Anda di halaman 1dari 5

PERKAWINAN PADA GELAHANG MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. LATAR BELAKANG
hukum adat yang dianut masyarakat Perkawinan di Bali, juga dikenal sebagai
desa adat atau desa pakraman, penting karena terkait dengan tanggung jawab, kewajiban,
atau yang disebut swadharma—tindakan melakukan apa yang benar untuk keluarga dan
masyarakat. Tanggung jawab atau kewajiban tersebut meliputi yang berkaitan dengan
kegiatan keagamaan yang sejalan dengan ajaran agama Hindu atau parahayangan, usaha
amal atau pawongan, dan upaya perlindungan lingkungan yang bermanfaat bagi keluarga
dan masyarakat. Konflik penerapan dan akibat dari perkawinan pada gelahang masih ada
dalam budaya Bali hingga saat ini. Di satu sisi ada yang mendukung gelang nikah dan di
sisi lain ada yang menentang.
Pro kontra ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena akan membingungkan masyarakat
Hindu di Bali terhadap fenomena perkawinan pada gelahang, oleh karena itu perlu dicarai
jalan keluarnya. Perkawinan pada gelahang yang secara sosiologis telah dilakukan namun
secara filosofis dan yuridis masih banyak keraguan di dalamnya. Oleh karena itu
penelitian tentang perkawinan pada gelahang dari persfektif Hukum Hindu perlu
dilakukan.
Secara harfiah pada gelahang berarti “miliki bersama”. Ada beberapa istilah yang
dipergunakan untuk menyebut bentuk perkawinan pada gelahang. Ada yang menyebut
perkawinan negen dua, mapanak bareng, negen dadua mapanak bareng, nadua umah,
makaro lemah, magelar warang. Ada juga yang menyebutnya dengan ungkapan lumayan
panjang seperti “Perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara
mepamit”. Dalam ungkapan I Gusti Ketut Kaler (1967), perkawinan ini disebut
“perkawinan parental”.
Apapun nama yang digunakan, artinya pada dasarnya sama. Namun suami istri
tetap berstatus krama di rumahnya masing-masing, sehingga harus memenuhi dua
kewajiban (swadharma), yaitu meneruskan kewajiban kepada keluarga istri dan juga
meneruskan kewajiban kepada keluarga suami. Perkawinan pada gelahang sebagaimana
digunakan dalam konteks perkawinan yang diselenggarakan oleh umat Hindu, mengacu
pada perkawinan yang diselenggarakan menurut ajaran agama Hindu dan hukum adat
Bali.
Berdasarkan hasil penelitian Pershada Bali (2008), di antara 28 pasangan suami
istri yang memilih bentuk perkawinan perkawinan pada gelahang (sejak tahun 1945-
2008), diketahui bahwa faktor utama yang menyebabkan dipilihnya bentuk ini, karena
masing-masing calon pengantin terlahir sebagai anak tunggal dalam keluarganya. Alasan
masing-masing calon pengantin terlahir anak tunggal tersebut sampai sekarang (2018)
masih bertengger sebagai “juara bertahan” alias alasan utama dipilihnya bentuk
perkawinan pada gelahang.
Karena semakin banyak suami dan istri yang memilih jenis perkawinan pada
gelahang ini, dapat diasumsikan bahwa masyarakat telah menerimanya. Hal ini mungkin
karena dianggap konsisten dengan gagasan kesetaraan gender atau karena calon pasangan
tidak mungkin memilih bentuk serikat tradisional atau serikat nyentana. Berdasarkan
temuan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa hampir semua pasangan memilih jenis
perkawinan ini ketika mereka bertukar cincin kawin karena mereka tidak dapat memilih
antara perkawinan biasa atau pernikahan nyentana.
Hukum adat Bali tidak mengenal diskriminasi terhadap Kedudukan dan
kedudukan suami istri yang melangsungkan perkawinan di atas alang-alang dikaburkan
dengan perkawinan di gelangan ini. Selain itu, hasilnya belum diakui. Kewajiban suami
istri terhadap keluarga dan masyarakat juga tidak jelas akibat perkawinan ini. Ini juga
berkaitan dengan status anak dan harta apa saja yang diperoleh selama perkawinan. Oleh
karena itu, status perkawinan ini akan tetap tidak pasti selama jenis perkawinan tersebut
tidak segera diakui oleh hukum, khususnya hukum adat Bali.
Berbeda dengan hukum adat Bali, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tidak menganut sistem kekerabatan patrilenial atau kapurusa, melainkan
cendrung ke sistem parental. Dalam arti, masing-masing suami istri mempunyai
kedudukan yang sama dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Hal ini dapat diketahui
dari ketentuan Pasal 30 dan Pasal 31, yang menentukan sebagai berikut:
 Pasal 30
“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.”
 Pasal 31
“1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.”

Pasal 2 Ayat (1) Undang Undang No 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan


menyatakan bahwa perkawinan itu sah jika dilaksanakan menurut hukum Agamanya
masing-masing. Umat Hindu harus menggunakan Hukum Hindu dalam perkawinannya.
Artinya sahnya pekawinan bagi umat Hindu jika perkawinannya dilakukan tidak
bertentangan dengan Hukum Agama Hindu.

Perkawinan pada gelahang berdasarkan hukum nasional tertuang dalam Undang-


Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Pokok-Pokok Perkawinan selain itu karena
perkawinan pada gelahang roh-nya ada pada kesepakatan bersama maka landasan
hukumnya tentu tidak dapat dilepaskan dari asas pacta sersuvanda, yang artinya
perjanjian atau kesepakatan menjadi hukum dari kedua belah pihak yang melakukan
kesepakatan tersebut tertuang dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Selain itu terdapat juga Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP)
Bali Nomor 01/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 tanggal 15 Oktober 2010 tentang Hasil-
hasil Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali. Menyatakan pada salah
satu point keputusan yakni terdapat perkembangan bentuk perkawinan pada gelahang
karena didasarkan atas pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih
salah satu diantara bentuk perkawinan yang ada di Bali, yakni perkawinan biasa dan
perkawinan nyentana/ nyeburin karena masing-masing merupakan anak tunggal atau
anak yang diharapkan oleh keluarga sebagai penerus keturunan.

Dari ketiga jenis perkawinan yang dapat dilangsungkan di Bali, perkawinan


Gelangang merupakan yang paling sedikit dikenal di kalangan umat Hindu dan
masyarakat adat Bali. Akan tetapi, pasangan suami-istri yang sebenarnya diketahui telah
menikah dengan sistem perkawinan pada gelahag di Pengadilan Negeri Denpasar pada
hakekatnya mengakui adanya perkawinan pada gelahang di Bali dalam putusannya
nomor 273/PDT.G/2008/PN.Dps yang dibacakan pada tanggal 4 November 2008.
Perkawinan tersebut diakui sah baik berstatus purusa atau perkawinan gelahang di Bali
oleh Mahkamah Agung dalam perkara dengan Putusan Nomor 1331/K/Pdt/2010, tanggal
30 September 2010. Perlu ditegaskan bahwa mengenai suami dan istri berstatus kapurusa
di rumahnya masing-masing, telah diakui berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor. 1331 K/Pdt12010, hari Kamis tanggal 30 September 2010,
dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 603
PK/Pdt/2012, hari Selasa tanggal 24 Desember 2013.

Hanya ada dua jenis perkawinan yang diakui oleh hukum adat Bali, yaitu
perkawinan biasa dan perkawinan biasa, keduanya sangat lazim di desa awig-awig
Pakraman. Sementara itu, bukti menunjukkan adanya situasi dan faktor yang membuat
calon pasangan tidak mungkin memilih salah satu dari dua jenis perkawinan yang telah
diakui oleh hukum adat Bali sehingga memaksa mereka untuk memilih jenis perkawinan
yang berbeda dan kurang umum. serikat, yaitu perkawinan pada gelahang. Perkawinan
pada gelahang di desa adat masing-masing dilakukan sesuai dengan hukum awig-awig
yang dimiliki oleh masing-masing mengenai perkawinan di gelangang, sesuai dengan
hukum adat. Sebaliknya, jika awig desa adat mengawasi pernikahan di gelahang, hal itu
menandakan bahwa pernikahan di gelangang mendapat legitimasi berdasarkan hukum
adat di desa adat.

Padahal jika dicermati UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, akan terlihat
adanya keinginan untuk memperhatikan keberagaman masyarakat di seluruh wilayah
Indonesia. Fakta bahwa hukum dapat diterapkan secara nasional tanpa memandang
kebangsaan, agama, ras, dan faktor lainnya didasarkan pada hal ini. Akibatnya,
diharapkan bahwa undang-undang baru akan lebih mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat, khususnya dalam hal perkawinan. Ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tampak lebih sejalan dengan asas hukum negara bila
dibandingkan dengan ketentuan awig-awig pakraman desa, yang berfungsi sebagai
sumber hukum adat Bali sepanjang mengatur perkawinan dan tanggung jawab suami. dan
istri. Namun perlu dipahami bahwa ada ketidakseimbangan hak antara suami dan istri
dalam perkawinan ini, terutama menyangkut masalah kedudukan dan status masing-
masing pihak.

Berdasarkan dengan latar belakang masalah di atas, dapat diambil rumusan


masalah yaitu bagaimana perspektif pernikahan pada gelahang pada masyarakat Bali di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

Anda mungkin juga menyukai