Anda di halaman 1dari 10

TUGAS RESUME

PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN

Oleh :
Rizki Darmawan
(B1A018253)

Dosen Pengampu :
Dr. Sirman Dahwal, S.H., M.H

Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu
2021
A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan


manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita
menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing
masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik
sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung. Setiap mahluk hidup
memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni
melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di
Indonesia.

Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena


keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk. Setiap orang
atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka
terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak
yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) , bukan
hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu
perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya
sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang
dianutnya.2 Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara
satu dengan yang lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya bermacam
macam agama dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian
dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.
B. Tinjauan Pustaka
1. Hukum Perkawinan Adat
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut
kedua mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-
saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat
perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penteng bagi mereka yang
masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat
berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-
arwah para leluhur kedua belah pihak.
Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada
susunan kekeluargaan. Susunan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam,
yaitu:
- Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilinier:
• Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”.
• Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan hubungan
keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
• Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
• Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal dirumah suaminya
dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu diwarisi
oleh adik almarhum.
- Perkawinan dalam keluarg matrilinier:
• Dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki dijemput.
• Suami berdiam dirumah isterinya, tetapi suaminya tetap dapat keluarganya
sendiri.
• Anak-anak masuk dalam klan isterinya dan si ayah tidak mempunyai
kekuasaan terhadap anak-anaknya.
- Perkawinan dalam keluarga parental:
• Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami
maupun keluarga isteri.
Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-
masing mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.

2. Hukum Perkawinan Islam


Menurut hukum islam perkawinan adalah perjanjian suci (sakral)
berdasarkan agama antara suami dengan istri berdasarkan hukum agama
untuk mencapai satu niat, satu tujuan, satu usaha, satu hak, satu kewajiban,
satu perasaan: sehidup semati. Perkawinan adalah percampuran dari semua
yang telah menyatu tadi. Nikah adalah akad yang menghalalkan setiap suami
istri untuk bersenag-senang satu dengan yang lainnya.
Al-Qur’an menunjukkan kehendak Allah akan perkawinan yang
monogami dengan mengikatkan umat Islam pada perkawinan suami-istri
pertama sebagai tauladan. Hal itu tampak pada surat An-Nissa ayat 1 yang
artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak...” pada ayat 129 pada surat yang sama,
kaum pria bahkan diingatkan tentang sulitnya berbuat adil pada beberapa
istri: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-
istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian; karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkantung-kantung...”.
Selain bersifat monogami, perkawinan selayaknya juga bersifat tak-
terceraikan. Adanya konflik tidak perlu menjadi alasan untuk bercerai.
Karena itu Al-Qur’an memberi nasihat kepada umat islam di dalam surat An-
Nissa ayat 15, agar jika terjadi konflik antara suami dan istri hendaknya
diselesaikan secara bijaksana.
Surat An-Nissa ayat 15: “jika kamu khawatir ada sengketa diantara
keduanya, maka kirimlah seorang juru pendamai dari keluarga laki-laki dan
seorang juru pendamai dari keluarga perempuan. Jika kedua juru pendamai
bermaksud mengadakan perbaikan, niscahya Allah memberi taufik kepada
suami-istri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”
Sistem perkawinan menurut hukum adat
Dalam hukum adat dikenal ada tiga sistem perkawinan yaitu:
1. Sistem Endogami: yaitu seorang hanya dibenarkan mengadakan
perkawinan dengan seseorang dalam suku sendiri. Sistem perkawinan ini
sudah jarang terjadi.
2. Sistem Eksogami: yaitu perkawinan dengan seseorang yang berlainan
suku atau suku yang lain.
3. Sistem Eleutherogami: yaitu sistem ini tidak mengenal larangan-
larangan atau keharusan-keharusan. Laranga-larangan dalam sistem ini adalah
yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan yaitu:
o Nasab (samadengan turunan yang dekat) seperti kawin dengan ibu,
nenek, anak kandung, cucu, saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
o Musyahara (samadengan periparan) yaitu kawin dengan ibu tiri,
menantu, mertua, anak tiri, dll.

3. Hukum Perkawinan Barat


Perkawinan berarti penyatuan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk saling setia satu sama lainnya dalam hidup bersama secara
suka rela.20 Definisi perkawinan ini digunakan dalam Pasal 43 (a) Hukum
Keluarga Australia Tahun 1975. Konsep ini juga dipergunakan di Inggris.
Dalam hukum Inggris, perkawinan merupakan sebuah perjanjian yang mana
seorang laki-laki dan seorang perempuan menyatakan kesepakatannya untuk
menjalin hubungan suami dan istri yang berbeda dengan perjanjian
perdagangan.
Pengertian perkawinan yang dianut dalam common law berdasarkan
konsep perkawinan Kristen, bahwa perkawinan adalah penyatuan hidup
secara suka rela antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk saling
setia satu sama lainnya. Yang dimaksud dengan istilah ‘voluntary union’ atau
pernyatuan secara suka rela di sini, diatur bahwa jika salah satu pasangan
tidak menyetujui perkawinannya tersebut, maka perkawinan itu tidak sah.
Adapun yang dimaksud dengan istilah ‘union for life’ atau penyatuan hidup
dalam definisi resminya adalah penyatuan yang dituntut untuk selama hidup.
Konsep ini masih menjadi bagian dari hukum Inggris. Hal ini tidak
bermaksud bahwa perkawinan tidak dapat dipisahkan (terjadi percerian),
tetapi maksudnya adalah perkawinan tidak boleh dibatasi dengan waktu
tertentu. Istilah ‘union of one man and one women’ berarti bahwa perkawinan
sesama jenis tidak dapat diterima sebagai perkawinan yang sah, walaupun
tidak menutup kemungkinan jika salah satu pihak berganti kelamin dapat
diterima sebagai perkawinan yang sah.
Adapun pengertian dari istilah ‘unionto the exclusion of all others’ atau
penyatuan untuk saling setia satu sama lainnya adalah bahwa perkawinan
bersifat monogami bukan poligami, walaupun dalam perkembangannya juga
terjadi kasus-kasus perkawinan poligami dan akhirnya juga dapat diterima.

4. Hukum Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974


Perkawinan dilaksanakan bukan semata-mata ikatan lahir belaka, namun
perkawinan juga merupakan ikatan bathin manusia. Sesuai dengan rumusan
pengertian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tenatang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan sah menurut hukum psitif Indonesia apabila perkawinan
tersebut dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) juga mempertegas
mengenai sahnya perkawinan.yaitu :
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang
berlaku.
Termasuk didalamnya memenuhi seluruh persayaratan yang diatur dalam
Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
perunadangundangan yang berkaitan dengan masalah perkawinan.

5. Hukum Perkawinan Agama Katolik san Protestan


 Agama Katolik
Walaupun di dalam agama Kristengterjadi perpecahan aliran- aliran, tetapi
sumber keimanan dan ibadah mereka tetaplah bersumber kepada
keimanangkepada ketritunggalan: Allah Bapak, Allah Anak dan Ruhulkudus,
dan Kitab Suci mereka bersumber pada "Al-Kitab”, yaitu Perjanjian Lama
(Taurat) dan Perjanjian Baru (Injil). Ajaran-ajaran yang terdapat dalam
Perjanjian Lama meliputi:
(1) Jangan menyembah berhala dan berbaktilah hanya kepada Allah dan
mencintai-Nya lebih dari segala-galanya;
(2) Jangan menyebut Tuhan Allahmu dengan tidak hormat;
(3) Sucikan hati Tuhan;
(4) Hormati ibu bapakmu;
(5) Jangan membunuh;
(6) Jangan berzina;
(7) Jangan mencuri;
(8) Jangan berdusta;
(9) Jangan mengingini istri sesamamu;
(10) Jangan ingin memiliki sesamamu secara tidak adil.
Sedangkan ajaran-ajaran yang terdapat dalam PerjanjiangBaru meliputi:
(1) Kasihilah Allah Tuhanmu dengan segenap hati, pikiran dan jiwa ragamu;
(2) Kasihilah sesamamu manusia sebagaimana engkau mengasihi dirimu
sendiri. PerjanjiangLama mengisahkan awal mula Illahi menciptakan manusia
dan jagad raya ini dilanjutkan kisah-kisah para Rasul-Nya beserta ajaran-
ajarannya, sedangkan Perjanjian Baru mengisahkan kedatangan Yesus Kristus
untuk menyempurnakan Taurat, kisah perjalanan, perkataan dan kejadian
akan datang setelah wafatnya Yesus Kristus, semuanya ditulis atau dibukukan
oleh murid-muridnya, selanjutnya tulisan kisah-kisah tersebut disebut dengan
Injil menurut nama dari murid penulisnya. Mengenai perkawinan menurut
agama Katolik sangat menghormati Bunda Maria. Penganut Katolik terutama
Pastor dan Suster mengikuti kehidupan Yesus Kristus tanpa terikat dalam
suatu
perkawinan, sedangkan agama Kristen para Pendetanya menjalani hidup dan
tugasnya dalam penyebaran Injil dapat terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
Pada dasarnya agama Kristen memandang perkawinangsebagai persekutuan
antara seorang pria dan perempuan, yang berdasarkan pada ciptaan Tuhan
untuk mengembangkan keturunannya.

 Agama Protestan

Menurut Keyakinan Kristen Protestant perkawinangitu mempunyai dua


aspek, yaitu: Pertama, perkawinan merupakan soal sipil yang erat
hubungannya dengan masyarakat dan negara, karenanya negara berhak
mengaturnya menurut Undang-Undang negara. Kedua, perkawinan adalah
soal agama, yang harus tunduk kepada hukum agama. Dengan demikian,
Gereja Kristen Protestan berpendapat bahwa agar perkawinan itu sah menurut
hukum negara maupun hukum Tuhan, haruslah dilakukan berdasarkangbaik
hukum agama maupun hukum negara. Agama Kristen Protestan tidak
melarang umatnya kawin dengan orang yang bukan beragama Kristen
Protestan. Akan tetapi, pada prinsipnya agama Kristen Protestan
menghendaki perkawinan yang seagama. Sebab, tujuan utama perkawinan,
menurut agama Kristen Protestan adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan itu
akan sulit tercapai kalau tidak seiman atau seagama.

6. Hukum Perkawinan Agama Hindu dan Budha

 Agama Hindu
Di dalam Kitab Weda yang mengajarkan pesan-pesan moral yang
bersumber dari Hyang Widhi, secara garis besar mengatur tatanan
antara manusia, alami dan hubungan dengan Tuhan. Ketiga rambu
penopang keharmonisangdunia ini dapat disebut sebagai Tri Hita
Karana. Posisi manusia di dalam konfigurasi ini merupakan pusat
serta memiliki kesadaran budaya dengan penonjolan pada akal budi.
Ketiga unsur manusia tersebut dilengkapi dengan kemampuan
potensial yaitu berpikir, berkehendak, berestetika dan percaya pada
sumber agama. Agama Hindu memandang bahwa setiap orang atqu
lembaga keumatan berhak atas pengakuan sebagai pribadi. Manusia di
tengah komunitasnya akan semakin memperteguh nilai-nilai
persamaan harkat dan derajat bagi segala bangsa di dunia. Ajaran
Hindu Tat Twan Asi telah meletakkan landasan persamaan dan
kesamaan yang menyiratkan jiwanperikemanusiaan secara bebas,
universal, adil dan beradab. Selaingitu, juga mencerminkan sifat
saling mengasihi, memberi kebebasan dan keselamatan bagi umat
manusia.

 Adama Budha
Sistem kepercayaan agama Budha pada awalnya tidak bertitik tolak
pada Ketuhanan tetapi berdasarkan kenyataan dan pengalaman hidup
manusia. Ajaran Ketuhanan muncul dengan munculnya aliran
Theravada dan aliran Mahayana. Theravada tetap akan
mempertahankan kemurnian ajaran Budha dengan menyatakan bahwa
Tuhan tidak dilahirkan, tidak menderita, tidak menjelma, tidak
tercipta, hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tidak ada awal tidak ada
akhir, tidak dapat diapa-apakan, tidak kenal masa dan pemberhentian
dan tidak terhingga. Tuhan tidak memiliki sebab akibat dengan alam
semesta, karena jika demikian halnya, maka hubungan yang terjadi
bersifat relatif. Kebudhaan seseorang diukur akhir mencapai
Nibbhana, yakni dengan jalan melenyapkangnafsu, dosa
dangkegelapan batin.

7. Hukum Perkawinan Agama Khonghuchu


Makna perkawinan menurut Konghucu dapat ditemukan dalam Kitab LI JI
buku XLI : 1 & 3 tentang Hun Yi (kebenaran makna upacara pernikahan),
dinyatakan bahwa : Upacara pernikahan bermaksud akan menyatu – padukan
benih kebaikan/ kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga; keatas
mewujudkan pengabdian kepada Tuhan dan leluhur (zong Miao),dan ke bawah
meneruskan generasi.
Sebagaimana lazimnya dengan agama – agama lainnya yang diakui di
Indonesia, maka sebagian orang yang menganut agama (ajaran Konghucu)
dalam melakukan upacara perkawinan didasarkan pada ketentuan agamanya
sendiri. Adapun ketentuan tersebut, adalah ke-2 (dua) calon mempelai yang
akan melangsungkan pernikahannya, harus datang ke pihak terkait (pemuka
agama) yang akan memberkati mereka atau mengantarkan ke-2 (dua)
mempelai pada upacara Liep Gwan (persidian) pernikahan didepan altar Thian
dan Nabi Konghucu.
Acara Liep Gwan merupakan Klimaks dari acara pernikahan, dalam
rangkaian ritual – ritual tata cara sesuai dengan adat suku bangsa bagi orang
Cina yang mendiami di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dengan berakhirnya upacara “Liep
Gwan” maka secara yuridis formil ke-2 (dua) pihak tersebut sah menurut
agama Konghucu, sebagaimana telah diatur dalam Undang – undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2 ayat (1), yang menyatakan sebagai
berikut: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing –
masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan sebagaimana dalam
Pasal 2 ayat (1) ini dengan tegas harus dicatat oleh kantor Catatan Sipil dimana
mereka tinggal, agar perkawinan, kelahiran anaknya dan sebagainya
mempunyai kekuatan hukum.

Anda mungkin juga menyukai