Anda di halaman 1dari 24

HARTA BERSAMA

DAN
PERJANJIAN PERNIKAHAN

QURROTUL AINIYAH
PRINSIP DASAR
• Harta adalah amanah/titipan dari Allah
• Setelah membina rumah tangga maka
menjadi amanah Bersama
• Yang terbaik apa yang dilakukan oleh istri
harus atas izin suami termasuk masalah
harta
• BAWAAN

• HARTA DALAM
• PERNIKAHANA BERSAMA

• BERSAMA

PEROLEHAN
PENGERTIAN

A. HARTA BAWAAN
Adalah : harta yang dibawa atau dimiliki oleh
masng masing suami isteri sebelum
pernikahan berlangsung
B. HARTA BERSAMA/ GONO GINI
ADALAH : HARTA YANG DIPEROLEH DI DALAM
MASA PERKAWINAN YANG SAH, ATAU HARTA
YANG DIHASILKAN DARI PERKONGSIAN SUAMI
ISTERI

C. HARTA PEROLEHAN
Harta yang diperoleh suami atau isteri
selama masa pernikahan yang berupa
hadiah, hibah, wasiat atua waris
PERJANJIAN PERNIKAHAN

Adalah : Persetujuan yang dibuat oleh calon


mempelai pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, dan masing-
masing berjanji akan menaati apa yang
tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan
oleh pencatat nikah.
HUKUM DASAR PERJANJIAN PERKAWINAN
ADALAH : BOLEH / MUBAH

DASAR HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN


AL QUR’AN :QS. An-nisa [4]: 20-21).
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan isteri yang lain, sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-isteri.
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”
DALIL HADITS NABI

• hadist riwayat al-Bukhori yang artinya :


“Barangsiapa mensyaratkan pada dirinya sendiri untuk maksud taat (kepada Allah dan
Rosul-Nya), dalam keadaan tidak terpaksa, maka ia wajib memenuhinya” (Riwayat al-
Bukhori)
• Kata Umar bin al-Khattab : “Sesunguhnya keputusan hak terletak pada syarat-syarat
yang ditetapkan, dan pada kamu apa yang kamu syaratkan” (Riwayat al-Bukhori).
PERSYARATAN PERJANJIAN PERNIKAHAN

1. Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan


dengan al-Qur’an, karena perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan hukum al-
Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya
batal.
2. Tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal.
PERJANJIAN PERNIKAHAN DALAM UU NO.1/1974
1. Pasal 29 UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawina. Setelah masa isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama, dan kesusilaan.
3. Perjnajian tersebuat brlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugika
pihak ketiga.
PERJANJIAN PERNIKAHAN DALAM PERMENAG
NO. 3 TAHUN 1975

Pasal 11 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975


1. Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
islam.
2. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan
ditandatangani suami setelah akad nikah dilangsungkan.
3. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama
PERJANJIAN PERNIKAHAN DALAM KHI
pasal 45 sampai dengan pasal 52.
• Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
• 1. Taklik talak, dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hokum islam.
Pasal 46 :
1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum islam.
2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul terjadi kemudian tidak dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengjukan
persoalannya ke Pengadilan Agama.
3. Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan
tetapi sekali talak talik sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
LANJUTAN
• Pasal 47
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan.
2. Perjanjan tersebut pada ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta
pencarian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3. Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama
atau harta syarikat.
• Pasal 48
2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka
perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kewajiban rumah
tangga.
3. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi kebutuhan tersebut pada ayat (1) dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harkat syarikat dengan kewajiban suami menanggung
kebutuhan rumah tangga.
• Pasal 49
1. Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing
ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa
pencmpuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan
dilangsungkan, sehingga pecampuran itu tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan
atau sebaliknya.
LANJUTAN
• Pasal 50
1. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga
terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
2. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah meningkat kepada suami istri, tetapi
terhadap pihak ketiga pencabutan baru meningkat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan
oleh suami isri dalam suatu surat kabar setempat.
3. Apabila dalm tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan bersangkutan,
pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak ketiga.
4. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang
telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
• Pasal 51
Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri untuk meminta
pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama.
• Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga atau keempat, boleh
diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri
yang akan dinikahinya itu.
Akan halnya mengenai perjanjian perkawinan, apabila telah disepakati oleh kedua mempelai,
maka masing-masing wajib memenuhinya.
CONTOH PERJANJIAN PERNIKAHAN

1.Perjanjian Ta’lik Talak.


2.Perjanjian harta bersama
PELANGGARAN PERJANJIAN PERNIKAHAN

• Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan istri, tidak dipenuhi
oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya ke Pengadilan
Agama untuk menyelesaikannya.
• Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah
atau sebagai alasan perceraian dalam gugatan. Demikian juga sebaliknya, jika istri yang
melanggar perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke
Pengadilan Agama
CONTOH PERJANJIAN PERNIKAHAN
Pada hari ini, Rabu, tanggal satu bulan dua tahun dua ribu sebelas (01-02-2012), bertempat di
Surabaya, telah ditanda- tangani perjanjian perkawinan oleh dan antara :
1…….. selanjutnya disebut sbg pihak pertama
2……… selanjutnya disebut sebagai pihak kedua
Kedua belah pihak sepakat untuk membuat perjanjian perkawin an berdasarkan hukum Islam,
dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1
1. Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua yang akan melangsungkan perkawinan telah sepakat
untuk mengatur harta kekayaan dengan syariat Islam.
2. Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua bermaksud melangsungkan perkawinan secara
hukum Islam untuk membentuk suatu keluarga yang Sakinah, Mawadah, Warahmah.
LANJUTAN
• Pasal 2
1. Pernikahan yang dilangsungkan antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua harus dengan
saksi dari kedua belah pihak.
2. Yang dapat ditunjuk sebagai saksi dalam akad nikah, seorg laki-laki Muslim, adil akil baliq,
sehat jasmani dan rohani.
• Pasal 3
1. Pihak Kedua wajib membayar mahar pada Pihak Pertama, jumlah, bentuk dan jenis
disepakati oleh kedua belah pihak.
2. Penentuan mahar berdasarkan azas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan
dalam ajaran Islam.
Pasal 4
1. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat untuk mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2. Apabila dalam perkawinan ada persoalan, maka Pihak Pertama dapat mengajukan talak
kepada Pihak Kedua.
LANJUTAN
• Pasal 5
1. Pihak Kedua wajib untuk membimbing dan melindungi serta memberikan pendidikan
agama kepada Pihak Pertama
2. Pihak Kedua wajib untuk menanggung semua biaya rumah tangga.
Pasal 6
Pihak Pertama dan Pihak Kedua masing-masing tetap mempunyai atau memiliki segala harta
yang dimiliki pada waktu hari perkawinan, dan juga harta-harta yang diperoleh masing-
masing sebelum perkawinan berlangsung, baik dari harta warisan, hibah wasiat, atau hibah
hidup atau dengan cara lain.
Pasal 7
Pihak Pertama tetap mempunyai hak untuk mengurus hartanya yang dibawa sebelum
perkawinan, baik yang bergerak maupun tidak bergerak dan akan mempunyai hak bebas
dengan sendiri dan mempergunakan hasil-hasil dari harta kekayaannya dan penghasilannya
yang diterima dari manapun juga. Jika Pihak Kedua mengurusi harta-harta itu, maka Pihak
Pertama wajib bertanggung jawab atas harta-harta itu.
LANJUTAN
• Pasal 8
1. Bahwa dari suatu barang terangkut serta yang diperoleh selama waktu perkawinan
berlangsung, karena warisan, hibah wasiat, hibah hidup, atau dengan cara lain untuk
masing-masing Pihak Pertama dan Pihak Kedua harus dibuat suatu daftar atau dengan
pernyataan atau bukti otentik seperti surat-surat.
2. Apabila daftar-daftar dari harta/barang-barang bergerak dan yang diperoleh Pihak Pertama
selama perkawinan tidak ada atau tidak ada surat-surat yang menyatakan barang- barang
apakah yang dahulu ada atau berapa harganya maka Pihak Pertama atau ahli warisnya
berhak untuk membuktikan bekas adanya barang-barang itu dengan saksi- saksi atau
dengan pengetahuan orang umum.
Pasal 11
Apabila Pihak Pertama dan Pihak Kedua tidak ada kecocokan, maka harta yang didapat
selama perkawinan berlangsung dibagi kepada masing-masing pihak.
Pasal 12
Perjanjian perkawinan ini dibuat rangkap 2 (dua) di atas kertas bermaterai cukup untuk
masing-masing pihak yang mempunyai kekuatan yang sama dan ditandatangani oleh ke- dua
belah pihak dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, serta tanpa ada unsur paksaan dari
pihak manapun.
HARTA BERSAMA DALAM UU NO. 1/1974
Pasal 35
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Penjelasannya;
• Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-
masing. Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan
dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ;
pemberian, warisan. Dan harta bersama (pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung.
• Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa
masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu
harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan.
• Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan
LANJUTAN
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
• Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama
dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat
meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam
perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta
bersama itu.
LANJUTAN
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing.
• Penjelasannya; yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama,
hukum adat dan hukum lainnya.
• Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian, masing-
masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi ketentuan tersebut
bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat pula dengan
kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri. Dengan
kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh mengesampingkan peraturan yang ada.
• Kemudian bagaimanakah dengan persoalan tentang hutang yang timbul selama perkawinan
berlangsung? Karena prinsip harta perkawinan adalah harta bersama yang dimiliki oleh
suami dan istri, maka hutang pun adalah merupakan kewajiban mereka bersama untuk
melunasinya.
• Menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam pasal 35 (1) dan pasal 36 (1), undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 memberikan kelonggaran kepada suami/istri untuk mengatur
tentang harta bersama dalam per-kawinan dalam. Pengaturan itu dikenal dengan
PERJANJIAN PER-KAWINAN yang diatur dalam
HARTA BERSAMA DALAM KHI
1. Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing:
- harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya (suami-
isteri).
- harta bersama menjadi hak bersama suami-isteri dan terpisah sepenuhnya dari harta
pribadi.
2. Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan:
- sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama,
- tanpa mempersoalkan siapa yang mencari,
- juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar.
3. Tanpa persetujuan bersama; suami atau isteri tidak boleh mengasingkan atau memindahkan,
4. hutang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama,
Dalam perkawinan serial atau poligami, wujud harta bersama, terpisah antara suami dengan
masing-masing isteri,
5. apabila perkawinan pecah (mati, cerai):
- harta bersama dibagi dua,
- masing-masing mendapat setengah bagian,
- apabila terjadi cerai mati, bagiannya menjadi tirkah,
6. sita marital atas harta bersama diluar gugat cerai (pasal 95)
- suami isteri dapat meminta sita marital kepada Pengadilan Agama apabila salah satu pihak
boros atau penjudi. Mengenai gugatan cerai dari isteri, harus disertai alasan-alasannya (pasal
148 Kompilasi Hukum Islam).

Anda mungkin juga menyukai