Anda di halaman 1dari 38

Mata Kuliah Hukum Perdata

Semester Genap 2019-2020


Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma

Lindri Purbowati, S.H., M.H


lindri.1990@gmail.com
MATERI KETIGA
(Hukum Keluarga I)
 Hukum Keluarga yaitu keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara keluarga sedarah dan
keluarga karena perkawinan ( perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian)
 Pengertian Perkawinan
A. Menurut KUHperdata
Tidak ada pasal yang menyebut tentang pengertian dan tujuan perkawinan (Lihat Pasal 26 KUHPerdata)
hanya menyebut bahwa Undang-Undang memandang perkawinan dari sudut hubungannya dengan
Hukum Perdata saja.
B. Menurut UU No. Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(lihat pasal 1 uu perkawinan) Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
C. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
(Lihat pasal 2-4) Akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah,
warahmah. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum islam.
 Pengertian Perkawinan Menurut Para Ahli
1. Prof. Subekti :Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama.
2. Prof. Ali Afandi :Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.
3. Prof soediman Kartohadiprodjo : Perkawinan adalah hubungan antara seorang wanita dan
seorang pria yang bersifat abadi.
4. Prof. Paul Scholten : Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang lelaki dan
seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan Hukum
Perkawinan.

Maka dapat disimpulkan bahwa “Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama “
Hukum Perkawinan merupakan “Sekumpulan peraturan yang mengatur mengenai syarat2 dan cara
melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak2 yang melangsungkan
perkawinan tersebut”
 Asas-Asas Perkawinan
A. Asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata :
1. Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.
2. Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan pegawai catatan sipil.
3. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di bidang hukum keluarga/Sepakat.
4. Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
5. Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri.
6. Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
7. Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu.
B. Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Asas Kesepakatan Bersama (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami
dan isteri.
2. Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
3. Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, namun  ada
perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
4. Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
5. Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
6. Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
7. Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.
8. Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.
 Syarat Sahnya Perkawinan
1. Menurut KUHPerdata

Perkawinan harus memenuhi dua syarat, yaitu: (1) syarat materiil, dan (2) syarat formil. Syarat materiil yaitu syarat
yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materiil dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Syarat materiil

 Syarat Materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan
untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi :
1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUH Perdata);
2) Persetujuan antara suami-istri (Pasal 28 KUH Perdata);
3) Terpenuhinya batas umur manimal. Bagi laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15
tahun (Pasal 29 KUH Perdata);
4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah
perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata);
5) Harus ada izin dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah
kawin (Pasal 34 sampai dengan Pasal 49 KUH Perdata).
 Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang
tertentu. Larangan itu meliputi:
1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah;
2) Larangan kawin karena zina;
3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu
tahun.
b. Syarat Formil
syarat yang dihubungkan dengan cara-cara atau formalitas–formalitas melangsungkan perkawinan, yaitu :
1) Pemberitahuan oleh kedua belah pihak kepada Kantor Catatan Sipil (Pasal 50 KUH.Perdata).
2) Pengumuman kawin dikantor Catatan Sipil (Pasal 28 KUH.Perdata). 
3) Dalam hal kedua belah pihak calon suami istri tidak berdiam di daerah yang sama maka pengumuman
dilakukan di Kantor Catatan Sipil tempat pihak-pihak calon suami istri tersebut masing-masing (Pasal 53
KUH.Perdata).
4) Perkawinan dilangsungkan setelah sepuluh hari pengumuman kawin tersebut (Pasal 75 KUH.Perdata)
5) Jika pengumuman kawin telah lewat satu tahun, sedang perkawinan belum juga dilangsungkan,maka
perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan kecuali setelah diadakan pemberitahuan dan pengumuman baru
(Pasal 57 KUH.perdata).
 Syarat sah menurut UU Perkawinan
Syarat Materiil (lihat pasal 6-11 UU perkawinan) yaitu :
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum berusia 21 tahun harus mendapatkan izin
kedua orang tuanya atau salah satu orang tuanya apabila salah satunya telah meninggal dunia atau
walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Apabila terdapat penyimpangan maka harus mendapatkan izin dari
pengadilan atau pejabat yang ditunujuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4) Seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat melangsungkan perkawinan lagi
kecuali memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
5) Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum,
masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
6) Bagi seorang wanita yang putus perkawinanya berlaku jangka waktu tunggu.
Syarat Formil lihat pasal 12.
 Syarat Formil lihat pasal 12
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 3 s/d Pasal 13. Disimpulkan sebagai berikut :
1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai
Pencatat Perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya
2) 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon
mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal
calon mempelai (Pasal 3-5)
3) Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi
syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
4) Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
a. nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
b. hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8-9)
5) Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan
pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta
perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera
Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 10- 13).
 Akibat Hukum Adanya Perkawinan
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang
dilahirkan dalam perkawinan.
Manurut KUHPerdata (lihat pasal 103 sampai 118) Bisa disebut hak dan kewajiban suami dan istri
1. Akibat hukum terhadap suami istri
a. Suami dan isteri harus setia dan tolong-menolong (Pasal 103 KUHPer).
b. Suami-isteri wajib memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 104 KUHPer).
c. Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-isteri (Pasal 105 ayat I KUHPer).
d. Suami wajib memberi bantuan kepada isterinya (Pasal 105 ayat 2 KUHPer).
e. Setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi isterinya (Pasal 105 ayat 3 KUHPer).
f. Setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4 KUHPer).
g. Suami tidak diperbolehkan memindah-tangankan atau mem­bebani harta kekayaan tak bergerak milik isterinya,
tanpa persetujuan si isteri (Pasal 105 ayat 5 KUHPer).
h. Setiap isteri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat I KUHPer).
i. Setiap isteri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2 KUHPer).
j. Setiap suami wajib membantu isterinya di muka hakim (Pasal 110 KUHPer).
k. Setiap isteri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suami­nya (Pasal 118 KUHPer)
Bantuan si suami kepada isteri­nya tidak diperlukan apabila:  isteri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkara pida­na,
dan atau si isteri mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk men­dapatkan perceraian, pemisahan meja dan tempat tidur,
atau pemisahan harta kekayaan.( Pasal 111 KUHPer)
2. Akibat Hukum terhadap harta benda
Lihat pasal 119-138 KUHPerdata. Perjanjian pernikahan lihat pasal 139-167 KUHperdata.
3. Adanya persatuan bulat (pasal 119)
4. Tidak ada sama sekali persatuan (pasal 140 ayat 2)
3. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan Anak
1) Anak sah
Diatur dalam pasal 250-271a KUHPerdata.
2) Anak luar kawin
Anak luar kawin ada 3 jenis :
a. Anak yang lahir dari ayah dan ibu, tetapi diantara mereka tidak terdapat larangan untuk kawin.
(pasal 272)
b. Anak yang lahir dari seorang lelaki dan perempuan yang mempunyai hubungan darah yang masih
dekat atau hubungan semenda. Anak yang lahir dari hubungan incest disebut anak sumbang. Anak
ini tidak dapat disahkan kecuali ada izin Presiden/Menteri (Pasal 31 Jo 273 KUHPerdata)
c. Anak yang Lahir dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dilarang kawin oleh undang-
undang (masih dalam ikatan perkawinan) disebut anak Zina.
Overspel, menurut pasal 32 perkawinan diantara keduanya tidak dapat dilakukan, sedang anak yang dilahirkan
sekali-kali tidak dapat diakui (283 KUHPerdata)
Lihat Pasal 283 mengenai perizinan anak overspel
Akibat hukum perkawinan menurut UU Perkawinan
1. Terhadap Suami dan Istri
a. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2).
d. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
e. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
f. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
h. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
2. Terhadap Harta Kekayaan
a. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
b. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan
perbuatan hukum apapun.
c. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta
bersama (Pasal 35 dan 36).
3. Terhadap Anak
a. Kedudukan anak
o Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
o Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya
saja.
b. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
o Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat
berdiri sendiri (Pasal 45).
o Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
o Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai
kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).
 Kekuasaan orang tua
• Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.
• Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
• Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
 Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:
1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak
2. Ia berkelakuan buruk sekali
 Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan
kepada anaknya.
 Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah: Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan
ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
 Isi kekuasaan orang tua adalah:
1.Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.
2.Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum di dalam maupun di
luar pengadilan.
 Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya. Kekuasaan orang
tua berakhir apabila:
1. Anak itu dewasa
2. Anak itu kawin
3. Kekuasaan orang tua dicabut
 Harta dalam Perkawinan
Harta perkawinan menurut hukum adalah semua harta yang dikuasai, suami istri selama mereka terikat dalam
ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan,
harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.
Asas – asas Hukum Harta Perkawinan Menurut BW:
1. Harta persatuan terjadi demi hukum, kecuali ditentukan lain.
2. Isi harta persatuan baik aset maupun hutang sebelum & sepanjang perkawinan.
3. Pengurusan ada pada suami secara aktif istri tidak.
4. Istri tidak cakap dalam lapangan harta perkawinan.
5. Perjanjian kawin tidak dapat diubah.

Asas-asas Hukum Harta Perkawinan menurut UUP:


1. Harta bersama terjadi demi hukum.
2. Isi harta brsama adlh harta yg diperoleh sepanjang perkawinan kecuali hibah atau warisan.
3. Pengurusan ada pd suami/istri secara brsama.
4. Istri tetap cakap bertindak.
5. Perjanjian kawin dapat diubah.
Perbedaan Bentuk harta perkawinan menurut BW dan UUP:
BW mengenal Persatuan Bulat dan UUP mengenal Harta bawaan, Harta Bersama dan harta perolehan

Persatuan Bulat :
Terjadi demi hukum sejak saat perkawinan dilangsungkan, pasal 119 ayat : (1).
Bersifat tetap pasal 119 ayat :(2) Persatuan bulat tidak boleh diubah

Persatuan Bulat bubar : kalau ada Kematian, Perceraian, perpisahan meja & ranjang, perpisahan harta benda.
Di dalam KUHPdt bentuk harta perkawinan yang sudah dipilih tidak dapat diubah lagi karena kalau tidak membuat
perjanjian kawin otomatis yang berlaku adalah Persatuan Bulat (ps 119 ayat (2) ), kalau membuat perjanjian kawin dan memilih
bentuk harta yang lain misalnya Persatuan Terbatas atau Terpisah Harta Sama Sekali itupun tidak dapat diubah lagi karena
perjanjian kawin dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan setelah perkawinan berlangsung tidak dapat diubah lagi, jadi
konsekwensinnya adalah bentuk harta yang sudah dipilih akan bersifat tetap ( ps 147 ayat (2) ).
Di dalam UUP bentuk harta perkawinan dapat diubah dengan mengubah perjanjian kawin sepanjang tidak merugikan pihak
ke 3 yang mengadakan hubungan hukum dalam bidang Harta Perkawinan dengan suami/isteri (ps 29 ayat (4) UUP).
Yang berwenang bertindak atas harta benda perkawinan adalah suami, baik harta pribadi istri ataupun terhadap harta
persatuan (pasal 105BW yaitu suami sebagai kepala perkawinan).
 Isi persatuan Bulat :
1. aset & hutang sebelum dan spanjang perkawinan,
2. harta yg diperoleh dr santunan asuransi jiwa: premi dr harta pribadi, dr harta kekayaan, penunjuknnya
dpt ditarik kembali/tdk.
Hutang dalam persatuan Harta terjadi karena :
1. hutang sebelum perkawinan,
2. hutang keperluan untuk rumah tangga,
3. hutang untuk kepentingan usaha,
4. denda-denda,
5. ganti kerugian karna perbuatan melawan hukum,
6. hutang warisan/hibah yg masuk persatuan.

Pengurusan Harta Pribadi Istri oleh suami:


Suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membebani harta kekayaan persatuan tanpa campur
tangan istri kecuali dalam hal untk benda tak brgerak tdk boleh memindahtangankn/menghibahkan tanpa
persetujuan istri.
Perlindungan Istri
jika perkawinan masih utuh: menuntut pemisahan harta persatuan, menuntut perpisahan meja ranjang, suami
ditaruh dibawah pengampuan. Setelah Perkawinan bubar: istri melepaskan haknya atas persatuan.
 Perjanjian Pranikah.

Perjanjian kedua belah pihak berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai suami isteri.
1. Yang dimaksud dengan perjanjian pranikah adalah perjanjian antara calon suami dan calon isteri sebelum
perkawinan dilangsungkan mengenai harta benda setelah adanya perkawinan
2. KUH Perdata : isinya hanya mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan, bentuknya harus dalam
bentuk tertulis (akta notaris) dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung (Pasal 147), serta didaftarkan
ke Kepaniteraan P.N.
3. UUP : isinya bebas, bentuknya bebas (tertulis atau tidak tertulis) dan pengesahannya oleh pegawai
pencatat perkawinan.
4. Persamaan perjanjian pranikah yang diatur dalam KUHPerd dan UUP : Ada kebebasan berkontrak antara
para pihak
5. Perbedaaan Perjanjian kawin yang diatur dalam KUHPer dan UUP :
o Dalam KUHPerd saat diadakannya adalah sebelum perkawinan dilangsungkan, dalam UUP saat
diadakannya adalah pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
o Dalam KUHPerd bentuknya adalah akta notaris dan pengesahannya dengan didaftarkan ke
kepaniteraan P.N., dalam UUP bentuknya adalah bebas (tertulis atau tidak tertulis) dan
pengesahannya oleh Pegawai Pencatat perkawinan
o Dalam KUHPerd tidak dapat diubah sepanjang perkawinan, dalam UUP dapat dapat diubah atas
persetujuan suami-isteri, dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga.
 Perkawinan Campuran

 Pasal 1 Stb. Nomor 158 Tahun 1989 mengatur “Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara orang-
orang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang berlainan. ”Hukum-hukum yang berlainan itu terjadi
karena perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan, dan agama. Perkawinan campuran menurut UUP
hanya menekankan pada perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya harus warga negara Indonesia.

 Dapat disimpulkan bahwa “Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang
wanita, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Perkawinan campuran diatur didalam UU Perkawinan yaitu
pada Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Pengertian perkawinan campuran terdapat pada Pasal 57 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
 Unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut :
A.Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
Unsur ini menjelaskan bahwa perkawinan campuran itu adalah perkawinan monogami.
B.Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
Unsur ini menjelaskan bahwa perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita
yang kawin campuran itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, dan golongan di
Indonesia, melainkan karena kewarganegaraan.
C.Perbedaan Kewarganegaraan
Unsur ini menjelaskan bahwa salah satu pihak yang akan melangsungkan perkawinan
campuran itu harus warga negara asing.
D.Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
Unsur ini mempertegaskan bahwa pihak pria atau pihak wanita dalam perkawinan
campuran harus warga negara Indonesia.
Pasal 58 UU perkawinan (mendapatkan atau kehilangan kewarganegaraan)
 Perlu diingat..
 Perkawinan campuran yang mana perkawinannya terdapat unsur asing, maka
perkawinan tersebut akan dikuasai oleh HPI yang tidak serta merta hanya
tunduk pada UUP. Perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia yang
sebagaimana diatur pada Pasal 56 UUP maka proses dan tata caranya mengikuti
cara negara asing dimana perkawinan tersebut dilangsungkan.
 Berdasarkan Pasal 56 UUP terkait dengan perkawinan yang diselenggarakan di
luar Indonesia yang salah satu pihaknya adalah orang asing, maka prosesnya
wajib mengikuti hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan, dan
dinyatakan sah, maka saat pasangan tersebut kembali berdomisili di Indonesia,
maka perkawinan mereka harus diakui sah.
 Terkait dengan status kewarganegaraan perkawinan campuran menurut hukum
positif Indonesia yaitu mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan. Undang-Undang Kewarganegaraan ini menganut
asas persamaan kedudukan bahwa wanita maupun laki-laki dapat kehilangan
kewarganegaraan Indonesianya akibat perkawinan campuran tersebut
 Perlu diingat..
 Bisa dipertahankan asal memberikan surat pernyataan mengenai keinginannya
tetap sebagai Warga Negara Indonesia kepada Pejabat atau Perwakilan Republik
Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan.
 Akibat hukum terhadap harta benda dalam perkawinan campuran antara lain
kepemilikan atas benda tidak bergerak berupa tanah dan segala sesuatunya yang
melekat pada tanah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA. Pada
Pasal 21 ayat (3) UUPA menentukan bahwa Warga Negara Asing tidak
diperbolehkan memiliki Hak Milik Atas Tanah meskipun perolehannya
merupakan perolehan dari akibat adanya harta bersama yaitu percampuran harta
dalam perkawinan. Atas perolehannya tersebut WNA harus melepaskan
tanahnya tersebut dalam jangka waktu 1 tahun apabila lewat jangka waktu
tersebut makan tanahnya akan jatuhnya pada Negara.
 Perkawinan Beda Agama
1. Hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama
sehingga ada kekosongan hukum.
 Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 16 Tahun 2019. Hal ini berarti UU
Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak
boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain itu juga dalam
ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang.
 Pada praktiknya perkawinan beda agama masih dapat terjadi di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata
Universitas Indonesia Prof. Wahyana Darmabrata, menjabarkan ada empat cara untuk tetap dapat
melangsungkan perkawinan beda agama:
1. Meminta penetapan pengadilan.
2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama.
4. Menikah di luar negeri.
 Perkawinan Dibawah Tangan (siri)
 Undang-Undang Perkawinan dan peraturan perkawinan sebelumnya tidak mengatur perkawinan di bawah tangan atau perkawinan
siri.
 Istilah perkawinan di bawah tangan atau perkawinan siri biasa digunakan masyarakat untuk orang-orang yang melakukan
perkawinan tanpa prosedur yang diatur Undang-Undang Perkawinan.
 Biasanya perkawinan di bawah tangan dilaksanakan berdasarkan agama atau adat istiadat calon suami atau calon isteri. Secara
agama dan adat, perkawinan tersebut sah namun secara hukum perkawinan tersebut tidak diakui secara resmi oleh negara.
DAMPAK PERNIKAHANN DI BAWAH TANGAN TERHADAP ISTRI DAN ANAK

Secara hukum, perkawinan di bawah tangan dianggap tidak pernah ada sehingga dampaknya sangat merugikan bagi istri atau anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut.
 Istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan harta gono gini jika terjadi perceraian. Selanjutnya jika suami meninggal dunia maka istri
tidak berhak untuk mendapatkan warisan dari suaminya.
 Anak yang dilahirkan dianggap anak di luar perkawinan. Anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibunya. Anak yang lahir di luar perkawinan tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran dan hanya tercantum
nama ibunya saja.
 Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam, anak tidak berhak mewaris dari ayahnya karena anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 telah memungkinkan anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan ayah biologinya.
 Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan ayah biologisnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya. Untuk membuktikan asal-usul dari orang tua si anak yang lahir di luar p erkawinan maka dilaksanakan tes DNA.
 Putusnya Perkawinan

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa.ini artinya bahwa perkawinan itu untuk seumur hidup
atau selama-lamanya serta tidak boleh diputus begitu saja.
A. Menurut pasal 38 UU nomor 1 tahun 1974,perkawinan putus karena :
1. Kematian,artinya salah satu pihak suami atau istri meninggal dunia.
2. Perceraian.
3. Atas putusan pengadilan.
B. Menurut Pasal 199 KUH Perdata,putusnya perkawinan karena :
1. Kematian,artinya salah satu pihak suami atau istri meninggal dunia.
2. Keadaan tidak hadir si suami atau istri selama 10 tahun diikuti perkawinan baru.
3. Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang.
4. Perceraian.
 Perpisahan meja dan ranjang (Van scheiding table en bed ) dikenal dalam KUH
Perdata. adapun alasan perpisahan tersebut adalah :
1. Zinah.
2. Pihak satu meninggalkan pihak lain selama 5 tahun tanpa kabar atau sengaja
diusir.
3. Penghukuman 5 tahun atau lebih.
4. Penganiayaan berat.
5. Perbuatan yang melewati batas,seperti :Penganiayaan dan penghinaan.
6. Adanya sepakat kedua belah pihak tanpa alasan.
 Perceraian

Perceraian diatur dalam Pasal 39 – 41 UU nomor 1 tahun 1974 jo pasal 19 – 36 PP nomor 9 tahun 1975,pasal
207 – 232 a KUH Perdata.Untuk bercerai harus ada alasan-alasan sah seperti yang disebutkan dalam
Perundang-undangan,tidak boleh atas persetujuan kedua pihak saja.
 Menurut UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,alasan perceraian apabila antara suami istri tidak
akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri karena:
1. Salah seorang berbuat zinah,atau menjadi pemabuk, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2. Salah seorang meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain.
3. Salah seorang mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah seorang melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak lain.
5. Salah seorang mendapat cacat badan atau penyakit ,sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami istri.
6. Selalu terjadi pertengkaran dan tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga.
 Bagi yang beragama islam,putusnya perkawinan karena perceraian ada 2 macam yaitu:
1. Cerai talak,yaitu putusnya perkawinan karena talak oleh suami.
2. Cerai gugat,yaitu perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu
pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan.
 Menurut KUH Perdata,alasan-alasan perceraian antara lain:
1. Zinah.
2. Pihak satu meninggalkan pihak lain selama 5 tahun tanpa kabar atau sengaja diusir.
3. Penghukuman 5 tahun atau lebih.
4. Penganiayaan berat.

 Akibat Hukum Putusnya Perkawinan

Akibat putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak,maka seluruh harta peninggalan diwarisi oleh suami
atau istri yang masih hidup beserta keturunannya,apabila ada anak yang belum dewasa,maka anak berada dalam
perwalian.

Akibat-akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:


1. Ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya.
2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan anak-anak,pengadilan juga dapat
menentukan lain.
3. Pengadilan dapat mewajibkan biaya pada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi istrinya (Pasal 41 UU nomor 1 tahun 1974)
 Putusnya Perkawinan Campuran

Suami dan istri dalam perkawinan biasa ataupun dalam perkawinan campuran sesungguhnya mempunyai
hak dan kedudukan yang seimbang, karena perkawinan tersebut adalah merupakan suatu perjanjian yang
menimbulkan perikatan. Suami- istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu, berdiam bersama-sama,
saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.

UU Perkawinan menyerahkan kepada para pihak (mantan suami dan mantan istri) yang bercerai untuk
memilih hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan, hakim di
pengadilan dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.

Perkawinan campuran menganut system hukum yang berbeda, maka harta berupa hak milik tersebut
berdasarkan hukum Indonesia sebagian menjadi hak mantan suami dan sebagian lagi menjadi hak mantan
istri. Jika tidak ada perjanjian pernikahan, maka menjadi harta bersama. Dan Pihak WNA tidak dibolehkan
mempunyai hak milik di Indonesia.
MATERI KEEMPAT
(Hukum Keluarga II )
1. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan menurut KUHPerdata dan UUP
Pencegahan dan pembatalan dapat dilakukan karena para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan pernikahan. Persamaannya karena sama2 tidak memenuhi syarat perkawinan, perbedaannya
adalah jika pencegahan “belum dilangsungkan, kalau pembatalan “sudah dilangsungkan”
A. Pencegahan Perkawinan (Lihat pada pasal 59-70 KUHPerdata dan pasal 13- 21 UUP)
Yang dapat mencegah perkawinan adalah (lihat pasal 16 UUP)
1) Para keluarga dalam garis keturunan atas dan kebawah
2) Saudara dari salah seorang calon mempelai
3) Wali nikah dari salah satu calon mempelai
4) Pengampu dari salah satu calon mempelai
5) Pihak2 yang berkepentingan.
6) Suami atau istri dari salah satu calon mempelai
7) Pejabat yang ditunjuk
 Alasan terjadinya pencegahan perkawinan
1. Apabila salah satu calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dapat secara nyata
menimbulkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya. (pasal 14 ayat 2 UUP)
2. Apabila salah satu calon mempelai masih terikat dengan perkawinan yang sah dengan pihak
lain (pasal 15 UUP)
Untuk pejabat yang ditunjuk, berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan apabila:
3. Usia pria dan wanita dalam perkawinan belum terpenuhi (pasal 7 ayat 1 UUP)
4. Terkena larangan perkawinan (Pasal 8 UUP)
5. Salah satu pihak masih terikat dengan perkawinan orang lain (pasal 9 UUP)
6. Suami dan istri bercerai untuk kedua kalinya (pasal 10 UUP)
7. Tidak memenuhi tata cara pelaksanaa perkawinan (pasal 12 UUP)

Penting= Pencegahan diajukan ke pengadilan dalam daerah dmn perkawinan dilangsungkan.


Calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan ini. Permohonan dapat dicabut
dengan “Putusan Pengadilan” atau ditarik kembali dengan mengajukan “Permohonan” oleh “yang
mencegah”. Jika tidak dicabut, maka perkawinan tidak boleh berlangsung (pasal 19 UUP)
 Pembatalan Perkawinan
Pembatalan Perkawinan dapat diajukan oleh:
1. Orang yang terikat dari perkawinan sebelumnya
2. Suami/istri
3. Keluarga dalam garis lurus keatas
4. Jaksa
5. Setiap orang yang berkepentingan atas pembatalan perkawinan tersebut
Pembatalan perkawinan tidak hanya pada perkawinan yang tidak memenuhi syarat, namun terhadap
perkawinan yang dilangsungkan di depan pegawai yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah
atau tanpa dihadiri saksi.
Larangan terhadap pihak tertentu untuk melakukan pembatalan pernikahan (pasal 93 BW):
6. Anggota keluarga dalam garis kesamping
7. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan lain
8. Orang lain yang bukan keluarga selama suami dan istri masih hidup
Suami dan istri dapat mengajukan pembatalan apabila (pasal 27 UUP):
1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
2. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami/ istri
Ancaman berhenti dan menyadari keadaanya (masing2 pasangan) dan dalam jangka waktu 6 bulan setelahnya
hidup sebagai layaknya suami dan istri maka haknya gugur.
Keputusan batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap (pasal 28 UUP):
3. Anak2 yang telah dilahirkan
4. Suami/istri yang beretikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan atas dasar
perkawinan yang terdahulu.
5. Orang ketiga lainnya.
Masa tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya, memiliki jangka waktu sesuai pasal 11 ayat 1 UUP :
6. Perkawinan putus karena kematian waktu tunggu 130 hari (sejak kematian)
7. Perkawinan putus karena perceraian, bagi yang masih haid ditetapkan 3x masa suci, kalua sudah tidak
haid masa tunggu 90 hari (setelah putusan pengadilan)
8. Apabila dalam keadaan hamil waktu tunggu sampai melahirkan.
Jika belum pernah berhubungan maka tidak ada waktu tunggu.
 Perkawinan Menurut Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam)
Akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah
(pasal 2 KHI). Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah.
(pasal 3 KHI)
 Itsbat Nikah (siri)
cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami isteri yang telah menikah secara sah menurut agama untuk mendapatkan
pengakuan dari negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh keduanya beserta anak-anak yang lahir selama
perkawinan, sehingga perkawinan tersebut berkekuatan hukum (Pasal 7 KHI)
Itsbat nikah yang dapat diajukan terbatas pada hal2 yakni sebagai berikut:
1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya akta nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UUP.
4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu.
 Poligami dalam Perkawinan
Pasal 55 KHI batasan memiliki istri yaitu hanya sampai 4 orang istri. Syarat utama
melakukan poligami adalah berlaku adil terhadap istri2 dan anak2.
Suami yang hendak berpoligami harus mendapat izin dari pengadilan. Pengadilan
memberikan izin apabila :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan/ penyakit yang tidak bias disembuhkan
3. Istri tidak dapat memberikan keturunan
Selain hal diatas, suami harus dapat memenuhi syarat2 berikut yaitu :
4. Adanya persetujuan dari istri/istri2
5. Adanya kepastian bahwa mampu menjamin keperluan hidup istri2 dan anak2
6. Adanya jaminan berlaku adil terhdap istri2 dan anak2.
Peretujuan dapat berupa lisan/ tertulis, namun persetujuan dipertegas dengan lisan istri
pada sidang pengadilan agama. Pada intinya islam membolehkan berisitri lebih dari 1
asalkan memenuhi syarat2.
 Wali Nikah
Merupakan rukun yang harus dipenuhi dengan syarat muslim, akildan balig. Wali nikah terdiri dari :
1. Wali nasab
Merupakan wali dengan hubungan kekerabatan yaitu :
a. Kelompok kerabat laki2 garis lurus keatas (ayah, kakek dari phak ayah dst)
b. Kelompok kerabat saudara laki2 kandung/ seayah dan keturunan laki2 mereka.
c. Kelompok kerabat paman, yaitu saudara laki2 kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki2
mereka.
Dahulukan yang paling dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
2. Wali Hakim
Wali nikah yang ditunjuk oleh Meteri Agama. Bisa bertindak apabila wali nasab tidak ada, tidak diketahui
tempat tinggalnya, tidak mungkin menghadirkannya atau enggan. Dalam hal enggan, wali hakim baru bias
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut (pasal 23 KHI)
 Dispensasi Perkawinan
Menurut Peraturan Menteri Agama no. 3 Tahun 1975 pasal 13 bahwa :
1. Calon suami dan istri belum mencapai umur yang diperbolehkan (laki-laki 19 tahun wanita 16 tahun)
namun hendak menikah maka hrus mendapatkan dispensai dar Pengadilan Agama.
2. Permohonan dispensasi diajukan oleh Orang Tua kedua calon mempelai kepada pengadilan agama.
3. Pengadilan agama memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan untuk dapat memberikan
dispensasi tersebut maka Pengadilan memberikan dispensasi dengan suatu “penetapan”
 Perwalian (menurut KUHPerdata dan UUP)
Penguasaan terhadap pribadi dan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu
tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Menurut KUHPerdata ada 3 jenis perwalian yaitu :
1. Perwalian menurut Undang2 (pasal 345 BW)
2. Perwalian dengan wasiat (355 BW)
3. Perwalian yang diangkat oleh Hakim (pasal 359 BW)
 Menurut pasal 331 ayat 1 BW :dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali kecuali ditentukan dalam pasal 351 dan pasal
361 BW. (asas tidak dapat dibagi-bagi) terdapat pengecualian yaitu :
1. Jika perwalian oleh ibu sebagai orang tua, maka jika kawin lagi maka suaminya menjadi “wali peserta” (pasal 351 BW)
2. Jika ditunjuk untuk pengurusan barang2 orang yang belum dewasa diluar Indonesia berdasarkan pasal 361 BW.
 Perwalian berakhir apabila :
1. Anak dibawah perwalian telah dewasa
2. Anak meninggal dunia
3. Wali meninggal dunia atau dibebaskan atau dipecat dari perwalian.
Perwalian menurut UUP sesuai dengan pasal 50 UUP yaitu :
4. Anak yang belum mencapai 18 tahun/ belum pernah melangsungan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
5. Perwalian itu mengenai pribadi anak maupun harta benda.
UUP hanya mengenal “Wali wasiat” yaitu wali yang ditunjuk oleh orang tua sebelum meninggal dengan surat wasiat atau
dengan lisan dihadapan 2 orang saksi (pasal 51 ayat 1 UUP)
Yang tidak boleh diangkat menjadi wali yaitu (pasal 379 UUP):
6. Orang yang sakit ingatan
7. Orang yang belum dewasa
8. Orang dibawah pengampuan
9. Mereka yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua maupun perwalian
 Perwalian dapat dicabut atau dihentikan apabila (pasal 380 UUP):
1. Berkelakuan buruk
2. Tidak cakap dalam menjalankan tugasnya, menyalahgunakan kekuasaan atau tidak menjalankan
kewajiban
3. Berada dalam keadaan pailit
 Hubungan Keluarga dan Sedarah
Sistem kekerabatan adalah serangkaian aturan yang mengatur penggolongan orang-orang sekerabat. Orang-
orang yang satu keturunan disebut Consanguine, orang2 yang mempunyai hubungan sekerabat karena
terjadinya perkawinan disebut Effine.
1. Keluarga sedarah yaitu pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai
keluhuran yang sama. Suatu pertalian keluarga yang mana yang satu adalah keturunan yang lain atau
yang semua memiliki nenek moyang yang sama. Intinya pertalian kekeluargaan karena keturunan.
2. Keluarga Semenda yaitu pertlian keluarga yang diakibatkan oleh perkawinan. Pertalian keluarga yang
terjadi karena perkawinan seseorang dengan keluarga si suami/ istri (Intinya adalah saudara periparan).

Anda mungkin juga menyukai