Anda di halaman 1dari 20

Perbandingan Perkawinan

Menurut Hukum Perdata(BW),


Hukum Adat dan Hukum Islam
1. Maria Faustin Ye Wale (2102010411)
2. Ludwina Ebo Werang (2102010406)
3. Alda Pong (2102010101)
4. Jonathan Yapholla (2102010194)
5. Maria Jessica Litti (2102010210)
Manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial yang tidak dapat
hidup sendiri. Ikatan Perkawinan merupakan pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama. Oleh sebab itu, manusia selalu hidup dengan sesamanya.
Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dari suatu
masyarakat, yang diharapkan dapat menjaga kesinambungan
kehidupan manusia di dunia. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat
disimpulkan adanya tiga macam hukum perkawinan yang berlaku,
yakni hukum perkawinan menurut hukum adat, hukum perkawinan
menurut hukum (agama) Islam, dan hukum perkawinan menurut
hukum Barat atau BW.
1. BW tidak mengakui perkawinan menurut hukum agama. BW melarang melakukan
upacara perkawinan menurut hukum agama, sebelum diadakan perkawinan menurut
undang undang. Ahli agama yang melanggar peraturan ini dapat dihukum (Ps. 530 KUH
Pidana), demikian kata Pitlo dan Meijling dalam buku Het Personenrecht.
2. Perkawinan harus dilangsungkan atas dasar kesukarelaan atau persetujuan dari kedua
calon suami istri (Ps.28).
3. Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang
istri, dan seorang perempuan hanya diperbolehkan mempunyai satu orang suami (ps
27).
4. Batas usia untuk kawin bagi seorang laki-laki 18 tahun dan bagi seorang perempuan 15
tahun. Tetapi jika ada hal-hal yang mendesak atau alasan-alasan yang penting, hakim
pengadilan negeri dapat memberikan dispensasi terhadap calon suami dan calon istri
yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan (Ps. 29).
5) Hukum BW mengharuskan adanya izin dari orang tua atau wali bagi mereka yang akan
melangsungkan perkawinan tetapi belum genap berumur 21 tahun (Ps. 35 dan 330).
6) Perkawinan dilarang antara mereka yang memiliki hubungan (a) darah (nasab) baik dalam
garis lurus ke atas, ke bawah, atau ke samping, (b) keiparan (semenda), dan (c) sepupu (Ps. 30).
Dalam hal hubungan keiparan dan sepupu itu dapat dimintakan dispensasi di pengadilan
(negeri). Di samping itu terdapat juga larangan-larangan kawin, yaitu (a) larangan kawin untuk
ketiga kalinya antara orang-orang yang sama; (b) larangan kawin bagi janda, kecuali setelah
lewat waktu (tunggu) 300 hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan, dan (c) larangan kawin
bagi mereka yang diputuskan hakim telah salah karena berzina dengan teman berzinanya
(Ps.32-35).
7) Perkawinan dinyatakan sah bila telah memenuhi ke- tentuan-ketentuan undang-undang dan
dilakukan di muka Pegawai Catatan Sipil (PCS) serta disaksikan oleh dua orang yang telah
berumur 21 tahun baik dari pihak keluarga maupun bukan (Ps.71-80).
8) Perkawinan dengan upacara keagamaan baru boleh di- langsungkan apabila ketentuan
tersebut dalam butir (7) di atas telah dipenuhi (Ps. 81).
9) Suatu perkawinan yang akan dilangsungkan dapat di cegah apabila tidak dipenuhi syarat-
syarat perkawinan yang diperlukan dan atau melanggar larangan-larangan perkawinan yang
telah ditentukan di dalam BW.
Syarat materil terdiri dari :

1) Kata sepakat (Pasal 28 KUHPerdata)


2) Asas yang dianut Monogami mutlak (Pasal 27 KUHPerdata)
3)Batas usia (Pasal 29 KUHPerdata) laki-laki 18 tahun, wanita 15 tahun
4)Tenggang waktu tunggu (jangka waktu) pasal 34 KUHPerdata wanita
adalah 300 hari.

Syarat formil adalah mengenai tata cara perkawinan baik sebelum


perkawinan maupun setelah perkawinan (Pasal 50 sd 53 KUHPerdata)
Tujuan perkawinan menurut hukum perdata adalah
untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan
sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Putus atau bubarnya sebuah perkawinan yang ada dalam Pasal 199
BW memang sedikit berbeda. Pembubaran perkawinan pada
umumnya oleh Pasal 199 BW ditetapkan:
1) Karena kematian,
2) Karena keadaan tak hadir suami atau istri selama sepuluh
tahun yang kemudian diikuti perkawinan baru oleh yang
ditinggalkan sesuai prosedur,
3) Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan
tempat tidur.
4) Karena cerai.
Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja merupakan
soal yang mengenai orang-orang yang bersangkutan (sebagai
suami istri), melainkan juga merupakan kepentingan seluruh
keluarga dan bahkan masyarakat adat pun ikut ber-
kepentingan dalam soal perkawinan itu. Bagi hukum adat
perkawinan itu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak
hanya bersifat keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan
atau keagamaan.
Pada umumnya suatu perkawinan dalam Hukum Adat didahului dengan
pertunangan, Yang dimaksud pertunangan ialah hubungan hukum yang
dilakukan antara orang tua pihak laki-laki dengan orang tua pihak perempuan
untuk maksud mengikat tali perkawinan anak-anak mereka dengan jalan
peminangan. Dengan adanya ikatan pertunangan, maka berlakulah tata tertib
adat (akibat hukum) pertunangan, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. Baik pihak pelamar ataupun yang dilamar berkewajiban memenuhi
persetujuan untuk melangsungkan perkawinan;
2. Kedua belah pihak dilarang melakukan hubungan dengan pihak lain yang
maksudnya untuk melakukan pertunangan atau perkawinan;
3. Apabila pertunangan tidak dapat diteruskan ke jenjang
perkawinan karena salah satu pihak atau kedua belah pihak
memutuskan hubungan pertunangan itu, maka pihak yang
dirugikan berhak menuntut kembali harta benda dan kerugiannya
kepada pihak yang bersalah atau yang telah menerima barang-
barang pemberian selama pertunangan. Dalam penyelesaian
perselisihan yang terjadi, maka para pemuka adat yang melakukan
penyelesaiannya secara damai.
4. Mengenai batas umur perkawinan, hukum adat tidak
mengaturnya, Oleh karena itu, diperbolehkan perkawinan anak-
anak yang masih di bawah umur, meskipun dalam hal ini keduanya
baru bisa hidup bersama sebagai suami istri setelah menjadi baliq
atau dewasa.
Tujuan Perkawinan Menurut
Hukum Adat
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan,
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis
kebapakan atau keibuan atau keibu- bapakan, untuk kebahagiaan rumah
tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem
keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain
berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-
beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-beda di
antara suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang berlainan, daerah yang
satu dan daerah yang lain berbeda, serta akibat hukum dan upacara
perkawinannya berbeda-beda.
Perkawinan dinyatakan putus apabila salah satu pihak meninggal dunia atau bila
terjadi perceraian. Alasan-alasan bagi perceraian tidak sama di semua daerah,
namun pada umumnya alasan-alasan perceraian adalah: tidak mempunyai anak,
cacat badan, berzinah, penganiayaan, perselisihan baik antara suami istri
ataupun antara kerabat yang bersangkutan, dan tidak memberi nafkah. Setelah
cerai, bekas istri tidak berhak atas sokongan (nafkah) dari bekas suaminya. Anak
yang kecil (sampai kira-kira berumur 2 atau 3 tahun) selalu ikut ibunya, dan
sesudah itu, ia ikut keluarga (dari bapak atau ibu) seperti ditetapkan menurut
hukum adat. Janda dapat kawin lagi setelah menjalani masa tunggu selama satu
tahun atau kadang-kadang selama seratus hari sesudah perkawinannya putus.
Menurut Ajaran Agama Islam perkawinan merupakan suatu ikatan batin maupun ikatan
lahir selama hidup antara suami dan isteri untuk hidup bersama menurut Syariat Islam
dan memperoleh keturunan. Hal ini bukan saja mengandung arti adanya suatu
persetujuan antara suami dan isteri, yang dimeteraikan dengan hubungan perkawinan,
melainkan mempunyai makna religius. Perkawinan adalah sah jika telah diucapkan "ljab-
Kabul" dihadapan dua orang saksi pria. Ijab adalah pernyataan wali pengantin
perempuan yang ditujukan kepada pengantin laki-laki, berbunyi: "Saya memberi anak
perempuan saya dalam perkawinan kepada anda dengan mas kawin ....." Kabul adalah
jawaban pengantin pria: "Saya menerimanya selaku isteri dengan mas kawin. Hukum
Islam menetapkan bahwa sebuah perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan
wali pria pengantin perempuan adalah tidak sah.
1. Beragama Islam: Calon pengantin harus beragama Islam, karena pernikahan dianggap sah
hanya jika kedua pengantin mempeluk agama Islam.
2. Bukan mahram: Kedua pengantin tidak boleh memiliki hubungan darah, bukan merupakan
saudara sepersusuan atau mahram. Hal ini mengacu pada hubungan yang tidak diperbolehkan
dalam Islam, seperti janda yang tidak boleh dinikahi hingga ia diajak musyawarah atau dimintai
pendapat.
3. Adanya wali bagi calon pengantin perempuan: Sebuah pernikahan secara Islam dikatakan sah
apabila terdapat atau dihadiri oleh wali nikah bagi calon pengantin perempuan. Wali nikah harus
laki-laki, baligh, berakal, dan tidak dalam keadaan yang dipaksakan.
4. Dihadiri Saksi: Perkawinan harus disertai oleh dua orang Saksi laki-laki, muslim baligh, berakal,
melihat dan mendengar serta memahami(paham) akan berarti akad nikah.
5. Sedang tidak ihram atau berhaji: Kedua pengantin harus tidak berada dalam keadaan
ihram haji atau umroh.
6. Tidak dipaksa: Kedua pengantin tidak boleh dipaksa untuk menikah.
7. Tidak dalam keadaan mahram: Kedua pengantin tidak boleh memiliki hubungan yang
tidak diperbolehkan dalam Islam, seperti janda yang tidak boleh dinikahi hingga ia diajak
musyawarah atau dimintai pendapat.
8. Persetujuan kedua pengantin: Kedua pengantin harus mengikuti tata cara ijab kabul
Islam, yang berarti mereka harus bersetuju dengan pernikahan.
9. Ijab dan kabul dengan lisan: Perkawinan harus dilakukan dengan ijab dan kabul dengan
lisan, yang disebut akad nikah.
10. Rukun nikah: Perkawinan harus memenuhi rukun nikah, yang merupakan amalan
hakiki dalam ibadah, seperti beragama Islam, bukan mahram, adanya wali bagi calon
pengantin perempuan, ditutupi saksi, tidak ihram atau berhaji, tidak dipaksa, dan tidak
dalam keadaan mahram.
11. Hukum perkawinan: Perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor
Urusan Agama demi kepastian hukum, dan perkawinan yang tidak dicatat tidak
mempunyai kekuatan legal formal.
1. Untuk menegakkan agama, dalam arti mentaati perintah dan larangan Alloh. Wahyu
Tuhan menyatakan kawinilah wanita-wanita yang Anda senangi (Q.IV: 3).
2. Untuk mendapatkan keturunan yang sah. Nabi Muhammad SAW menyatakan
'Kawinlah dengan orang yang dicintai dan yang berkembang (berketurunan). Agar
keturunan dari perkawinan harus dilaksanakan secara sah.
3. Untuk mencegah maksiyat, terjadinya perzinaan dan atau pelacuran.
4. Untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur selanjutnya Nabi
berkata pula 'barangsiapa kawin dengan seorang wanita karena agamanya niscaya Alloh
akan memberi kurnia dengan harta', dan kawinilah mereka dengan dasar agama dan
sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asalkan ia beragama.
Meninggal dunia, perzinahan, lemah syahwat, perilaku buruk atau tak
bermoral, tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, tidak mau melunasi
mahar, suami meninggalkan keluarganya untuk waktu yang lama
tanpa berita.
Islam mengenal "talak", yakni hak suami untuk menceraikan isterinya,
maupun "khuluk" dan "Fasakh", yakni hak si isteri untuk mengambil
inisiatif untuk mengajukan gugatan cerai dari suaminya.
1. Hukum Perdata: Perkawinan menurut hukum perdata adalah pernikahan yang dilakukan secara
resmi dan teratur sesuai peraturan yang berlaku. Pernikahan ini memiliki tujuan untuk membentuk
rumah tangga dan mengelola masalah kedudukan, harta kekayaan, dan pewarisan.

2. Hukum Adat: Perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga baru yang nantinya akan
menghasilkan keturunan. Perkawinan ini bersangkutan dengan masalah kedudukan, harta kekayaan,
dan masalah pewarisan. Perkawinan yang dilaksanakan secara adat dengan melibatkan keluarga
besar kedua belah pihak.

3. Hukum Islam: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan menurut hukum Islam mempunyai tujuan untuk berbakti kepada Allah, memenuhi atau
mencukupkan kodrat hidup manusia, mempertahankan keturunan umat manusia, melanjutkan
perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita, dan mendekatkan dan
saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup.
Perkawinan ini juga memiliki tujuan untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah

Anda mungkin juga menyukai