Anda di halaman 1dari 7

PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

LEMBAR JAWABAN

Nama : RIFALDI SUKMA


NIM : 41033300191052
Semester/Kelas : IV/B3
Mata Kuliah : HUKUM PERKAWINAN KELUARGA DAN WARIS
Dosen Pengampu : ELIS HERLINA, S.H., M.H.

1. - Pencegahan adalah usaha untuk menghindari adanya suatu perkawinan yang bertentangan
dengan ketentuan UU yang berlaku. Pencegahan dilakukan sebelum perkawinan berlangsung
disebabkan karena adanya syarat- syarat perkawinan yang belum dipenuhi.Para Pihak yang
dapat mencegah perkawinan :

-Suami atau istri atau anak-anak dari mempelai, pasal 60 KUHPerdata


-Ayah atau ibu, pasal 61 KUHPerdata
-Kakek nenek atau wali, pasal 63 KUHPerdata
-Bekas suami calon mempelai
-Jaksa, pasal 65 KUHPerdata

-Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan
perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap
tidak pernah ada. Menurut Soedaryo Soimin,S.H.: “Pembatalan perkawinan adalah perkawinan
yang terjadi dengan tanpa memenuhi syarat-syarat sesuai UndangUndang”.

“Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa


perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak
pernah ada”.

Adapun pada UU Perkawinan diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24. Sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam diatur dalam Pasal 73. Pihakpihak tersebut antara lain:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. Misalnya bapak
atau ibu dari suami atau isteri, kakek atau nenek dari suami atau isteri.
b. Suami isteri, suami atau isteri. Artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari
suami atau isteri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan
pembatalan perkawinan.

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. Pejabat yang
ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 16 ayat (2)),
PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

namun sampai saat ini urusan tersebut masih dipegang oleh PPN atau Kepala Kantor Urusan
Agama, Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri.

d. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap


perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan tersebut diputuskan.

2. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak),
kekuasaan orang tua adalah untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi,
dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan,
bakat, serta minatnya. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan.
Wali, menurut UU Perlindungan Anak, adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya
menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. Perwalian dapat didefinisikan
sebagai berikut: Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak
diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang
memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.

Untuk menjadi wali dilakukan melalui penetapan pengadilan. Wali harus sama dengan agama
yang dianut anak. Untuk kepentingan anak, wali wajib mengelola harta milik anak yang
bersangkutan.

3. Kawin kontrak adalah suatu bentuk perkawinan yang dibatasi oleh waktu tertentu sesuai yang
diperjanjikan kedua pihak dan merupakan suatu bentuk perkawinan yang tidak sah menurut UU
No.1 Thn. 1974 tentang perkawinan. Kawin kontrak telah melanggar ketentuan pasal 2 ayat (2)
UU No.1 Thn. 1974 karena dalam perkawinan ini tidak dilakukan pencatatan pada pejabat yang
berwenang(KUA atau Catatan Sipil) dalam
rangka memperoleh kepastian hukumnya melalui surat nikah. Pada dasamya Kawin Kontrak itu
sendiri telah melanggar arti dan tujuan suci dari sebuah perkawinan sesuai dengan UU No. 1
Thn. 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, jadi tidak ada alasan untuk membenarkan dan
mengesahkan keberadaannya. Menurut Hukum Islam, kawin kontrak ini adalah haram
hukumnya, yaitu dengan mendasarkan pada dalil-dalil baik berasal dan Al Qur'an maupun
Hadist. Jadi tidak ada alasan untuk membenarkan bahkan mengesahkan keberadaan kawin
kontrak atau kawin mut'ah ini.
PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

4. Kekayaan atau harta benda adalah salah satu hal yang sangat sensitif. Menurut Undangundang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 35 disebutkan bahwa terdapat dua jenis harta
benda dalam perkawinan yaitu harta bersama dan harta bawaan. Pasal 35 ayat (1) menjelaskan
bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan mejadi harta bersama.
Harta bersama ini yang kita kenal dengan istilah harta gono-gini. Yang termasuk dalam harta
gono-gini adalah semua harta yang terbentuk atau terkumpul sejak tanggal terjadinya
perkawinan.

Sedangkan pasal 35 ayat (2) menjelaskan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan
istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Artinya harta
benda yang tidak termasuk harta gono-gini atau harta bersama adalah harta bawaan yang
diperoleh sebelum menikah dan harta benda yang diperoleh oleh masingmasing pihak baik istri
maupun suami sebelum menikah maupun selama pernikahan yang berupa hadiah atau warisan
dari orang tua.

Penggolongan harta bawaan ini pun bisa berbeda dan diijinkan oleh Undang-undang sepanjang
ada kesepakatan bersama kedua belah pihak seperti Perjanjian Pernikahan atau

Prenuptial Agreement
Untuk menghindari konflik masalah keuangan perlu dilakukan pencatatan terhadap daftar
kekayaan yang dimiliki masing-masing pasangan.

5. Orang tua yang melaksanakan kekuasaan orang tua dapat dicabut /dipecat(onset) kekuasaannya
tersebut apabila melakuakan hal-hal yang disebut pasal 319 a ayat 2 KUH.

Perdata yaitu :

 Telah menyalah gunakan kekuasaan orang tuanya atau terlalu mengabaikan kewajiban
memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih.

 Berkelakuan buruk.
 Telah mendapat hukuman karena sengaja turut serta melakukan kejahatan terhadap anak
belum dewasa yang ada dalam, kekuasaannya.

 Telah mendapat hukuman karena kejahatan dalam bab.13,14,15,18,19,dan 20


KUH.Pidana yang dilakukan terhadap anak yang belum dewasa yang ada dalam
kekuasaannya.

 Telah mendapat hukuman badan 2 tahun lamanya atau lebih.


Dalam soal ini kekuasaan orang tua tidak dapat dicabut karena orang tua tidak
melakukan hal-hal yang ada pada point diatas.

6. A. Hasil Penelitian, pertama; Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menentukan secara tegas bahwa
suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

kepercayaannya itu (pasal 2 ayat (1)) dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
Perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 ayat (2)). Dengan demikian sahnya suatu
perkawinan menurut UU No 1 tahun 1974 adalah apabila telah memenuhi ketentuan pasal 2
ayat (1) dan (2).
B. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
membuka peluang pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berbeda agama.
Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan untuk dapat mencatatkan pernikahan itu.

Namun, Pakar Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah, Nurul Irfan, mengingatkan bahwa
pertama-tama harus dipastikan dulu apakah pernikahan beda agama sah menurut hukum
agamanya masing-masing. Di kalangan agama Islam sendiri, para ulama sepakat perkawinan
beda agama hanya boleh dilakukan oleh laki-laki Islam dengan perempuan agama lain terbatas
pada Nasrani dan Yahudi,” jelas Nurul kepada hukumonline, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang mengatur bahwa “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sementara, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dilarang jika
aturan agama melarang serta peraturan lain yang berlaku.

7. Berdasarkan ketentuan KUH-Perdata Anak luar kawin dianggap tidak mempunyai hubungan
hukum apapun dengan orang tuanya apabila tidak ada pengakuan dari ayah maupun ibunya,
dengan demikianbila anak luar kawin tersebut diakuimaka ia dapat mewaris harta peninggalan
dari orang tua yang mengakuinya, dan tentunya pembagian warisan berdasarkan Undang-
undang. Akan tetapi, disatu sisi juga dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan yaitu UU
No.1 tahun 1974 (Pasal 43 ayat 1), maka anak luar kawin yang tidak diakui pun dengan otomatis
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian, maka
keharusan seorang ibu untuk mengakui anak luar kawinnya seperti yang disebutkan dalam
Burgerlijk Wetboek adalah tidak diperlukan lagi. Begitu juga telah ditegaskan di dalam Putusan
MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut yang juga merupakan bahagian dari reformasi hukum,
sehingga si anak juga mempunyai hubungan yuridis dengan ayah biologisnya apabila dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. 2.
Anak luar kawin yang dapat diakui adalah berdasarkan Pasal 272 B.W, yakni : “Anak luar nikah
yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu tetapi yang tidak dibenihkan
PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah dengan ibu si anak tersebut”, dan
tidak termasuk kelompok anak zinah dan anak sumbang.

WARISAN ANAK LUAR KAWIN


Perihal Pewarisan Anak Luar Kawin yang Diakui diatur dalam Bab XII bagian III Buku II
KUHPerdata. Hal yang diatur mengenai pewarisan anak luar kawin, baik dalam hal anak luar
kawin yang diakui bertindak sebagai ahli waris (hak waris aktif), maupun dalam hal anak luar
kawin berkedudukan sebagai Pewaris (hak waris pasif).

Pengakuan Anak Luar Kawin Sepanjang Perkawinan


Anak luar kawin baru dapat mewaris kalau mempunyai hubungan hukum dengan Pewaris.
Hubungan hukum itu timbul dengan dilakukannya pengakuan.

Pasal 285 KUHPerdata menentukan :

“Pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan anak
luar kawin, yang sebelum kawin telah olehnya dibuahkan dengan orang lain dari istri atau
suaminya, tak akan merugikan baik bagi istri atau suami maupun bagi anak yang dilahirkan dari
perkawinan mereka”.

8. UNSUR – UNSUR PEWARISAN


Di dalam membicarakan hukum waris maka ada 3 hal yang perlu mendapat perhatian, di mana
ketiga hal ini merupakan unsur – unsur pewarisan :

Orang yang meninggal dunia / Pewaria / Erflater


Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada
orang lain yang berhak menerimanya. Menurut pasal 830 BW, pewarisan hanya berlangsung
karena kematian. Menurut ketentuan pasal 874 BW, segala harta peninggalan seorang yang
meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang sekedar
terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan
demikian, menurut BW ada dua macam waris :

Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris ab intestato (tanpa wasiat).
Hukum waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau testamentair erfrecht.

Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu / Erfgenaam


Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan
kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Lalu, bagaiman dengan bayi yang ada dalam
kandungan ?. Menurut pasal 2 BW, anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah
dilahirkan bilamanakeperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan demikian seorang anak yang
ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi karena dalam pasal ini hukum
membuat fiksi seakan – akan anak sudah dilahirkan.

Ahli waris terdiri dari :


PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

 Ahli waris menurut undang – undang ( abintestato )


Ahli waris ini didasarkan atas hubungan darah dengan si pewaris atau para keluarga sedarah.
Ahli waris ini terdiri atas 4 golongan. Golongan I, terdiri dari anak – anak, suami ( duda ) dan istri
( janda ) si pewaris; Golongan II, terdiri dari bapak, ibu ( orang tua ), saudara – saudara si pewris;
Golongan III, terdiri dari keluarga sedarah bapak atau ibu lurus ke atas ( seperti, kakek, nenek
baik garis atau pancer bapak atau ibu ) si pewaris; Golongan IV, terdiri dari sanak keluarga dari
pancer samping ( seperti, paman , bibi ).

 Ahli waris menurut wasiat ( testamentair erfrecht )


Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu dalam pasal 874 BW, setiap orang yang diberi wasiat
secara sah oleh pewaris wasiat, terdiri atas, testamentair erfgenaam yaitu ahli waris yang
mendapat wasiat yang berisi suatu erfstelling ( penunjukkan satu ataubeberapa ahli waris untuk
mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan ); legataris yaitu ahli waris karena mendapat
wasiat yang isinya menunjuk seseorang untuk mendapat berapa hak atas satu atau beberapa
macam harta waris, hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu, hak untuk memungut
hasil dari seluruh atau sebagian dari harta waris.

Jadi, dengan demikian ada tiga dasar untuk menjadi ahli waris, yaitu, ahli waris atas dasar
hubungan darah dengan si pewaris, ahli waris hubungan perkawianan dengan si pewaris, ahli
waris atas dasar wasiat.

Harta Waris
Hal – hal yang dapat diwarisi dari si pewaris, pada prinsipnya yang dapat diwarisi hanyalah hak –
hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut berupa, Aktiva (
sejumlah benda yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang kepada pihak ketiga,
selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti, hak cipta ); Passiva ( sejumlah hutang pewaris
yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban lainnya ). Dengan demikian, hak dan
kewajiban yang timbul dari hukum keluarga tidak dapat diwariskan.

9. Bagian-bagian hukum adat besar pengaruhnya terhadap hukum waris adat dan sebaliknya
hukum warispun berdiri sentra dalam hubungan hukum- hukum adat lainnya, sebab hukum
waris meliputi aturan-aturan hukum yang berlainan dengan proses yang terusmenerus dari abad
ke abad, ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik materil maupun immamterial dari
suatu angkatan ke angkatan berikutnya.1 Soepomo mengatakan “Hukum adat waris memuat
peraturan- peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barangbarang
harta benda dan barang-barang yang yang tidak berwujud benda (Immateriele Goederen) dari
suatu angkatan manusia (Generatie) kapada turunannya. Proses itu telah dimulai dalam waktu
orang tua masih hidup. Tidak menjadi “akuut (mempengaruhi) oleh sebab orang tua meninggal
dunia, memang meninggalnya bapak dan ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses
itu, akan
PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan
harta benda dan harta bukan benda tersebut”.2 Inti dari pandangan Soepomo di atas adalah
seluruh harta keluarga, baik harta suami, harta isteri serta harta bersama akan menjadi hak
daripada keturunannya.

10. Hukum waris di indonesia masih bersifat pluralistis, karena saat ini berlaku 3 sistem hukum
kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Kitab Undang-
undang Hukum Perdata.

 Hukum Waris adat meliputi keseluruhan asas, norma, dan keputusan/ketetapan hukum
yang bertalian dengan proses penerusan serta pengendalian harta benda (materiil) dan
harta cinta (non-materiil) dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya.Hukum
Waris adat yang berlaku di indonesia sangat beraneka ragam bentuknya, itu semua
tergantung kepada daerahnya masing-masing. Dalam kewarisan adat ini ada yang
bersifat Patrilineal, Matrilineal, maupun Bilateral. Hal ini menunjukan adanya
perbedaan-perbedaan daerah hukum adat yang satu dengan adat yang lainnya, yang
berkaitan dengan sistem kekeluargaan dengan jenis serta status harta yang akan
diwariskan.

 Hukum Waris Islam dirumuskan sebagai " perangkat ketentuan hukum yang mengatur
pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktu ia meninggal
dunia".Sumber pokok Hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an dan Hadits Nabi, kemudian
Qias (analogon) dan Ijma.

 Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook) adalah hukum
waris berupa perangkat ketentuan hukum yang mengatur akibatakibat hukum,
umumnya di bidang hukum harta kekayaan, yaitu karena kematian seseorang, yang
disebut pengalihan harta yang ditinggalkan beserta akibat-akibat pengasingan tersebut
bagi para penerimanya, baik dalam hubungan antarmereka maupun hubungan
antarmereka dengan pihak ketiga.

Anda mungkin juga menyukai