Anda di halaman 1dari 7

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Shalom, Om Swastiastu, Namo Budaya,
Salam Kebajikan. Selamat Sejahtera bagi kita semua.

Perkenalkan nama saya Robert Adam Harlock,


NIM 2001603155 (Optional)

Mahasiswa Business Law Binus University.

Pada kesempatan kali ini, saya akan mempresentasikan sekaligus memaparkan tugas mid exam
pada mata kuliah Private Law yang diberikan oleh Dosen * (dosen siapa) sebagai salah satu syarat
memenuhi mata kuliah tersebut. Saya akan menjelaskan tugas tersebut terlebih dahulu.

SLIDE BERIKUTNYA

Studi Kasus sebagai berikut.

Milea dan Dilan meruapkan seorang pasang suami-istri yang menikah pada tahun 2017. Mereka
sepakat untuk membuat perjanjian kawin. Saat ini mereka tinggal dirumah warisan milik orang tua
Milea. Rumah tersebut sempat mengalami renovasi yang memakan biaya sebesar 1,5 Milyar yang
ditanggung biayanya oleh Dilan. Ditaksir bahwa rumah tersebut sebesar Rp. 5 Milyar.

Selang beberapa tahun menikah, tepatnya pada tahun ke 6, usaha Dilan mengalami kesulitan dan
terpaksa menutup usahanya, oleh karena Dilan membutuhkan biaya untuk kantor dan mobil senilai
4 Milyar 350 juta Rupiah untuk memulai lagi usahanya, Milea bersedia meminjamkan modal
tersebut kepada Dilan dan membeli atas nama Dilan.

Ternyata diketahui bahwa Dilan telah menikah siri dengan wanita lain bernama Nita hingga
melahirkan seorang anak bernama Adinda. Akhirnya Milea pun meminta cerai dan meminta Dilan
untuk mengembalikan harta berupa kantor dan mobil yang digunakan sebagai modal, disamping
itu Nita sebagai istri siri merasa marah kepada Dilan, dikarenakan Dilan tidak mengakui Adinda
sebagai anak mereka, serta meminta Dilan untuk memberikan nafkah pada anak mereka.
Selanjutnya Dilan meminta Milea untuk harta sebelum perkawinan mereka berdua dikumpulkan
dan dibagi dua, karena menurut Dilan hal ini sesuai dengan hukum adat mereka, bahwa harta
perkawinan sebelum menikah akan menjadi harta bersama.
SLIDE BERIKUTNYA

RUMUSAN MASALAH

Kesatu, Bagaimana tuntutan harta antara Dilan dan Milea?

Kedua, Bagaimana status anak dan penolakan Dilan untuk mengakui dan memberikan nafkah
atas anak bernama Adinda?

SLIDE BERIKUTNYA

Untuk menjawab kedua rumusan masalah diatas, maka akan saya uraikan Analisa terhadap
rumusan masalah pertama sebagai berikut:

- Pengertian Perkawinan sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


Tentang Perkawinan memberikan definisi perkawinan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai
berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
- Pasal 139 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyebutkan bahwa
“Para calon suami-istri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan
undang-undang mengenai harta bersama (persatuan bulat), sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum, dan
diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut”
- Menurut Subekti menyatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah “suatu perjanjian
mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka yang menyimpangi dari
asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang.”
- Perjanjian perkawinan merupakan istilah yang diambil dari judul Bab V UU Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berisi satu pasal yaitu pasal 29 yang berbunyi
- “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan”
Artinya bahwa perjanjian perkawinan diperbolehkan selama disepakati oleh kedua belah pihak
dengan tidak melanggar tata susila yang baik atau tata tertib umum. Hal ini ditegaskan kembali
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 diputuskan menyatakan bahwa
perjanjian kawin yang semula hanya dapat dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum
perkawinan sekarang dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung. Artinya dengan demikian
bahwa perjanjian perkawinan itu dapat dibuat sebelum, selama dan sesuah melangsungkan
perkawinan.

SLIDE BERIKUTNYA

Bahwa perjanjian perkawinan itu harus dibuat dalam Akta Notaris sebagaimana diatur dalam
Pasal 147 KUHPerdata, selain itu manfaat perjanjian perkawinan sebagai berikut:

1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan istri sehingga harta tidak
bercampur
2. Apabila salah satu pihak bermaksud menjual harta kekayaannya maka tidak memerlukan
persetujuan pasangannya
3. Hutang yang dimiliki suami atau istri menjadi tanggung jawab masing-masing pihak
4. Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga
5. Melindungi kepentingan pihak istri apabila pihak suami melakukan poligami
6. menghindari motivasi perkawinan yang tidak sehat

SLIDE BERIKUTNYA

Berdasarkan studi kasus diatas, bahwa tuntutan Dilan meminta membagi dua harta berupa
rumah milik Milea, maka analisa yang kami berikan sebagai berikut:

- Merujuk pada Pasal 29, Pasal 35 UU Perkawinan, Pasal 139 jo. Pasal 147 KUHPerdata, jo.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, maka dengan adanya perjanjian
perkawinan yang dibuat dan disepakati oleh Dilan dan Milea menentukan masing-masing
harta bawaan dari suami dan istri yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan, sepanjang
tidak menentukan lain.
- Bahwa tuntutan Dilan meminta membagi dua harta milik Milea dan mengumpulkan harta
sebelum perkawinan mereka berdua dikumpulkan dan dibagi dua, mengenai hal tersebut
bahwa dengan dibuatnya perjanjian perkawinan memiliki dampak yaitu adanya pemisahan
harta bawaan antara suami dan istri yang tercantum dalam Perjanjian Perkawinan yang
dibuat secara Akta Notaril oleh Notaris, ditegaskan kembali bahwa manfaat perjanjian
perkawinan memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan istri sehingga
harta tidak bercampur dan menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga,
disamping itu bahwa rumah Milea merupakan warisan keluarga, meskipun Dilan
melakukan renovasi terhadap rumah tersebut.
- Dengan demikian tuntutan Dilan tidak memiliki legal standing ataupun dasar hukum,
terkait dengan permintaannya meminta membagi dua harta berupa rumah milik Milea dan
meminta harta sebelum perkawinan dikumpulkan dan dibagi dua yang menurut Dilan hal
ini sesuai dengan hukum adat mereka, merupakan sebuah kekeliruan dimana oleh
karenanya adanya perjanjian perkawinan, maka segala hal berkaitan pencampuran,
pemisahan, pembagian, pemberian, harta bersama, harta kekayaan mengacu pada
Perjanjian Kawin tersebut.

SLIDE BERIKUTNYA

- Sedangkan tuntutan Milea terhadap Dilan untuk mengembalikan harta berupa kantor dan
mobil senilai 4 Milyar 350 juta yang digunakan sebagai modal usaha Dilan karena benda-
benda tersebut dibeli dengan menggunakan uangnya, maka kembali lagi mengacu pada
Perjanjian Perkawinan mengenai harta bersama, dan apakah uang senilai 4 Milyar 350 juta
tersebut merupakan harta bawaan dari Milea (pihak istri) atau harta yang didapatkan secara
bersama sesuai dengan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan yang menyebutkan “Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Kecuali ditentukan
lain dalam perjanjian kawin.
SLIDE BERIKUTNYA

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa

“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya


dan keperacyaannya itu”1

jo. Pasal 2 ayat (2)

“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Ketentuan ini bisa dijabarkan bahwa perkawinan dianggap sah jika diselenggarkaan:

a. Menurut hukum masing-masing, agama dan kepercayaan.


b. Secara tertib menurut hukum syariah bagi yang beragama islam.
c. Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah.

SLIDE BERIKUTNYA

Akibat perkawinan, mengakibatkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Setiap suami
mempunyai hak dalam keluarga, begitu juga seorang wanita yang mengikatkan diri menjadi istri
dalam suatu perkawinan memiliki hak sebagai istri sebagiamana diatur dalam Pasal 30 sampai
dengan Pasal 34 UU Perkawinan.

SLIDE BERIKUTNYA

Bahwa berdasarkan studi kasus diatas bahwa mengenai status anak dan penolakan Dilan
untuk mengakui dan memberikan nafkah atas anak bernama Adinda

- Bahwa perkawinan yang dilakukan antara Dilan dan Nita adalah perkawinan siri, dapat
diartikan bahwa Nikah siri merupakan perkawinan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan berdasarkan Pasal 2PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan tentang
pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan bagi penganut islam
dilakukan oleh pegawai pencatat dengan tata cara pencatatan, dimana dalam hal ini nikah

1
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
dibawah tangan atau nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan diluar pengawasan
petugas pencatat nikah dan tidak tercatat KUA.2
- Nikah Siri ini hukumnya sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut hukum positif
(hukum negara).
- Pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan bahwa setiap perkawinan dicatatkan secara resmi
pada Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi
yang beragama Non-Islam, oleh karena perkawinan siri tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama, maka tidak mempunyai kekuatan hukum, hal ini berimplikasi terhadap berkenaan
dengan rumah tangga seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, warisan, nafkah,
status anak.
- Dampak Nikah Siri tidak ada perlindungan hukum bagi wanita, tidaka da kepastian
hukum terhadap status anak, tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam harta
waris.
- Tidak adanya kekuatan hukum yang tetap terhadap legalitas perkawinan tersebut,
sehingga apabila adanya hak-hak istri yang dilanggar oleh suami, istri tidak dapat
menuntut hak-hak tersebut secara hukum;
- Pasal 42 UU Perkawinan yang menyebutkan “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Artinya berdasarkan studi
kasus diatas bahwa perkawinan secara siri merupakan perkawinan yang tidak dianggap
sah oleh negara sehingga menyebabkan anak yang dilahirkan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 UU Perkawinan, sehingga akibat hukum lainnya akibat perkawinan siri yaitu
bagi istri tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari
suami jika meninggal dunia, dan istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi
perpisahan, karena hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.

- Bagi anak, tidak sahnya perkawinan siri menurut hukum negara memiliki dampak status
anak yang dilahirkan dimata hukum yaitu sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya anak

2
Misael and Partner, “Kekuatan Nikah Siri Dalam Sudut Pandang Hukum Perkawinan” (online) tersedia di WWW:
http://misaelandpartners.com/kekuatan-nikah-siri-dalam-sudut-pandang-hukum-
perkawinan/#:~:text=Nikah%20siri%20merupakan%20perkawinan%20yang,pencatat%20dengan%20tata%20cara%
20pencatatan. Diakses pada tanggal 23 April 2022.
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu, di dalam akta kelahirannya statusnya
dianggap anak luar kawin, dan hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkan dan tidak
dicantumkan nama ayahnya.

SLIDE BERIKUTNYA

Dengan demikian pada bagian BAB 3 ini saya akan jelaskan kesimpulan dari dua rumusan
masalah yaitu terhadap tuntutan Dilan dan Milea, bahwa ditegaskan kembali bahwa Dilan tidak
bisa meminta membagi dua harta berupa rumah warisan milik Milea dan membagi harta yang
dikumpulkan sebelum perkawinan, dikarenakan hal ini mengacu pada Perjanjian Kawin yang
telah disepakati bahwa apakah perjanjian kawin tersebut mengatur adanya, harta bawaan
masing-masing pihak, pemisahan harta kekayaan dan harta bersama. Sehingga tuntutan Dilan
sangat tidak memiliki legal standing atau dasar hukum, sedangkan tuntutan Milea untuk
meminta kembali hartanya harus ditinjau terlebih dahulu apakah perjanjian perkawinan itu
mengatur harta bersama yang didapatkan selama perkawinan atau tidak.

Dan

Terkait dengan terhadap status anak Adinda yang tidak diakui oleh Dilan dan tidak
dinafkahi, bahwa perkawinan yang dilangsungkan hanya berdasarkan perkawinan siri yakni
perkawinan sah secara agama akan tetapi tidak secara hukum negara karena tidak dicatatkan.
Merujuk pada pengertian anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
sah, oleh karena Dilan dan Nita menikah secara siri dan melahirkan Adinda, maka dari
perkawinan tersebut adalah tidak sah dan mengakibatkan Adinda merupakan anak yang tidak
sah, sehingga hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya, kecuali diakui oleh
Bapaknya. Sehingga tidak berhak mendapatkan hak-haknya sebagai anak luar kawin dan
dampak lain dari perkawinan yang tidak sah adalah tidak ada kewajiban untuk memberikan
nafkah, biaya Pendidikan, ataupun warisan.

SLIDE BERIKUTNYA

Demikian penjelasan Analisa dan kesimpulan yang telah sampaikan, atas perhatian saya
ucapkan terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai