 1dari 4

Nama : Putu Wilsa Nityananda Advaita Pasek

NIM : 2004551136
Kelas : C / Reguler Pagi
Mata Kuliah : Hukum Adat Lanjutan

TUGAS 5

1. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang masih memberi peluang
berlakunya hukum adat :
- Pasal 2 ayat (1) yang menentukan bahwa: ”Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan begitu, Pasal 2 ayat (1) adalah landasan yuridis berlakunya hukum adat Bali
dalam pelaksanaan perkawinan umat Hindu di Bali. Bahkan, ketentuan ini dapat
ditafsirkan bahwa pelaksanaan perkawinan (prosedur, pengesahan) diserahkan
kepada ketentuan hukum adat Bali.
- Pasal 6 yang menyebutkan bahwa: “(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3)
Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini
cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya. (4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan antara
orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. (6) Ketentuan tersebut
ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”.
Dalam pasal ini memberikan peluang hukum adat karena disebutkan bahwa
ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
- Pasal 8 yang menyebutkan bahwa: “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a.
berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b.
berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri; d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan; e.
berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. yang mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin. Dalam
ketetuan pasal ini termuat peluang bagi hukum adat untuk mengatur hal-hal yang
dilarang dalam terjadinya suatu perkawinan sesuai dengan ketentuan adat masing-
masing.
- Pasal 10 yang menyebutkan bahwa: "Apabila suami dan isteri yang telah cerai
kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di
antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain". Dalam pasal tersebut dapat dilihat adanya peluang dalam
berlakunya hukum adat, dimana dalam hal ini baik pihak suami maupun pihak isteri
yang telah bercerai untuk kedua kalinya tidak diperbolehkan untuk melaksanakan
perkawinan lagi, namun apabila dari masing-masing adat memperbolehkan untuk
melaksanakan perkawinan lagi maka hal tersebut tidak dipermasalahkan.
- Pasal 37 yang dalam pasal ini diatur mengenai kedudukan harta bersama dalam
perkawinan apabila terjadi perceraian. Pasal ini dengan sangat tegas dan spesifik
menentukan bahwa: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing”. Menurut penjelasan terhadap Pasal 37.
yang dimaksud ”hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lainnya.
- Pasal 66 yang dengan tegas menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang
ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuanketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933
No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken
S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Frasa
“sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini” secara a contrario dapat ditafsirkan
bahwa Pasal 66 sengaja disediakan untuk menjadi pintu masuk bagi berlakunya
hukum agama dan atau hukum adat untuk mengatur aspek-aspek tertentu
perkawinan yang belum diatur oleh Undang-undang Perkawinan.

2. Salah satu aspek yang tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah
tentang bentuk perkawinan, seperti misalnya di Bali ada bentuk perkawinan biasa (istri
ikut suami) dan perkawinan nyeburin (suami ikut istri). Jelaskan arti penting dari
bentuk-bentuk perkawinan tersebut bagi kedudukan hukum suami-istri dan anak dalam
hukum keluarga.
- Pentingnya bentuk perkawinan seperti yang ada di bali seperti perkawinan biasa
(istri ikut suami) dan perkawinan nyeburin (suami ikut istri). Penting dalam
masyarakat karena dari segi hubungan kekeluargaan atau kekerabatan antar
mempelai wanita dan pria, dengan adanya bentuk perkawinan ini maka hubungan
hukum kekerabatan antar mempelai akan jelas atau tidak bersifat ambigu misalnya
di suatu daerah terjadi suatu pernikahan jika tidak ada bentuk pernikahan seperti
perkawinan biasa (istri ikut suami) dan perkawinan nyeburin (suami ikut istri) maka
akan sulit menentukan hubungan kekerabatannya dimata hukum apakah sang laki-
laki masuk dalam akta keluarga perempuan ataukah sang perempuan masuk
kedalam akta keluarga sang laki-laki. Jadi dengan adanya bentuk bentuk
perkawinan maka hubungan kekerabatannya di mata hukum akan jelas dimana para
mempelai berstatus. Pentingnya bentuk perkawinan lainnya yaitu menyangkut ahli
warisnya. Jika seorang perempuan yang sudah jelas status kekerabatannya setelah
melakukan perkawinan seperti masuk ke keluarga sang pria maka tentunya sang
perempuan tersebut tidak dapat mendapatkan warisannya ke keluarga sebelumnya
karena telah masuk akta keluarga dari sang pria. Dengan adanya bentuk pernikahan
ini para mempelai dapat menentukan antara dapat menjadi ahli waris dikeluarganya
dan apakah dia masih mempunyai hak waris atau tidak sesuai dengan bentuk
perkawinan yang dianutnya.
REFERENSI
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/15837/1/d927879070d77e494ce919e8878f7b2e.p
df
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Windia Wayan P. Dan I Ketut Sudantra (2016) Pengantar Hukum Adat Bali ( Buku
ajar hukum adat lanjutan)

Anda mungkin juga menyukai