Anda di halaman 1dari 24

TUGAS HUKUM KELUARGA DAN HARTA PERKAWINAN

PERJANJIAN KAWIN DARI PANDANGAN HUKUM POSITIF

DAN BESERTA CONTOH KASUS

OLEH

FARRAS OLIF JONAMY

2220122047

MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2022/2023

PENDAHULUAN
Sesuai dengan kodratnya, manusia mempunyai naluri untuk untuk selalu

ingin hidup bersama, saling berinteraksi, serta mempertahankan keturunan. Untuk

itu manusia melakukan perkawinan. Perkawinan dilakukan antara dua jenis

kelamin manusia yang berbeda yakni lakilaki dan perempuan yang bisanya

didahului dengan saling ketertarikan satu sama lain untuk hidup

bersama.1Tambahan pula, bahwa dalam kehidupan sosial, manusia berinteraksi

dan interaksi tersebut merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hak dan dan

kewajiban.2 Sebagai perbuatan hukum, perkawinan memerlukan ketentuan yang

mengatur agar perkawinan dan keturunan yang dilahirkan dikatakan sah menurut

hukum (syariah).3 Perbuatan hukum dikelompokan menjadi dua; pertama

perbuatan hukum sepihak, yakni perbuatan yang dilakukan oleh satu pihak saja

dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula, seperti pemberian

surat wasiat, pemberian hibah dan lain sebagainya; kedua perbutan hukum dua

pihak, yakni perbuatan yang dilakukan dua pihak yang menimbulkan hak dan

kewajiban bagi keduanya, sepertipembuatan perjanjian perkawinan, perjanjian

jual-beli dan lain-lain.4

Perjanjian Perkawinan merupakan bentuk perjanjian yang mengikat dua

belah pihak antara suami dan istri yang terjadi sebelum perkawinan (prenuptial

agreement) atau sesudah perkawinan (postnuptial agreement). Alasan suami-istri

membuat perjanjian perkawinan ialah untuk melindungi aset yang dimiliki secara

pribadi atau secara bersama-sama.1 Selain itu perjanjian perkawinan juga


1
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia,Sumur Bandung, Bandung,1981, hlm. 7.
2
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984,
hlm. 119
3
Achmad Ichsan,Hukum Perkawinan Islam,Pradya ParamithaI, Jakarta, 1960, hlm. 15
4
Ibid
digunakan untuk menjaga kepentingan usaha dan martabat masing- masing suami-

istri.

Namun apabila melihat dari kacamata masyarakat terhadap perjanjian

perkawinan, banyak yang mempertanyakan pentingnya perjanjian perkawinan

dalam sebuah keluarga. Tidak sedikit pula yang menyederhanakan bahwa ikatan

perkawinan berangkat dari rasa percaya sehingga minim konflik diantara

pasangan suami-istri. Faktanya, hal tersebut tidak sepenuhnya dibenarkan.

Persoalan perkawinan merupakan persoalan manusia yang banyak seginya,

mencakup seluruh segi kehidupan manusia yang mudah menimbulkan emosi dan

perselisihan. Oleh karena itu sangat penting adanya kepastian hukum bahwa telah

terjadi suatu aqad (perjanjian) perkawinan. Dalam hal perkawinan diperlukan

suatu kepastian hukum agar mudah diadakan alat-alat buktinya. Mewujudkan

keluarga yang harmonis, sejahtera, bahagia dan kekal untuk selama-lamanya

dalam suatu pertalian lahir dan batin antara dua pribadi, maka pada dasarnya

setiap perkawinan diperlukan harta yang menjadi dasar materiil bagi kehidupan

keluarga.
Di dalam suatu perkawinan masalah harta perkawinan sering kurang

mendapat perhatian oleh sepasang suami isteri. Sebab mereka dalam

melaksanakan sebuah perkawinan itu adalah untuk selama-lamanya. Mereka

berfikir bahwa perkawinannya akan langgeng dan tidak akan ada masalah, serta

kehidupan dan hubungan antara suami isteri selalu berjalan dengan baik sesuai

keinginan. Sehingga mereka tidak mempersoalkan hak yang satu terhadap hak

yang lain.

Pembatasan mengenai apa yang menjadi milik suami, apa yang menjadi

milik isteri, dan apa yang menjadi milik mereka bersama belum menarik perhatian

mereka. Tetapi bila ternyata perkawinan tidak berjalan sesuai dengan keinginan

dan kemudian bercerai, mereka baru mempersoalkan hak dari masing-masing,

terutama mengenai pembagian harta perkawinan. Permasalahan ini akan berbeda

apabila suami istri pada saat sebelum melangsungkan perkawinan membuat

perjanjian pranikah terlebih dahulu. Sehingga akan lebih jelas mengenai

pembagian-pembagiannya, mengurangi permasalahan atau konflik yang biasanya

timbul pada saat perceraian.

Biasanya perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan

hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada

awalnya perjanjian pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas atau orang yang

kaya raya yang memiliki warisan harta bernilai besar.


Perjanjian pranikah yang dilakukan antara Warga Negara Indonesia

dengan Warga Negara Indonesia dapat melindungi hak dari anak-anak dari

perkawinan pertama bilamana suami atau isteri yang sudah bercerai, baik cerai

mati atau cerai hidup akan menikah lagi, misalnya duda yang mempunyai anak

dari perkawinan sebelumnya akan menikah untuk kedua kalinya dengan seorang

perempuan yang tidak kaya dan kebetulan duda tersebut adalah seorang yang kaya

raya, dan dia juga tidak membuat perjanjian kawin mengenai pemisahan harta,

maka anak-anak dari perkawinan pertama akan dirugikan. Apabila kelak

perkawinan tersebut tidak berhasil, maka isteri memperoleh separo dari milik

bersama suami isteri yang sebenarnya hanya terdiri atas harta kekayaan si suami,

yaitu bapak dari anak-anak tersebut, kecuali apabila berlaku sebaliknya, yang

akan dinikahi adalah yang mempunyai harta kekayaan yang paling banyak. Anak-

anak dari perkawinan pertama tersebut tidak dirugikan. Isi perjanjian pranikah itu

bebas asalkan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Perjanjian pranikah tidak boleh dibuat karena sebab (causa) palsu dan terlarang.

Tidak dibuat janji-janji yang menyimpang dari hak-hak yang timbul dari

kekuasaan suami sebagai kepala perkawinan, hak-hak yang timbul dari kekuasaan

orang tua (ouderlijkemacht), hak-hak yang ditentukan Undang-undang bagi

mempelai yang hidup terlama (langstlevende echtgenoot) dan tidak dibuat

perjanjian yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan orang-orang

yang menurunkannya.
PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup Perjanjian Perkawinan

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan

pengertian mengenai perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(Rumah Tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Atas

dasar ini, perkawinan diharapkan dapat membentuk keluarga bahagia dan kekal,

serta diharapkan berjalan lancar, tanpa hambatan, dan bahagia selama-lamanya

sesuai dengan prinsip atau azas dari suatu perkawinan.5

Perkawinan sebagai lembaga hukum, mempunyai akibat hukum yang

sangat penting dalam kehidupan para pihak yang melangsungkan

perkawinan.6Perjanjian dalam suatu perkawinan merupakan perjanjian yang

mengatur akibat dari adanya ikatan perkawinan, yang salah satunya ialah dalam

bidang harta kekayaan. Perjanjian perkawinan jarang terjadi di Indonesia asli,

disebabkan masih kuatnya hubungan kekerabatan antara calon suami istri, serta

kuatnya pengaruh hukum adat. Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu

perjanjian yang mengikat lahir dan batin dengan dasar iman. Itu sebab sebagian

orang berpendapat, bahwa suatu perkawinan merupakan persetujuan belaka dalam

5
Soemiyati,Hukum Perkawinan Islam Dan UU.Perkawinan UU No 1 Tahun 1974, Liberti,
Yogyakarta, 1974, hlm. 55.
6
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993, hlm. 28.
masyarakat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, seperti persetujuan

dalam jual beli, sewamenyewa dan lain sebagainya.7

Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) produk peraturan perundang-undangan yang

mengatur masalah perjanjian perkawinan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW), Undang-Undang Nomor 1

tahun l974 mengenai Perkawinan, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Kompilasi Hukum Islam. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974,

sehingga di negara Indonesia telah terjadi unifikasidalam bidang Hukum

Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum atau tidak diatur dalam undangundang

tersebut, maka peraturan lama dapat dipergunakan.8

Meskipun undang-undang tersebut mengatur tentang perkawinan, tapi

lebih jauh substansinya mengatur pula mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

perkawinan atau segala akibat hukum yang berkaitan dengan perkawinan,

sehingga hal ini dapat dikategorikan sebagai Hukum Keluarga.9 Perjanjian

perkawinan merupakan istilah yang diambilkan dari judul Bab V Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, berisikan satu pasal, yaitupasal 29. Sedangkan pengertian

perjanjian perkawinan ini tidak diperoleh penjelasan, yang ada hanya pengaturan

kapan perjanjian kawin itu dibuat, mengatur keabsahan, saat berlakunya, dan

dapat diubahnya perjanjian itu. Tidak diatur mengenai materi perjanjian seperti

7
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia,Sumur Bandung, Jakarta, 1981, hlm. 8.
8
K. Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 3.
9
Hukum keluarga Indonesia ini merupakan hukum positif Indonesia yang sejalan dengan Hukum
Islam, Hanafi Arief, 2016,Pengantar Hukum Indonesia dalam Tatanan Historis, tata Hukum dan
Politik Hukum Nasional,PT. ILKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta, hlm. 199.
telah diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian Perkawinanmerupakan perjanjian atau

persetujuan yang dibuat oleh calon suami isteri, sebelum atau pada saat

perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap

harta kekayaan mereka.10

Perjanjian perkawinan tidak hanya sebatas memperjanjikan masalah

keuangan atau harta, ada hal lain yang juga penting diperjanjikan, misalnya

kejahatan rumah tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap berkarir

meski sudah menikah dan lain sebagainya.11 Perjanjian kawin menurut KUH

Perdata Pasal 139 sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami dan istri,

untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Oleh karena

itu, perjanjian perkawinan dapat diadakan baik dalam hal suami-istri akan kawin

campur harta secara bulat, maupun dalam hal mereka memperjanjikan adanya

harta yang terpisah, atau harta diluar persatuan.

Perjanjian perkawinan di Indonesia mulai diperbolehkan dibuat sejak

diberlakukannya KUHPerdata pada tanggal 1 Mei 1848. Dalam hal perjanjian

perkawinan ini, kemudian dimuat dan dipertegas kembali dengan diundangkannya

Undang-Undang Perkwinan Nomor 1 Tahun 1974. Sementara itu akibat daripada

perkembangan zaman yang semakin pesat serta adanya tuntutan persamaan derajat

antara laki-laki dengan wanita, menyebabkan perjanjian perkawinan tersebut lebih

sering dibuat sebelum calon pasangan suami istri melangsungkan perkawinan.

Eksistensi Pasal 29 ayat (1) pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun


10
Soetojo Prawirohamidjojo,Pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan di
Indonesia,Airlangga University Press, Surabaya, 1986, hlm.57.
11
Muchsin,Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum Nasional,Varia Peradilan, Jakarta,
2008, hlm. 7,
1974, dikehendaki adanya perjanjian sebagai pengiring tuntutan zaman akan

persamaan status dan derajat serta kebebasan untuk menentukan kebutuhan bagi

rakyat sendiri.

Manfaat perjanjian dalam perkawinan bagi negara sangatlah besar. Adanya

perjanjian perkawinan memberikan batasan bagi pasangan suami isteri guna

mencegah dan mengurangi konflik terutama yang terjadi di dalam Lembaga

perkawinan.Perjanjian perkawinan dapat menjadi acuan jika suatu saat nanti

timbul konflik, meskipun konflik tersebut tidak dikehendaki. Namun manakala

terjadi juga konflik yang harus berakhir dengan perceraian, maka perjanjian

tersebut dapat dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan

kewajibannya.

Belum ada definisi baku mengenai perjanjian perkawinan baik menurut

Bahasa maupun istilah. Namun dari masing-masing kata dalam kamus bahasa

dapat diartikan:12 “Perjanjian” berarti persetujuan; syarat; tenggang waktu;

kesepakatan baik lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih

untuk ditepati. Sedangkan “perkawinan” berarti pernikahan; hal-hal yang

berhubungan dengan kawin. Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap

perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-undang antara

calon suami istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa

isinya.13Menurut Wirjono Projodikoro, kata perjanjian diartikan “suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam
12
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,Modern English Press,
Jakarta, 1995, hlm. 601.
13
HR. Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar
Maju, Bandung, 2007, hlm. 1.
mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji melakukan suatu hal, sedang

pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”14

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa Suatu persetujuan

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih”15 mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih” Pasal 139 KUH Perdata menyatakan Dengan

mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan

beberapa penyimpangan dari peraturan Undang-undang sekitar persatuan harta

kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib

umum dan asal di indahkan pula segala ketentuan dibawah ini.16 Undang-

undangPerkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 29 menjelaskan:

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atau

persetujuan Bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak

ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas

hukum, agama dan kesusilaan.

c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

14
Ibid.
15
Sudarsono, Kamus Hukum,Rincka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 363.
16
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Pradnya Paramita,
Jakarta, 1978, hlm. 51.
d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan

tidak merugikan pihak ketiga.17

B. Objek Perjanjian Kawin

Perjanjian perkawinan dibuat bertujuan untuk memberi kejelasan tentang

segala sesuatu yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak, umumnya

perjanjian perkawinan hanya mengatur tentang harta yang dimiliki pribadi oleh

kedua pasangan atau yang lazim disebut perjanjian kawin pisah harta. Sebelum

melangsungkan perkawinan, calon suami istri dapat menentukan sendiri

bagaimana kelak harta benda mereka dalam perkawinan diatur. Pengaturan ini

dilakukan oleh kedua belah pihak melalui suatu perjanjian perkawinan sebagai

bentuk penyimpangan dari peraturan perundang-undangan mengenai persatuan

harta perkawinan. Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan berarti diantara

kedua belah pihak terjadi kepemilikan harta bersama dalam perkawinan, oleh

karena hukum di Indonesia menganut sistem percampuran harta dalam

perkawinan.

Macam-macam bentuk perjanjian perkawinan yang menyangkut mengenai

harta yaitu :

17
Departement agama RI, Himpunan Peratura perundang-Undangan Dalam Lingkup Peradilan
Agama, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang , Jakarta, 2001, hlm. 138
1. Perjanjian Perkawinan Pemisahan Harta Kekayaan

Perjanjian Perkawinan Pemisahan Harta Kekayaan adalah harta yang

diperoleh selama perkawinan dimiliki oleh masing-masing. Dalam perkawinan

terdapat dua harta yaitu harta suami dan harta istri. Hak dan kewajiban yang

diperoleh sebelum atau setelah perkawinan menjadi tanggung jawab masing-

masing. Perjanjian perkawinan yang berisi pemisahan harta perkawinan maka

masing-masing pihak (suami istri) tetap menjadi pemilik dari barang-barang yang

mereka bawa masuk ke dalam perkawinan.

2. Perjanjian Perkawinan Persatuan Untung Rugi

Perjanjian percampuran untung rugi (gemeenscap van winst en verlies)

yaitu seluruh pendapatan yang diterima suami istri yang didapat secara cuma-

cuma (hibah atau warisan) dan penghasilan yang mereka terima akan menjadi

milik bersama begitu pula semua kerugian atau pengeluaran menjadi tanggungan

bersama. Bentuk perjanjian perkawinan seperti ini bearti antara suami istri tidak

ada persatuan bulat namun mereka memperjanjikan persatuan secara terbatas yaitu

persatuan untung dan rugi saja. Dengan persatuan demikian maka keuntungan dan

kerugian menjadi hak dan tanggungan suami istri secara bersama-sama.

3. Perjanjian Perkawinan Persatuan Hasil dan Pendapatan

Perjanjian persatuan penghasilan (gemeenscap van vruchten en inkomsten)

yang terjadi dalam perjanjian ini hanya persatuan penghasilan saja. Penghasilan

yang diterima oleh masing-masing pihak menjadi harta bersama tetapi untuk

pengeluaran atau kerugian yang diperoleh ditanggung masing-masing pihak.


persatuan hasil dan pendapatan adalah bentuk lain dari macam harta kekayaan

perkawinan yang tidak berupa pemisahan harta secara keseluruhan dan bukan pula

persatuan untung dan rugi.

Persatuan hasil dan pendapatan pada prinsipnya hampir sama dengan

persatuan untung dan rugi, hanya saja bentuk persatuan ini dilakukan pembatasan

bahwa hutang-hutang yang melebihi aktiva persatuan hasil dan pendapatan (diluar

persatuan) hutang-hutang tersebut akan menjadi tanggungan pribadi dari pihak

yang berhutang.

Peraturan hukum di Indonesia yang membahas mengenai perjanjian

perkawinan yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 29 tidak

menjelaskan bagaimana contoh kerangka baku yang siap pakai untuk perjanjian

perkawinan, hal tersebut diserahkan kepada para pihak untuk menentukan isi

perjanjian perkawinan yang mereka buat, para pihak bebas membuat perjanjian

karena menganut asas kebebasan berkontrak. Bebasnya para pihak dalam

menentukan isi perjanjian perkawinan, antara perjanjian perkawinan yang satu

dan lainnya dapat berbeda sesuai kesepakatan para pihak.

Hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan menurut

Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tidak ada batasan mengenai apa saja yang

boleh diatur dalam perjanjian perkawinan apabila merujuk pada Pasal 29 ayat (2)

yang berbunyi “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar

batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan”. Dapat dipahami dari ayat tersebut

bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak membatasi objek-objek yang dapat


diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan, hal ini bisa menyangkut ap

saja yang dapat diatur tergantung kesepakatan para pihak dalam perkawinan

(calon suami istri) asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama

dan kesusilaan.

Para pihak dalam perkawinan bebas menentukan isi perjanjian

perkawinan, bisa membahas mengenai masalah harta kekayaan yang didapat

selama perkawinan, atau hal-hal yang dianggap penting dibahas dalam perjanjian

perkawinan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik selama perkawinan

atau setelah putusnya perkawinan. Terhadap Pasal 29 Undang-Undang

Perkawinan tersebut K. Wantjik Saleh mengatakan bahwa ruang lingkup

perjanjian perkawinan tidak ditentukan perjanjian tersebut mengenai apa,

umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada pembatasan itu, maka dapat

disimpulkan bahwa perjanjian tersebut luas sekali, dapat mengenai berbagai hal.

Dalam penjelasan pasal tersebut hanya dapat dikatakan bahwa yang dimaksud

dengan “perjanjian” itu tidak termasuk “taklik talak”.18

C. Prosedur Perjanjian Perkawinan


18
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm. 32.
Apabila pasangan suami istri memutuskan untuk membuat perjanjian

perkawinan sebelum perkawinan dalam rangka antisipasi hal-hal yang mungkin

terjadi di masa depan dalam perkawinan seperti misalnya perceraian, pembuatan

perjanjian perkawinan merupakan sebuah langkah bijak. Pembuatan perjanjian

perkawinan biasanya dilakukan oleh pasangan perkawinan campuran dan atau

pasangan yang memiliki harta kekayaan lebih besar dari yang lain sebelum

perkawinan mereka dan perlu melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap

hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan untuk melindungi harta kekayaan

yang dimiliki, dan juga para pihak atau salah satu pihak yang ingin bertanggung

jawab sendiri dalam mengelolah harta kekayaan masing-masing.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak

mengatur secara tegas mengenai perjanjian perkawinan bagaimana mekanisme

pembuatan perjanjian perkawinan, Undang-Undang Perkawinan hanya

menyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis yaitu

Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan sebagai persetujuan atau perikatan antara calon

suami istri pada prinsipnya sama dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya

yang terikat dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat

sahnya perjanjian-perjanjian. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat)

syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Perjanjian perkawinan yang memenuhi syarat-syarat tentang sahnya

perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata yang telah dijabarkan sebelumnya

dan syaratsyarat khusus menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

yaitu telah disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan harus dipandang berlaku

layaknya Undang-Undang bagi pihak yang berjanji (asas pucta sunt servanda).

Dalam hal ini Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa:

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan

kedua belah pihak, atau. karena alasan-alasan yang ditentukan oleh

undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus

dilaksanakan dengan itikad baik.”

Hanya perjanjian yang sah yang dapat mengikat para pihak yang terlibat

dalam perjanjian, untuk sahnya suatu perjanjian harus berpedoman pada Pasal

1320 KUHPerdata. Agar perjanjian perkawinan dianggap sah dan memiliki

kepastian hukum serta mengikat para pihak didalamnya maka prosedur perjanjian
perkawinan harus sesuai dengan ketentuan pada Pasal 29 Undang-Undang

Perkawinan.

H.A. Damanhuri menyimpulkan dalam bukunya mengenai tata cara

pembuatan perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum

Islam adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian perkawinan dilakukan atas persetujuan calon suami istri.

Suatu perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan bersama dari kedua

belah pihak dan tidak ada paksaan dari salah satu pihak, sesuai dengan

Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian

yaitu kedua belah pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu

perjanjian.

2. Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis.

Perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam bentuk akta notaris maupun

akta di bawah tangan, menurut Undang Undang Perkawinan perjanjian

perkawinan tidak diwajibkan harus dibuat dengan akta notaris tetapi hanya

ditentukan bahwa perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan.
3. Perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawina yang

berwenang melakukan pencatatan perkawinan. Perjanjian perkawinan

disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yaitu Kantor Urusan Agama

(KUA) bagi yang beragama Islam sedangkan Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil (Dukcapil) bagi yang bukan beragama Islam.

4. Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana melangga batas

batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan tidak boleh

bertentangan dengan batas-batas hukum, agama, kesusilaan dan ketertiban

umum sebagiaman dirumuskan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang Undang

Perkawinan dan hal itu sejalan dengan perumusan pengertian perjanjian

perkawinan sebagimana diatur dalam Pasal 139 KUHPerdata “...asal

perjanjian perkawinan tersebut tidak menyalahi tata susila yang baik atau

tata tertib umum yang harus diindahkan”.

5. Perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah kecuali atas

persetujuan bersama suami istri dan tidak merugikan pihak ketiga.

Dalam Undang-Undang Perkawinan dirumuskan bahwa, pada prinsipnya

perjanjian perkawinan tidak dapat diubah, meskipun dalam Pasal 29

Undang-Undang Perkawinan ayat (4) ditentukan bahwa perjanjian

perkawinan tersebut dapat diubah, jika ada persetujuan kedua belah pihak

yakni persetujuan suami isteri dengan catatan perubahan tersebut tidak

merugikan pihak ketiga, yang dikhawatirkan adanya perubahan dalam


harta kekayaan suami isteri yang nantinya akan merugikan kepentingan

pihak ketiga

6. Perjanjian perkawinan dapat dicabut atas persetujuan suami istri dan

wajib mendaftarkannya di Kantor Pencatat Perkawinan tempat

perkawinan dilangsungkan dan pendaftaran tersebut diumumkan oleh

suami istri dalam surat kabar setempat dan apabila dalam tempo 6 (enam)

bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran

pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak

ketiga.19

19
1 H. A. Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama,CV Mandar
Maju,Bandung, hlm. 20.
Contoh Kasus Perjanjian Kawin :

Putusan PN JEPARA Nomor 46/Pdt.P/2020/PN Jpa

Tanggal 10 Maret 2020 —

Pemohon:

1.Stefanus Rikko Harmani Hudyono

2.Myrna Adiwijaya

Nomor 46/Pdt.P/2020/PN Jpa

Tingkat Proses : Pertama

Klasifikasi : Perdata
Kata Kunci : Lain-Lain

Tahun : 2020

Tanggal Register : 12 Februari 2020

Lembaga Peradilan : PN JEPARA

Jenis Lembaga Peradilan : PN

Hakim Ketua : Hakim Tunggal Veni Mustika E.t.o

Hakim Anggota : Hakim Tunggal Veni Mustika E.t.o

Panitera : Panitera Pengganti: Purwanto

Amar : Lain-lain

Amar Lainnya : DIKABULKAN

Catatan Amar :

- Menetapkan demi hukum bahwa perjanjian kawin yang dibuat adalah -

sah dan dapat dicatatkan pada akta perkawinan;

- Mengabulkan Permohonan Pencatatan Perjanjian Kawin pada Akta

Perkawinan Nomor 3320-KW-19042016-0001, tertanggal 20 April

2016;

- Menghukum Para Pemohon untuk membayar biaya perkara sebanyak

Rp117.500,00 (seratus tujuh belas ribu lima ratus rupiah);

Tanggal Musyawarah 10 Maret 2020

Tanggal Dibacakan 10 Maret 2020


Kaidah —

Abstrak

DAFTAR PUSTAKA

Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia,Sumur Bandung,

Bandung,1981

CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,PN Balai

Pustaka, Jakarta, 1984

Achmad Ichsan,Hukum Perkawinan Islam,Pradya ParamithaI, Jakarta,

1960

Soemiyati,Hukum Perkawinan Islam Dan UU.Perkawinan UU No 1 Tahun

1974, Liberti, Yogyakarta, 1974

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993


K. Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta,

1982

Hukum keluarga Indonesia ini merupakan hukum positif Indonesia yang

sejalan dengan Hukum Islam, Hanafi Arief, 2016,Pengantar Hukum Indonesia

dalam Tatanan Historis, tata Hukum dan Politik Hukum Nasional,PT. ILKIS

Pelangi Aksara, Yogyakarta

Soetojo Prawirohamidjojo,Pluralisme dalam perundang-undangan

perkawinan di Indonesia,Airlangga University Press, Surabaya, 1986

Muchsin,Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum Nasional,Varia

Peradilan, Jakarta, 2008

Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,

Modern English Press, Jakarta, 1995

HR. Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta

Bersama, Mandar Maju, Bandung, 2007

Sudarsono, Kamus Hukum,Rincka Cipta, Jakarta, 2007

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata,Pradnya Paramita, Jakarta, 1978

Departement agama RI, Himpunan Peratura perundang-Undangan Dalam

Lingkup Peradilan

Agama, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang , Jakarta, 2001

Anda mungkin juga menyukai