Anda di halaman 1dari 27

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


TERKAIT
Dalam pembentukan Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan di era
new normal perlu diperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu
peraturan perundang-undangan yang setara dengan undang-undang; peraturan
pemerintah; peraturan menteri; dan peraturan daerah; yang memiliki hubungan
dengan Raperda. Dengan menganalisis hubungan tersebut dapat dirancang pasal-
pasal di dalam Raperda.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan pembentukan
Raperda tentang Penanggulangan Kemiskinan, antara lain: (a) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; (b) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (c)Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; (d) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (e) Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Upaya Penanggulangan
Fakir Miskin; (f) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial; dan (g) Peraturan Presiden Nomor 15
Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
Pembentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 didasarkan pada
kerangka pemikiran bahwa pembangunan kesejahteraan sosial merupakan
perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila kelima
Pancasila menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini
menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas
kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial
dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan
pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara
layak dan bermartabat.
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir
miskin dan anak terlantar. Bagi fakir miskin dan anak terlantar seperti yang
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sebagai
perwujudan pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak
atas kebutuhan dasar warga negara yang miskin dan tidak mampu.
Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diperlukan peran masyarakat
yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan,
organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi
profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, maupun lembaga
kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang
terarah, terpadu, dan berkelanjutan.
Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara, serta untuk
menghadapi tantangan dan perkembangan kesejahteraan sosial di tingkat
lokal, nasional, dan global, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial sebagai penggantian Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial, yang diantaranya mengatur ketentuan mengenai
penanggulangan kemiskinan.
Terkait dengan penyelesaian Penanggulangan Kemiskinan, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2003 yang mengatur sebagai berikut :
1. Pasal 5 :
(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada :
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok; dan/atau
d. masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang
tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial:
a. kemiskinan;
b. ketelantaran;
c. kecacatan;
d. keterpencilan;
e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
f. korban bencana; dan/atau
g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
2. Pasal 19 :
Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan
yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang
tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan.
3. Pasal 20 :
Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk:
a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta
kemampuan berusaha masyarakat miskin;
b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak dasar;
c. mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang
memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan
seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf
hidup secara berkelanjutan; dan
d. memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan.
4. Pasal 21 :
Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk:
a. penyuluhan dan bimbingan sosial;
b. pelayanan sosial;
c. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;
d. penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar;
e. penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar;
f. penyediaan akses pelayanan perumahan dan permukiman;
dan/atau
g. penyediaan akses pelatihan, modal usaha, dan pemasaran hasil
usaha.
5. Pasal 24 :
(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab:
a. Pemerintah; dan
b. Pemerintah daerah.
(2) Tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh
Menteri.
(3) Tanggungjawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan:
a. untuk tingkatprovinsi oleh gubernur;
b. untuk tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota
6. Pasal 29 :
Tanggung jawab pemerintah kabupaten kota dalam
menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:
a. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah;
b. melaksanakan penyelenggaran kesejahteraan sosial di
wilayahnya/bersifat lokasl, termasuk tugas pembantuan;
c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada
masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
d. memelihara taman makam pahlawan; dan
e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
7. Pasal 30 :
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang
bersifat lokal selaras dengan kebijakan pembangunan nasional
dan provinsi di bidang kesejahteraan sosial;
b. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di wilayahnya;
c. pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan
penyaluran bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya;
d. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
e. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
8. Pasal 31 :
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan koordinasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan pelaksanaan dari
perintah Pasal 22A UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih
lanjut dengan undang-undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan
Undang-Undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diperluas tidak
hanya mengatur pembentukan undang-undang, tetapi mencakup pula
peraturan perundang-undangan lainnya, di luar UUD 1945 dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pembentukan dan penetapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
dilakukan berdasakan didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam
bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan
harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.
Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan
semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka
mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan
terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu antara lain:
(a) materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang
menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu
kepastian hukum; teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; (c)
terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau
kebutuhan hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
(d) penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan
sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang
ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu antara
lain :
a) penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah
satu jenis peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan
setelah UUD;
b) perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan yang
tidak hanya untuk program legislasi nasional dan program legislasi
daerah, melainkan juga perencanaan peraturan pemerintah, peraturan
presiden, dan peraturan perundang-undangan lainnya;
c) pengaturan mekanisme pembahasan rancangan undang-undang tentang
pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang- undang;
d) pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam
penyusunan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan
daerah provinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota;
e) pengaturan mengenai keikutsertaan perancang peraturan perundang-
undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan pembentukan
peraturan perundang-undangan;
f) penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik.
Secara umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat materi-
materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas
pembentukan peraturan perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi
muatan peraturan perundang-undangan; perencanaan peraturan perundang-
undangan; penyusunan peraturan perundang-undangan; teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan rancangan
undang-undang; pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah
provinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota; pengundangan
peraturan perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain
yang memuat mengenai pembentukan keputusan presiden dan lembaga
negara serta pemerintah lainnya.
Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan
penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada
dasarnya harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau
kondisi serta jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang
pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, seperti pembahasan rancangan peraturan pemerintah, rancangan
peraturan presiden, atau pembahasan rancangan peraturan perundang-
undangan lainnya sesuai di luar undang-undang dan peraturan daerah.
Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya.
Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
tersebut dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman
yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan
peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan di
daerah.
Berkenaan dengan kebijakan penanggulangan kemisikinan, dalam
ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, diatur bahwa :
“Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.”
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa, Kota Sukabumi
dapat membentuk Peraturan Daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang hierakinya lebih tinggi.

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir


Miskin
Kerangka dasar penyusunan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011
adalah tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darahIndonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Negara berkewajiban
mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kondisi kefakiran dan
kemiskinan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Kewajiban negara dalam membebaskan dari kondisi tersebut dilakukan
melalui upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas
kebutuhan dasar. Upaya tersebut harus dilakukan oleh negara sebagai prioritas
utama dalam pembangunan nasional termasuk untuk mensejahterakan fakir
miskin.
Landasan hukum bagi upaya mensejahterakan fakir miskin sampai saat ini
masih bersifat parsial yang tersebar di berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan, sehingga diperlukan adanya undang-undang yang secara
khusus mengatur fakir miskin.
Dengan adanya undang-undang yang secara khusus mengatur fakir miskin,
diharapkan memberikan pengaturan yang bersifat komprehensif dalam upaya
mensejahterakan fakir miskin yang lebih terencana, terarah, dan berkelanjutan.
Adapun materi pokok yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2011, antara lain hak dan tanggung jawab, penanganan fakir miskin,
tugas dan wewenang, sumber daya, koordinasi dan pengawasan, peran serta
masyarakat, dan ketentuan pidana. undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan keadilan sosial bagi warga negara untuk dapat hidup secara layak
dan bermartabat.
Adapun klausul yang mengatur ketentuan mengenai penanggulangan
kemiskinan, sebagai berikut :
Pasal 1 :
(1) : Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber
mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi
tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak
bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
(2) Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan
pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan
dasar setiap warga negara.
(3) Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
Pasal 3 :
Fakir miskin berhak:
a. memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan;
b. memperoleh pelayanan kesehatan;
c. memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya;
d. mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun,
mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai
dengan karakter budayanya;
e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun,
mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya;
f. memperoleh derajat kehidupan yang layak;
g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat;
h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan
i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Pasal 4 :
Fakir miskin bertanggung jawab:
a. menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat merusak
kesehatan, kehidupan sosial, dan ekonominya;
b. meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam bermasyarakat;
c. memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf
kesejahteraan serta berpartisipasi dalam upaya penanganan
kemiskinan; dan
d. berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan bagi yang
mempunyai potensi.
Pasal 5 :
Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan
berkelanjutan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Pasal 6 :
Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok; dan/atau
d. masyarakat.
Pasal 7 :
(1). Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:
a. pengembangan potensi diri;
b. bantuan pangan dan sandang;
c. penyediaan pelayanan perumahan;
d. penyediaan pelayanan kesehatan;
e. penyediaan pelayanan pendidikan;
f. penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;
g. bantuan hukum; dan/atau
h. pelayanan sosial.
(2). Penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. pemberdayaan kelembagaan masyarakat;
b. peningkatan kapasitas fakir miskin untuk mengembangkan
kemampuan dasar dan kemampuan berusaha;
c. jaminan dan perlindungan sosial untuk memberikan rasa aman bagi
fakir miskin;
d. kemitraan dan kerja sama antarpemangku kepentingan; dan/atau
e. koordinasi antara Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Pasal 8 :
Ayat (1):
Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk
melaksanakan penanganan fakir miskin.
Ayat (3):
Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi
lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan
statistik untuk melakukan pendataan.
Ayat (4):
Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan
yang dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kegiatan statistik sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
Ayat (7):
Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilaksanakan oleh potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang ada di
kecamatan, kelurahan atau desa.
Ayat (8):
Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dilaporkan kepada Bupati/Walikota.
Ayat (9):
Bupati/Walikota menyampaikan hasil verifikasi dan validasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada gubernur untuk diteruskan
kepada Menteri.

Pasal 9 :
Ayat (3) :
Lurah atau Kepala Desa atau nama lain yang sejenis wajib
menyampaikan pendaftaran atau perubahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) kepada Bupati/Walikota melalui Camat.
Ayat (4):
Bupati/Walikota menyampaikan pendaftaran atau perubahan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Gubernur untuk diteruskan
kepada Menteri.
Ayat (5):
Dalam hal diperlukan, Bupati/Walikota dapat melakukan verifikasi
dan validasi terhadap pendaftaran danperubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).

Pasal 11 :
(1) Data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi yang
disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (9) dan Pasal 9 ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar
bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan
dan/atau pemberdayaan.
(3) Setiap orang dilarang memalsukan data fakir miskin baik yang sudah
diverifikasi dan divalidasi maupun yang telah ditetapkan oleh
Menteri.

Pasal 12 :
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
mengembangkan potensi diri bagi perseorangan, keluarga, kelompok,
dan/atau masyarakat.
(2) Pengembangan potensi diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui bimbinganmental, spiritual, dan keterampilan.
Pasal 13 :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan
bantuan pangan dan sandang yang layak.

Pasal 14 :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan
pelayanan perumahan.

Pasal 15 :
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
menyelenggarakan penyediaan pelayanan kesehatan, baik dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
(2) Pembiayaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui sistem jaminan sosial
nasional.
Pasal 16 :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab memberi
bantuan biaya pendidikan atau beasiswa.
Pasal 17 :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan
akses kesempatan kerja dan berusaha, yang dilakukan melalui upaya:
a. penyediaan informasi lapangan kerja;
b. pemberian fasilitas pelatihan dan keterampilan;
c. peningkatan akses terhadap pengembangan usaha mikro; dan/atau
d. penyediaan fasilitas bantuan permodalan.

Pasal 18 :
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
menyelenggarakan pelayanan sosial.
(2) Pelayanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. meningkatkan fungsi sosial, aksesibilitas terhadap pelayanan
sosial dasar, dan kualitas hidup;
b. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam
pelayanan kesejahteraan sosial secara melembaga dan
berkelanjutan;
c. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah
dan menangani masalah kemiskinan; dan
d. meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan
sosial.
Pasal 27
Penyaluran bantuan kepada fakir miskin diselenggarakan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara komprehensif dan terkoordinasi.
Pasal 31:
Ayat (1) :
Dalam penyelenggaraan penanganan fakir miskin, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota bertugas:
a. memfasilitasi, mengoordinasikan, dan menyosialisasikan
pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program penyelenggaraan
penanganan kemiskinan, dengan memperhatikan kebijakan
provinsi dan kebijakan nasional;
b. melaksanakan pemberdayaan pemangku kepentingan dalam
penanganan fakir miskin pada tingkat kabupaten/kota;
c. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kebijakan,
strategi, serta program dalam penanganan fakir miskin pada
tingkat kabupaten/kota;
d. mengevaluasi kebijakan, strategi, dan program pada tingkat
kabupaten/kota;
e. menyediakan sarana dan prasarana bagi penanganan fakir miskin;
f. mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk menyelenggarakan
penanganan fakir miskin.
Ayat (2) :
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang menetapkan kebijakan,
strategi, dan program tingkat Kabupaten/Kota dalam bentuk rencana
penanganan fakir miskin di daerah dengan berpedoman pada kebijakan,
strategi, dan program nasional.
Pemerintah daerah berperan penting dalam menangani kemiskinan
di era new normal dengan program-programnya yang bertujuan untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial dalam memenuhi kebutuhan pokok.
4. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut dari Alinea
Ketiga dan Keempat Pembukaan UUD Tahun 1945. Alinea Ketiga memuat
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan Alinea Keempat
memuat pernyataan bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama
kali dibentuk adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional
yang bertanggungjawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah
melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut
memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Konsekuensi
logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya Pemerintah Negara
Indonesia sebagai Pemerintah Nasional untuk pertama kalinya dan kemudian
pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan
ayat (5) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan
menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan. Pemberian otonomi kepada
Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.
Di samping itu melalui otonomi, dalam lingkungan strategis globalisasi,
Daerah diharapkan mampu meningkatkan dayasaing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem NKRI.
Pemberian otonomi kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip
negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada
pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan
pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada
Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan Daerah akan
tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu pemerintahan Daerah pada
negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan Nasional.
Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah
merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah
terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, dayasaing,
dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat
lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara
keseluruhan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
otonomi berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan
kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan
hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang
yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan
warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus
memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya, Daerah ketika membentuk
kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya
hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan
tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap
memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan
pemerintahan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Daerah dan
DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan Pemerintahan yang
diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan
Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir
pemerintahan ada di tangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan
yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional, maka
Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh Menteri
Negara dan setiap Menteri bertanggungjawab atas Urusan Pemerintahan
tertentu dalam pemerintahan. Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
tanggung jawab Menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke
Daerah. Konsekuensi Menteri sebagai Pembantu Presiden adalah kewajiban
Menteri atas nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
agar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian
berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk
dijadikan pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah dan menjadi pedoman bagi
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan. Presiden melimpahkan kewenangan kepada
Menteri sebagai koordinator pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian melakukan pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis,
sedangkan Kementerian melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang
bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan
harmonisasi antar Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah secara keseluruhan.
Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di Pusat yang terdiri atas
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan pemerintahan
Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala
Daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah
yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan Kepala Daerah
berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda.
DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan,
sedangkan Kepala Daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan
kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan Kepala Daerah dibantu oleh
Perangkat Daerah.
Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan Daerah, maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban,
tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-
undang namun cukup diatur dalam undang-undang ini secara keseluruhan
guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi.
Sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, terdapat Urusan Pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan
istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan
Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah
Provinsi, dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi
dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar dan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak terkait pelayanan dasar. Untuk Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar ditentukan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional
masyarakat.
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Daerah Provinsi
dengan Daerah Kabupaten/Kota walaupun Urusan Pemerintahan sama,
perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan
Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang
sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah
Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaannya
dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah, Kepala Daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan
Daerah membuat Perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam
menyelenggarakan Otonomi Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi
masyarakat serta kekhasan dari Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh
Daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan.
Walaupun demikian Perda yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih
tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.
Disamping itu Perda sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-
undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana
diatur dalam kaidah penyusunan Perda.
Daerah melaksanakan Otonomi Daerah yang berasal dari kewenangan
Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat tanggung
jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka
konsekuensi logisnya kewenangan untuk membatalkan Perda ada di tangan
Presiden. Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pembatalan
Perda, maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengajukan keberatan
pembatalan Perda Kabupaten/Kotayang dilakukan Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat kepada Menteri. Dari sisi penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, keputusan yang diambil oleh Menteri bersifat final.
Pada dasarnya perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
ditujukan untuk mendorong lebih terciptanya dayaguna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan Daerah dalam menyejahterakan masyarakat,
baik melalui peningkatan pelayanan publik maupun melalui peningkatan
dayasaing Daerah. Perubahan ini bertujuan untuk memacu sinergi dalam
berbagai aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah dengan
Pemerintah Pusat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 melakukan pengaturan yang
bersifat afirmatif yang dimulai dari pemetaan Urusan Pemerintahan yang akan
menjadi prioritas Daerah dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya.
Melalui pemetaan tersebut akan tercipta sinergi Kementerian/Lembaga
Pemerintah Nonkementerian yang Urusan Pemerintahannya
didesentralisasikan ke Daerah. Sinergi Urusan Pemerintahan akan melahirkan
sinergi kelembagaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah karena setiap
Kementerian/Lembaga Pemerintah nonkementerian akan tahu siapa pemangku
kepentingan (stakeholder) dari Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian tersebut di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota secara
nasional. Sinergi Urusan Pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan
menciptakan sinergi dalam perencanaan pembangunan antara
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian dengan Daerah untuk
mencapai target Nasional. Manfaat lanjutannya adalah akan tercipta
penyaluran bantuan yang terarah dari Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian terhadap Daerah-Daerah yang menjadi stakeholder utamanya
untuk akselerasi realisasi target Nasional tersebut.
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya
dukungan personel yang memadai, baik dalam jumlah maupun standar
kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah. Dengan cara tersebut, Pemerintah Daerah akan
mempunyai birokrasi karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan
kompetensinya.
Langkah berikutnya adalah adanya jaminan pelayanan publik yang
disediakan Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah
Daerah wajib membuat “Maklumat Pelayanan Publik”, sehingga masyarakat
di Daerah tersebut tahu jenis pelayanan publik yang disediakan, bagaimana
mendapatkan aksesnya, serta kejelasan dalam prosedur dan biaya untuk
memperoleh pelayanan publik tersebut serta adanya saluran keluhan manakala
pelayanan publik yang didapat tidak sesuai dengan standar yang telah
ditentukan.
Langkah akhir untuk memperkuat Otonomi Daerah adalah adanya
mekanisme pembinaan, pengawasan, pemberdayaan, serta sanksi yang jelas
dan tegas. Adanya pembinaan dan pengawasan serta sanksi yang tegas dan
jelas tersebut memerlukan adanya kejelasan tugas pembinaan, dan
pengawasan dari Kementerian yang melakukan pembinaan dan pengawasan
umum serta Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang
melaksanakan pembinaan teknis. Sinergi antara pembinaan dan pengawasan
umum dengan pembinaan dan pengawasan teknis, akan memberdayakan
Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah.
Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota,
diperlukan peran dan kewenangan yang jelas dan tegas dari Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah Pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota.
Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang
berhubungan dengan Raperda tentang penanggulangan kemiskinan, sebagai
berikut :

1. Pasal 12 ayat (1) :


Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
sosial
2. Pasal 236 :
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama kepala Daerah
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;
dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda
dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, huruf F Pembagian
Urusan Pemerintahan Bidang Sosial, Sub Bidang Perlindungan dan
Jaminan Sosial, yaitu:
a. Pemeliharaan anak-anak terlantar.
b. Pendataan dan Pengelolaan data fakir miskin cakupan Daerah
kabupaten/kota.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial muncul untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 8, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 35 ayat (3), Pasal
45, dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
2012 ini mengatur bahwa Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
ditujukan kepada perseorangan; keluarga; kelompok; dan/atau
masyarakat. Adapun Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak
layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial:
a. Kemiskinan,
b. Ketelantaran,
c. Kecacatan,
d. keterpencilan,
e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku,
f. korban bencana; dan/atau
g. korban tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
Pasal 3 mengatur bahwa Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial meliputi: Rehabilitasi Sosial; Jaminan Sosial; Pemberdayaan
Sosial; dan Perlindungan Sosial. Pertama, bahwa berdasaran Pasal 4,
Rehabilitasi Sosial Jaminan Sosial dimaksudkan untuk memulihkan
dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami
disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar. Kedua, berdasarkan Pasal 10 Jaminan sosial dimaksudkan
untuk menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia
terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental,
eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah
ketidakmampuan sosial ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi
serta menghargai pejuang, perintis kemerdekaan, dan keluarga
pahlawan atas jasa-jasanya. Ketiga, berdasarkan Pasal 15
pemberdayaan sosial dimaksudkan untuk memberdayakan seseorang,
keluarga, kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah
Kesejahteraan Sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara
mandiri serta meningkatkan peran serta lembaga dan/atau
perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Keempat berdasarkan Pasal 28
Perlindungan Sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani
risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga,
kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat
dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Berdasarkan hal di
atas, kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 dapat
membantu Pemerintah Daerah untuk merinci lebih detail terkait
dengan kewenangan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
termasuk dalam hal penanggulangan kemiskinan yang nantinya akan
dituangkan melalui Perda.
Adapun ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39
Tahun 2012 yang berhubungan dengan Raperda tentang
penanggulangan kemiskinan, sebagai berikut terdapapat dalam Pasal
51, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk berperan dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial.
(2) Peran masyarakat dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. organisasi keagamaan;
d. organisasi sosial kemasyarakatan;
e. lembaga swadaya masyarakat;
f. organisasi profesi;
g. badan usaha;
h. Lembaga Kesejahteran Sosial; dan
i. Lembaga Kesejahteraan Sosial Asing.
(3) Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
untuk mendukung keberhasilan Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial.
Strategi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dengan
memberikan stimulus kepada masyarakat ternyata belum sepenuhnya
efektif di masa era new normal. Ada beberapa hal yang harus mendapat
perhatian adalah pertama, berkaitan dengan program jaring pengaman
sosial melalui skema bantuan, baik berupa bahan makanan, subsidi,
maupun bantuan langsung tunai. Kedua memperkuat peran Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan terutama dalam
mengoordinasikan lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan.
Sehingga pemerintah bisa mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 39
Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 166 Tahun 2014 Tentang


Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 166 Tahun 2014
Tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan muncul
didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, bahwa kemiskinan
merupakan permasalahan bangsa yang mendesak dan memerlukan
langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu dan
menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak
dasar warga negara secara layak melalui pembangunan yang inklusif,
berkeadilan dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang
bermartabat. Kedua, bahwa dalam upaya meningkatkan efektivitas dan
efisiensi program percepatan penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan
upaya-upaya penajaman program perlindungan sosial.
Pasal 2 mengatur bahwa untuk mempercepat program
penanggulangan kemiskinan, Pemerintah menetapkan program
perlindungan sosial yang meliputi: a. Program Simpanan Keluarga
Sejahtera; b. Program Indonesia Pintar; dan c. Program Indonesia Sehat.
Adapun berdasarkan Pasal 6 diatur bahwa pendanaan bagi pelaksanaan
program percepatan penanggulangan kemiskinan bersumber dari APBN,
APBD, dan sumber pendanaan lain yang tidak mengikat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut,
Pemerintah Daerah ikut serta dalam program percepatan penanggulangan
kemiskinan.
Kewenangan-kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang di
atas, wajib juga dikaitkan dengan program percepatan penanggulangan
kemiskinan seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 166
Tahun 2014. Peraturan Presiden tersebut juga diamanatkan untuk
membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Hal ini menjadi
dasar penggerak dalam Perancangan undang-undang terbaru dalam
menangani Kemiskinan di era new normal.
Berangkat berbagai peraturan perundang-undangan di atas, Peraturan
Daerah tentang Penanggulangan Kemiskinan era new normal diharapkan
menjadi solusi serta dapat mengatasi masalah kemiskinan yang ada di
Kabupaten Buleleng. Beberapa masalah yang harus dituntaskan ialah
terkait batasan kewenangan Kabupaten alam menanggulangi kemiskinan,
pendataan warga miskin secara tepat dan akurat, penentuan terkait
indikator kemiskinan, skala prioritas penanggulangan kemiskinan, dan
strategi dan program penanggulangan kemiskinan.
Selain itu, Perda Penanggulangan Kemiskinan juga harus mampu
menjawab terkait Koordinasi terutama Koordinasi dengan Pemerintah
Provinsi serta memperjelas adanya lembaga koordinasi; Pembinaan Dan
Pengawasan; Pembiayaan; dan Peranserta Masyarakat dalam
penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu,langkah-langka konkrit yang
harus segera dilakukan yaitu:
1. Penyepakatan data sasaran dan sumber data berikut sistem
verifikasi dan validasi secara berjenjang dengan Standar
Operasional Prosedur (SOP) Data Kemiskinan di Kabupaten
Buleleng,
2. Kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Bali dengan Kabupaten
Buleleng dalam penanggulangan kemiskinan yang mencakup
target sasaran, target program/kegiatan, dan pembiayaan,
3. Memperkuat peran Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan terutama dalam mengoordinasikan lintas sektor dan
lintas pemangku kepentingan.
4. Meningkatkan koordinasi, integrasi, serta sinergi antar daerah
baik tingkat Provinsi maupun kabupaten dengan mengaktifkan
lembaga penanggulangan kemiskinan di era new normal dengan
memiliki tenaga penuh waktu yang berkompeten dan profesional
dan
5. Pelibatan stakeholders yaitu masyarakat umum dalam percepatan
penanggulangan kemiskinan secara terimtegrasi yang tidak bisa
teranggarkan melalui APBD.

Anda mungkin juga menyukai