Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN YURIDIS TENTANG ALASAN PERCERAIAN

( Studi Putusan Nomor 1258/Pdt. G/2020/PA.Pra)


BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Pada hakikatnya manusia merupakan makluk social yang yang hakikatnya hidup
berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan melalui suatu ikatan perkawinan
yaitu menyatukan antara laki-laki dan perempuan menjadi satu dalam ikatan suci yang
bermaknakan pernikahan. Pernikahan pada dasarnya merupakan upaya untuk
menciptakan keluarga yang bahagia, kekal dan abadi yang tidak berkahir serta
berkelanjutan. Pernikahan juga merupakan sebagai sebuah manifestasi antara ketaatan
manusia kepada Allah Swt sehingga hal tersebut harus didasarkan pada ikatan yang telah
ditentukan-Nya. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai hubungan suami istri dengan bertujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.1
Pernikahan merupakan peristiwa penting antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan dalam kehidupannya untuk membentuk suatu keluarga. Langgengnya
kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Agama Islam
yang di pertegas melalui Al-Qur’an yang berbunyi perkawinan sebagai suatu perjanjian
(ikatan) yang paling suci, paling kokoh antara suami isteri, 2 teguh dan kuat (mițaqan
ghaliẓan).3
Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Ketuhanan yang maha Esa yang dijamin
oleh pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga dalam menjalankan aktivitas
ruang lingkup rumah tangga harus didasari oleh agama sebagaimana yang tertuang dalam
kitab undang-undang perdata pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan berbunyi “perkawinan ialah ikatan laihir batin antara seorang pria dengan
seorang Wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang Bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”4 dan pernikahan juga
memiliki perhatian khusus didalam hukum indonesia seperti halnya yang tertuang dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan berbunyi Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

1
Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Dina Utama Semarang, Cet. I, 1993, h. 130
3
QS. Al-Ahzȃb (33) : 7; QS. An-Nisȃ’ (4): 21; QS. An-Nisȃ’ (4) : 154; Lihat, Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2;
dan Lihat juga, Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah menurut al-Qur’an dan
alSunnah, Cet.1, Akademika Presindo, Jakarta, 2000, h. 14
4
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, LN. No. 1 tahun 1974, TLN No. 3019,
pasal 1
Tentang Perkawinan “sebuah perjanjian antara dua orang (laki-laki dan wanita) dengan
tujuan hidup bersama untuk waktu yang lama”.5
Sedangkan perkawinan Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa berbunyi
“perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
miitsaaqaan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
suatu ibadah”.6
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
termasuk produk hukum negara Indonesia yang didasarkan dengan ajaran agama Islam,
yang wajib diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat. Dengan mengetahui dan
memahami undang-undang tersebut, seluruh masyarakat sesuai untuk semakin menyadari
hak dan kewajibannya dalam perkawinan dan putusnya perkawinan serta akibatnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan utama dalam setiap
perkawinan, namun tidak semua perkawinan kekal dan berjalan mulus. Setiap orang
menghendaki agar perkawinan yang telah dibangun dengan susah payah dapat utuh
selamanya, akan tetapi tidak sedikit perkawinan yang berakhir dengan berpisah atau
perceraian. Tidak semua perkawinan sesuai dengan harapan, walaupun sudah diusahakan
semaksimal mungkin untuk membina rumah tangga yang baik, tetapi pada akhirnya
terpaksa untuk berpisah dan memilih untuk mengakhiri perkawinannya. 7 Dibalik
perkawinan yang diharapkan kekal dan abadi itu, tidaklah menutup kemungkinan apabila
rumah tangga tersebut terjadi disharmonis, karenanya dimungkinkan terjadinya
perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjurus pada kekerasan diantara kedua pihak.8
Perceraian merupakan salah satu peristiwa yang dapat terjadi dalam suatu perkawinan
untuk menghapus status perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam pengadilan. Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut
“talak” atau “furqoh” adapun arti dari talak ialah membuka ikatan atau membatalkan
perjanjian sedangkan furqoh berarti bercerai, yaitu lawan dari berkumpul. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menggunakan istilah cerai talak dan cerai gugat, hal ini
dimaksudkan agar dapat membedakan pengertian yang dimaksud oleh huruf c pada Pasal
38 undang-undang tersebut. Talak secara umum adalah segala macam bentuk perceraian
baik yang dijatuhkan oleh suami, atau yang ditetapkan oleh hakim, atau perceraian yang
5
Tinuk Dwi Cahyani, , Hukum Perkawinan, UMM Pers, Malang, 2020, hlm. 19
6
3 Indonesia, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,
inpres Nomor 1 Tahun 1991, pasal 2
7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Premade Media
Group, Jakarta, 2008, hlm. 443
8
Abror, H. K., & MH, K. (2020). Hukum perkawinan dan Perceraian.
jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena salah satu dari suami atau istri meninggal
dunia.
Perceraian menurut pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah putusnya
perkawinan adapun yang dimaksud dengan perceraian berarti putusnya perkawinan, yang
mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami dan istri.9 Dalam pasal 39 Undang-
Undang Perkawinan, mentautkan “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.”10
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri. Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 disebutkan, bahwa perceraian dapat disebab oleh beberapa alasan yakni:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.11

Dan selanjutnya di tambahkan dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

9
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Cet 1, Sinar Grafika,
Jakarta, 2013, hlm. 15
10
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, LN. Nomor 1 tahun 1974, TLN
Nomor 3019, Pasal 39
11
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, LN No. 12 tahun 1975 TLN No. 3050, Pasal 19.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar perjanjian taklik talak
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga.12

Berdasarkan pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perceraian


dapat dilaksanakan apabila telah melalui berbagai upaya untuk mendamaikan kedua belah
pihak (suami-istri) untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan ternyata
apabila tidak ada jalan lain kecuali dengan jalan perceraian. Dengan kata lain perceraian,
sebagai jalan keluar bagi suami-istri demi kebahagian yang diharapkan sesudah terjadinya
perceraian.13 Hal demikian menunjukkan bahwa sebelum terjadinya suatu perceraian
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh majelis hakim dalam suatu persidangan.
Kemudian setelah itu dalam suatu putusan terdapat dua kemungkinan, apakah perceraian
tersebut dapat dikabulkan atau tidak oleh hakim.

Suatu putusan pengadilan merupakan wujud hukum yang paling konkrit karena
putusan pengadilan adalah norma yang di dalamnya melekat daya paksa atas
pelaksanaannya. Sehingga suatu putusan pengadilan akan sangat dirasakan oleh subyek
hukum yang terkait. Sebagaimana suatu norma hukum yang konkrit, maka hadir atau
tidaknya rasa keadilan dalam suatu putusan pengadilan dapat langsung dirasakan.

Fenomena yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas


populasinya Islam, angka perceraian semakin meningkat dikarenakan terdapat beberapa
faktor utama dilaur dari faktor umumnya yang menyebabkan pencerian yang dapat
penulis simpulkan ialah diantara: (1) Dikarenakan poligami yang tidak sehat; (2) Krisis

12
Indonesia, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,
inpres Nomor 1 Tahun 1991, pasal 116.
13
Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 444.
akhlak; (3) Kawin paksa;(4) Cemburu karena suami berselingkuh; (5) Faktor ekonomi;
(6)Akibat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri ataupun sebaliknya.

Indonesia memiliki luas wilayah dan populasi pendudukan yang sedmikian


banyaknya sehingga pola masyaraat pun menjadi sangat kompleks, Termasuk di nusa
tenggara barat di kabupaten Lombok Tengah, Kota Praya juga tidak melepaskan
komplesitas masalah di baik itu perdata dan pidana terkhsusus perdata yang memiliki
otoritas untuk menyelesaiakna masalah perdata ialah Pengadilan Agama Praya. Perkara
gugat perceraian di pengadilan agama praya pada tahun 2020 telah menangani 1.008
perkara.

Diantara perkara yang telah di tangani oleh pengadilan agama praya, terdapat
putusan perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Praya Nomor
1258/Pdt.G/2020/PA.Pra antara “Kartini Binti Amaq Bakri dan Abdul Majid Bin H.
Musanip” berawal pada bulan januari 2016 rumah tangga antara kedua belah pihak mulai
goyah yang disebabkan oleh sang suami jarang berkomunikasi dengan sang istri, sang
suami yang kurang tegas dalam memimpin keluarga dan sang suami yang tidak mau
bekerja. Karena hal tersebut, membawa ketidaktentraman lahir dan batin bagi sang istri.
Kemudian pada tanggal 12 september 2020 terjadi puncak perselisihan dan pertengkaran
antara kedua belah pihak yang mengakibatkan terjadinya pisah rumah, karena sang istri
telah pulang kerumah orang tuanya selama 1 bulan pisah rumah antara kedua belah pihak
dan ditengah antara suami istri tersebut sebelumnya sudah jarang berkomunikasi dan sang
suami juga tidak pernah memberikan nafkah kepada sang istri sehingga semakin
menyebabkan muncaknya perselisihan tersebut.

Dengan alasan tersebut mengakibatkan sang istri sebagai penggugat sangat


menderita lahir dan batin dan tidak sanggup lagi untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangga dengan sang suami sehingga fenomena tersebut dikenal dengan khuluk atau yang
artinya Khuluk; adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri, dengan memberikan
tebusan (Iwaḑ) kepada dan atas persetujuan suami.14

Meskipun dalam keputusan perkara perceraian yang terjadi berdasarkan dengan


pertimbangan majelis hakim merupakan hal yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dan
tidak jarang pula perceraian hanya dikehendaki oleh salah satu pihak. Akan tetapi
disetujuinya atau tidaknya perkara perceraian, putusan pengadilan menjadi penentu

14
Abror, H. K., & MH, K. (2020). Hukum perkawinan dan Perceraian.
apakah perceraian tersebut dapat terjadi atau tidak oleh suatu putusan pengadilan. Dengan
demikian persetujuan mengenai perceraian perlu mendapatkan penelitian yang seksama
oleh hakim dengan mempertimbangkan dari berbagai factor, sehingga dapat memberi izin
dan mengabulkan untuk terjadinya sebuah perceraian.

Berdasarkan uraian diatas terkait dengan alasan perceraian antara penggugat dan
tergugat penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dan memfokuskan penelitian
yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TENTANG ALASAN PERCERAIAN (Studi
Putusan Nomor 1258/Pdt.G/2020/PA.Pra)”

II. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka peneliti dapat
merumuskan masalah yang dapat dijadikan rumusan masslah yaitu :
1. Apa Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara percraian dalam putusan
Nomor 1258/Pdt.G/2020/PA.Pra?
2. Bagaimana mekanisme hakim mendapatkan pertimbangan dalam memutuskan
perkara perceraian dalam Putusan Nomor 1258/Pdt.G/2020/PA.Pra ?
III. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perceraian dalam
Putusan Nomor 1258/Pdt.G/2020/PA.Pra.
b. Untuk mengetahui mekanisme pencarian pertimbangan hakim dalam memutuskan
perceraian dalam Putusan Nomor 1258/Pdt.G/2020/PA.Pra.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian terkait tentang “Tinjauan Yuridis Tentang Alasan Perceraian
(Studi Putusan Nomor 1258/Pdt.G/2020/PA.Pra)" baik secara teoritis, praktis dan
akademisi antara lain sebagai berikut :
a. Secara teoritis
Secara teoritis penulis berharap hasil karya tulis ilmiah ini, dapat bermanfaat
terkait dengan perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan pada khususnya
hukum keluarga .
b. Secara praktis
Secara praktis penulis berharap hasil karya tulis ilmiah ini, dapat memberikan
atau masukan kepada semua pihak yang membutuhkan terkait dengan
permasalahan yang diteliti, guna dipakai dalam dasar rujukan dalam mempelajari
dan memahami ilmu hukum, khususnya keluarga dan hukum perdata yang terkait
dengan perceraian.
c. Secara akademik
Secara akademik penelitian ini, diharapkan menjadi manfaat bagi lingkungan
akademis.
IV. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian
A. Ruang Lingkup Penelitian
Agar lebih fokus dan terarah maka penulis membatasi ruang lingkup dan
setting dalam penelitian ini pada dua hal penting sebagaimana yang telah
dikemukakan dalam rumusan masalah, yaitu Apa & bagaimana pertimbangan hakim
dalam memutuskan perkara perceraian pada Putusan Nomor 1258/Pdt.G/2020/PA.Pra.
B. Setting Penelitian
Peneliti menggunakan setting penelitian yang diterapkan di Pengadilan Agama
mengambil lokasi di pengadilan agama praya yang berlokasi Jl. Ahmad Yani No.3,
Praya, Kec. Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Bar. 60253
V. Telaah Pustaka
Agar penulisan ini memiliki pertanggungjawaban keaslian ilmiah penulis, maka
penulis terlebih dahulu menguraikan telaah pustaka, Telaah pustaka merupakan uraian
secara sistematis tentang hasil penelitian terdahulu untuk mendapatkan gambaran
hubungan topik yang diteliti dengan penelitian terdahulu sehingga tidak terjadi
pengulangan. Atau dengan bahasa lain, telaah pustaka adalah penelaahan terhadap bahan-
bahan bacaan yang secara khusus berkaitan dengan objek penelitian yang sedang dikaji.
Bahan bacaan yang dimaksudkan pada umumnya berbentuk makalah, skripsi, tesis, dan
disertasi, baik yang belum maupun sudah diterbitkan.
Berdasarkan hasil telaah pustaka penulis, ditemukan beberapa hasil penelitian yang
dapat dijadikan refrensi dan pertimbangan, diantaranya yaitu:
1. Skripsi yang ditulis oleh
2. Skripsi
3. Skripsi
4. Skripsi
5. Skripsi
VI. Kerangka Teori
A. Perceraian
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur bahasa Arab disebut dengan dua
kata yaitu nikah (‫ )نكاح‬dan zawaj (‫)زواج‬. Nikah menurut bahasa al-jam’u dan al-
dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-
tazwiij yang artinya akad nikah, selain itu juga bisa diartikan (wat’u al-zaujah)
yang bermakna menyetubuhi istri.15
Perkawanin adalah sutau peristiwa penting antara hubungan laki-laki dan
perempuan secara umum di masyarakat serta akan menjadikan sebuah hal penting
bagi kehidupan masyarakat. Perkawinan bukan semata-mata tujuan sesaat
melainkan seumur hidup. Hal ini dikarenakan perkawinan mengandung hal
bersifat batiniah didasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam perkawinan tidak
cukup hanya lahiriah saja namun harus memiliki kitana secara lahir dan batin
sebagai syarat atas perkawinan yang bahagia dan abadi.
Merujuk pada pasal 1 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Pengertian perkawinan yakni “Ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
berdasarkan pengertian tersebut, dapat diartikan menurut R. Soetojo
Prwirohmidjojo terdapat 5 unsur didalam yaitu : (1) Ikatan Lahir Batin (2) Antara
seorang laki-laki dan perempuan (3) Sebagai suami istri (4) Tujuan Perkawinan
adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. (5)
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menurut Amir Syariffuddin terdapat
beberapa hal sebagai rumusan perkawinan yaitu :
1. Digunakannya kata seseorang pria dan wanita mengandung arti, bahwa
perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.
2. Digunakan ungkapan sebagai suami istri mengandung arti, bahwa perkawinan
itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah
tangga yang bahagia dan kekal.
3. Dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu membentuk
rumah tangga yang bahagia dan kekal.

15
Tihami & Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, 7
4. Disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan, bahwa
perkawinan itu bagi umat Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan utuk
memenuhi perintah agama16
Terdapat perbedaan dari penafsiran rumusan perkawinan yang disampaikan
oleh Amir Syarifuddin tersebut tidak mencantumkan bahwa perkawinan
meruapakan ikatan lahir batin sebagaimana yang telah diuraikan oleh R. Soetojo
Prwirohmidjojo, melainkan hanya menguraikan sebagai ikatan dari hasil
pertemuan anatara seorang pri dan perempuan untuk hidup bersama.
Dalam Ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam perkawinan menurut
Hukum Islam adalah Pernikahan yakni melalui proses akad yang bersifat kuat
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan memenuhi
ketentuan-Nya dikarenakan pernikahan meruapakan perintah dari Allah SWT dan
ibadah.
Menurut beberapa ahli dan Sarjana Hukum memberikan pengertian
perkawinan yaitu :
a. Menurut Imam Syafi’i nikah (kawin) yaitu akad yang dengannya menjadi
halal hubungan seksual antara pria dengan wanita.
b. Menurut Imam Hanafi nikah (kawin) yaitu akad (perjanjian) yang menjadikan
halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang
wanita.
c. Menurut Imam Hanafi, nikah adalah akad dengan menggunakan lafaz nikah
atau tazwij untuk membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita.
d. R.Subekti menyebutkan bahwa: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara
seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Berlangsungnya perkawinan antara dua orang lelaki dan perempuan
diharapkan bertahan untuk waktu yang lama atau juga sangat diharapkan
untuk dapat sekali seumur hidup.
Berdasarakan beberapa uraian penjeleasan dapat disimpulkan,perkawinan
meruapakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan waktu yang
lama serta melalui beberapa syarat untuk menjalankannya speerti peraturan atau
hokum-hukum islam.
2. Tujuan Perkawinan

16
Puniman, A. (2018). hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974. Jurnal Yustitia, 19(1).
Tujuan Perkaninan merupakan dalam Islam adalah untuk memenuhi naluri
hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
17
mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya. di
pertegas dengan pencatumkan sebagai syariat rasullah SAW. Pernikahan juga
bertujuan sebagai upaya untuk mendapatkan keturunan yang sah bagi melanjutkan
generasi dan juga pemahaman atas rizki akan lebih berlimpah ketika terdapat
keturunan melalui ketentraman, kesejukkan dan kesenangan diilhami anak.
B. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian menurut bahasa Indonesia dari kata dasar “cerai” yang memiliki
arti berarti “pisah”. Menurut istilah syara” perceraian adalah arti dari kata untuk
melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafaẓ yang sudah
dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’.18
Dalam istilah Fiqih perceraian sama artinya dengan istilah “Talaq” atau
“Furqah”. Furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul.
Dan Talaq berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Perkataan furqah
dan talak memiliki arti umum dan khusus. Dalam arti secara umum ialah segala
macam perceraian yang dijatuhkan oleh pria/suami dan ditetapkan oleh hakim.
Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
2. Tujuan Penceraian
VII. Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan metode pendekata n yuridis. Pendekatan yuridis
adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum
normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa
hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Menggunakan jenis penelitian hukum
normatif yaitu penelitan hukum yang dilakukan dengan

VIII. Sistematika Penulisan

17
Hanifah, M. (2019). Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Soumatera Law Review, 2(2), 297-308.
18
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 1993), juz. 11, h.
175

Anda mungkin juga menyukai