Namun demikian ada beberapa ahli hukum yang berpendapat, pengesahan oleh
Notaris ini dirasa kurang kuat dan agar memiliki kekuatan mengikat kepada pihak
ketiga harus tetap didaftarkan kepada pengawai pencatat nikah atau Catatan Sipil.
Mengenai hal ini, penulis berpendapat bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat
oleh Notaris sudah berlaku secara sah dan mengikat sesuai dengan diktum
Putusan MK tersebut, dan ini harus diakui sebagai hukum positif yang berlaku di
Indonesia saat ini. Sedangkan apabila bagi para pihak ingin didaftarkan, maka
dapat diajukan permohonan penetapan pendaftaran pada Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal bersama dari suami dan istri tersebut.
Dalam penetapan tersebut akan memuat perintah pengadilan kepada Catatan Sipil
untuk melakukan pendaftaran perjanjian perkawinan tersebut. Mengenai hal ini
telah ada beberapa yurisprudensi penetapan pengadilan yang memerintahkan
Catatan Sipil untuk melakukan pendaftaran terhadap perjanjian perkawinan yang
dibuat setelah perkawinan dilangsungkan dan lebih lanjut mengenai yurisprudensi
ini akan saya bahas pada artikel terpisah.
Jadi penting untuk diingat bagi yang ingin membuat Perjanjian Perkawinan
setelah perkawinan berlangsung, sebaiknya agar dibuat bahwa Perjanjian
Perkawinan tersebut berlaku terhitung sejak tanggal Perjanjian. Jangan dibuat
berlaku sejak perkawinan karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Namun demikian sekali lagi ini adalah putusan yang harus kita hormati dan
laksanakan, dengan demikian norma hukum baru ini demi hukum diberlakukan
dalam masyarakat.
Penutup
(1) Bagi WNI yang waktu melakukan perkawinan dengan WNA lupa atau
terlewat untuk membuat Perjanjian Pisah Harta. Ini kesempatan kedua bagi kalian.
Don’t miss it!
(2) Bagi para Notaris yang kini diberikan kewenangan tak hanya untuk membuat
namun sekaligus mengesahkan Perjanjian Perkawinan, jangan lupa ketentuan
Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan yang masih berlaku yang berbunyi “(2)
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.” Bagaimana batasan-batasan yang dimaksud untuk
Perjanjian Perkawinan, ini akan menjadi pembahasan yang menarik yang
mungkin bisa kita bahas di lain waktu.
Menurut saya Surat Edaran ini disusun dengan cukup baik, karena mengatur dan
memperjelas secara keseluruhan mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan
pelaporan Perjanjian Perkawinan, yang meliputi:
Sesuai dengan judulnya Surat Edaran Dirjend Dukcapil ini berlaku bagi Kantor
Catatan Sipil seluruh Indonesia yang berada di bawah koordinasi Kementerian
Dalam Negeri. Jangan lupa bahwa Catatan Sipil hanya dapat membubuhkan
Catatan Pinggir ini pada Akta Perkawinan yang dibuat dan dikeluarkan oleh
Catatan Sipil, yaitu untuk pasangan suami istri yang bergama selain
islam. Sedangkan untuk Kutipan Akta Nikah (atau dikenal dengan istilah “Buku
Nikah”) yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama (KUA), bagi pasangan suami
istri yang beragama islam tidak dapat dilakukan pencatatannya di Catatan Sipil.
Teknisnya hampir mirip dengan catatan pinggir pada Kutipan Akta Perkawinan,
yaitu dituliskan pada lembar “Catatan Status Perkawinan” yang biasanya
merupakan lembaran kosong pada Buku Nikah. Silahkan dilihat Buku Nikah anda
masing-masing yaa.
Setidaknya saat ini sudah mulai ada titik terang bagaimana prosedur untuk
mendaftarkan Perjanjian Perkawinan yang dibuat selama ikatan perkawinan. Jadi
semakin memperkuat keberlakuan Perjanjian Perkawinan tersebut selain dibuat
dan disahkan oleh Notaris (sesuai bunyi Putusan MK), selanjutnya didaftarkan
pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama yang mengeluarkan Akta
Perkawinan atau Buku Nikah anda.