Anda di halaman 1dari 6

KD 3.

13 PERKAWINAN PEGAWAI

Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk
hubungan kekerabatan, serta merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang
meresmikan hubungan antar pribadi. Pada umumnya perkawinan dijalani dengan maksud
membentuk sebuah keluarga.

A. Konsep Aturan Perkawinan Pegawai

1. Definisi Perkawinan Pegawai

Perkawinan dalam bahasa Arab berarti nikah atau zawa.


Menurut pasal 1 undang-undang nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai sudah diatur dalam peraturan pemerintah nomor
10 tahun 1983, bahwa sehubungan dengan contoh dan keteladanan yang harus diberikan oleh
pegawai kepada bawahan dan masyarakat maka kepada PNS dibebankan ketentuan disiplin
yang tinggi.
Untuk melakukan perkawinan dan perceraian pegawai harus memperoleh izin terlebih dahulu
dari pejabat yang bersangkutan.

Pegawai pria yang akan beristri lebih dari seorang dan pegawai wanita yang akan menjadi istri
kedua/ketiga/keempat dari seseorang diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat
yang berwenang. Demikian juga pegawai yang akan melakukan perceraian, harus memperoleh
izin terlebih dahulu dari pejabat.

2. Syarat-Syarat Perkawinan

Dalam undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan syarat-syarat perkawinan


meliputi:
a. Syarat Formil, yaitu:
- Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat
perkawinan.
- Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan.

b. Syarat Materiil,
meliputi:
1). Syarat Materiil secara khusus,
Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, yaitu larangan perkawinan antara dua
orang:
- Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
- Hubungan darah garis keturunan ke samping.
- Hubungan semenda.
- Hubungan susuan.
- Hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi.
- Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.
- Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan
kepercayaan tidak menentukan lain.
2). Syarat Materiil secara Umum: - Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon
mempelai.
- Arti persetujuan, yaitu tidak seorang pun dapat memaksa calon mempelai perempuan dan
calon mempelai laki-laki, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan
dari kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga -
Usia calon mempelai pria sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon
mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.
- Izin dari Kedua Orang Tua bagi Calon Mempelai yang belum berumur 21 tahun.

Adapun yang berhak memberi izin kawin, yaitu:


1). Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai.
Jika kedua orang tua masih ada, izin diberi bersama oleh kedua orang tua calon mempelai. Jika
orang tua laki-laki telah wafat, pemberian izin perkawinan beralih kepada orang tua perempuan
yang bertindak sebagai wali. Jika orang tua perempuan sebagai wali, hal ini bertentangan
dengan perkawinan yang diatur Hukum Islam karena menurut Hukum Islam tidak boleh orang
tua perempuan bertindak sebagai wali.
2). Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya disebabkan hal-hal berikut:
(1). Oleh karena misalnya berada di bawah kuratele
(2). Berada dalam keadaan tidak waras.
(3). Tempat tinggalnya tidak diketahui.
Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.

3). Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari:
(1). wali yang memelihara calon mempelai, dan
(2). keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

4). Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2), (3), dan (4) atau seorang atau lebih
di antara orang-orang tidak ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan bertindak memberi izin
perkawinan.
Pemberian izin dari pengadilan diberikan:
(1). atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan
(2). setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang disebut dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2), (3), dan (4).

c. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)


Meliputi:
1). Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang,
yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun.
2). Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak.
3). Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari dahulu setelah putusnya
perkawinan pertama.
4). Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak.
5). Untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin dari orang tua atau walinya.
6). Asas monogami yang mutlak (Pasal 27 KUH Perdata).
Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai bukti adanya perkawinan. Bukti adanya perkawinan
ini diperlukan kelak untuk melengkapi syarat-syarat administras yang diperlukan untuk
membuat akta kelahiran, kartu keluarga, dan lain-lain. Dalam KUH Perdata, pencatatan
perkawinan ini diatur dalam bagian ketujuh Pasal 100 dan Pasal 101. Dalam Pasal 100, bukti
adanya perkawinan adalah melalui akta perkawinan yang telah dibukukan dalam catatan sipil.
Pengecualian terhadap pasal ini, yaitu Pasal 101. Apabila tidak terdaftar dalam buku di catatan
sipil atau hilang, bukti tentang adanya suatu perkawinan dapat diperoleh dengan meminta pada
pengadilan. Di pengadilan akan diperoleh suatu keterangan apakah ada atau tidaknya suatu
perkawinan berdasarkan pertimbangan hakim.

d. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Syarat perkawinan disebutkan dalam Pasal 14, bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus
ada calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul.

e. Menurut Hukum Islam

Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah:
1). Syarat Umum
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur'an Surah Al-
Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan
pengecualiannya dalam Al-Qur'an Surah Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh
mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang
larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda, dan saudara sesusuan.

2). Syarat Khusus,


yaitu meliputi:
- Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan. Calon mempelai laki-laki dan perempuan
adalah suatu syarat mutlak (conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai laki-
laki dan perempuan tentu tidak akan ada perkawinan.
- Calon mempelai ini harus bebas dalam menyatakan persetujuannya, tidak dipaksa oleh pihak
lain. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk
memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat
dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, dan akil balig. Dengan dasar ini,
Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan.
- Harus ada wali nikah.
Menurut Mazhab Syafi'i berdasarkan hadist Rasul Saw. yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
dari Siti Aisyah, Rasul Saw pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali
berpandangan walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.

3. Larangan-Larangan dalam Perkawinan Pegawai

A. Larangan Perkawinan.
Larangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1). Larangan perkawinan berdasarkan kekeluargaan (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974). Larangan
tersebut disebabkan berhubungan darah, yaitu larangan perkawinan karena hubungan
kesaudaraan yang terus-menerus berlaku dan tidak dapat disingkirkan, berlakunya hal-hal
sebagai berikut:
- Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas yang terdiri dari ibu
sendiri, anak perempuan, ibu dari ayah, cicit (Pasal 8 sub a).
- Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping terdiri dari saudara perempuan ayah,
anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan (kemenakan) (Pasal 8
sub b)
- Hubungan semenda terdiri dari saudara perempuan bibi (makcik), ibu dari istri (mertua), anak
tiri (Pasal 8 sub c). d) Hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak
susuan, dan bibi atau paman susuan (Pasal 8 sub d).
- Hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang (Pasal 8 sub e).
- Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin
(Pasal 8 sub f).

2). Larangan oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih terikat dengan tali
perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).
Larangannya bersifat sepihak, artinya larangan berlaku secara mutlak kepada pihak perempuan
saja, yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak
mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang sedang terikat dengan perkawinan atau seorang
laki-laki yang beristri tidak mutlak dilarang untuk melakukan perkawinan dengan istri kedua.

3). Larangan kawin bagi suami istri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali (Pasal 10 UU No.
1 Tahun 1974).

Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami istri yang telah bercerai sebanyak dua kali.
Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal
maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar
dipertimbangkan. Pasal 10. bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
sehingga suami maupun istri saling menghargai satu sama lain.

4). Larangan kawin bagi seorang wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974).

Larangan dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan sendirinya apabila
masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan masa lamanya waktu tunggu.
Sesuai dengan Pasal 8, masa lamanya waktu tunggu selama 300 hari, kecuali jika tidak hamil
maka masa tunggu menjadi 100 hari.

Masa tunggu terjadi karena perkawinan perempuan telah putus karena hal berikut:
- Suaminya meninggal dunia.
- Perkawinan putus karena perceraian.
- Istri kehilangan suaminya.

B. Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Di dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam Pasal 39, disebutkan dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan hal
berikut:
1). Pertalian Nasab,
yaitu:
- Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkan atau keturunannya.
- Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
- Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

2) Pertalian Kerabat Semenda


Adapun penjelasan mengenai pertalian kerabat semenda, sebagai berikut:
- Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
- Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
- Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al dukhul.
- Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.

3). Karena Pertalian Sesusuan


Yaitu:
- Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
- Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
- Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah.
- Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
- Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

Selain itu, juga di dalam Pasal 40 disebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, sebagai berikut:
- Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
- Seorang wanita yang masih berada dalam masa idah dengan pria lain.
- Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 41 berisi:
1). Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya, yaitu:
- Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.
- Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

2). Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj 'i, tetapi
masih dalam masa idah.

Pasal 42 tertera larangan sebagai berikut:


"Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria
tersebut sedang mempunyai empat orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam idah talak raj 'i ataupun salah seorang di antara mereka masih
terikat tali perkawinan, sedang yang lainnya dalam masa idah talak raj'i".

Pasal 43 juga menyebutkan bahwa:


1). Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
- dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali,
- dengan seorang wanita bekas istrinya yang di li'an.
2). Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria
lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba'da dukhul dan telah habis masa idahnya.

Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama. "Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam".

C. Larangan Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Terdapat pada Pasal 30, 31, 32, 33 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:
1). Pasal 30
Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah
dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena
kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak
beradik laki perempuan, sah atau tidak sah.

2) Pasal 31
Juga dilarang perkawinan:
- antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang
menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si
suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk
melakukan perkawinan lain.
- antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan,
demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah
atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting Presiden dengan memberikan dispensasi,
berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

3). Pasal 32
Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zina sekali-kali
tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu.

4). Pasal 33
Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 199
Nomor 3e atau 4e, tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali
setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam
daftar Catatan Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.

Anda mungkin juga menyukai