Anda di halaman 1dari 5

Bisakah Perjanjian Kawin yang Dibuat di LN Diberlakukan di Indonesia?

Jumat, 27 Agustus 2021


Edward Renaldo, S.H.Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 5 Menit

Pertanyaan

Mohon informasinya, apakah prenuptial agreement yang dibuat di Jerman bisa berlaku di Indonesia
terutama dalam hak WNI untuk tetap memiliki properti dengan status hak milik? Bila berlaku, prosedur
apa yang harus dilakukan? Apakah melegalisir ke KBRI di mana pernikahan dilangsungkan dan
melaporkan ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia? Sebelumnya terima kasih banyak atas bantuan dan
penjelasannya.

Intisari Jawaban

Prenuptial agreement/perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis antara suami-istri yang dibuat
sebelum atau selama perkawinan berlangsung, dan didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berikut aturan perubahannya dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Dengan adanya perjanjian kawin yang mengatur pemisahan harta pasangan warga negara Indonesia
(“WNI”) dengan warga negara asing (“WNA”), maka WNI tersebut tetap dapat mempunyai hak milik
atas tanah.

Lalu, bagaimana jika perjanjian perkawinananya dibuat di luar negeri (LN)?

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

Perjanjian Perkawinan

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami menjelaskan bahwa prenuptial
agreement atau perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis antara pasangan suami-istri yang
dibuat sebelum atau selama perkawinan berlangsung yang diatur oleh Pasal 29 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang berbunyi:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 menegaskan perjanjian perkawinan dapat
dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan, serta perjanjian perkawinan dapat
disahkan oleh notaris. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut (hal.
156 -157):

1. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;

2. Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali
ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”;

3. Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta
perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan
itu tidak merugikan pihak ketiga”.

Perjanjian Perkawinan yang Dibuat di Luar Negeri

Klinik Terkait :

Bisakah Ketentuan dalam Perjanjian Kawin Diubah?

Aturan dan Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam Islam


Hak Anak dari Perkawinan Campuran untuk Memiliki Rumah

Dapatkah Perjanjian Kawin dalam Nikah Siri Dinyatakan Sah?

Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan perjanjian perkawinan yang Anda tanyakan dibuat
di Jerman berdasarkan hukum positif Jerman. Sedangkan, perjanjian perkawinan berdasarkan UU
Perkawinan harus dibuat sesuai dengan hukum positif Indonesia dengan pengesahan oleh pegawai
pencatatan perkawinan atau notaris di Indonesia. Sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat dengan
hukum positif Jerman tidak bisa langsung diberlakukan.

Dalam hal ini, Giovanna Calista Fortunella dalam penelitiannya berjudul Keabsahan Perjanjian
Perkawinan yang Dibuat di Luar Negeri Ditinjau dari Hukum Perdata Internasional Indonesia pada
intinya menyatakan bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat di luar negeri tidak sah bilamana tidak
dicatatkan pada kantor catatan sipil, dan bahwa kantor catatan sipil hanya akan melakukan pencatatan
apabila memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri.

Oleh karena itu, pada dasarnya perjanjian perkawinan yang dibuat di Jerman perlu memperoleh
penetapan di Pengadilan Negeri terlebih dahulu, dan kemudian dicatatkan pada kantor catatan sipil.
Namun, perlu diketahui juga bahwa setiap dokumen yang dibuat di luar negeri, jika akan digunakan di
Indonesia, misalnya seperti digunakan/diajukan ke instansi pemerintahan tertentu, perlu dilegalisir di
Kedutaan Besar Republik Indonesia (“KBRI”) setempat terlebih dahulu. Selain di KBRI, legalisasi juga
dilakukan di Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Anda dapat
menyimak penjelasan selengkapnya mengenai legalisasi ini dalam artikel Perlukah Dokumen Asing
Dilegalisasi di KBRI?.

Selain dengan cara di atas, menurut hemat kami, Anda juga bisa menyusun perjanjian perkawinan baru
berdasarkan hukum positif Indonesia. Terkait tata cara pendaftaran perjanjian perkawinan di Indonesia
dapat Anda baca dalam artikel Sahkah Perjanjian Perkawinan yang Tak Didaftarkan ke Pengadilan?.

Rekomendasi Berita :
Top Law Schools, Pemeringkatan Almamaternya Partner Law Firm Terkemuka Indonesia

Mereka yang Lolos dari Hukuman Mati

Plus-Minus Aturan Skripsi Tak Wajib di Mata Dekan FH Usakti dan Unisba

3 Tools AI yang Bisa Digunakan untuk Penulisan Jurnal Ilmiah

Hak Kepemilikan WNI atas Tanah

Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”):

Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh
antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian
perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan suatu persetujuan antara suami isteri.

Sedangkan, hanya Warga Negara Indonesia (“WNI”) yang dapat mempunyai hak milik atas tanah
berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Mengutip artikel Status Kepemilikan Tanah untuk Orang Asing yang Telah Menjadi WNI, jika seorang
WNI menikah dengan seseorang yang berkewarganegaraan asing (“WNA”), maka terjadi percampuran
harta, dan pasangannya yang berstatus WNA akan turut menjadi pemilik atas harta pihak yang berstatus
WNI. Oleh karena itu, tidak boleh seorang WNI pelaku perkawinan campuran memegang hak milik
atas tanah. Akan tetapi, WNI dalam perkawinan campuran bisa memiliki hak milik atas tanah dengan
catatan bahwa yang bersangkutan mempunyai perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai
pemisahan harta kekayaan.

Hal tersebut didasarkan atas ketentuan bahwa perjanjian perkawinan memperbolehkan pasangan suami
isteri untuk menyimpang dari peraturan harta bersama selama tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 139 KUH Perdata:

Para calon suami isteri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang
mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan
tata tertib umum dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.

Oleh karena itu diperlukan pemisahan harta perkawinan antara WNI dengan WNA yang tercantum
dalam perjanjian perkawinan seperti penjelasan di atas sehingga WNI tetap dapat mempunyai hak milik
atas tanah.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria;

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah


dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Referensi:

Giovanna Calista Fortunella, Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang Dibuat di Luar Negeri Ditinjau dari
Hukum Perdata Internasional Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2017.

Anda mungkin juga menyukai