Anda di halaman 1dari 5

1.

Pemohon yakni Nyonya Ike Farida seorang Warga Negara Indonesia yang telah
menikah dengan laki-laki berkewarganegaraan Jepang mengajukan permohonan
kepada Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015. Mereka telah menikah secara sah dan
telah dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Makasar Kota Jakarta Timur
Nomor 3948/VIII/1995 pada tanggal 22 Agustus 1995 dan telah dicatatkan juga pada
Kantor Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta sebagaimana dimaksud dalam Tanda Bukti
Laporan Perkawinan Nomor 36/KHS/AI/1849/1995/1999 tertanggal 24 Mei 1999.
Dalam perkawinan tersebut tidak pernah dibuat Perjanjian Kawin dan pemohon tidak
pernah melepaskan kewarganegaraan Indonesia serta masih tinggal di Indonesia.
Permasalahan bermula pada pemohon pada tanggal 26 Mei 2012 membeli satu
unit rumah susun, namun setelah pemohon membayar lunas unit rumah susun tersebut,
pengembang tidak kunjung menyerahkan unit rumah susun tersebut. Perjanjian
pembelian dibatalkan secara sepihak oleh pihak pengembang dengan alasan suami
pemohon merupakan Warga Negara Asing dan di antara pemohon dengan suaminya
tidak memiliki Perjanjian Kawin pemisahan harta. Sehingga dalam surat nomor
267/S/LNC/X/2014/IP tertanggal 8 Oktober 2014 dan surat pengembang nomor Ref.
214/LGL/CG-EPH/IX/2012 tertanggal 17 September 2012, pihak pengembang
menyatakan bahwa pemohon tidak memenuhi Pasal 36 ayat (1) UU PA dan Pasal 35
ayat (1) UU Perkawinan yang pada intinya pemohon tidak berhak memiliki Hak Guna
Bangunan karena telah menikah dengan Warga Negara Asing dan tidak memiliki
Perjanjian Kawin. Maka dari itu, pengembang memutuskan untuk tidak melakukan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atau Akta Jual Beli (AJB). Pemohon
mengajukan permohonan ini agar dilakukannya pengujian materiil (judicial review)
atas Pasal 21 ayat (1) dan (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA; serta Pasal 29 ayat (1), (3), (4)
dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Pemohon merasa terjadinya diskriminasi
terhadap dirinya juga para Warga Negara Indonesia lainnya yang menikah dengan
Warga Negara Asing dan belum membuat Perjanjian Kawin. Dalam Pasal 29 ayat (1)
UU Perkawinan disebutkan bahwa Perjanjian Kawin hanya diperbolehkan untuk dibuat
pada sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan, dan tidak memperbolehkan
pembuatan Perjanjian Kawin pada setelah perkawinan dilangsungkan.
Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015,
Perjanjian perkawinan dapat dilaksanakan setelah perkawinan berlangsung. Melahirkan
suatu persoalan baru terhadap terhadap dasar hukum dari perjanjian perkawinan, serta
penafsiran hukum antara UU Perkawinan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. Suami istri yang melakukan perjanjian perkawinan setelah melaksanakan
perkawinan atau selama perkawinan berlangsung berpengaruh terhadap harta bersama
yang diperoleh selama dilangsungkannya perkawinan. Berdasarkan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, jika seorang calon suami istri tidak melakukan perjanjian
perkawinan maka terjadi pergabungan harta perkawinan yang disebut sebagai harta
bersama dalam perkawinan. Jika calon suami isteri berdasarkan KUHPer
melangsungkan perkawinan tanpa mebuat perjanjian perkawinan, dan dikemudian hari
melakukan perjanjian perkawinan, menimbulkan suatu persoalan bagaimana
pengaturan perjanjian perkawinan yang sah sesuai dengan hukum yang berlaku di
Indonesia.
Ketentuan mengenai perjanjian perkawinan telah diatur dalam Bab Ketujuh
Pasal 139 sampai dengan Pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal-pasal
dalam KUHPer tersebut menyatakan bahwa dengan mengadakan perjanjian
perkawinan, kedua pasang calon suami istri berhak menyiapkan beberapa
penyimpangan dari peraturan perundang-undangan yang berobjek pada pengaturan
harta kekayaan perkawinan, dengan tidak menyalahi aturan tata susila yang baik.
Perjanjian perkawinan dalam Pasal 147 KUHPer harus dibuat sebelum perkawinan
dilangsungkan dan dibuat dihadapan notaris. Pasal 199 KUHPer menyatakan, mulai
saat perkawinan dilangsungkan, dengan hukum berlakulah persatuan bulat antara harta
kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan
ketentuan lain sehingga dari ketentuan tersebut dapatlah dibuat perjanjian perkawinan
yang menyimpang dari asas percampuran bulat harta kekayaan yang dibuat berdasarkan
kesusilaan, ketertiban umum dan peraturan yang berlaku sebagaimana tercantum dalam
Pasal 139 sampai dengan Pasal 167 KUHPerdata. Persatuan tersebut sepanjang
perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami
dan istri. Berlakunya perjanjian perkawinan sampai terjadi perceraian atau kematian
menurut asas kebebasan berkontrak. Perjanjian perkawinan pada prinsipnya tidak
terlepas dari konsep hukum harta bersama dalam perkawinan. Perjanjian perkawinan
tentu juga merupakan penyimpangan atas ketentuan tentang harta benda dalam
perkawinan dalam Bab VII Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Perjanjian perkawinan sebelum berlakunya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dilakukan sebelum perkawinan berlangsung. Hal
tersebut bertujuan untuk mengatur terlebih dahulu harta kekayaan perkawinan selama
melangsungkan perkawinan. Perjanjian perkawinan dilakukan secara tertulis atas
persetujuan calon suami dan istri. Menurut Wirjono Pradjodikoro, perjanjian
perkawinan diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda
kekayaan antara dua pihak, yakni antara laki-laki sebagai calon suami dan perempuan
sebagai calon istri untuk melakukan perjanjian pemisahan harta dan atau persatuan
harta kekayaan milik pribadi antara suami istri yang menjadi objek dari perjanjian.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan secara bersyarat permohonan Ike Farida, seorang
warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara Jepang. Mahkamah
memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU No
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka pembuatan perjanjian perkawinan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasangan. Putusan Mahkamah
Konstitusi yang memberi tafsir terhadap ketentuan Pasal 29 kini menjadi lebih longgar
sehingga memungkinkan pasangan untuk mengatur ulang hartanya pada saat perkawinan
telah berlangsung melalui perjanjian perkawinan. Kesepakatan atau perjanjian dapat
dilakukan oleh suami dan istri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan. Kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian
perkawinan secara tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris
selama perkawinan berlangsung berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015.

2. Adapun anak luar kawin merupakan istilah yang merujuk pada Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan, yang menyatakan bahwa:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan


perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional) sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, telah terjadi perubahan makna


dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
menegaskan bahwa anak luar kawin tidak hanya punya hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibunya, tapi juga punya hubungan perdata dengan ayah dan/atau keluarga
ayahnya selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau
alat bukti lain menurut hukum bahwa laki-laki tersebut adalah ayah dari anak luar kawin
tersebut.

Di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menguraikan bahwa
anak luar kawin bisa dikategorikan sebagai anak sah sepanjang diakui oleh orang
tuanya. Pasal 272 KUH Perdata menguraikan bahwa:
“Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan
darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka,
bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan
secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta
perkawinannya sendiri.”

Lalu Pasal 250 KUH Perdata menguraikan bahwa:

“Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan puluh dari
perkawinan, dapat diingkari oleh suami. Namun pengingkaran itu tidak boleh
dilakukan dalam hal-hal berikut:
- bila sebelum perkawinan suami telah mengetahui kehamilan itu;
- bila pada pembuatan akta kelahiran dia hadir, dan akta ini ditandatangani
olehnya, atau memuat suatu keterangan darinya yang berisi bahwa dia
tidak dapat menandatanganinya;
- bila anak itu dilahirkan mati.

Anak luar kawin ada 2 golongan yaitu:


- Anak yang lahir di luar perkawinan, tapi diakui oleh seorang ayah dan/atau seorang
ibu. Di dalam hal ini antara si anak dan orang yang mengakui itu timbul pertalian
kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang mengakui
anak itu saja. Jadinya, keluarga lain dari orang yang mengakui itu, tidak terikat oleh
pengakuan orang lain. Anak dari golongan ini, jika ayah dan ibunya kawin, lalu
menjadi anak sah;
- Anak lahir di luar perkawinan, dan tidak diakui, tidak oleh ayah maupun oleh
ibunya. Anak ini menurut hukum tidak punya ayah dan tidak punya ibu. Terhadap
anak di luar kawin yang tidak diakui, karena tidak mempunyai keluarga maka juga
tidak ada ketentuan tentang hukum warisnya. \
- Berbeda halnya dengan hukum waris Islam yang berlaku di Indonesia. Anak luar
kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
(Pasal 43 ayat (1) UUP jo. pasal 100 KHI).

Mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin ini diatur dalam Pasal 862 s.d. Pasal
866 KUH Perdata:
- Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau
istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang
seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah (Pasal 863
KUH Perdata);
- Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri,
tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek,
dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak
yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat
saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut
mendapat 3/4 (Pasal 863 KUH Perdata);
- Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian sisanya baru
dibagi-bagi antara para waris yang sah (Pasal 864 KUH Perdata);
- Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka
memperoleh seluruh warisan (Pasal 865 KUH Perdata)
- Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka ia dapat digantikan anak-
anaknya (yang sah) (Pasal 866 KUH Perdata).
Jadi, sesuai pengaturan KUH Perdata, waris mewaris hanya berlaku bagi anak luar kawin yang
diakui oleh ayah dan/atau ibunya. Tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibu, anak luar kawin
tidak mempunyai hak mewaris.
Jika kita kaitkan dengan asas Equality Before the Law (Persamaan di hadapan hukum), menurut
hemat saya anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu tidak dapat memilih atau menentukan
dilahirkan atas dasar proses yang dianggap sah menurut Hukum Negara yang berlaku. Oleh
sebab itu apabila anak luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataaan dengan ibunya saja,
itu sangat tidak mencerminkan asas Equality Before the Law tersebut.
Dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum."
Dalam negara hukum disebutkan bahwa Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau
kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di
dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan
hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang
sama bagi semua warga Negara. Dengan demikian Hukum harus memberi perlindungan dan
kepastian hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut
peraturan perundang-undangan.
Apabila dianalisis, maka logika hukumnya Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya
hubungan nasab anak luar nikah dengan bapak biologisnya; adanya hak dan kewajiban antara
anak luar nikah dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya.
Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa
benar anak diluar nikah tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah
biologisnya itu.
3. Perkawinan, ia dikatakan sah bilamana dilaksanakan dengan melengkapi syarat rukun
nikah. Akad nikah yang sah, mempunyai kekuatan hukum di samping beberapa akibat
hukum sebagai konsekwensi dari keabsahannya tersebut, antara lain halalnya bergaul
sebagai suami isteri, suami wajib memberi nafkah kepada isteri, saling mewarisi, dan jika
punya keturunan maka keturunan tersebut berhak atas segala sesuatu sebagai layaknya
keturunan/ anak yang sah.
Pembatalan perkawinan merupakan hal yang mungkin terjadi karena adanya kekhilafan
atau kurangnya persyaratan-persyaratan yang tidak diketahui (atau disengaja) pada saat
orang akan melangsungkan perkawinan. Kekhilafan atau kekurangan-kekurangan tersebut
baru diketahui setelah perkawinan berlangsung.
Atas dasar itu, jika seseorang mengetahui adanya cacat –baik formil maupun materiil –
yang bisa membatalkan perkawinan seseorang, apalagi hal-hal yangt menurut hukum
agama tidak boleh terjadi dalam suatu perkawinan, maka orang tersebut harus segera
mengambil tindakan agar perkawinan tersebut segera dapat dibatalkan, sehingga kesalahan
tidak berlarut-larut. Dalam hal ini, hukum memberi jalan keluar yang tidak terlalu sulit
ditempuh.

Anda mungkin juga menyukai