Anda di halaman 1dari 10

LEGAL OPINION

TERHADAP MASALAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI DESA


TANGGUWISIA
(PERKAWINAN SEDARAH MEMPERTAHANKAN WANGSA BRAHMANA)

NAMA KELOMPOK:
GEDE ALKY SARTIKA
PARYANA P. (018.3.0016)
KADEK NOVITA DWIYANTI
(018.3.0028)
I PUTU ANDIKA WIRAWAN (018.3.0045)

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANJI SAKTI
SINGARAJA
2021
Kasus Posisi:
Desa Tangguwisia adalah desa yang terdapat di Kecamatan Seririt, Kabupaten
Buleleng, Provinsi Bali yang merupakan salah satu desa dengan adat yang cukup
kental dan tradisi yang sangat melekat pada masyarakatnya salah satunya ialah
perkawinan sedarah yang mengkhususkan untuk kaum Wangsa Brahmana untuk
mempertahankan keturunan tersebut, hal ini sangatlah bertentangan dengan hukum
nasional dikarenakan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dimana dalam salah
satu pasal menyatakan tidak boleh ada perkawinan sedarah, dikarenakan hal tersebut
dapat mengganggu kesehatan anak yang akan dilahirkan nanti dan melanggar etika
kemanusiaan. Perkawinan sedarah antar sepupu ini masih lumrah dilakukan di desa
adat Tangguwisia. Perkawinan sedarah permisanan ini merupakan perkawinan yang
dilakukan antara sepupu atau saudara menyamping, yang dimana orang tua dari pihak
laki-laki memiliki hubungan darah dengan orang tua dari pihak perempuan. Pada hal
ini, perkawinan sedarah antar sepupu ini masih kerap dilakukan karena orang tua dari
kedua mempelai mengharapkan adanya perkawinan sedarah antar sepupu ini.
Fakta Hukum:
1. Indonesia memiliki peraturan mengenai perkawinan yaitu dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
3. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan itu”
maka suatu perkawinan akan dianggap sah apabila dilaksanakan berdasarkan
agama maupun adat yang berada pada masing-masing pihak. Hal ini sangat
esensial pada perkawinan karena suatu perkawinan juga harus berdasarkan
Pasal 8.
4. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Perkawinan dianggap sah apabila memenuhi syarat yuridis melaui
pencatatan hukum.
5. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan “Perkawinan
dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu, dan ibu/bapak
tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibi/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
6. Pasal 16 disebutkan, apabila ada pejabat berwenang yang mengetahui
pernikahan sedarah, wajib sang pejabat melarang.
“Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan
apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10 dan Pasal 12 undang-undang ini tidak dipenuhi.
7. Kelian adat selaku pimpinan adat yang membantu melaksanakan perkawinan
tersebut tetap melaksanakan perkawinan tersebut tanpa melarang dikarenakan
hal itu sudah secara turun menurun berlangsung di Desa Tangguwisia
8. Anak dari hasil perkawinan tersebut ada yang mengalami kecacatan fisik dan
kesehatannya terganggu, masyarakat juga percaya umur dari si suami yang
mengalami perkawinan sedarah akan meninggal lebih dulu.
9. Pasal 8 huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Peruabahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Isu Hukum:
Perkawinan yang melanggar syarat-syarat yang terdapat larangan dalam
perkawinan, yang dimana telah diatur dalam undang-undang perkawinan
nasional, maka secara hukum perkawinan tersebut dinyatakan tidak sah dan dapat
mengakibtakan terjadinya pembatalan perkawinan. yang dimana hal tersebut
tertuang dalam Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa
“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan.” Maka, untuk melakukan perkawinan sudah
sewajibnya mentaati syarat-syarat dari perkawinan yang telah di berlakukan. Hal
ini bertujuan terkait keabsahan perkawinan baik secara hukum, agama atau
kepercayaannya. Oleh karena itu, penting untuk menghindari terjadinya
perkawinan yang terikat hubungan darah, agar nantinya tidak menimbulkan
permasalahan dalam perkawinan, terutama mengenai masalah keturunan. Dalam
perkembangannya, hukum adat tidak akan pernah pudar dalam masyarakat adat.
Hukum adat masih tetap relevan dilaksanakan dalam masyarakat adat, karena
dalam adat terdapat kepercayaan magis religius, yang mana masyarakat telah
meyakini bahwa magis religius merupakan keyakinan mistis. Hal inilah yang
membuat masyarakat adat tetap melalukan upacara-upacara yang berpedoman
pada aturan adat yang berlaku.
Tujuan dari perkawinan menurut adat Bali sebenarnya mempunyai tujuan
yang sama dengan tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perkawinan. Yang dimana perkawinan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani. Namun, mengenai perkawinan yang dilakukan
dengan garis kesampingan yang dalam hal ini dengan saudara sepupu merupakan
perkawinan yang tidak dapat dilakukan, karena dapat dikatakan tidak sesuai
dengan tujan dari pekawinan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan jasmani.
Perkawinan garis menyamping merupakan perkawinan yang dilarang. Jika dilihat
secara biologis akan berdampak buruk bagi keturunannya bagi para pihak yang
melangsungkan perkawinan sedarah.
Terkait dengan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan
Hukum Adat pada masing-masing daerah. Undang-Undang perkawinan berlaku
secara umum, sedangkan Hukum Adat hanya berlaku pada suatu daerah tertentu.
Menurut Pasal 8 Huruf B Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
bahwa “Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat diketahui
bahwa perkawinan sedarah permisanan atau antara saudara sepupu tidak dapat
dilakukan. Sedangkan dalam hukum adat Bali (Awig-Awig Desa Adat
Tangguwisia) tidak ada larangan mengenai perkawinan sedarah permisanan.

Analisis Hukum:
Terkait dengan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan
Hukum Adat pada masing-masing daerah. Undang-Undang perkawinan berlaku
secara umum, sedangkan Hukum Adat hanya berlaku pada suatu daerah tertentu.
Berdasarkan aturan hukum perkawinan yang berlaku secara umum menurut Pasal
8 Huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa
“Perkawinan dilarang antara antara dua orang yang berhubungan darah dalam
garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan
seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya”.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat diketahui bahwa perkawinan sedarah
permisanan atau antara saudara sepupu tidak dapat dilakukan dikarenakan
adanya pelarangan perbuatan. Sedangkan dalam hukum adat Bali (Awig-Awig
Desa Adat Tangguwisia) tidak ada larangan mengenai perkawinan sedarah
permisanan.
Pada hal ini di Desa Tangguwisia, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng,
masih terdapat adanya Perkawinan sedarah permisanan atau antar sepupu.
Perkawinan sedarah antar sepupu ini masih lumrah dilakukan di desa adat
Tangguwisia. Perkawinan sedarah permisanan ini merupakan perkawinan yang
dilakukan antara sepupu atau saudara menyamping, yang dimana orang tua dari
pihak laki-laki memiliki hubungan darah dengan orang tua dari pihak perempuan.
Pada hal ini, perkawinan sedarah antar sepupu ini masih kerap dilakukan karena
orang tua dari kedua mempelai mengharapkan adanya perkawinan sedarah antar
sepupu ini. Hal tersebut mengartikan bahwa pemikiran para orang tua masih
jadul/kolot akan perkawinan, dengan begitu para masyarakat masih
mengagungkan hukum lokal yang ada di masyarakat tersebut sebagai acuan
berperilaku mereka dan mengesampingkan aturan hukum nasional. Oleh karena
itu, perkawinan sedarah menyamping antar permisanan masih kerap dijumpai
pada setiap masyarakat adat di Bali.
Hukum nasional yang mengatur tentang perkawinan diatur dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 8 menegaskan adanya larangan perkawinan
sedarah. Namun, dalam Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu termasuk ketetntuan perundang-undangan yang berlaku
bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Sedangkan Pasal 2 ayat (2)
yang menjelaskan bahwa tiap perkawinan dicatatkan tidak diberi penjelasan
sehingga kesimpulannya Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa Pasal
2 ayat (2) telah cukup jelas padahal dengan adanya ketidakpastian apakah Pasal 2
ayat (2) ini termasuk dalam syarat sah dilangsungkannya suatu perkawinan atau
hanya sebatas syarat administratif saja yang tidak mempengaruhi keabsahan
dilangsungkannya suatu perkawinan maka, pasal ini dianggap kabur (obsecure
lible) sehingga pasal tersebut menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan karena pencatatan yang dimaksud Pasal 2
ayat (2) tidak ditegaskan apakah sekedar pencatatan secara administratif yang
tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah
dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing dalam hal ini
hukum adat itu sendiri.
Secara biologis perkawinan sedarah dilarang karena orang-orang dalam satu
keluarga memiliki proporsi materi genetik yang sama, maka suami istri yang
memiliki hubungan saudara juga memiliki risiko membawa materi genetik yang
sama. Jika salah satu adalah carrier suatu penyakit autosomal recessive maka
terdapat kemungkinan bahwa yang lain juga pembawa. Seberapa besar
kemungkinannya bergantung pada seberapa dekat kekerabatannya. Dalam hal ini,
jika orangtua dari suami adalah saudara kandung dari orang tua istri,
kemungkinannya tentu lebih besar dibandingkan jika orangtua suami adalah
sekedar saudara jauh dari orang tua istri. Anak yang dihasilkan dari perkawinan
(sedarah maupun tidak) dimana kedua orang tuanya adalah pembawa suatu
penyakit genetik autosomal recessive dapat menderita penyakit tersebut (dengan
kemungkinan 25%), dapat menjadi carrier juga (dengan kemungkinan 50%) atau
sama sekali sehat dan bukan carrier (dengan kemungkinan 25%). Pasal 8 juga
menegaskan adanya larangan-larangan perkawinan sedarah yang dimana
didalamnya telah mengatur antar hubungan perkawinan yang sedarah maupun
tidak sedarah sehingga secara tidak langsung undang-undang menyadari bahwa
perkawinan sedarah bukanlah hal baik dilakukan karena memiliki resiko secara
legalitas, biologis maupun sosiologis.
Simpulan:
Hukum nasional yang mengatur tentang perkawinan diatur dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 8 menegaskan adanya larangan perkawinan
sedarah. Namun, dalam Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945. Sedangkan dalam hukum adat Bali (Awig-Awig Desa Adat
Tangguwisia) tidak ada larangan secara tertulis mengenai perkawinan sedarah
(permisanan) dikarenakan hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat
untuk mempertahankan garis keturunan Wangsa Brahmana akan tetapi adapun
risiko yang dihadapi oleh pasangan yang melakukan perkawinan sedarah baik
secara hukum, biologis maupun sosiologis.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
Buku
Creswell, John W. (2015). Penelitian Kualitatif Dan Desai Riset. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Hermanto, Winarno. (2011). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Hertati,
dkk. (2017). Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Tanggerang selatan: Universitas
Terbuka
Skripsi/Tesis
Libertus, Yosef Ricorpus. (2020). Praktik Perkawinan Sedarah (Incest) Dalam
Tradisi Lokal Masyarakat LIO (Studi Etnografis Pada Masyarakat Di Desa
Paga, Kecamatan Paga, Kab. Sikka) Dikutip 28 Oktober 2021. JURNAL
TESIS II gbungn jadi.pdf (umm.ac.id)
Putra, Made Dwi Satya Dharma. (2016). Tinjauan Yuridis Pernikahan Sedarah
(Permisanan) Pada Masyarakat Adat Bali Desa Bondalem Dikaitkan Dengan
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dikutip 28 Oktober 2021.
https://repository.unpad.ac.id/frontdoor/index/index/year/2020/docId/1990
Internet
Kurniawan, Aris. (2019, 4 Januari). Pengertian Budaya Menurut Para Ahli Beserta
Definisi Dan Unsurnya. Dikutip. 27 Oktober 2021.
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-budaya-menurut-para-ahli-
beserta_definisi-dan-unsurnya/
Pratama S, Ray. (2012, 12 february). Pengertian Perkawinan. Dikutib 28 Oktober
2021.http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-perkawinan.html
Sari, Rofiana Fika. (2018, 15 oktober). Pengertian pernikahan. Dikutib 29 Oktober
2021.http://www.idpengertian.com./pengertian-pernikahan
Sukma N. A, Prestia. (2015, 3 desember). Teori Fungsionalisme Malinowski. Dikutib
29 Oktober 2021. http://blog.unnes.ac.id/prestia/2015/12/03/teori-
fungsionalisme_malinowski/

Anda mungkin juga menyukai