Anda di halaman 1dari 4

Nama: Farrell Abrar Maulaya

Kelas: C-1 Hukum Perdata

NIM: 032111133186

1. Dalam pasal 57 UUP dijelaskan arti perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dalam kasus
ini Olla dan Aufar beridentitas kewarganegaraan Indonesia yang menikah di Tokyo itu
termasuk kedalam perkawinan luar Indonesia yang menurut hukum formil berlaku
tempat perkawinan dilangsungkan yaitu Tokyo. Jika menurut hukum formil
perkawinan tersebut disebut sebagai perkawinan di luar Indonesia.

2. a. upaya hukum yang bisa mereka lakukan adalah melakukan perjanjian perkawinan
sebelum menikah. Pada pasal 29 ayat 1 UUP, Perjanjian perkawinan dilangsungkan
kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
isinya disepakati oleh kedua belah pihak tentang mengatur sendiri harta benda
perkawinan mereka atau harta bawaan dan dicatatkan oleh pegawai pencatatan
perkawinan.

b. Dalam UUP Bab V tentang perjanjian perkawinan dijelaskan syarat yang harus
dipenuhi agar upaya hukum tersebut sah dan berlaku mengikat antara lain: (1)Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas batas
hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan. (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga ini tersangkut.
c. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015
memberikan kesempatan bagi pasangan suami istri untuk
dapat membuat suatu perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan atau
yang biasa dikenal dengan Postnuptial Agreement. Ini berarti Anda dapat membuat
perjanjian perkawinan pasca Anda menikah.Dan dalam UU No 1 Tahun 1974 mengenai
Perjanjian Perkawinan dapat dibuat pada waktu, sebelum atau selama dalam ikatan
perkawinan. Jadi mereka bisa membuat perjanjian perkawinan pada saat perkawinan
sudah berlangsung menurut Putusan MK No.69/PUU-XII/2015 dan UU No 1 Tahun
1974.

Seandainya alasan perceraian mereka karena sudah tidak saling mencintai sehingga
mereka sepakat untuk bercerai. Apakah alasan tersebut dapat diterima?.Jelaskan
dengan memberikan argumentasi hukumnya !

3. Dalam Pasal 19 PP No 9 tahun 1975 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-
alasan : (a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan,(b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya, (c)Salah satu pihak mendapat hukuman penjara
5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, (d)
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain, (e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri, (f) Antara suami dan isteri
terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga. Selain alasan- alasan tersebut, bagi pasangan suami
yang beragama islam juga berlaku ketentuan dalam pasal 116 kompilasi hukum islam
yang mengatur alasan perceraian yang tidak diatur dalam UU perkawinan yaitu suami
melanggar taklik talak dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak makmuran dalam rumah tangga. Dalam kasus ini mereka ingin bercerai karena
sudah tidak cinta lagi dengan suaminya. Jika merujuk pada alasan dari UU perkawinan
dan KHI pada diatas, maka lasan sudah tidak cinta lagi tidak dapat dijadikan dasar untuk
perceraian. Oleh karena itu karena sudah tidak cinta lagi tidak dapat diterima.
4. Akibat dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya
mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang
Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut,
yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat
dan hukum lain-lainnya. Memperhatikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal
tersebut undang-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang
bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian.

Jika terkait anak dalam Pasal 41 UUP Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
ialah: (a) Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. (b)Bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut
pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. (c)Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Jika dilohat dari pasal 41 UUP Suami
dan isteri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa
ibu yang memikul biaya anak-anak.

5. Berdasarkan pasal 42 UUP “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sedangkan menurut pasal 99 kompilasi hukum
islam ada dua kemungkinan anak yang sah yaitu a. anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah b. hasil perbuatan suami istri diluar Rahim dan dilahirkan
oleh istri tersebut
Jika dilihat dari kasus tersebut status anaknya merupakan anak yang sah karena
memenuhi kriteria pada pasal 42 UUP dan pasal 99 KHI.

6. Sebagaimana yang terdapat dalam pasal 28 UUP (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai
setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku
sejak berlangsungnya perkawinan. (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap: anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. jadi keputusan tersebut tidak berlaku
surut terhadap anak anak yang dilahirkan yang membuat status anak tetap menjadi anak
yang sah. Pembatalan perkawinan juga membawa akibat hukum terhadap harta bersama
yang di peroleh oleh suami istri selama masa perkawinan. karena Belum ada aturan
yang khusus yang mengatur tentang pembagian harta bersama dalam Pembatalan
perrkawinan.
7. Akibat hukum yang terjadi karena pembatalan perkawinan olla ramlan berstatus
sebagai janda. Menurut ketentuan pasal 34 BW massa tunggu 300 hari bagi janda yang
hendak melangsungkan perkawinan/ tenggang waktu ini berkaitan dengan usia terlama
kehamilan seorang perempuan bergitu perkawinanya bubar atau dibubarkan. Jadi
berlaku massa tunggu bagi Olla Ramlan.

Anda mungkin juga menyukai