Anda di halaman 1dari 8

Peminangan

dan perkawinan
yang sah
Kelompok 4 :
-Nela Fakihatul Jannah (2015012)
-Indah Royani (2015014)
Syarat-syarat perkawinan Menurut Undang -Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 6:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua.
c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
e. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau
salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
f. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak mePada pasal-pasal berikutnya juga dibahas
tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), Selanjutnya pada pasal 7, terdapat persyaratan-persyaratan yang
lebih rinci.
MAHAR
• Istilah mahar disebut juga dengan istilah ‫لحن ةضيرفال‬
, ‫ ة‬dan ‫دقعال‬. Mahar secara bahasa berarti pandai,
mahir, karena dengan menikah dan membayar mas kawin, pada hakikatnya seorang pria sudah
dipandang pandai dan mahir dalam hal urusan rumah tangga, pandai membagi waktu, uang, dan
perhatian kepada keluarga.
• Mahar disebut dengan istilah shaduqah, yang seakar dengan kata shidqu berarti kesungguhan. Hal ini
merupakan isyarat bahwa apa yang diberikan merupakan bukti kesungguhan suami untuk menikah
(Kamal, 2015: 489). Mahar juga disebut dengan istilah ajr yang berarti upah, hal itu dimaksudkan
mahar diposisikan sebagai upah atau ongkos dalam mempergauli istri secara halal dan adalah
pemberian yang wajib diberikan oleh suami dengan sebab adanya akad atau adanya pernikahan.
Mahar menurut istilah adalah sebutan untuk harta yang wajib diberikan kepada seorang perempuan
oleh seorang laki-laki karena sebab pernikahan (Jayakrama, 2014).

Hukum Memberikan Mahar


Mahar atau mas kawin tidak menjadi salah satu syarat dan rukun perkawinan, sehingga sebuah
perkawinan tanpa mahar dan atau tanpa menyebut mahar pada saat akad nikah berlangsung tetap sah
sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Namun demikian, kedudukan mahar sangat
penting dalam perkawinan karena merupakan pemberian wajib dari mempelai lakilaki kepada
mempelai perempuan yang diucapkan.
 Konsep Mahar dalam Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia
Pengertian mahar dituangkan pada Pasal 1 huruf sebagai berikut:
“Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik dalam bentuk barang, uang atau jasa
yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”
Berdasarkan pasal tersebut, dipahami bahwa mahar atau maskawin merupakan pemberian wajib dari calon mempelai pria
kepada calon mempelai wanita yang dapat berbentuk barang maupun jasa sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.

 Hukum Pemberian Mahar


Kewajiban memberikan mahar atau maskawin diatur pada Pasal 30 dan 34 sebagai berikut, Pasal 30:
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 34:
1) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak menyebabkan batal perkawinan. Begitu pula
halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
3) Mahar dapat dihutang oleh mempelai pria.
 Bentuk dan Jenis Mahar

Bentuk dan jenis mahar yang dibebankan kepada calon mempelai pria diatur pada Pasal 31 sebagai
berikut:
"Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran
Islam".
1. Mahar ditentukan bentuk dan jenisnya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak calon
mempelai pria dan calon mempelai wanita.
2. Penentuan bentuk dan jenis mahar didasarkan atas asas kesederhanaan dan kemudahan.
Pencatatan perkawinan dan akta nikah menurut hukum Islam

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu asas dalam Undang-Undang Perkawinan yang ditentuak
secara umum dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Khusus bagi yang beragama Islam Pencatatan
Perkawinan diatur dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sedangkan
mengenai Pencatatan Perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah diatur dalam pasal 11 s.d 13
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, selanjutnya lebih rinci lagi diatur dalam kompilasi Hukum
Islam Buku I, Bab II, Pasal 5 s.d 7 ayat (1), sebagai berikut, Pasal 5:
1. Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.  
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Pasal 6:
3. Memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilakukan dihadaan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
4. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Pasal 7:
1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dimuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Menurut Al-Qur’an, Pencatatan Perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah dijelaskan dalam
QS. Al-Baqarah (2):282, yang artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditetapkan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia mangurangi sedikitpun
daripada permuamalahannya (utangnya). Maka jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah keadaannya, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah wakilnya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki, boleh seorang laki-laki
dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika yang seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya.
Dan janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah
kamu jemu menulis muamalah (utang) itu lebih baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulis muamalah itu, kecuali perdagangan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menulisnya. Dan
persaksianlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi menyulitkan dan mempersulit.
Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarimu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. 2:282).
Kesimpulan
Rukun Sah Nikah dalam Islam Mampelai pria dan wanita sama-sama beragama Islam. Mempelai laki-
laki tidak termasuk mahram bagi calon istri. Wali akad nikah dari perempuan bersedia menjadi wali.
Kedua mempelai tidak dalam kondisi sedang ihram.
Mahar atau maskawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan pada saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar
adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan.
Pencatatan perkawinan adalah tindakan administratif dan bukan syarat sahnya perkawinan, tetapi
tetap sangat penting untuk dilakukan, karena merupakan bukti autentik terhadap status hukum
seseorang.
Akta Nikah Sebagai Akta Otentik Menurut Hukum Islam, berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-
Qur'an, QS. 2:282. Bahwa semua hubungan muamalah (hubungan manusia dengan manusia)
diperintahkan untuk dicatat, termasuk di dalamnya pencatatan perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai