NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM TENTANG
PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita senantiasa panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, sebab
dengan berkah dan rahmat-Nya, penyusunan Naskah Akademik Rancangan peraturan daerah
tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan untuk memberikan pembenaran secara akademis
dan sebagai landasan pemikiran atas materi pokok Rancangan peraturan daerah dimaksud.
Penyusunan ini dilakukan berdasarkan hasil kajian dan diskusi berfokus (focus group discussion)
terhadap substansi materi muatan baik yang terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan
terkait, serta situasi sosiologis, budaya dan kebutuhan hukum masyarakat di Kabupaten Agam
yang memerlukan adanya pengaturan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Berdasarkan hal
tersebut dilakukan pengolahan naskah ini dengan mengeksplorasi sumber kepustakaan yang
relevan, kemudian pendalaman berupa tanya jawab atas materi secara komprehensif dengan para
praktisi dan pakar di bidangnya serta selanjutnya diskusi internal tim secara intensif.
Kelancaran proses penyusunan Naskah Akademik ini tentunya tidak terlepas dari keterlibatan
dan peran seluruh pihak terkait diatas termasuk Tim Penyusun, dimana dengan penuh kesabaran,
empati mendalam, dan tanggung jawab menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya. Sehubungan
dengan itu semua, diucapkan terima kasih.
Mudah-mudahan Naskah Akademik ini bermanfaat bagi pembacanya.
Lubuk Basung, .................... 2016
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. IDENTIFIKASI MASALAH
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
D. METODE
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
B. PRAKTIK EMPIRIS
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN
SOSIOLOGIS,DAN LANDASAN YURIDIS
A.
LANDASAN FILOSOFIS
B.
LANDASAN SOSIOLOGIS
C.
LANDASAN YURIDIS
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP PENGATURAN PERATURAN DAERAH
A.
JANGKAUAN DAN ARAH PENGATURAN
B. RUANG LINGKUP PENGATURAN PERATURAN
DAERAH
1. KETENTUAN UMUM
2. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN
NORMA (KAIDAH)
3. KAJIAN TERHADAP TUJUAN RANPERDA
4. MATERI YANG AKAN DIATUR:
1
2
2
5
5
6
8
8
35
55
70
70
71
76
79
79
80
80
84
85
86
86
88
97
102
110
116
123
123
i. Sanksi
127
j. Kententuan Peralihan
129
k. Ketentuan Penutup
BAB VI.
PENUTUP
131
131
A. KESIMPULAN
B. SARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi (Pasal 4 UUD 1945). Maka tujuan
pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang
merata, material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kesungguhan negara dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi segenap bangsa
Indonesia terlihat jelas dan tegas dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni sejalan dan searah dengan tujuan nasional
bangsa Indonesia, yaitu; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
Segenap bangsa Indonesia yang dimaksud dalam pembukaan UUD dapat dimaknai
adalah seluruh warga negara Indonesia dengan tidak ada pendiskriminasian disebabkan usia,
golongan, suku, agama, tempat tinggal, dan sebagainya termasuk keadaan dan status sosial,
ekonomi, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, maupun keadaan fisik dan mental. Oleh karena itu,
negara dalam hal ini termasuk pemerintah daerah bertanggung jawab untuk meningkatkan
kesejahteraan, sehingga untuk meningkatkan derajat kesejahteraan sosial masyarakat dapat
dilaksanakan dan dipenuhi dengan menyelenggarakan suatu pembangunan kesejahteraan sosial
yang berkesinambungan, menyeluruh, terarah, dan terpadu yang merupakan suatu rangkaian
yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional maupun pembangunan di daerah.
Begitu pula dalam batang tubuh UUD 1945 dalam pasal 33 dan pasal 34 memberikan gambaran
bahwa kemakmuran rakyat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan sosial ini oleh negara
diutamakan kemakmuran perseorangan, masyarakat yang berkategori fakir miskin dan anak-anak
terlantar. Sebagai salah satu bentuk hadirnya negara bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia
termasuk pada lapisan masyarakat miskin, masyarakat terpencil dan masyarakat terlantar sepatutnya
perlu mendapatkan perhatian agar mereka mampu meningkatkan kesejahteraannya. Dengan
demikian, tercantumnya tujuan mensejahterakan pada pembukaan konstitusi negara (UUD NRI
1945 ) sebagai dasar yuridis dan falsafah negara Indonesia, merupakan bentuk prinsip upaya
yang harus dilakukan pemerintah maupun pemerintah daerah untuk bertekad kuat dalam
pemenuhan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga masyarakat dan mempunyai tanggungjawab
berperan aktif dalam hal tersebut.
Sehubungan dengan itu, Pemerintah kabupaten Agam dalam pembangunan yang
berhubungan dengan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bermaksud untuk meningkatkan
derajat kesejahteraan sosial masyarakatnya agar lebih berkualitas prima. Pencapaian maksud dan
tujuan ini dilakukan secara sistematis, terencana melalui pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan penyelenggaran kesejahteraan sosial di kabupaten Agam.
Untuk perwujudannya Pemerintah kabupaten Agam perlu mempunyai peraturan daerah
tentang penyelenggaran kesejahteraan sosial. Pembentukan perda itu dimungkinkan karena
dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945 pada Pasal 18 (Perubahan II,
18 agustus 2000)1 ayat 5 yang berbunyi: Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah; dan ayat 6 yang berbunyi: Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Selanjutnya dalam Pasal 28H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 28H dalam sistematika UUD RI tahun 1945
masuk ke dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini bermakna bahwa hidup sejahtera
lahir dan bathin, dengan adanya kawasan tempat tinggal (bermukim) yang tertata dan berkualitas
merupakan kebutuhan manusia yang harus diupayakan dipenuhi oleh Pemerintah maupun
pemerintah daerah agar terdapat peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakatnya.
Untuk mewujudkan hal yang terdapat dalam UUD RI 1945 diatas sesuai dengan
dinamika kenegaraan di Indonesia saat ini, berkaitan hal yang dapat dilaksanakan oleh
pemerintahan di daerah, telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah2, yang pada Pasal 31 (1) disebutkan; dalam pelaksanaan
Desentralisasi dilakukan penataan Daerah; kemudian pada ayat (2) huruf (b) disebutkan bentuk
penataan itu diantaranya; mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat; selanjutnya
dalam penjelasan pasal 31 ayat (2) Huruf b yang dimaksud dengan mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat adalah peningkatan indeks pembangunan manusia yang ditandai
dengan peningkatan kesehatan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat.
Penjabaran lebih lanjut pun dapat pula ditemukan pada lampiran UU ini yaitu dalam
pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota dalam matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, pada huruf F. Pembagian
Urusan Pemerintahan Bidang Sosial, Sub bidang Pemberdayaan Sosial, maka kewenangan
daerah kabupaten/ kota adalah; a. Pemberdayaan sosial KAT; b. Penerbitan izin pengumpulan
sumbangan dalam Daerah kabupaten/kota; c. Pengembangan potensi sumber kesejahteraan sosial
Daerah kabupaten/kota; d. Pembinaan lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga (LK3) yang
1
2
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, perubahan pertama tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000,
perubahan ketiga tahun 2001, perubahan keempat 2001.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ini telah mengalami dua kali perubahan yaitu, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 24); dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah telah disahkan dan diundangkan tanggal 18 Maret 2015 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
58.
wilayah kegiatannya di Daerah kabupaten/kota; pada Sub bidang Rehabilitasi Sosial, yang mana
maksudnya adalah Rehabilitasi sosial bukan/tidak termasuk bekas korban penyalahgunaan
NAPZA dan orang dengan Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno Deficiency
Syndrome yang tidak memerlukan rehabilitasi pada panti, dan rehabilitasi anak yang berhadapan
dengan hukum. Kemudian, pada Sub bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial, yang berkaitan
dengan; a. Pemeliharaan anak-anak terlantar; b. Pendataan dan Pengelolaan data fakir miskin
cakupan daerah kabupaten/kota.
Kemudian yang terkait dengan penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini juga terdapat
pada lampiran UU ini dalam matrik yaitu huruf N. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana, pada Sub Urusan yaitu Keluarga Sejahtera,
maka kewenangan daerah kabupaten/ kota adalah; a. Pelaksanaan pembangunan keluarga melalui
pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga; b. Pelaksanaan dan peningkatan peran serta
organisasi kemasyarakatan tingkat Daerah kabupaten/kota dalam pembangunan keluarga melalui
pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Berkaitan dengan hal - hal kesejahteraan sosial ini dan sejalan dengan Pasal 236 (1) UU
Pemda diatas penyelenggaraannya di kabupaten Agam perlu dibentuk suatu peraturan daerah
(perda) untuk itu, agar terdapat payung hukum dalam pelaksanaannya maupun dalam
pengawasan, pembinaan, dan penegakkan hukumnya (law inforcement).
B. Identifikasi Masalah.
1. Bagaimanakah pelaksanaan pengaturan daerah penyelenggaraan kesejahteraan sosial di
kabupaten Agam ?
2. Mengapa perlu disusun rancangan pengaturan daerah penyelenggaraan kesejahteraan sosial di
kabupaten Agam ?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan
rancangan pengaturan daerah penyelenggaraan kesejahteraan sosial di kabupaten Agam ?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan
rancangan pengaturan daerah penyelenggaraan kesejahteraan sosial di kabupaten Agam ?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penyusunan naskah akademik ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di mana naskah akademik adalah naskah
hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah
tertentu, dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Naskah Akademik ini disusun sebagai tahapan awal dalam proses penyusunan suatu peraturan
perundang-undangan untuk menjadi landasan ilmu ilmiah dalam perumusan rancangan peraturan
daerah (ranperda) tentang penyelenggaraan kesejahteraan sosial, sehingga dapat memberikan
arah dan ruang lingkup dalam proses perancangan peraturan daerah ini secara utuh sejalan
dengan konsepsi permasalahan yang terjadi.
Kemudian berguna pula sebagai bahan masukan bagi pembuat ranperda maupun pihak-pihak
berkepentingan termasuk kelak menyatu sebagai dokumen resmi ranperda yang menjadi acuan
pembahasan rancangan peraturan daerah penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Agam.
Naskah Akademik tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial ini disusun sebagai dasar
melegitimasi arah dan kebijakan dan urgensi dari sebuah produk hukum daerah yang berfungsi
sebagai dasar legalitas pembatas kekuasaan dan lewenangan pemerintah daerah dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Selain itu, produk hukum daerah dapat digunakan sebagai
landasan dalam mengatur dan mengendalikan setiap kegiatan pembangunan dibidang sosial dan
bentuk peran serta masyarakat maupun pihak berkepentingan serta penerima manfaat berkaitan
dengan kesejahteraan sosial di kabupaten Agam. Sehingga memberikan kemudahan bagi proses
pengambilan keputusan khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Agam dalam upaya pengendalian
dan pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di kabupaten Agam.
D. Metode
Metode pendekatan dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial di kabupaten Agam menggunakan metode deskriptifanalitis, yaitu metode yang menggambarkan dan menganalisis data, fakta, dan informasi serta
ketentuan yang ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pengaturan penyandang masalah kesejahteraan sosial maupun yang terkait dengan kesejahteraan
sosial. Adapun data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder hasil pengumpulan
data yang dilakukan melalui studi kepustakaan, penelitian lapangan dalam bentuk konsultasi
publik/mengundang pakar, dan penelitian hukum normatif.
Studi kepustakaan sebagai salah satu pendekatan dalam pengumpulan bahan, data dan
informasi yang berkaitan dengan pengaturan penyandang masalah kesejahteraan sosial maupun
yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Materi studi pustaka berupa kajian dan review terhadap
buku-buku, majalah, surat kabar, website, serta data lain tentang peraturan perundang-undangan,
dokumen negara, hasil penelitian, makalah seminar, berita media, dan data lainnya yang terkait
dengan pengaturan penyandang masalah kesejahteraan sosial maupun yang terkait dengan
kesejahteraan sosial. Pengumpulan dan penelitian lapangan (fact finding) yang dilakukan dengan
menghimpun pendapat dan persepsi dari berbagai instansi terkait, serta para praktisi yang terkait
pengaturan dan larangan kesejahteraan sosial.
Pada pengumpulan data mengenai pengaturan penyandang masalah kesejahteraan sosial
maupun yang terkait dengan kesejahteraan sosial ini informasi dan pendapat didapatkan dari para
nara sumber di Provinsi Sumatera Barat, di kabupaten Agam, ..................................... diisi setelah
FGD dilaksanakan.
Tim juga melakukan review terhadap bahan-bahan tertulis, juga melalui pengumpulan
bahan informasi dengan cara brainstorming, kompilasi pendapat dan pemikiran dari pakar dan
para ahli, pihak instansi terkait yang memiliki kompetensi dalam masalah kesejahteraan sosial.
Selain itu pendekatan dilakukan dengan indisipliner dan multidisipliner. Pendekatan indisipliner
dilakukan pengkajian bidang-bidang hukum terkait dengan Hukum Pemerintahan
Daerah dan Hukum Hukum Administrasi Negara. Pendekatan multidislipiner dilakukan
pengakajian dengan mendekati permasalahan hukum mengenai aspek kesejahteraan
sosial berdasarkan ilmu-ilmu yang terkait secara langsung, Ilmu Pemerintahan, Ilmu Ketahanan
Nasional, Ilmu Sosial dan Ilmu Administrasi.
BAB II
TELAAH AKADEMIK
A. Kajian Teoritis
Kesejahteraan Sosial
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Kajian teoritis ini dibentangkan dengan maksud agar dapat dipahami subtansi
dari rancangan peraturan daerah yang akan dibentuk ini secara ilmiah dan
realistis, sehingga dalam pelaksanaannya oleh pemerintahan daerah kabupaten
Agam dapat menjadi landasan hukum yang responsif. Selain itu, solusi dalam
bentuk produk hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kesejahteraan
sosial yang timbul dan memenuhi kebutuhan kesejahteraan sosial masyarakat di
kabupaten ini. Oleh sebab itu, secara subtansi pemaknaan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial ini diketengahkan dengan mengurai dan mengulasnya dari
berbagai referensi yang dalam penilaian penyusun naskah akademik ini
merupakan referensi yang relevan.
Kata dasar kesejahteraan yaitu sejahtera, maka menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia pengertian sejahtera yaitu keadaan aman sentosa dan makmur serta selamat atau
terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya. Sedangkan pengertian
kesejahteraan adalah hal atau keadaan sejahtera; keamanan; keselamatan; ketentraman;
kesenangan hidup dan kemakmuran (Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Semarang, Widya Karya, 2012, hlm 46).
Secara umum pengertian kesejahteraan adalah kondisi dimana tercapainya keadaan sejahtera
yang baik, makmur dan berkecukupan dengan terpenuhinya segala kebutuhan tiap individu baik
itu kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier dengan batasan yang cukup dan wajar termasuk
pula rasa aman dan damai.
Pembangunan kesejahteraan sosial bukan hanya bersifat residual, reaktif dan karitatif
dalam arti hadir hanya sebagai pelipur lara terhadap para penyandang masalah
kesejahteraan sosial.
Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktifitas pengorganisasian dan
pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang
beruntung (disadvantage groups). Penyelenggaraan berbagai skema perlindungan sosial (social
protection) baik yang bersifat formal maupun informal adalah contoh aktivitas kesejahteraan sosial
(Suharto, 2009).
Kesejahteraan Sosial diprioritaskan yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara
kemanusiaan dan memiliki kategori masalah sosial sebagai berikut:
1. Kemiskinan
Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi
standar hidup rata-rata masyarakat di suatu daerah. Pada prinsipnya, standar hidup di suatu
masyarakat tidak sekedar tercukupinya kebutuhan akan pangan, akan tetapi juga
tercukupinya kebutuhan akan kesehatan maupun pendidikan. Tempat tinggal ataupun
pemukiman yang layak merupakan salah satu dari standar hidup atau standar kesejahteraan
masyarakat di suatu daerah. Berdasarkan kondisi ini, suatu masyarakat disebut miskin
apabila memiliki pendapatan jauh lebih rendah dari rata-rata pendapatan sehingga tidak
banyak memiliki kesempatan untuk mensejahterakan dirinya (Suryawati:2004:20).
Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial
ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kebutuhan dasar yang
menjadi hak seseorang atau sekelompok orang meliputi kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan
hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi
dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik. Laporan Bidang Kesejahteraan Rakyat
yang dikeluarkan oleh Kementrian Bidang Kesejahteraan (Kesra) tahun 2004 menerangkan
pula bahwa kondisi yang disebut miskin ini juga berlaku pada mereka yang bekerja akan
tetapi pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok/dasar.
2. Keterlantaran
Keterlantaran dapat dikategorikan dalam usia sebagai berikut ini:
a) Anak Balita Terlantar
yaitu anak yang berusia 0-4 tahun yang karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat
melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan: miskin/tidak mampu, salah
seorang sakit, salah seorang/kedua-duannya meninggal, anak balita sakit) sehingga
terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya baik secara
jasmanai, rohani maupun sosial.
b) Anak Terlantar, yaitu anak yang berusia 5 18 tahun yang karena tertentu (karena
beberapa kemungkinan :miskin/tidak mampu, salah seorang dari orang tua/wali
pengampu sakit, salah seorang/kedua orang tuanya/wali pengampu sakit, salah
seorang/kedua orang tuanya/ wali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak
harmonis, tidak ada pengampu/pengasuh), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan
dasarnya dengan wajar baik secara jasmani rohani maupun sosial.
3. Kedisabilitasan
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, ditegaskan
bahwa penyandang disabilitas digolongkan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki
kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.
bencana sosial tidak terbatas hanya pada upaya penanganan korbannya semata, tetapi juga
diarahkan pada upaya pencegahan. Permasalahan yang mengakibatkan rusaknya sarana dan
prasarana umum serta jalur transportasi, dan terbatasnya peralatan untuk evakuasi korban dan
pembenahan serta pembersihan lokasi bencana, menyebabkan bantuan bagi korban bencana
terkesan lamban. Permasalahan lain yang juga sering dihadapi adalah keterlambatan dan
kurang akuratnya laporan data dari daerah.
7. Korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO
(dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau
masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma,
kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian
yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan
dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.
Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang
terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak
untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa
memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan
fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik
yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa
peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
Dalam konteks praktik Pekerjaan Sosial, persoalannya bukan masalah
sosialnya itu sendiri, melainkan masalah keberfungsian sosialnya. Skidmore and
Thackeray (1988:20-21), mengemukakan: ...that social work is concerned with
the interaction between people and their environment with the consequences
that (1) affect the ability of people to cope with lifes problems and tasks, (2)
eliminate or lessen the negative consequences of stress, (3) contribute to
achievement of personal aspiration and goals, (4) embrace those values that
promote the general welfare and social justice.
Pekerjaan Sosial adalah profesi pemberian bantuan kemanusiaan yang
bertujuan untuk membantu individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat agar
mampu menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan peranannya. Dengan kata
lain, nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional yang digunakan Pekerjaan
Sosial pada dasarnya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social
functioning) klien yang dibantunya (Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1985; Morales
dan Sheafor 1989; Skidmore, Thackeray dan Farley, 1991). Sebagaimana
dinyatakan Skidmore, Thackeray dan Farley (1991:19): Social functioning to be
a central purpose of social work and intervention was seen as the enhancement
of social functioning. Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting
bagi Pekerjaan Sosial. Ia merupakan pembeda antara profesi Pekerjaan Sosial
dengan profesi lainnya
Mengenai fokus praktik profesi Pekerjaan Sosial, Harriet Bartlett
mengemukakan bahwa fokus Pekerja Sosial adalah pada fungsionalitas sosial.
Bartlett menyatakan bahwa fokus profesi Pekerjaan Sosial adalah hubungan di
antara aktivitas orang untuk menghadapi tuntutan-tuntutan dari lingkungan;
dengan tuntutan-tuntutan dari lingkungan itu sendiri (Bartlett, Harriet M., The
Common Base of Social Work Practice, Social Work, April).
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Dengan menggunakan pengertian dasar dari konsep sosial yang merupakan
kata kunci dari konsep kesejahteraan sosial, yaitu hubungan antar manusia, maka
konsep Kesejahteraan Sosial dapat dipandang dari empat sisi, sebagai berikut :
1.
Sebagai Suatu Sistem Pelayanan Sosial.
Walter A. Friedlander mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah:
Sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan lembaga-lembaga sosial
yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai
standar hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta untuk mencapai relasi
perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan
kemampuan-kemampuan mereka secara penuh, serta untuk mempertinggi
kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan
masyarakat. (Walter A. Friedlander, Introduction to Social Walfare, 2nd.ed.,
Prentice-Hall of India (private) Limited, New Delhi, 1967)
Dengan melihat kondisi tersebut, maka upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan sosialpun sejatinya dilakukan oleh semua pihak, baik oleh
pemerintah, dunia usaha, maupun civil society, hal ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang
bermitra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial, dan
pemberdayaan masyarakat.
Pengertian konsep kesejahteraan sosial yang telah digunakan selama ini
telah menjadikan batasan konsep tersebut menjadi rancu dan kabur (out of
focus) karena diartikan terlalu luas.Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
mendefinisikan kesejahteraan sosial, sebagai berikut: Kesejahteraan sosial
adalah suatu keadaan yang sejahtera, baik secara fisik, mental, maupun sosial;
dan tidak hanya perbaikan-perbaikan dari penyakit-penyakit sosial tertentu
saja.
Skidmore and Thackeray (1988:21) sepakat dengan pandangan tersebut:
All profession take cognizance of the wholeness of individuals. However,
because life is complex and science is specialized, each profession must confine
itself to some aspect of human functioning as a focus of its efforts and
activities. Maka bagi para Pekerja Sosial, tidak bisa tidak, manusia yang
sejahtera adalah manusia yang mempunyai kemampuan menjalin interaksi yang
baik dengan sesamanya; artinya kebahagiaan dan ketidakbahagiaan manusia
terletak pada kualitas hubungannya dengan manusia-manusia lain; bukan dilihat
dari kekayaan, kesehatan, dan keadaan lain.
Mengacu kepada pengertian konsep sosial seperti telah dikemukakan
terdahulu, maka kesejahteraan sosial mengacu kepada keadaan antar
hubungan manusia yang baik, artinya yang kondusif bagi manusia untuk
melakukan upaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Dari
definisi tersebut dapat dijelaskan beberapa hal, sebagai berikut :
Kesejahteraan Sosial didefinisikan dalam Undang Undang Republik
Indonesia nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial, pasal 1 ayat 1, sebagai berikut :
Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial,
materiil, maupun spirituil, yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan,
dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga
Pendekatan
filosofi
charity/philanthrophyyang
digunakan
dalam
memberikan pelayanan sosial telah gagal mengatasi masalah sosial, bahkan
menciptakan masalah sosial yang lebih mendasar, yaitu ketergantungan,
kehilangan harga diri, dan lenyapnya daya juang para penyandang masalah.
Dengan cara berpikir demikian, dan kenyataan bahwa pemberian bantuan
sosial telah menimbulkan masalah yang lebih berat; maka paradigma pelayanan
sosial tidak lagi bertumpu pada filosofi charity/philanthrophy, melainkan kepada
pemberdayaan (empowerment). Dengan paradigma baru tersebut, maka
masalah mendasar yang mengemuka bukan lagi kemiskinan, melainkan
kebodohan.Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah
pemberantasan kebodohan; dengan demikian, visi pelayanan sosial
sesungguhnya adalah pendidikan kepada masyarakat dalam arti yang luas dan
mendalam, yaitu mengubah sikap masyarakat: menghilangkan sikap ingin
diberi, dan menggantikannya dengan menumbuhkan sikap mandiri untuk
mengerahkan segala kemampuannya dalam meraih kesejahteraan dengan
usaha sendiri (prinsip partisipasi dalam Pekerjaan Sosial)
Dengan cara pandang tersebut, maka masalah yang dihadapi mungkin
saja masih sama, namun pengertian dan wujud tindakan penanganannya akan
harus menjadi lebih luas, lebih komprehensif, tidak selesai sekedar ramai-ramai
memberi bantuan derma.
2. Bidang-bidang Pelayanan Sosial.
Pelayanan sosial merupakan jawaban terhadap tuntutan kebutuhan dan
masalah yang dialami masyarakat sebagai akibat perubahan masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian bidang-bidang pelayanan sosial akan tergantung pada
pengidentifikasian terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di dalam
masyarakat. Jika cakupan masalah sosial dipandang telah mengalami perluasan
dari masalah sosial-ekonomi kepada masalah sosial-psikologis, maka cakupan
pelayanan sosial juga harus demikian. Jika masalah sosial dikategorikan menjadi
masalah disorganisasi sosial dan penyimpangan perilaku (Merton & Nisbet,
1976), maka bidang-bidang pelayanan sosial harus pula mencakup pelayanan
klinis sampai ke penataan sistem masyarakat itu sendiri. Merton dan Nisbet
merinci masalah-masalah sosial, sebagai berikut :
a.
Perilaku Menyimpang (Deviant Behavior) :
1) Tindakan Kejahatan dan Kenakalan Remaja (crime and juvenille
delinquency).
2) Gangguan-gangguan mental (mental disorders)
3) Penggunaan obat-obat terlarang (drugs use)
4) Kecanduan alkohol dan permabukan (alcoholism and problem drinking)
5) Perilaku Seksual (sexual behavior)
b.
Disorganisasi Sosial (Social Disorganization).
1)
Krisis Kependudukan Dunia (The Worlds Population Crisis)
2)
Kesetaraan dan Ketidaksetaraan (Equality and Inequality)
3)
Lansia (Age and Aging)
4)
Peranan-peranan seksual (Sex Roles)
5)
Ras dan antar hubungan kelompok di dalam masyarakat
(Race and Intergroup Relations)
6)
Disorganisasi Keluarga (Family Disorganization)
7)
Disorganisasi komunitas dan masalah-masalah perkotaan
(Community Disorganization and Urban Problems)
8)
Dunia Pekerjaan (The World of Work)
9)
Kemiskinan dan proletariat (Poverty and Proletariat)
10)
Kekerasan kolektif (Collective Violence)
Masalah sosial pada suatu masyarakat akan terkait dengan nilai-nilai dan
norma-norma sosial budaya masyarakat itu sendiri. Karena itu, jenis-jenis,
variasi, serta penilaian tentang masalah sosial mungkin tidak sama pada
berbagai masyarakat. Namun demikian, untuk kepentingan identifikasi masalah
sosial, hal yang penting adalah adanya kesamaan tentang pengertian konsep
masalah sosial tersebut.
Keanekaragaman jenis, variasi, serta urgensi tentang masalah sosial yang
ditentukan oleh standar nilai dan norma masyarakat, berlaku pula bagi jenisjenis, serta keanekaragaman pelayanan sosial. Pelayanan sosial diselenggarakan
untuk menjawab tantangan kebutuhan dan masalah sosial yang terjadi di dalam
masyarakat. Sebagai sebuah contoh, berikut ini akan dikemukakan rincian
bidang-bidang pelayanan sosial yang dikemukakan oleh Johnson (1986), sebagai
berikut :
a. Kesejahteraan masyarakat dan pemeliharaan pendapatan (Public Welfare
and Income Maintenance)
b. Pelayanan bagi keluarga dan anak-anak di rumah (Services to Families
and Children in the Home)
c. Pelayanan bagi keluarga dan anak-anak di luar rumah (Services to
Families and Children Outside the Home)
d. Praktik Pekerjaan Sosial di sekolah (Social Work in the Schools)
e. Pelayanan sosial di bidang kesehatan (The Health Field and Social
Services)
f. Pekerjaan Sosial di bidang kesehatan mental (Mental Health and Social
Work)
g. Pelayanan Sosial dan tindakan pelecehan/kesewenangan (Social Services
and Substance Abuse)
h. Peradilan kejahatan dan kenakalan (Criminal and Juvenile Justice)
i. Pelayanan Sosial bagi Lansia (Social Work and Older Persons)
j. Pelayanan Sosial di tempat bekerja (Social Work in the Workplace)
k. Bidang-bidang praktik Pekerjaan Sosial non tradisional (non-traditio- nal
Settings of Social Work Practice).
Menurut Ensiklopedia Pekerjaan Sosial, terdapat 31 bidang praktik
Pekerjaan Sosial yang secara umum menjadi bidang garapan lembaga
kesejahteraan sosial pada berbagai negara. Bidang-bidang tersebut adalah:
1. Addiction
Meliputi ketergantungan pada alkohol dan ketergantungan pada obat
(narkotika)
2. Child Welfare
Meliputi adooption, foster care, day care of children, pre school programs,
residential treatment
3. Community Welfare Council
4. Crime and Deliquence
Meliputi institution, parole and probation
5. Disability and Physical Handicap
Meliputi pelayanan bagi eks penderita penyakit kronis, orang-orang yang
mengalami gangguan bicara, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, dan pemberian pelayanan rehabilitasi vokasional
6. Pendidikan Pekerjaan Sosial
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2.
3.
4.
5.
6.
Masyarakat atau individu sebagai bagian penting dari keberadaan suatu bangsa mendambakan
kehidupan yang sejahtera dan dapat mencapai kesejahteraan, namun upaya untuk mencapai
kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia sebagai negara berkembang tidak
begitu saja dapat dipenuhi tanpa adanya dukungan dari pemerintah selaku penyelenggara negara.
Realita kehidupan masyarakat Indonesia yang masih dekat dengan kemiskinan dan jauh dari
terpenuhinya kondisi sejahtera merupakan tugas besar.
Kemiskinan diartikan sebagai ketidak-mampuan rumah tangga atau
seseorang dalam memenuhi secara cukup kebutuhan dasarnya.
Kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan (deprivation) akan aset-aset
penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperoleh
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
B. Praktik Empiris
Saat ini berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah
dalam meningkat kualitas hidup warga masyarakat dengan berbagai program
pembangunan. Agar program pembangunan di bidang urusan sosial dan kesejahteraan
sosial dapat dilaksanakan dengan efektif dan efesien tentu sesuai dengan prinsip
negara berdasarkan hukum, maka berbagai aktifitas kegiatan pembangunan ini mesti
ada payung hukumnya.
Berdasarkan kenyataan yang ada dan keadaan secara empirik kegiatan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial sangat diperlukan oleh banyak warga
masyarakat termasuk warga masyarakat dan penduduk di kabupaten Agam. Sebab di
daerah ini terdapat banyak warga masyarakat yang dikategori sebagai berada dalam
garis kemiskinan, fakir miskin, orang dan anak terlantar, orang dengan kecacatan, dan
berbagai kategori lain yang dimuat dalam ranperda ini memerlukan perhatian dan
bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah (kabupaten Agam). Begitu juga dalam
konsep jaminan sosial, maupun pemberdayaan, pelayanan sosial dan partisipasi sosial
merupakan aspek penentu dalam proses keberhasilan penyelenggaraan sosial
sehingga pembangunan di bidang sosial menjadi tepat guna dan tepat sasaran.
Oleh sebab itu, berdasarkan data yang diperoleh tim penyusun bersumber dari
Agam dalam angka Tahun 2014 yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Agam dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Agam, maka dikemukan berbagai data yang menjadi alasan logis dan realitis
pentingnya disusun ranperda penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini secara empirik,
data dari sumber tersebut yang dikemukakan yakni Kabupaten Agam merupakan salah satu
kabupaten di propinsi Sumatera Barat dengan ibukota kabupaten Lubuk Basung. Secara
Astronomis Kabupaten Agam terletak antara 0001'34" 0028'43" Lintang Selatan dan
9946'39"10032'50" Bujur Timur. Luas wilayah kabupaten Agam adalah 2.232,3 kilometer
persegi. Kecamatan dengan luas wilayah terbesar adalah kecamatan Palembayan dengan luas
wilayah 15,67 persen dari luas wilayah Kabupaten Agam. Sedangkan kecamatan dengan luas
wilayah terkecil adalah Kecamatan Banuhampu dengan luas wilayah 1,27 persen.
Gambar 2.1. Persentasi Luas Wilayah di Kabupaten Agam
Kondisi geografis Kabupaten Agam terbentang mulai dari ketinggian 0 hingga lebih dari
1000 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Tanjung Mutiara adalah kecamatan dengan
ketinggian ibu kecamatan terendah yaitu 2 m dpl. Sedangkan kecamatan dengan ketinggian ibu
kecamatan tertinggi adalah Kecamatan Matur yaitu 1.031 m dpl. Suhu rata-rata di Kabupaten
Agam adalah 20o-33o C dengan curah hujan pada tahun 2012 2.712,0 mm dan jumlah hari hujan
227 hari.
Luas Kabupaten Agam adalah 223.230 hektar. Sebagian besar wilayah Kabupaten Agam
merupakan kawasan hutan seluas 98.421,77 hektar. Sawah tadah hujan merupakan luas
penggunaan lahan terbesar kedua di Kabupaten Agam dengan luas lahan 26.115,63 hektar. Luas
lahan perkebunan juga cukup luas yang terdiri dari 25.868,10 hektar kebun campuran, 15.256,62
hektar perkebunan rakyat dan 21.462,86 hektar perkebunan besar. Sedangkan Nagari dan
Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Agam yaitu:
Tabel 2.1. Nama Nagari Menurut Kecamatan di Kabupaten Agam
Kecamatan / Nagari
Kecamatan / Nagari
(1)
(2)
Tanjung Mutiara
Banuhampu
1. Tiku Selatan
1. Pakan Sinayan
2. Tiku Utara
2. Sungai Tanang
3. Tiku Limo Jorong
3. Padang Lua
Lubuk Basung
4. Cingkariang
1. Manggopoh
5. Ladang Laweh
2. Geragahan
6. Taluak IV Suku
3. Kampung Tangah
7. Kubang Putiah
4. Kampung Pinang
Sungai Pua
5. Lubuk Basung
1. Batu Palano
Ampek Nagari
2. Padang Laweh
1. Bawan
3. Batagak
2. Sitanang
4. Sariak
3. Batu Kambing
5. Sungai Pua
4. Sitalang
Ampek Angkek
Tanjung Raya
1. Batu Taba
1. Tanjung Sani
2. Pasia
2. Sungai Batang
3. Balai Gurah
3. Maninjau
4. Ampang Gadang
4. Bayua
5. Duo Koto
6. Paninjauan
7. Koto Kaciak
8. Koto Gadang Anam Koto
9. Koto Malintang
Matur
1. Matua Mudik
2. Parit Panjang
3. Panta Pauh
4. Matua Hilia
5. Tigo Balai
6. Lawang
IV Koto
1. Koto Tuo
2. Balingka
3. Sungai Landia
4. Koto Panjang
5. Sianok Anam Suku
6. Koto Gadang
7. Guguak Tabek Sarajo
Malalak
1. Malalak Selatan
2. Malalak Barat
3. Malalak Timur
4. Malalak Utara
5. Biaro Gadang
6. Lambah
7. Panampuang
Canduang
1. Bukik Batabuah
2. Lasi
3. Canduang Koto Laweh
Baso
1. Koto Tinggi
2. Padang Tarok
3. Simarasok
4. Tabek Panjang
5. Koto Baru
6. Salo
Tilatang Kamang
1. Gadut
2. Kapau
3. Koto Tangah
. Kamang Magek
1. Magek
2. Kamang Hilir
3. Kamang Mudiak
Palembayan
1. Baringin
2. Sungai Puar
3. Sipinang
4. IV Koto Palembayan
5. Tigo Koto Silungkang
6. Salareh Aia
Palupuh
1. Koto Rantang
2. Pasie Laweh
3. Pagadih
4. Nan Tujuah
Data dari sumber tersebut berikutnya yaitu jumlah penduduk Kabupaten Agam pada thun
2013 adalah 466.978 jiwa atau menigkat 2,67 persen dibandingkan jumlah penduduk hasil sensus
penduduk pada tahun 2010. Jika dilihat menurut kecamatan, jumlah penduduk Kecamatan Lubuk
Basung merupakan yang terbesar dibandingkan kecamatan lainnya dengan populasi mencapai
70.605 jiwa, atau mencapai 15,12 persen dari total penduduk Kabupaten Agam. Kecamatan
dengan populasi penduduk terkecil adalah Kecamatan Malalak dengan jumlah penduduk 9.119
jiwa.
Secara umum tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Agam pada tahun 2013 adalah 209
jiwa perkilometer persegi. Tingkat kepadatan penduduk antara kecamatan cukup bervariasi.
Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Ampek Angkek
dengan kepadatan 1.488 jiwa per kilometer persegi. Sedangkan kecamatan dengan tingkat
kepadatan penduduk terendah adalah Kecamatan Palupuh dengan kepadatan 56 jiwa per
kilometer.
Sex ratio merupakan perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah
penduduk perempuan. Sex ratio penduduk kabupaten Agam pada tahun 2013 adalah 96 yang
berarti dalam setiap 100 penduduk perempuan terdapat 96 penduduk laki-laki. Sex ratio antar
kecamatan juga cukup bervariasi, nemun dari 16 kecamatan yang ada terdapat 3 kecamatan
dengan sex ratio di atas 100 yaitu Kecamatan Tanjung Mutiara, Kecamatan Ampek Nagari, dan
Kecamatan Palembayan.
Piramida penduduk sangat bermanfaat dalam melihat struktur umur penduduk dan
perbandingan penduduk laki-laki dan penduduk perempuan. Secara umum piramida penduduk
Kabupaten Agam berbentuk expansif, dimana jumlah penduduk mudanya lebih besar
dibandingkan penduduk usia dewasa. Hal ini mengindikasikan kondisi yang akan mengalami
pertumbuhan. Dengan laju pertumbuhan penduduk 0,93 diperkirakan penduduk kabupaten Agam
akan menjadi dua kali lipat pada usia 2085.
Usia kawin pertama sering digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan tingkat
fertilitas karena semakin muda usia perkawinan pertama seseorang maka semakin panjang masa
reproduksinya, sehingga peluang memiliki anak akan semakin besar. Dari grafik terlihat bahwa
sebagian besar penduduk Kabupaten agam memiliki usia kawin pertama antara 16-24 tahun yaitu
sebesar 73,57 persen dari total penduduk perempuan usia 10 tahun keatas yang pernah menikah.
Penduduk usia kerja dibedakan antara penduduk angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Persentase penduduk angkatan kerja di Kabupaten Agam adalah 62,35 persen dari total
penduduk usia kerja (penduduk 15 tahun keatas). Sedangkan sisanya 37,65 persen adalah bukan
angkatan kerja. Dari 37,65 persen penduduk yang bukan angkatan kerja, sebagian besarnya
adalah ibu rumahtangga, pensiunan dan penduduk dengan kebutuhan khusus. Sedangkan dari
total angkatan kerja sebagian besarnya adalah penduduk yang bekerja, dengan persentase
mencapai 94,54 persen.
Tingkat pengangguran terbuka merupakan perbandingan antar pencari kerja dengan
angkatan kerja. Persentase tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Agam dari tahun 2010
hingga tahun 2013 cukup berfluktuasi. Dari tahun 2010 hingga tahun 2011 terjadi peningkatan
persentase penggangguran terbuka menjadi 6,16 persen di tahun 2011 dan kemudian menurun
lagi pada tahun 2012 menjadi 3,71 persen dan naik pada tahun 2013 menjadi 5,46. Pada tahun
2012 persentase penduduk miskin di Kabupaten Agam menjadi 7,68 persen.
Berdasarkan
rujukan
data
diatas, .........................................
Agam
dalam
angka
Tahun
2014
Selain itu, dari pengalaman Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Agam
yang disampaikan dalam pembahasan perencanaan penyusunan naskah akademik ini pada
rapat pertemuan tanggal 20 April 2016, Kepala Dinas menyampaikan secara empirik pernah
terdapat situasi yang memerlukan penanganan terhadap orang telah meninggal dunia yang
dikategori sebagai mayat terlantar. Secara keyakinan beragama setiap orang yang telah
meninggal (mayat/jenazah) mesti segera diselenggarakan pemakamannya. Apabila orang
meninggal dalam keadaan terlantar (sudah menjadi mayat/jenazah), sedangkan belum ada
pihak yang mempunyai hubungan keluarga atau kekekerabatan atau hubungan lainnya atau
tidak pihak yang bersedia secara sukarela menyelenggarakan pengurusan dan
pemakamannya, tentu pihak pemerintah dalam hal ini terjadi di daerah kabupaten Agam, maka
tentu pihak pemerintah kabupaten Agam sudah sepatutnya melakukan pengurusannya sejalan
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga agar dasar hukum penanganan seperti itu maka
kategori mayat terlantar diperlukan termuat dalam ranperda ini. Sebab suatu perda
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Indonesia dalam konsepsi kengaraannya merupakan suatu negara berdasarkan hukum (rechtaat).
Ini juga ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945. Dengan demikian, hukum menjadi landasan utama dalam mengatur berbagai aspek
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutamanya hal-hal yang berhubungan dengan
kepentingan hajat hidup orang banyak sepatutnya dilegitimasi dengan peraturan perundangundangan guna menjamin kepastian serta keadilan hukum bagi masyarakat. Sehingga sangat
penting penyelenggaraan pemerintahan termasuk pemerintah daerah dilaksanakan dengan
bersandarkan kepada suatu peraturan perundang-undangan. Sebagaimana pendapat Jimly
Asshiddiqie, suatu peraturan perundang-undangan yang memuat norma-norma hukum yang
mengikat untuk umum,dibuat lembaga berwenang seyogianya disusun berdasarkan pemikiran
yang matang dan perenungan yang memang mendalam, semata-mata untuk kepentingan umum
(public interest), bukan kepentingan pribadi
atau golongan. (Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang diIndonesia, Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, Hlm.320)
Dari aspek, dalam Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dinyatakan: Pasal 5; Dalam
membentuk Peraturan Perundang undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:a. kejelasan tujuan; b.
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Kemudian dalam Pasal 6, Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan asas: pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan;
kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Kualitas materi suatu undang-undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari proses pembentukan undang-undang. Pemahaman terhadap kualitas adalah
bagaimana dapat diantisipasi kemungkinan suatu undang-undang terpaksa
direvisi dalam jangka pendek, daya berlaku
efektivitas dari aturan hukum yang dibuat tersebut. Efektivitas atau keberlakuan
penegakkan suatu aturan hukum dapat ditandai dengan cara:
1. Masyarakat bisa menerima aturan hukum tersebut sehingga masyarakat akan
berperilaku sesuai dengan aturan hukum tersebut;
2. Aparat penegak hukum atau pejabat hukum dapat menerapkan dan menegakkan
aturan hukum tersebut;
3. Substansi dari aturan hukum tersebut tidak bertentangan dengan hierarki
peraturan yang lebih tinggi
Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang terbaru, dalam Pasal 7 ayat (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Perubahan penting UUD Negara RI Tahun 1945 yang berkaitan erat dengan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial terlihat antara lain; dalam Pasal 28H ayat
(1) menyebutkan Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehatserta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
Dengan penyelenggaraan kesejahteraan sosial akan menciptakan kehidupan yang
sejahtera lahir batin sehingga mereka yang bertempat tinggal di kabupaten ini
dapat hidup tentram dan damai.
Ayat (2)" Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan".
Ayat (3) "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat".
Kemudian, dalam Pasal 33 Ayat (3) "Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Pasal 34 (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan pemerintah dan
pemerintah daerah harus mengacu dan melaksanakan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 sebagai pedoman untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang
tertuang dalam psal 5 dan pasal 6, yaitu tentang asas formil dan asas materiil
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersifat formil tertuang
dalam pasal 5 yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan
d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan Keberhasilangunaan
f. Kejelasan rumusan dan
g. Keterbukaan
(1)
(2)
(3)
Barang siapa mengadakan undian harus lebih dahulu mendapat izin dari yang
berwajib berdasarkan peraturan-peraturan dalam pasal-pasal berikut, kecuali
yang ditetapkan dalam pasal 2.
Yang diartikan dengan kata undian dalam undang-undang ini ialah tiap-tiap
kesempatan yang diadakan oleh sesuatu badan untuk mereka yang setelah
memenuhi syarat-syarat tertentu dapat ikut serta memperoleh hadiah berupa
uang atau benda, yang akan diberikan kepada peserta-peserta yang ditunjuk
sebagai pemegang dengan jalan undi atau dengan lain cara menentukan
untung yang tidak terbanyak dapat dipengaruhi oleh peserta sendiri.
Bilamana timbul keragu-raguan apakah suatu permainan untung-untungan
bersifat undian menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, maka
Menteri Sosial berhak memutuskan.
Pasal 2
Undang-undang ini tidak berlaku untuk undian yang diadakan:
a.
oleh Negara.
b.
oleh suatu perkumpulan yang diakui sebagai badan hukum, atau oleh suatu
perkumpulan yang telah berdiri sedikit satu tahun, di dalam lingkungan yang
terbatas pada para anggota, untuk keperluan sosial, sedang jumlah harga
nominal dari undian tidak lebih dari Rp. 3.000,- (tiga ribu rupiah). Undian ini
harus diberitahukan kepada instansi Pemerintah yang berwajib, dalam hal ini
Kepala Daerah.
Pasal 3
Izin untuk mengadakan undian hanya dapat diberikan untuk keperluan sosial yang
bersifat umum.
60 tahun ke atas. Sedangkan pengertian Lansia terlantar adalah seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara
jasmani, rohani, maupun sosialnya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dengan dua UU yang
mengubahnya yaitu; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Pasal 41
1. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup
layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anakanak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara,
untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Pasal 22
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan
prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak
Bagian Keempat
Sosial
Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam
lembaga maupun di luar lembaga.
(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh
lembaga masyarakat.
(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah
dan
lembaga masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat mengadakan kerja sama
dengan
berbagai pihak yang terkait.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3),
pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.
Pasal 57
Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka
lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat
mengajukan
permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.
Pasal 58
(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat
penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.
(2) Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan :
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN SOSIOLOGIS,DAN LANDASAN YURIDIS
1. Landasan Filosofis
Pelaksanaan pembangunan yang dijalankan oleh Negara dan pemerintah daerah untuk mencapai
kesejahteraan sosial masyarakat seyogianya juga didasarkan atas suatu landasan filosofis yang
rasional. Sebelum mendalami landasan filosofis pembentukan perda tentang kesejahteraan sosial
di kabupaten Agam ini lebih lanjut.
Makna kata filsafat yakni ilmu yang mempelajari tentang keadilan, dan kebenaran, maka
hal inilah yang menjadi dasar dalam sebuah peraturan, karena peraturan dibuat untuk
menegakkan kebenaran. Sedangkan kata filsafat berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua
kata yakni philos, philia, philien yang artinya senang dan shopos, shopia dan shopien yang
artinya kebenaran, keadilan, bijaksana atau kebijaksanaan.3
Kesejahteraan sosial merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan masyarakat
yang berkualitas, kualitas tidak hanya berkualitas dari segi hidup tapi juga berkualitas dalam segi
sosial.
Penempatan pasal 33 dalam UUD 1945 dibawah judul b a b k e s e j a h t e r a a n s o s i a l i t u
b e r a r t i pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan
kesejahteraan s o s i a l . D e n g a n d e m i k i a n , d i l i h a t d a r i perspektif pembangunan sosial,
Indonesiamenganut Negara kesejahteraan, Indonesia menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima
Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan
tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan sosial. (Sri Edi Swasono dalam
Ronawaty Anasiru. 2011; hal 61).
Sri Edi Swasono dalam Ronawaty Anasiru. 2011. KEBIJAKAN PUBLIK DALAM KONSTELASI
PARADIGMA PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL.Jurnal Otoritas.Vol.1 No.1 April 2011; hal 61-65.
https://www.scribd.com/doc/84734626/24/C-PARADIGMA-PEMBANGUNANSelanjutnya dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 Pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan
bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial
warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Pengaturan dalam pelaksanaan kesejahteraan sosial yang
diberikan oleh pemerintah adalah sebagai bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah
kepada masyarakat agar dapat hidup mandiri dan mampu menjalankan fungsi sosialnya.
Untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pemerintah perlu mengayomi masyarakat
agar kesejahteraan sosial dapat tercapai. Dengan dilaksanakannya aturan pelaksanaan
kesejahteraan sosial, masyarakat bisa mengembangkan diri sehingga terwujudkan kesejahteraan
sosial.4
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini mempunyai banyak tujuan, hal ini termaktub
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, dalam Pasal 3 yaitu:
a. Untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup
b. Memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian
c. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dalam menangani masalah
kesejahteraan sosial
d. Meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggung jawab sosial dunia usaha dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan
e. Meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan.
f. Meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Dengan demikian, pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk menata masyarakatnya
agar terwujudnya masyarakat yang sejahtera. dengan adanya otonomi daerah, membuat daerah
seharusnya mampu menutupi kebutuhan-kebutuhannya sendiri didalam melayani masyarakat
dengan kata lain tidak bergantung pada pemerintah pusat.5
3
4
Otonomi yang dmiliki oleh daerah akan sangat menentukan pemerintah daerahdalam
mendorong pembangunan. Daerah yang mampu bekerja secara efisien sehingga mampu
mendorong pembangunan daerah yang memberikan kesejahteraan bagi warganya.6
Artinya pemerintah daerah harus mampu untuk mengelola rumah tangganya sendiri, tanpa
harus mendapat bantuan dari pemerintah pusat. Mengelola rumah tangga daerah juga ditujukan
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakatnya, ini dilihat bagaimana pemerintah daerah
bisa mengayomi masyarakatnya sehingga terwujudnya kesejahteraan sosial, dimana
masyarakatnya mampu mengembangkan diri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi landasan filosofis dalam
pelaksanaan kesejahteraan sosial dapat dilihat dari aturan tertinggi Negara Republik Indonesia
yang mana bertujuan untuk memajukan kesejateraan umum, hal ini juga termaktub dalam pasal
33 ayat (3) UUD 1945 dan diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi daerah
mempunyai kewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya sehingga mampu mengaktualisasikan
diri.
2. Landasan Yuridis
Pembentukan peraturan perundang-undangan, haruslah mengacu pada landasan
pembentukan peraturan perundang-undangan atau ilmu perundang-undangan
(gesetzgebungslehre), yang diantaranya landasan yuridis. Setiap produk hukum, haruslah
mempunyai dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding). Dasar yuridis ini sangat
penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah.
Peraturan daerah merupakan salah satu unsur produk hukum, maka prinsip-prinsip
pembentukan, pemberlakuan dan penegakannya harus mengandung nilai-nilai hukum pada
umumnya. Berbeda dengan niali-nilai sosial lainya, sifat kodratinya dari nilai hukum adalah
mengikat secara umum dan ada pertanggungjawaban konkrit yang berupa sanksi duniawi
ketika nilai hukum tersebut dilanggar.
Kajian yuridis, merupakan kajian yang memberikan dasar hukum bagi dibuatnya
suatu peraturan perundang-undangan, baik secara yuridis formal maupun
yuridis materiil, mengingat dalam bagian ini dikaji mengenai landasan hukum
yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain
untuk memberi kewenangan bagi suatu instansi membuat aturan tertentu dan
dasar hukum untuk mengatur permasalahan (objek) yang akan diatur ( Abdul
Basyir, 2014. Pentingnya Naskah Akademik Dalam Pembentukan
Peraturan Perundangundangan
Untuk Mewujudkan Hukum Aspiratif Dan Responsif. Jurnal IUS.
Vol II (5) Agustus 2014; hlm 291.
Dalam pembentukan dan penyusunan rancangan peraturan daerah ini merujuk pendapat
Bagir Manan, dilakukan dengan memperhatikan beberapa persyaratan yuridis. Persyaratan
seperti inilah yang dapat dipergunakan sebagai landasan yuridis, yang dimaksud disini
adalah :
a. Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang, artinya suatu peraturan perundangundangan harus dibuat oleh pejabat atau badan yang mempunyai kewenangan untuk itu.
Dengan konsekuensi apabila tidak diindahkan persyaratan ini maka konsekuensinya
undang-undang tersebut batal demi hukum (van rechtswegenietig);
b. Adanya kesesuaian bentuk/ jenis Peraturan perundang-undangan dengan materi muatan
yang akan diatur, artinya ketidaksesuaian bentuk/ jenis dapat menjadi alasan untuk
membatalkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud;
c. Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan adalah pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan harus melalui prosedur dan tata cara yang telah
ditentukan;8
d. Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannnya adalah sesuai dengan pandangan stufenbau theory, peraturan perundangundangan mengandung norma-norma hukum yang sifatnya hirarkhis. Artinya suatu
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya merupakan grundnorm
(norma dasar) bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. 9
kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. RPJM
1 (2005-2009) pada RPJMN 2005-2024, Undang- Undang No. 17 Tahun 2007 bahwa
Menata Kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan
demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik Berdasarkan teori-teori yang
dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa landasan yuridis merupakan ketentuan hukum
yang menjadi sumber hukum/ dasar hukum untuk pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan, demikian juga peraturan daerah. Untuk itu landasan yuridisnya
diantaranya :
3. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis (sociologiche gelding) dapat diartikan pencerminan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat, dengan harapan peraturan perundang-undangan (termasuk
peraturan daerah didalamnya) tersebut akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan
spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima secara wajar akan mempunyai
daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk
melaksanakannya. Dasar sosiologis dari peraturan daerah adalah kenyataan yang hidup
dalam masyarakat (living law) harus termasuk pula kecenderungan-kecenderungan dan
harapan-harapan masyarakat.
Menurut Eugene Ehrlich mengemukakan, bahwa terdapat perbedaan anatara hukum positif
di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) di pihak lain. Oleh
karena itu hukum posistif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau
selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. 10 . Berpangkal tolak dari pemikiran
tersebut, maka peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif akan mempunyai
daya
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum itu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, Hlm.
49-50 Laporan Final Rancangan 14
10
berlaku jika dirumuskan ataupun disusun bersumber pada living law tersebut. Dalam
kondisi yang demikian maka peraturan perundang-undangan tidak mungkin dilepaskan dari
gejala sosial yang ada di dalam masyarakat tadi. Sehubungan dengan hal itu, Soerjono
Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mengemukakan landasan teoritis sebagai dasar
sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum termasuk peraturan daerah yaitu :
a. Teori kekuasaan (Machttbeorie), secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena
paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat;
b. Teori pengakuan (Annerkennungstbeorie), kaidah hukum berlaku berdasarkan
penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. 11
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hil Co, Jakarta, 1992, Hlm.
16 12 Di beberapa negara, konsep welfare state mencakup segenap proses dan aktivitas
mensejahterakan warga Negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema
perlindungan sosial bagi kelompok yang kurang beruntung. Lihat Edi Suharto, Negara
Kesejahteraan dan Reinventing Depsos, makalah dalam Seminar Mengkaji Ulang Relevansi
Welfare State dan Terobosan Melalui Desentralisasi Otonomi di Indonesia, Wisma MMUGM tanggal 25
Juli 2006, hlm. 5.
11
BAB V
BAB V
A.
B.
1.
2.
3.
4.
5. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat dengan SKPD adalah
Perangkat Kabupaten Agam yang bertugas dalam bidang sosial.
6. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan sosial
7. Bupati adalah Bupati Kabupaten Agam.
8. Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang selanjutnya disebut Dinas, adalah
perangkat daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial.
9. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan
sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga
dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
10. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam
bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang
meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
11. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, yang selanjutnya disingkat PMKS adalah
perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan,
kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak
dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai
dan wajar.
12. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya beserta kakek dan/atau nenek.
13. Fungsi sosial adalah kemampuan orang perorang, keluarga dan/atau kelompok
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sebagai makhluk individu dan sosial sesuai
norma yang berlaku
14. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.
15. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
16. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga
negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya.
17. Perlindungan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani
resiko dari guncangan dan kerentanan sosial.
18. Bantuan Sosial adalah bantuan yang bersifat tidak tetap atau sementara dan diberikan
dalam jangka waktu tertentu kepada warga yang menghadapi resiko guncangan dan
kerentanan sosial agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya dan mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial.
19. Disfungsi Sosial Individu adalah ketidakmampuan seseorang dalam berperan sesuai
kapasitas status sosialnya dan tuntutan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan pokok
hidupnya.
20. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial, yang selanjutnya disingkat PSKS, adalah
perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang dapat berperan serta untuk
menjaga, menciptakan, mendukung, dan memperkuat penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.
21. Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang
taman, pasar, jalan, dan tempat-tempat umum lainnya yang mengganggu atau dapat
mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, agar PMKS tersebut
memperoleh pelayanan sosial.
36. Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat adalah suatu keadaan dinamis yang
memungkinkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dapat melakukan
kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur.
37. Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian
atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi dirinya dan/atau keluarganya.
38. Masyarakat Miskin atau Kurang Mampu adalah masyarakat/ Rumah Tangga Miskin
(RTM) yang memenuhi 9 (sembilan) atau 5 (lima) kriteria di Daerah dari 14 (empat
belas) kriteria Rumah Tangga Sasaran(RTS) berdasarkan survei Pendataan Sosial
Ekonomi Penduduk 2005/2006 (PSE05), Pendataan Program Perlindungan Sosial
(PPLS) 2008 dan/atau onsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
approach) yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik
39. Bencana alam adalah peristiwa yang disebakan oleh gejala alam, mengakibatkan korban
jiwa, penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan alam dan lingkungan,
kekurangan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat.
40. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi
dan wabah penyakit.
41. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat dan teror.
42. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal
dunia akibat bencana.
43. Korban bencana alam adalah orang perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat
yang menjadi korban dan/atau mengalami penderitaan baik secara fisik, materiil, mental
dan sosial akibat suatu musibah yang bersifat massal seperti korban kerusuhan, huru
hara dan/atau musibah lainnya selain korban tindak kekerasan dan bencana.
44. Bantuan sosial adalah bantuan yang sifatnya sementara yang diberikan kepada
penyanda masalah kesejahteraan sosial dengan maksud untuk meningkatkan
Kesejahteraan Sosial.
45. Rehabilitasi sosisal adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.
46. Perlindungan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan
menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.
47. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga
negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya.
48. Balita Terlantar adalah anak usia di bawah 5 (lima) tahun sampai kurang dari 18
(delapan belas) tahun yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya
dan/atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak
terpenuhi dengan wajar secara jasmani, rohani dan sosialnya yang penanganannya
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Bekas narapidana;
Pengemis dan gelandangan;
Pemulung ;
Eksodan
Penyandang HIV/AIDS
Pelayanan bagi wanita yang meliputi pelayanan pada wanita tuna susila, wanita rawan
sosial ekonomi
l. Disability and physical handicap meliputi pelayanan bagi eks penderita penyakit kronis,
penyandang cacar, orang-orang yang mengalami gangguan bicara, gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, dan pemberian pelayanan rehabilitasi vokasional
m. Pelayanan bagi lanjut usia meliputi pelayanan bagi lanjut usia terlantar
n. Pelayanan pada keluarga meliputi pelayanan bagi keluarga rentan, keluarga bermasalah
kronis,
o. Pelayanan kesehatan meliputi pelayanan bantuan kesehatan keluarga, kesehatan mental
masyarakat dan konseling
p. Pelayanan kesehatan mental dan pelayanan bagi orang yang mengalami retardasi mental
q. Pelayanan bagi korban bencana alam dan musibah lainnya serta pelayanan bagi
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana
r. Pelayanan bagi pekerja migran dan pekerja migrant terlantar
s. Pelayanan kepada para veteran dan janda veteran
t. Mengelola pelayanan-pelayanan atau bantuan sukarela
u. Lembaga-lembaga pelayanan bagi pemuda
v. Perumahan (housing) meliputi program bantuan pemukiman bagi masyarakat
berpenghasilan rendah, keluarga berumah tidak layak huni, keluarga yang tinggal di
daerah kumuh
1. Kegiatan pelayanan sosial dilakukan secara professional melalui wadah organisasi
pelayanan sosial, yaitu organisasi formal yang fungsi utamanya menyelenggarakan
pelayanan kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk memecahkan masalah dan atau
memenuhi kebutuhan masyarakat
2. Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial
a. Sistem sumber kesejahteraan sosial adalah kekuatan atau sumber yang dapat
dipergunakan oleh orang sebagai sumber pemenuhan kebutuhan material, emosional,
spiritual, dan pelayanan-pelayanan serta kesempatan-kesempatan yang dibutuhkan
untuk mewujudkan aspirasi dan membantu pelaksanaan tugas-tugas kehidupan.
b. Jenis-jenis sistem sumber kesejahteraan sosial meliputi
(1) Sistem sumber personal adalah sumber kesejahteraan sosial yang diperoleh dari diri
sendiri, keluarga, teman dan kolega kerja;
(2) Sistem sumber informal adalah sumber kesejahteraan sosial yang diperoleh dari
sekitar individu berada yang terdiri dari penolong alami dalam masyarakat,
kelompok kemandirian, kelompok masyarakat arus bawah, klub dan kelompok
lainnya yang berfungsi secara informal
(3) Sistem sumber institusional adalah sumber kesejahteraan sosial yang bersifat
kelembagaan yang dapat diakses oleh setiap orang yang terdiri dari sekolah, rumah
sakit dan organisasi formal lainnya
(4) Sistem sumber kemasyarakatan adalah pelayanan, badan-badan dan lembagalembaga yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat tertentu
1. Setiap organisasi sosial yang telah berbadan hukum wajib mendaftar kepada
Dinas Sosial atau sebutan lain, dengan melampirkan:
a. Salinan akta pendirian dan/atau salinan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga;
b. Salinan struktur kepengurusan;
c. Program kerja:
d. Mempunyai modal kerja untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
2. Organisasi sosial sebagaimana dimaksud diatas dapat menyelenggarakan
kesejahteraan sosial, setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati melalui Dinas
Sosial atau sebutan lain.
3. Pemerintah Daerah memberikan pembinaan kepada setiap Organisasi Sosial yang
melakukan kegiatan di Daerah.Pembinaan dilakukan melalui:
a. Orientasi;
b. Pemberian bimbingan;
c. Fasilitasi pendidikan dan latihan baik dari dalam maupun di Luar Negeri;
d. Pemberian bantuan keuangan, peralatan dan fasilitas-fasilitas tertentu, sesuai
dengan tingkat kemampuan Pemerintah Daerah.
4. Setiap Organisasi Sosial Dilarang:
a. Menerima bantuan dari Luar Negeri tanpa mengikuti tata cara penerimaan
berdasarkan peraruran perundang-undangan yang berlaku;
b. Menyelenggarakan usaha pengumpulan dana dengan cara-cara memaksa atau
yang mengandung unsur paksaan/penipuan;
c. Menyelenggarakan kegiatan yang menyimpang dari Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga dari Organisasi Sosial yang bersangkutan;
d. Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang berlaku;
C.4. Peran Masyarakat
Masyarakat mempunyai kesempatan berperan dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yaitu:
a. perseorangan;
b. keluarga;
c. organisasi keagamaan;
d. organisasi sosial kemasyarakatan;
e. lembaga swadaya masyarakat;
f. organisasi profesi;
g. badan usaha;
h. lembaga kesejahteraan sosial;
i. organisasi masyarakat adat; dan
j. lembaga kesejahteraan sosial asing.
C.4. Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Uang atau Barang
1. Setiap kegiatan pengumpulan sumbangan uang atau barang di Daerah wajib
memiliki ijin dari Bupati.
2. Pengumpulan sumbangan uang atau barang ini berdasarkan hukum agama, hukum
adat dan adat istiadat, atau yangdiselenggarakan dalam lingkungan terbatas tidak
memerlukan ijin.
3. Surat permohonan ijin diajukan oleh pemohon secara tertulis kepada Bupati atau
Pejabat yang ditunjuk.
4. Surat permohonan ijin penyelenggaraan pengumpulan sumbangan harus dengan
jelas memuat :
a. Maksud dan tujuan pengumpulan sumbangan uang atau barang yang meliputi:
cara penyelenggaraan; penyelenggaranya, batas waktu penyelenggaraan;
luasnya penyelenggaraan (wilayah, golongan); cara penyalurannya;
b. Pernyataan
kesediaan
di
atas
meterai
yang
cukup
untuk
mempertanggungjawabkan usahanya serta penggunaannya (membuat
laporan);
c. Nama dan alamat organisasi pemohon;
d. Susunan pengurus;
e. Kegiatan sosial yang telah dilaksanakan;
f. Kegiatan usaha-usaha yang telah dilaksanakan untuk tujuan tersebut.
5. Usaha pengumpulan sumbangan uang atau barang yang dilakukan oleh suatu
perkumpulan atau organisasi harus secara terang-terangan dan tidak dengan
paksaan, ancaman, kekerasan ataupun cara-cara yang dapat menimbulkan
keresahan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.
6. Pengumpulan sumbangan adalah bertujuan untuk menunjang kegiatan Sosial yang
menyangkut di bidang Kesejahteraan Sosial, meliputi: Pendidikan Kesehatan;
Olahraga; Agama/kerohanian, Kebudayaan; Bidang Kesejahreraan Sosial lainnya;
Kegiatan lainnya yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan dan
program Pemerintah dalam bidang Kesejahteraan Sosial.
7. Pengumpulan sumbangan dapat diselenggarakan dengan cara : mengadakan
pertunjukan; mengadakan bazar; penjualan barang secara lelang; penjualan kartu
undangan menghadiri suatu pertunjukan; penjualan perangko amal; pengedaran
dafrar (les) derma; penjualan kupon-kupon sumbangan; penempatan kotak-kotak
sumbangan di tempat-tempat umum; penjualan barang bahan atau jasa dengan
harga atau pembayaran yang melebihi harga yang sebenarnya; pengiriman blanko
pos wesel untuk meminta sumbangan; permintaan secara langsung kepada yang
bersangkutan tertulis atau lisan.
8. Setiap Badan usaha milik pemerintah/swasta kepanitiaan dan organisasi / lembaga
pemerintah, organisasi lembaga kemasyarakatan, yang melakukan kegiatan usaha
pengumpulan uang atau barang wajib memberikan laporan pengumpulan
danpenggunaannya kepada Bupati.
9. Setiap Badan Usaha Milik Pemerintah/Swasta di Daerah yang mendapat
keuntungandari hasil usaha wajib memberikan dana kompensasi untuk dana
Kesejahteraan Sosial.
10. Pembinaan Usaha Pengumpulan Uang dan Barang. Usaha pembinaan dan
penertiban terhadap penyelenggaraan pengumpulansumbangan uang atau barang
meliputi tindakan preventif dan refresif.Usaha penertiban dilakukan oleh pejabat
yang secara fungsional berwenang dalam
Daftar Pustaka
Bagir Manan, 1990, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945. Disertasi Doktoral, Universitas Padjajaran, Bandung
Edi Suharto. (2005) Analisis Kebijakan Publik (Panduan Praktis Mengkaji
Masalahd a n Ke b ij a k a n S o s i a l ) B a n d u n g : Alfabeta
Bagong, S, Dkk . (2000) . Menghadang Langkah Perempuan. Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan, UGM : Jogjakarta
Suud, Mohammad. 2006. Orientasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Prestasi Pustaka
Soehartono Irawan, Marjuki dan Edi Suharto. 2006. Kebijakan dan Perencanaan Sosial.
Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia IPB
dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Bandung: Rafika Aditama
Suryawati. C. 2005. Memahami kemiskinan secara multidimensional. JMPK Vol.
08/No.03/September/2005
Bagir Manan. 1994. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
Hanif Nurcholis. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta :
PT. Grasindo.
Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta. 2000. Otonomi Daerah Perkembangan
Pemikiran dan Pelaksanaan. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Muhammad Fauzan. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah Kajian tentang Hubungan
Keuangan antara Pusat dan Daerah. Yogyakarta : UII Press.
Sadu Wasistiono, dkk. 2006. Memahami Asas Tugas Pembantuan Pandangan
Legalistik, Teoritik dan Implementatif. Bandung : Fokusmedia.
Samodra Wibawa. 2005. Good Governance dan Otonomi Daerah dalam Mewujudkan
Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
S.H. Sarundajang. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta : Kata
Hasta.
Jurnal
jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/download/171/147
Ria Casmi Arrsa. 2013.Restorasi Politik Legislasi Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis
Riset. Jurnal Rechts Vinding. Volume 2(3) Desember 2013; hal 379-415.
rechtsvinding.bphn.go.id/.../ART%207%20JURNAL%20VOLUME%20...
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, perubahan
pertama tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000, perubahan ketiga tahun 2001, perubahan
keempat 2001.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58)
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
BAB II Kajian Teoretis Dan Praktik Empiris
BAB III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait
BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis
BAB V Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan Ruang Lingkup Materi Muatan UndangUndang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
BAB VI Penutup
Daftar Pustaka
LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN DAERAH
BENTUK NASKAH AKADEMIK
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Bentuk Naskah Akademik berdasarkan Lampiran I Undang undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 :
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Landasan Filosofis
Menggambarkan bahwa Peraturan Perundang undangan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Landasan Sosiologis
Menggambarkan bahwa Peraturan Perundang undangan yang di bentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Menggambarkan fakta empiris perkembangan masalah dan
kebutuhan masyarakat dan negara.
Landasan Yuridis
Menggambarkan bahwa Peraturan Perundang undangan yang di bentuk untuk mengatasi permasalahan.
Sebenarnya landasan dalam undang-undang itu ada 4, selain 3 landasan diatas yakni landasan politis.
Landasan politis tidak dimasukan ke dalam naskah akademik karena landasan politis lebih cenderung
kepada arah kebijakan.
8)
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG
UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/ KOTA
9) BAB VI
PENUTUP
10) DAFTAR PUSTAKA
11) LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN