Anda di halaman 1dari 35

UU 6 tahun 2014 tentang desa 

ini mendefinisikan bahwa desa adalah


kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam ...

Adapun Syarat-syarat Pemekaran Desa Menurut UU Desa Nomor


6 dalam Pembentukan Desa, yaitu : Batas usia Desa induk paling sedikit 5
(lima) tahun terhitung sejak pembentukan; Jumlah penduduk, (harus
sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam pasal 8 UU Desa);

Penyelenggaraan Pemerintahan desa berdasarkan asas : a. kepastian


hukum; b. tertib penyelenggaraan pemerintahan; c. tertib kepentingan
umum; d. keterbukaan; e. proporsionalitas; f. profesionalitas; g.
akuntabilitas; h. efektivitas dan efisiensi; i. kearifan lokal; j. keberagaman;
dan k. partisipatif.

UU 6 tahun 2014 tentang Desa lebih dikenal dengan UU Desa. Dalam UU


Desa disebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain telah
ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, oleh sebab
itu, keberadaan Desa wajib tetap diakui dan diberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Latar Belakang
Latar belakang yang menjadi pertimbangan pengesahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah:

1.
a. bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia,
Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu
dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri,
dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang
kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan
menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera;
c. bahwa Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan
undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-
Undang tentang Desa;

Tujuan
Tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini
merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:

1.
a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang
sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa
dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya
masyarakat Desa;
d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat
Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna
kesejahteraan bersama;
e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan
efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa
guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna
mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara
kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan
i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan

Asas Pengaturan
Asas pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah:
1.
a. rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
b. subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan
pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan
masyarakat Desa;
c. keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap
sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan
tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara;
d. kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan
bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara
kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa
dalam membangun Desa;
e. kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong
untuk membangun Desa;
f. kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa
sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat
Desa;
g. musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi
dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
h. demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa
dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh
masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa
serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
i. kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh
Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan
suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan
kemampuan sendiri;
j. partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
k. kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
l. pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan,
program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah
dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
m. keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara
terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam
merencanakan dan melaksanakan program pembangunan
Desa. 
Kewenangan Desa meliputi kewengan di bidang penyelanggaran
pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa

bahwa berdasarkan
ketentuan Pasal 72
ayat (1) huruf b
dan ayat (2)
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa,
salah satu sumber
pendapatan Desa
berasal dari alokasi
Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Negara;
    b. bahwa alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
kepada Desa perlu dilaksanakan secara transparan dan
akuntabel dengan memperhatikan kemampuan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
    c. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum,
pengalokasian Dana Desa yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara perlu diatur dalam
peraturan pemerintah;
    d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Dana Desa yang Bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
      
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5495);
 
MEMUTUSKAN:
    
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DANA DESA YANG
BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
NEGARA.
 
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
    1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    2. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi
Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat.
    3. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    4. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa.
    5. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya
disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
    7. Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam
rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa
dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana transfer
lainnya.
    8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya
disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama
oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
    9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, yang selanjutnya
disingkat APB Desa, adalah rencana keuangan tahunan
Pemerintahan Desa.
    10. Rekening Kas Umum Negara, yang selanjutnya disingkat
RKUN, adalah rekening tempat penyimpanan uang negara
yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan
negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada
bank sentral.
    11. Rekening Kas Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat
RKUD, adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah
yang ditentukan oleh bupati/walikota untuk menampung
seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh
pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
    12. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, yang selanjutnya
disingkat SiLPA, adalah selisih lebih realisasi penerimaan
dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.
    13. Menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian adalah menteri/pimpinan lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tertentu.
    14. Menteri Keuangan, yang selanjutnya disebut Menteri, adalah
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan negara.
 
Pasal 2
    Dana Desa dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan,
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan serta mengutamakan kepentingan masyarakat
setempat.
 
Pasal 3
    Pemerintah menganggarkan Dana Desa secara nasional dalam
APBN setiap tahun.
 
Pasal 4
    Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 bersumber
dari belanja Pemerintah dengan mengefektifkan program yang
berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
 
Pasal 5
    (1) Dana Desa dialokasikan oleh Pemerintah untuk Desa.
    (2) Pengalokasian Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung berdasarkan jumlah Desa dan dialokasikan
dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
 
Pasal 6
    Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditransfer
melalui APBD kabupaten/kota untuk selanjutnya ditransfer ke
APB Desa.
 
Pasal 7
    (1) Pengelolaan Dana Desa dalam APBD kabupaten/kota
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan
daerah.
    (2) Pengelolaan Dana Desa dalam APB Desa dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di
bidang pengelolaan keuangan Desa.
 
BAB II
PENGANGGARAN

Pasal 8
    (1) Anggaran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
merupakan bagian dari Anggaran Belanja Pusat
nonkementerian/lembaga sebagai pos Cadangan Dana Desa.
    (2) Penyusunan pagu anggaran Cadangan Dana Desa
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penyusunan rencana dana
pengeluaran Bendahara Umum Negara.
    (3) Pagu anggaran Cadangan Dana Desa diajukan oleh
Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan menjadi pagu Dana Desa.
 
Pasal 9
    Pagu anggaran Dana Desa yang telah mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) merupakan bagian dari anggaran Transfer ke Daerah
dan Desa.
 
Pasal 10
    Dalam hal terdapat perubahan APBN, pagu anggaran Dana Desa
yang telah ditetapkan tidak diubah.
 
BAB III
PENGALOKASIAN
 
Bagian Kesatu
Pengalokasian Dana Desa Setiap Kabupaten/Kota

Pasal 11
    (1) Dana Desa setiap kabupaten/kota dialokasikan berdasarkan
perkalian antara jumlah Desa di setiap kabupaten/kota dan
rata-rata Dana Desa setiap provinsi.
    (2) Rata-rata Dana Desa setiap provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dialokasikan berdasarkan jumlah Desa dalam
provinsi yang bersangkutan serta jumlah penduduk
kabupaten/kota, luas wilayah kabupaten/kota, angka
kemiskinan kabupaten/kota, dan tingkat kesulitan geografis
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
    (3) Jumlah penduduk, luas wilayah, dan angka kemiskinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dengan bobot:
     a. 30% (tiga puluh per seratus) untuk jumlah penduduk
kabupaten/kota;
     b. 20% (dua puluh per seratus) untuk luas wilayah
kabupaten/kota; dan
     c. 50% (lima puluh per seratus) untuk angka kemiskinan
kabupaten/kota.
    (4) Tingkat kesulitan geografis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditunjukkan oleh indeks kemahalan konstruksi.
    (5) Indeks kemahalan konstruksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) digunakan sebagai faktor pengali hasil penghitungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (6) Rata-rata Dana Desa setiap provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan cara:
     a. pagu Dana Desa nasional yang ditetapkan dalam APBN x
[(30% x persentase jumlah penduduk kabupaten/kota
terhadap total penduduk nasional) + (20% x persentase
luas wilayah kabupaten/kota terhadap total luas wilayah
nasional) + (50% x persentase jumlah penduduk miskin
kabupaten/kota terhadap total jumlah penduduk miskin
nasional)] untuk mendapatkan Dana Desa setiap
kabupaten/kota;
     b. Dana Desa setiap kabupaten/kota hasil penghitungan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dikalikan indeks
kemahalan konstruksi setiap kabupaten/kota;
     c. hasil penghitungan Dana Desa setiap kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada huruf b dijumlahkan
berdasarkan provinsi; dan
     d. jumlah Dana Desa setiap provinsi sebagaimana dimaksud
pada huruf c dibagi dengan jumlah Desa di setiap provinsi
untuk mendapatkan rata-rata Dana Desa setiap provinsi.
    (7) Data jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan,
dan indeks kemahalan konstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan data yang digunakan
dalam penghitungan Dana Alokasi Umum.
    (8) Besaran Dana Desa setiap kabupaten/kota ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
 
Bagian Kedua
Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa

Pasal 12
    (1) Berdasarkan besaran Dana Desa setiap kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (8),
bupati/walikota menetapkan besaran Dana Desa untuk
setiap Desa di wilayahnya.
    (2) Besaran Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah penduduk Desa,
luas wilayah Desa, angka kemiskinan Desa, dan tingkat
kesultan geografis.
    (3) Jumlah penduduk Desa, luas wilayah Desa, dan angka
kemiskinan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dihitung dengan bobot:
     a. 30% (tiga puluh per seratus) untuk jumlah penduduk
Desa;
     b. 20% (dua puluh per seratus) untuk luas wilayah Desa;
dan
     c. 50% (lima puluh per seratus) untuk angka kemiskinan
Desa.
    (4) Tingkat kesulitan geografis setiap Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai faktor, pengali
hasil penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5) Besaran Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan cara:
     a. Dana Desa untuk suatu Desa = Pagu Dana Desa
kabupaten/kota x [(30% x persentase jumlah penduduk
Desa yang bersangkutan terhadap total penduduk Desa di
kabupaten/kota yang bersangkutan) + (20% x persentase
luas wilayah Desa yang bersangkutan terhadap total luas
wilayah Desa di kabupaten/kota yang bersangkutan) +
(50% x persentase rumah tangga pemegang Kartu
Perlindungan Sosial terhadap total jumlah rumah tangga
Desa di kabupaten/kota yang bersangkutan)]; dan
     b. hasil penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf a
disesuaikan dengan tingkat kesulitan geografis setiap
Desa.
    (6) Tingkat kesulitan geografis sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditentukan oleh faktor yang meliputi:
     a. ketersediaan pelayanan dasar;
     b. kondisi infrastruktur;
     c. transportasi; dan
     d. komunikasi Desa ke kabupaten/kota.
    (7) Data jumlah penduduk Desa, luas wilayah Desa, angka
kemiskinan Desa, dan tingkat kesulitan geografis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Badan
Pusat Statistik.
    (8) Tata cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa
setiap Desa ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
    (9) Bupati/walikota menyampaikan peraturan bupati/walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada Menteri dengan
tembusan gubernur.
 
Pasal 13
    Dalam hal terdapat pembentukan atau penetapan Desa baru
yang mengakibatkan bertambahnya jumlah Desa, pengalokasian
Dana Desa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
    a. pada tahun anggaran berikutnya apabila Desa tersebut
ditetapkan sebelum tanggal 30 Juni tahun anggaran
berjalan; atau
    b. pada tahun kedua setelah penetapan Desa apabila Desa
tersebut ditetapkan setelah tanggal 30 Juni tahun anggaran
berjalan.
 
Pasal 14
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian Dana
Desa diatur dengan Peraturan Menteri.
 
BAB IV
PENYALURAN

Pasal 15
    (1) Dana Desa disalurkan oleh Pemerintah kepada
kabupaten/kota.
    (2) Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke
RKUD.
    (3) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disalurkan
oleh kabupaten/kota kepada Desa.
    (4) Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari RKUD ke
rekening kas Desa.
 
Pasal 16
    (1) Penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 dilakukan secara bertahap pada tahun anggaran berjalan
dengan ketentuan:
     a. tahap I pada bulan April sebesar 40% (empat pufuh per
seratus);
     b. tahap II pada bulan Agustus sebesar 40o/o (empat puluh
per seratus); dan
     c. tahap III pada bulan November sebesar 20% (dua puluh
per seratus).
    (2) Penyaluran Dana Desa setiap tahap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (2) dilakukan paling lambat pada
minggu kedua.
    (3) Penyaluran Dana Desa setiap tahap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4) dilakukan paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja setelah diterima di kas Daerah.
 
Pasal 17
    (1) Penyaluran Dana Desa dari RKUN ke RKUD dilakukan
dengan syarat:
     a. peraturan bupatifwalikota mengenai tata cara pembagian
dan penetapan besaran Dana Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (8) telah disampaikan
kepada Menteri; dan
     b. APBD kabupaten/kota telah ditetapkan.
    (2) Penyaluran Dana Desa dari RKUD ke rekening kas Desa
dilakukan setelah APB Desa ditetapkan.
    (3) Dalam hal APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b belum ditetapkan, penyaluran Dana Desa dilakukan
setelah ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
 
Pasal 18
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran Dana
Desa diatur dengan Peraturan Menteri.
 
BAB V
PENGGUNAAN

Pasal 19
    (1) Dana Desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat,
dan kemasyarakatan.
    (2) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat.
 
Pasal 20
    Penggunaan Dana Desa mengacu pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa.
 
Pasal 21
    (1) Menteri yang menangani Desa menetapkan prioritas
penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) paling lambat 2 (dua) bulan sebelum dimulainya
tahun anggaran.
    (2) Penetapan prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan
nasional, Menteri, dan menteri teknis/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian.
 
Pasal 22
    (1) Menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian membuat pedoman umum kegiatan yang
didanai dari Dana Desa dengan mengacu pada prioritas
penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1).
    (2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling lambat 2 (dua) bulan setelah ditetapkannya prioritas
penggunaan Dana Desa.
    (3) Bupati/walikota dapat membuat pedoman teknis kegiatan
yang didanai dari Dana Desa sesuai dengan pedoman umum
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
 
Pasal 23
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan Dana
Desa diatur dengan Peraturan Menteri.
 
BAB VI
PELAPORAN

Pasal 24
    (1) Kepala Desa  menyampaikan laporan realisasi penggunaan
Dana Desa kepada bupati/walikota setiap semester.
    (2) Penyampaian laporan realisasi penggunaan Dana Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan:
     a. semester I paling lambat minggu keempat bulan Juli
tahun anggaran berjalan; dan
     b. semester II paling lambat minggu keempat bulan Januari
tahun anggaran berikutnya.
    (3) Bupati/walikota menyampaikan laporan realisasi penyaluran
dan konsolidasi penggunaan Dana Desa kepada Menteri
dengan tembusan menteri yang menangani Desa, menteri
teknis/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
terkait, dan gubernur paling lambat minggu keempat bulan
Maret tahun anggaran berikutnya.
    (4) Penyampaian laporan konsolidasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan setiap tahun.
 
Pasal 25
    (1) Dalam hal kepala Desa tidak atau terlambat menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2),
bupati/walikota dapat menunda penyaluran Dana Desa
sampai dengan disampaikannya laporan realisasi
penggunaan Dana Desa.
    (2) Dalam hal bupati/walikota tidak atau terlambat
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (3), Menteri dapat menunda penyaluran Dana Desa
sampai dengan disampaikannya laporan konsolidasi realisasi
penyaluran dan penggunaan Dana. Desa tahun anggaran
sebelumnya.
 
BAB VII
PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Pasal 26
    (1) Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi atas
pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan Dana Desa.
    (2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap:
     a. penerbitan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara
pembagian dan penetapan besaran Dana Desa;
     b. penyaluran Dana Desa dari RKUD ke rekening kas Desa;
     c. penyampaian laporan realisasi; dan
     d. SiLPA Dana Desa.
    (3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap:
     a. penghitungan pembagian besaran Dana Desa setiap Desa
oleh kabupaten/kota; dan
     b. realisasi penggunaan Dana Desa.
    (4) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi dasar penyempurnaan kebijakan dan
perbaikan pengelolaan Dana Desa.
 
Pasal 27
    (1) Dalam hal terdapat SiLPA Dana Desa secara tidak wajar,
bupati/walikota memberikan sanksi administratif kepada
Desa yang bersangkutan berupa pengurangan Dana Desa
sebesar SiLPA.
    (2) SiLPA Dana Desa secara tidak wajar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terjadi karena:
     a. penggunaan Dana Desa tidak sesuai dengan prioritas
penggunaan Dana Desa, pedoman umum, atau pedoman
teknis kegiatan; atau
     b. penyimpanan uang dalam bentuk deposito lebih dari 2
(dua) bulan.
    (3) Pengurangan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi dasar pengurangan Dana Desa untuk
kabupaten/kota tahun anggaran berikutnya.
    (4) Ketentuan mengenai pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan bupati/walikota.
 
Pasal 28
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan dan
evaluasi Dana Desa diatur dengan Peraturan Menteri.
 
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 29
    (1) Pagu indikatif Tahun Anggaran 2015 yang telah disampaikan
oleh Menteri kepada menteri teknis/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian sebelum Peraturan Pemerintah
ini diundangkan tetap menjadi dasar pengusulan kebutuhan
anggaran program berbasis Desa Tahun Anggaran 2015.
    (2) Berdasarkan pagu indikatif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian mengusulkan kebutuhan anggaran program
yang berbasis Desa kepada Menteri untuk ditetapkan
sebagai pagu anggaran untuk program yang berbasis Desa
Tahun Anggaran 2015.
 
Pasal 30
    Dalam hal menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian tidak menyampaikan usulan kebutuhan
anggaran program yang berbasis Desa untuk Tahun Anggaran
2015 atau kebutuhan anggaran program berbasis Desa yang
diusulkan lebih rendah daripada pagu alokasi Tahun Anggaran
2014, Menteri dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal
nasional dapat menetapkan pagu anggaran untuk program yang
berbasis Desa Tahun Anggaran 2015 berdasarkan pagu alokasi
program berbasis Desa Tahun Anggaran 2014.
 
Pasal 31
    (1) Dalam hal APBN belum dapat memenuhi Dana Desa
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa untuk Tahun Anggaran 2016 dan
tahun anggaran berikutnya, menteri teknis/pimpinan
lembaga pemerintah nonkementerian tetap mengusulkan
kebutuhan anggaran untuk program yang berbasis Desa
kepada Menteri.
    (2) Berdasarkan usulan kebutuhan anggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan pagu anggaran
untuk program yang berbasis Desa.
 
Pasal 32
    Dalam hal menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian tidak menyampaikan usulan kebutuhan
anggaran program yang berbasis Desa Tahun Anggaran 2016
dan tahun anggaran berikutnya atau kebutuhan anggaran
program berbasis Desa yang diusulkan lebih rendah daripada
pagu alokasi tahun anggaran sebelumnya, Menteri dengan
mempertimbangkan kapasitas fiskal nasional dapat menetapkan
pagu anggaran untuk program yang berbasis Desa Tahun
Anggaran 2016 dan tahun anggaran berikutnya berdasarkan
Dana Desa yang dialokasikan tahun anggaran sebelumnya.
 
Pasal 33
    Pagu anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan
Pasal 32 merupakan pos Cadangan Dana Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
 
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34
    Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
NILAI NILAI PANCASILA DALAM PRAKTEK PENYELENGGARAAN NEGARA
NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KERANGKA PRAKTIK
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA

 
1. Sistem Pembagian kekuasaan Negara Republik Indonesia
2. Macam-Macam Kekuasaan Negara

Menurut John Locke sebagaimana dikutip oleh Riyanto (2006:273) bahwa


kekuasaan negara itu dapat dibagi menjadi tiga macam kekuasaan sebagai
berikut.

1. Kekuasaan legislatif

yaitu  kekuasaan  untuk membuat  atau  membentuk undang-undang.

2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-


undang, termasuk  kekuasaan  untuk  mengadili  setiap  pelanggaran
terhadap undang- undang. 
3. Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan
luar negeri.

Selain John Locke, ada tokoh lain yang berpendapat tentang kekuasaan
negara, yaitu Montesquieu. Sebagaimana dikutip oleh Riyanto (2006:273).

1. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat atau


membentuk undang-undang.
2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-
undang.
3. Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mempertahankan
undang-undang, termasuk kekuasaan untuk mengadili setiap
pelanggaran terhadap undang-undang

Pendapat yang dikemukakan oleh Montesquieu merupakan


penyempurnaan dari pendapat John Locke. Kekuasaan federatif oleh
Montesquieu dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif, fungsi mengadili
dijadikan kekuasaan yang berdiri sendiri. Ketiga kekuasaan tersebut 
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang berbeda yang sifatnya terpisah.
Teori Montesquieu ini dinamakan Trias Politika.

2. Konsep Pembagian Kekuasaan di Indonesia

Kusnardi dan Ibrahim (1983:140) menyatakan bahwa istilah pemisahan


kekuasaan (separation of powers) dan pembagian kekuasaan (divisions
of power) merupakan dua istilah yang memiliki pengertian berbeda satu
sama lainnya. Pemisahan kekuasaan berarti kekuasaan negara itu
terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai organ maupun
fungsinya. Dengan kata lain, lembaga pemegang kekuasaan negara yang
meliputi  lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif merupakan lembaga
yang terpisah satu sama lainnya, berdiri sendiri tanpa memerlukan
koordinasi dan kerja sama. Setiap lembaga menjalankan fungsinya
masing-masing. Contoh negara yang menganut mekanisme pemisahan
kekuasaan adalah Amerika Serikat.

Berbeda   dengan   mekanisme   pemisahan   kekuasaan,   di   dalam


mekanisme pembagian kekuasaan, kekuasaan negara itu memang dibagi-
bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif ), tetapi tidak
dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian
itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerja sama. Mekanisme pembagian
ini banyak sekali dilakukan oleh banyak negara di dunia, termasuk
Indonesia.

Bagaimana konsep pembagian kekuasaan yang dianut negara Indonesia?


Mekanisme  pembagian  kekuasaan  di  Indonesia  diatur  sepenuhnya  di
dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penerapan
pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri atas dua bagian, yaitu
pembagian kekuasaan secara horisontal dan pembagian kekuasaan
secara vertikal.

1. Pembagian Kekuasaan Secara Horisontal

Pembagian kekuasaan secara horisontal yaitu pembagian kekuasaan


menurut  fungsi  lembaga-lembaga  tertentu  (legislatif,  eksekutif  dan
yudikatif ). Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
secara horisontal pembagian kekuasaan negara dilakukan pada tingkatan
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian kekuasaan
pada  tingkatan  pemerintahan  pusat  berlangsung  antara  lembaga-
lembaga negara yang sederajat. Pembagian kekuasaan pada tingkat
pemerintahan pusat mengalami pergeseran setelah terjadinya perubahan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pergeseran yang dimaksud adalah pergeseran klasifikasi kekuasaan


negara yang umumnya terdiri atas tiga jenis kekuasaan (legislatif, eksekutif
dan yudikatif ) menjadi enam kekuasaan negara.
1) Kekuasaan   konstitutif,   yaitu   kekuasaan   untuk   mengubah   dan
menetapkan Undang-Undang Dasar. Kekuasaan ini dijalankan oleh
Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  sebagaimana  ditegaskan  dalam Pasal
3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar.”

2) Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-


undang dan penyelenggraan pemerintahan negara. Kekuasaan ini
dipegang oleh Presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa     
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan     
menurut Undang-Undang Dasar.”

3) Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-


undang. Kekuasaan ini dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan
Rakyat  memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”

4) Kekuasaan   yudikatif   atau   disebut   kekuasaan   kehakiman   yaitu


kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum 
dan  keadilan.  Kekuasaan  ini  dipegang  oleh  Mahkamah        Agung dan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.”

5) Kekuasaan eksaminatif/inspektif, yaitu kekuasaan yang berhubungan


dengan   penyelenggaraan   pemeriksaan   atas   pengelolaan   dan
tanggung jawab tentang keuangan negara. Kekuasaan ini dijalankan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 E 
ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa “untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas
dan mandiri.”
6) Kekuasaan   moneter,   yaitu   kekuasaan   untuk   menetapkan   dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem   pembayaran,   serta   memelihara   kestabilan   nilai   rupiah.
Kekuasaan ini dijalankan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral di
Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 D UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “negara memiliki
suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung
jawab, dan indepedensinya diatur dalam undang- undang.”

Pembagian kekuasaan secara horisontal pada tingkatan pemerintahan


daerah berlangsung  antara  lembaga-lembaga  daerah  yang  sederajat, 
yaitu  antara Pemerintah Daerah (Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah)
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada tingkat provinsi,
pembagian kekuasaan berlangsung antara  Pemerintah  provinsi
(Gubernur/Wakil  Gubernur)  dan  DPRDprovinsi. Sedangkan pada tingkat
kabupaten/kota, pembagian kekuasaan berlangsung antara Pemerintah
Kabupaten/Kota (Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota) dan
DPRD kabupaten/kota.

1. Pembagian Kekuasaan Secara Vertikal

Pembagian   kekuasaan   secara   vertikal   merupakan   pembagian


kekuasaan  berdasarkan  tingkatannya,  yaitu  pembagian  kekuasaan
antara beberapa tingkatan pemerintahan. Pasal 18 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan
Republik  Indonesia  dibagi  atas  daerah-daerah  provinsi  dan  daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pembagian kekuasaan  secara  vertikal 


di  negara  Indonesia  berlangsung  antara pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi dan   pemerintahan  
kabupaten/kota).   Pada   pemerintahan   daerah berlangsung pula
pembagian kekuasaan secara vertikal yang ditentukan oleh pemerintahan
pusat. Hubungan antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan
kabupaten/kota terjalin dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan
oleh pemerintahan pusat dalam bidang administrasi dan kewilayahan.

Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul sebagai konsekuensi dari


diterapkannya asas desentralisasi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.  Dengan  asas  tersebut,  pemerintah  pusat  menyerahkan
wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah otonom (provinsi dan
kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan
pemerintahan di daerahnya,

kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat,


yaitu kewenangan yang berkaitan dengan politik  luar  negeri,  pertahanan, 
keamanan,  yustisi,  agama,  moneter dan fiskal.

 Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Pemerintah daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

1. Kedududukan dan Fungsi kementerian Negara Republik


Indonesia dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian
2. Tugas Kementerian Negara Republik Indonesia

Dari uraian sebelumnya kalian tentunya sudah memahami bahwa sistem


pemerintahan yang dianut oleh negara kita adalah sistem pemerintahan
presidensial. Dalam sistem presidensial, kedudukan presiden sangat kuat,
karena ia merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan.

Kewenangan Presiden Republik Indonesia sebagai Kepala Negara

1. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,Angkatan


Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10).
2. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain dengan persetujuan DPR (Pasal 11 Ayat 1).
3. Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
(Pasal 11 Ayat 2).
4. Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12).
5. Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta,
Presidenmemperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 Ayat 1 dan 2).
6. Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan DPR (Pasal 13 Ayat 3).
7. Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbanganMahkamah Agung (Pasal 14 Ayat 1).
8. Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
DPR (Pasal 14 ayat 2).
9. Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang
diaturdengan undang-undang (Pasal 15).

Kewenangan Presiden Republik Indonesia sebagai Kepala Pemerintahan

1. Memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4 ayat 1).


2. Mengajukan Rancangan Undang Undang kepada DPR (Pasal 5 ayat
1).
3. Menetapkan Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat 2).
4. Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan kepada presiden (Pasal 16).
5. Mengangkat dan memberhentikan menteri- menteri (Pasal 17 ayat 2).
6. Membahas dan memberi persetujuan atas RUU bersama DPR serta
mengesahkan RUU (Pasal 20 ayat 2 dan 4).
7. Menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang
8. dalam kegentingan yang memaksa (Pasal 22 ayat 1).
9. Mengajukan RUU APBN untuk dibahas bersama DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat 2).
10. Meresmikan keanggotaan BPK yang dipilih DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD (pasal 23 F ayat 1)
11. Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan Komisi
Yudisial dan disetujui DPR (Pasal 24A ayat 3).
12. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial
dengan
13. persetujuan DPR (Pasal 24 B ayat 3).
14. Mengajukan tiga orang calon hakim konstitusi dan menetapkan
sembilan orang hakim konstitusi (Pasal 24 C ayat 3).
Tugas dan kewenangan presiden yang sangat banyak ini tidak mungkin
dikerjakan sendiri. Oleh karena itu, presiden memerlukan orang lain untuk
membantunya. Dalam melaksanakan tugasnya, Presiden Republik
Indonesia dibantu oleh seorang wakil presiden yang dipilih bersamaan
dengannya melalui pemilihan umum, serta membentuk beberapa
kementerian negara yang dipimpin oleh menteri-menteri negara. Menteri-
menteri negara ini dipilih dan diangkat serta diberhentikan oleh presiden
sesuai dengan kewenangannya.

Keberadaan  Kementerian  Negara  Republik  Indonesia  diatur  secara


tegas dalam Pasal 17 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan:

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara


diatur dalam undang-undang.

Selain  diatur  oleh  UUD  Negara  Republik  Indonesia  Tahun   1945,


keberadaan kementerian negara juga diatur dalam sebuah undang-undang
organik, yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015
tentang Organisasi Kementerian Negara. Undang-undang ini mengatur
semua hal tentang kementerian negara, seperti kedudukan, tugas pokok,
fungsi, susunan organisasi, pembentukan, pengubahan, penggabungan,
pemisahan atau penggantian, pembubaran/penghapusan kementerian,
hubungan   fungsional   kementerian   dengan   lembaga   pemerintah non-
kementerian   dan   pemerintah   daerah   serta   pengangkatan   dan
pemberhentian menteri.

Kementerian    Negara    Republik    Indonesia    mempunyai    tugas


penyelenggarakan   urusan   tertentu   dalam   pemerintahan   di   bawah
dan  bertanggung  jawab  kepada  presiden  dalam  menyelenggarakan
pemerintahan negara.

1. Penyelenggara perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan


di bidangnya, pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawabnya, pengawasan atas pelaksanaan tugas di
bidangnya dan pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke
daerah.
2. Perumusan, penetapan, pelaksanaan   kebijakan   di   bidangnya,
pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya,   pengawasan   atas   pelaksanaan   tugas   di  
bidangnya, pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan kementerian di daerah dan pelaksanaan
kegiatan teknis yang berskala    nasional.
3. Perumusan dan penetapan  kebijakan    di  bidangnya,  koordinasi
dan  sinkronisasi  pelaksanaan  kebijakan  di  bidangnya, 
pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya.

Pasal 17 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 menyebutkan bahwa “setiap
menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.” Dengan kata
lain, setiap kementerian negara masing-masing mempunyai tugas sendiri.

Adapun urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab kementerian


negara adalah sebagai berikut.

1. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara


tegas disebutkan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.
2. Urusan pemerintahan yang  ruang  lingkupnya  disebutkan  dalam
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi urusan
agama, hukum,   keuangan,   keamanan,   hak   asasi   manusia,  
pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan,
industri, perdagangan, pertambangan,  energi,  pekerjaan  umum, 
transmigrasi,  transportasi, informasi, komunikasi, pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
3. Urusan pemerintahan dalam  rangka  penajaman,  koordinasi,  dan
sinkronisasi   program   pemerintah,   meliputi   urusan   perencanaan
pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara,
badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan
hidup, ilmu      pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha
kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan,
pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau
daerah tertinggal.

 
2. Klasifikasi Kementerian Negara Republik Indonesia

Dengan  demikian, jumlah kementerian negara dibentuk cukup banyak. Hal


ini dikarenakan urusan pemerintahan pun jumlahnya sangat banyak dan
beragam.

Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008


tentang Kementerian Negara secara tegas menyatakan bahwa jumlah
maksimal kementerian negara yang dapat dibentuk adalah 34 kementerian
negara.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015
tentang Organisasi Kementerian Negara.

Kementerian Negara Republik Indonesia dapat diklasifikasikan


berdasarkan urusan pemerintahan yang ditanganinya.

1. Kementerian yang menangani urusan pemerintahan yang


nomenklatur/ nama kementeriannya secara tegas disebutkan dalam
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai berikut.

1) Kementerian Dalam Negeri

2) Kementerian Luar Negeri

3) Kementerian Pertahanan

1. Kementerian yang mempunyai   tugas   penyelenggarakan   urusan


tertentu   dalam   pemerintahan   untuk   membantu   presiden  
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara dengan upaya
pencapaian tujuan kementerian sebagai bagian dari tujuan
pembangunan nasional.          Kementerian  yang  menangani 
urusan  pemerintahan  yang  ruang lingkupnya disebutkan dalam
UUD Tahun 1945 adalah sebagai berikut.

1)   Kementerian Agama

2)   Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

3)   Kementerian Keuangan

4)   Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


5)   Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

6)   Kementerian Kesehatan

7)   Kementerian Sosial

8)   Kementerian Ketenagakerjaan

9)Kementerian Perindustrian
10)  Kementerian Perdagangan

11)  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

12)  Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

13)  Kementerian Perhubungan

14)  Kementerian Komunikasi dan Informatika

15)  Kementerian Pertanian

16)  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

17)  Kementerian Kelautan dan Perikanan

18)   Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan


Transmigrasi

19)  Kementerian Agraria dan Tata Ruang

1. Kementerian yang   mempunyai   tugas   menyelenggarakan   urusan


tertentu   dalam   pemerintahan  untuk membantu   presiden   dalam
menyelenggarakan  pemerintahan  negara  serta  menjalankan 
fungsi perumusan   dan   penetapan   kebijakan   di   bidangnya,  
koordinasi dan  sinkronisasi  pelaksanaan  kebijakan  di  bidangnya, 
pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya, dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya.
Kementerian ini yang menangani urusan pemerintahan dalam rangka
penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.
1) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional

2)Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan ReformasiBirokrasi

3) Kementerian Badan Usaha Milik Negara

4) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

5) Kementerian Pariwisata

6) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

7) Kementerian Pemuda dan Olahraga

8) Kementerian Sekretariat Negara

Selain kementerian yang menangani urusan pemerintahan di atas, ada


juga kementerian koordinator yang bertugas melakukan sinkronisasi dan
koordinasi urusan kementerian-kementerian yang berada di dalam lingkup
tugasnya. Kementerian koordinator, terdiri atas beberapa kementerian
sebagai berikut.

1) Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

1. a) Kementerian Dalam Negeri


2. b) Kementerian Hukum dan HAM
3. c) Kementerian Luar Negeri
4. d) Kementerian Pertahanan
5. e) Kementerian Komunikasi dan Informatika
6. f) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi

2) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

1. a) Kementerian Keuangan
2. b) Kementerian Ketenagakerjaan
3. c) Kementerian Perindustrian
4. d) Kementerian Perdagangan
5. e) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
6. f) Kementerian Pertanian
7. g) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
8. h) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
9. i) Kementerian Badan Usaha Milik Negara
10. j) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

3) Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan


Kebudayaan.

1. a) Kementerian Agama;
2. b) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
3. c) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;
4. d) Kementerian Kesehatan;
5. e) Kementerian Sosial;

f)Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;

1. g) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;


dan
2. h) Kementerian Pemuda dan Olahraga.

4) Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

1. a) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral


2. b) Kementerian Perhubungan
3. c) Kementerian Kelautan dan Perikanan
4. d) Kementerian Pariwisata

3. Lembaga Pemerintah Non-Kementerian

Selain memiliki kementerian negara, Republik Indonesia juga memiliki


Lembaga  Pemerintah  Non-Kementerian  (LPNK)  yang  dahulu  namanya
Lembaga   Pemerintah   Non-Departemen.   Lembaga   Pemerintah   Non-
Kementerian merupakan lembaga negara yang dibentuk untuk membantu
presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan tertentu. Lembaga
Pemerintah Non-Kementerian berada di bawah presiden dan bertanggung
jawab langsung kepada presiden melalui menteri atau pejabat setingkat
menteri yang terkait.

Keberadaan LPNK diatur oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia,


yaitu Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen.

Berikut ini Daftar Lembaga Pemerintah Non -Kementerian yang ada di


Indonesia.

1) ArsipNasional Republik Indonesia (ANRI), di bawah koordinasi Menteri


      Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

2)  Badan Informasi Geospasial (BIG).

3)  Badan Intelijen Negara (BIN).

4) Badan Kepegawaian Negara (BKN), di bawah koordinasi Menteri


Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

5) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), di


bawah koordinasi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak.

6) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), di bawah koordinasi


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

7)  Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL),


di bawah koordinasi Menteri Riset dan Teknologi.

8)  Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

9)  Badan Narkotika Nasional (BNN).

10)Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).


11) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

12) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja


Indonesia (BNP2TKI).

13) Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), di bawah koordinasi


Menteri kesehatan.

14) Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), di bawah koordinasi


Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
15) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

16) Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), di bawah


koordinasi Menteri Lingkungan Hidup.

17) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di bawah    


koordinasi Menteri Riset dan Teknologi.

18) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS),di bawah


koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

19) Badan Pertanahan Nasional (BPN), di bawah koordinasi Menteri Dalam


Negeri.

20) Badan Pusat Statistik (BPS), di bawah koordinasi Menteri Koordinator  


Bidang Perekonomian.

21) Badan SAR Nasional (BASARNAS).

22) Badan Standardisasi Nasional (BSN), di bawah koordinasi Menteri


Riset dan Teknologi.

23) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), di bawah koordinasi Menteri


Riset dan Teknologi.

24) Badan Urusan Logistik (BULOG), di bawah koordinasi Menteri


Koordinator Bidang Perekonomian.

25) Lembaga  Administrasi Negara (LAN), di bawah koordinasi Menteri


Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
26) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di bawah koordinasi
Menteri Riset dan Teknologi.

27) Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS).

28) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). 29)


Lembaga penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), di bawah
koordinasi Menteri Riset dan Teknologi.

30) Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG), di bawah koordinasi Menteri


Koordinator Bidang Politik, Hukum dan, Keamanan.
31) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PERPUSNAS), di bawah
koordinasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

1. Nilai – Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Pemerintahan


2. Sistem Nilai dalam Pancasila

Sistem secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu rangkaian yang


saling berkaitan antara nilai yang satu dan nilai yang lain. Jika kita
berbicara tentang sistem nilai berarti ada beberapa nilai yang menjadi satu
dan bersama-sama menuju pada suatu tujuan tertentu. Sistem nilai
adalahkonsep atau gagasan yang menyeluruh mengenai sesuatu yang
hidup dalam pikiran seseorang atau sebagian besar anggota masyarakat
tentang apa yang dipandang baik. Pancasila sebagai nilai mengandung
serangkaian nilai, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, keadilan.
Kelima nilai tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak
terpisahkan mengacu kepada tujuan yang satu. Pancasila sebagai suatu
sistem nilai termasuk ke dalam nilai moral (nilai kebaikan) dan merupakan
nilai-nilai dasar yang bersifat abstrak.

2. Implementasi Pancasila

Pancasila yang termuat dalam Pembukaan   UUD 1945   merupakan


landasan    bangsa    Indonesia    yang mengandung tiga tata nilai utama,
yaitu dimensi spiritual, dimensi kultural, dan dimensi institusional. Dimensi
spiritual mengandung makna bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai
keimanan dan ketaqwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai
landasan keseluruhan nilai dalam falsafah negara. Hal ini
termasukpengakuan bahwa atas kemahakuasaan dan curahan rahmat dari
Tuhan Yang Maha Esa perjuangan Bangsa Indonesia merebut
kemerdekaan terwujud. Dimensi   kultural   mengandung   makna   bahwa  
Pancasila   merupakan landasan falsafah negara, pandangan hidup
bernegara, dan sebagai dasar negara. Dimensi institusional mengandung
makna bahwa Pancasila harus sebagai landasan utama untuk mencapai
cita-cita, tujuan bernegara, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Aktualisasi nilai spiritual dalam Pancasila tergambar dalam Sila Ketuhanan


Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa dalam praktik penyelenggaraan
pemerintahan tidak boleh meninggalkan prinsip keimanan dan ketakwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai ini menunjukkan adanya pengakuan
bahwa manusia, terutama penyelenggara negara memiliki keterpautan
hubungan  dengan  Sang  Penciptanya.  Artinya,  di  dalam  menjalankan
tugas sebagai penyelenggara negara tidak hanya dituntut patuh terhadap
peraturan yang berkaitan dengan tugasnya, tetapi juga harus dilandasi oleh
satu pertanggungjawaban kelak kepada Tuhan di dalam pelaksanaan
tugasnya. Hubungan antara manusia dan Tuhan yang tercermin dalam sila
pertama tersebut sesungguhnya dapat memberikan rambu-rambu agar
tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran, terutama ketika dia harus
melakukan korupsi, penyelewengan harta negara, dan perilaku negatif
lainnya. Nilai spiritual inilah yang tidak ada dalam doktrin good
governance yang selama ini menjadi panduan dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masa kini. Nilai spiritual
dalam Pancasila ini sekaligus menjadi nilai lokalitas bagi Bangsa Indonesia
yang seharusnya dapat teraktualisasi dalam tata kelola pemerintahan.

Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, Sila Persatuan Indonesia, dan 
Sila  Kerakyatan  yang  dipimpin  oleh  Hikmat  Kebijaksaan  dalam
permusayaratan perwakilan merupakan gambaran bagaimana dimensi
kultural dan institusional harus dijalankan. Dimensi tersebut mengandung
nilai pengakuan terhadap sisi kemanusian dan keadilan (fairness) yang
non-diskriminatif; demokrasi berdasarkan musyawarah dan transparan
dalam membuat keputusan; dan terciptanya kesejahteraan sosial bagi
semua tanpa pengecualian pada golongan tertentu. Nilai-nilai itu
sesungguhnya jauh lebih luhur dan telah menjadi rumusan hakiki dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

Tiga nilai utama yang tertuang dalam   Pembukaan   UUD   NRI Tahun
1945 tersebut di atas harus senantiasa menjadi pertimbangan dan  
perhatian   dalam   sistem dan    proses    penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan bangsa.                 Pancasilasebagai falsafah bangsa
dalam bernegara merupakan   nilai   hakiki   yang harus  
termanisfestasikan   dalamsimbol-simbol kehidupan bangsa, lambang
pemersatu bangsa, dan sebagai pandangan hidup bangsa. Dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan, nilai falsafah harus termanifestasikan di
setiap proses perumusan kebijakan dan implementasinya.

Nilai Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan utuh di setiap


praktik penyelenggaraan pemerintahan yang mengandung makna bahwa
ada sumber-sumber spiritual yang harus dipertimbangkan dalam 
memberikan  pelayanan  kepada  masyarakat  agar  tidak  terjadi perlakuan
yang sewenang dan diskriminatif. Selain itu, nilai spiritualitas hendaknya
menjadi pemandu bagi penyelenggaraan pemerintahan agar tidak
melakukan aktivitas-aktivitas di luar kewenangan dan ketentuan yang
sudah digariskan.

3. Nilai-Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara

Pengkajian  Pancasila  secara  filosofis  dimaksudkan  untuk  mencapai


hakikat atau makna terdalam dari Pancasila. Berdasarkan analisis makna
nilai-nilai Pancasila diharapkan akan diperoleh makna yang akurat dan
mempunyai nilai filosofis. Dengan demikian, penyelenggaraan negara
harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang terdapat dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 sebagai berikut.

1. Nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


o Pengakuan adanya kausa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan
Yang Maha Esa.
o Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing
dan beribadah menurut agamanya.
o Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi
diwajibkan memeluk agama sesuai hukum yang berlaku.
o Atheisme dilarang hidup dan berkembang di Indonesia.
o Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan
beragama, toleransi antarumat dan dalam beragama.
o Negara memfasilitasi bagi tumbuh kembangnya agama dan
iman warga negara dan menjadi mediator ketika terjadi konflik
antar agama.

1. Nilai Sila Kemanusian yang Adil dan Beradab

 Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makluk


Karena manusia mempunyai sifat universal.
 Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, hal ini
juga bersifat universal.
 Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah. Hal ini
berarti bahwa yang dituju masyarakat Indonesia adalah keadilan dan
peradaban yang tidak pasif, yaitu perlu pelurusan dan penegakan
hukum yang kuat jika terjadi penyimpangan-penyimpangan, karena
Keadilan harus direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

1. Nilai Sila Persatuan Indonesia


1)  Nasionalisme

2)  Cinta bangsa dan tanah air

3)  Menggalang persatuan dan kesatuan bangsa

4)  Menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan


perbedaan  warna kulit.

5)  Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggulangan.

1. Nilai Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan


dalam Permusyawaratan/Perwakilan

 Hakikat Sila ini adalah demokrasi. Demokrasi dalam arti umum, yaitu
pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
 Permusyawaratan, artinya mengusahakan putusan bersama secara
bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama. Di sini terjadi
simpul yang penting yaitu mengusahakan putusan bersama secara
bulat.
 Dalam melakukan putusan diperlukan kejujuran bersama. Hal yang
perlu diingat  bahwa  keputusan  bersama  dilakukan  secara  bulat
sebagai konsekuensi adanya kejujuran bersama.
 Perbedaan secara umum demokrasi di negara barat dan di negara
Indonesia, yaitu terletak pada permusyawaratan rakyat.

1. Nilai Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

 Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan
berkelanjutan.
 Seluruh kekayaan   alam   dan   sebagainya   dipergunakan   bagi
kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing.
 Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat
bekerja sesuai  dengan bidangnya.

Anda mungkin juga menyukai