1
Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Dina Utama Semarang, Cet. I, 1993, h. 130
3
QS. Al-Ahzȃb (33) : 7; QS. An-Nisȃ’ (4): 21; QS. An-Nisȃ’ (4) : 154; Lihat, Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2;
dan Lihat juga, Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah menurut al-Qur’an dan
alSunnah, Cet.1, Akademika Presindo, Jakarta, 2000, h. 14
4
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, LN. No. 1 tahun 1974, TLN No. 3019,
pasal 1
Tentang Perkawinan “sebuah perjanjian antara dua orang (laki-laki dan wanita) dengan
tujuan hidup bersama untuk waktu yang lama”.5
Sedangkan perkawinan Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa berbunyi
“perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
miitsaaqaan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
suatu ibadah”.6
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
termasuk produk hukum negara Indonesia yang didasarkan dengan ajaran agama Islam,
yang wajib diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat. Dengan mengetahui dan
memahami undang-undang tersebut, seluruh masyarakat sesuai untuk semakin menyadari
hak dan kewajibannya dalam perkawinan dan putusnya perkawinan serta akibatnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan utama dalam setiap
perkawinan, namun tidak semua perkawinan kekal dan berjalan mulus. Setiap orang
menghendaki agar perkawinan yang telah dibangun dengan susah payah dapat utuh
selamanya, akan tetapi tidak sedikit perkawinan yang berakhir dengan berpisah atau
perceraian. Tidak semua perkawinan sesuai dengan harapan, walaupun sudah diusahakan
semaksimal mungkin untuk membina rumah tangga yang baik, tetapi pada akhirnya
terpaksa untuk berpisah dan memilih untuk mengakhiri perkawinannya. 7 Dibalik
perkawinan yang diharapkan kekal dan abadi itu, tidaklah menutup kemungkinan apabila
rumah tangga tersebut terjadi disharmonis, karenanya dimungkinkan terjadinya
perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjurus pada kekerasan diantara kedua pihak.8
Perceraian merupakan salah satu peristiwa yang dapat terjadi dalam suatu perkawinan
untuk menghapus status perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam pengadilan. Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut
“talak” atau “furqoh” adapun arti dari talak ialah membuka ikatan atau membatalkan
perjanjian sedangkan furqoh berarti bercerai, yaitu lawan dari berkumpul. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menggunakan istilah cerai talak dan cerai gugat, hal ini
dimaksudkan agar dapat membedakan pengertian yang dimaksud oleh huruf c pada Pasal
38 undang-undang tersebut. Talak secara umum adalah segala macam bentuk perceraian
baik yang dijatuhkan oleh suami, atau yang ditetapkan oleh hakim, atau perceraian yang
5
Tinuk Dwi Cahyani, , Hukum Perkawinan, UMM Pers, Malang, 2020, hlm. 19
6
3 Indonesia, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,
inpres Nomor 1 Tahun 1991, pasal 2
7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Premade Media
Group, Jakarta, 2008, hlm. 443
8
Abror, H. K., & MH, K. (2020). Hukum perkawinan dan Perceraian.
jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena salah satu dari suami atau istri meninggal
dunia.
Perceraian menurut pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah putusnya
perkawinan adapun yang dimaksud dengan perceraian berarti putusnya perkawinan, yang
mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami dan istri.9 Dalam pasal 39 Undang-
Undang Perkawinan, mentautkan “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.”10
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri. Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 disebutkan, bahwa perceraian dapat disebab oleh beberapa alasan yakni:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.11
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
9
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Cet 1, Sinar Grafika,
Jakarta, 2013, hlm. 15
10
Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, LN. Nomor 1 tahun 1974, TLN
Nomor 3019, Pasal 39
11
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, LN No. 12 tahun 1975 TLN No. 3050, Pasal 19.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar perjanjian taklik talak
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga.12
Suatu putusan pengadilan merupakan wujud hukum yang paling konkrit karena
putusan pengadilan adalah norma yang di dalamnya melekat daya paksa atas
pelaksanaannya. Sehingga suatu putusan pengadilan akan sangat dirasakan oleh subyek
hukum yang terkait. Sebagaimana suatu norma hukum yang konkrit, maka hadir atau
tidaknya rasa keadilan dalam suatu putusan pengadilan dapat langsung dirasakan.
12
Indonesia, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,
inpres Nomor 1 Tahun 1991, pasal 116.
13
Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 444.
akhlak; (3) Kawin paksa;(4) Cemburu karena suami berselingkuh; (5) Faktor ekonomi;
(6)Akibat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri ataupun sebaliknya.
Diantara perkara yang telah di tangani oleh pengadilan agama praya, terdapat
putusan perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Praya Nomor
1258/Pdt.G/2020/PA.Pra antara “Kartini Binti Amaq Bakri dan Abdul Majid Bin H.
Musanip” berawal pada bulan januari 2016 rumah tangga antara kedua belah pihak mulai
goyah yang disebabkan oleh sang suami jarang berkomunikasi dengan sang istri, sang
suami yang kurang tegas dalam memimpin keluarga dan sang suami yang tidak mau
bekerja. Karena hal tersebut, membawa ketidaktentraman lahir dan batin bagi sang istri.
Kemudian pada tanggal 12 september 2020 terjadi puncak perselisihan dan pertengkaran
antara kedua belah pihak yang mengakibatkan terjadinya pisah rumah, karena sang istri
telah pulang kerumah orang tuanya selama 1 bulan pisah rumah antara kedua belah pihak
dan ditengah antara suami istri tersebut sebelumnya sudah jarang berkomunikasi dan sang
suami juga tidak pernah memberikan nafkah kepada sang istri sehingga semakin
menyebabkan muncaknya perselisihan tersebut.
14
Abror, H. K., & MH, K. (2020). Hukum perkawinan dan Perceraian.
apakah perceraian tersebut dapat terjadi atau tidak oleh suatu putusan pengadilan. Dengan
demikian persetujuan mengenai perceraian perlu mendapatkan penelitian yang seksama
oleh hakim dengan mempertimbangkan dari berbagai factor, sehingga dapat memberi izin
dan mengabulkan untuk terjadinya sebuah perceraian.
Berdasarkan uraian diatas terkait dengan alasan perceraian antara penggugat dan
tergugat penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dan memfokuskan penelitian
yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TENTANG ALASAN PERCERAIAN (Studi
Putusan Nomor 1258/Pdt.G/2020/PA.Pra)”
15
Tihami & Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, 7
4. Disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan, bahwa
perkawinan itu bagi umat Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan utuk
memenuhi perintah agama16
Terdapat perbedaan dari penafsiran rumusan perkawinan yang disampaikan
oleh Amir Syarifuddin tersebut tidak mencantumkan bahwa perkawinan
meruapakan ikatan lahir batin sebagaimana yang telah diuraikan oleh R. Soetojo
Prwirohmidjojo, melainkan hanya menguraikan sebagai ikatan dari hasil
pertemuan anatara seorang pri dan perempuan untuk hidup bersama.
Dalam Ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam perkawinan menurut
Hukum Islam adalah Pernikahan yakni melalui proses akad yang bersifat kuat
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan memenuhi
ketentuan-Nya dikarenakan pernikahan meruapakan perintah dari Allah SWT dan
ibadah.
Menurut beberapa ahli dan Sarjana Hukum memberikan pengertian
perkawinan yaitu :
a. Menurut Imam Syafi’i nikah (kawin) yaitu akad yang dengannya menjadi
halal hubungan seksual antara pria dengan wanita.
b. Menurut Imam Hanafi nikah (kawin) yaitu akad (perjanjian) yang menjadikan
halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang
wanita.
c. Menurut Imam Hanafi, nikah adalah akad dengan menggunakan lafaz nikah
atau tazwij untuk membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita.
d. R.Subekti menyebutkan bahwa: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara
seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Berlangsungnya perkawinan antara dua orang lelaki dan perempuan
diharapkan bertahan untuk waktu yang lama atau juga sangat diharapkan
untuk dapat sekali seumur hidup.
Berdasarakan beberapa uraian penjeleasan dapat disimpulkan,perkawinan
meruapakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan waktu yang
lama serta melalui beberapa syarat untuk menjalankannya speerti peraturan atau
hokum-hukum islam.
2. Tujuan Perkawinan
16
Puniman, A. (2018). hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974. Jurnal Yustitia, 19(1).
Tujuan Perkaninan merupakan dalam Islam adalah untuk memenuhi naluri
hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
17
mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya. di
pertegas dengan pencatumkan sebagai syariat rasullah SAW. Pernikahan juga
bertujuan sebagai upaya untuk mendapatkan keturunan yang sah bagi melanjutkan
generasi dan juga pemahaman atas rizki akan lebih berlimpah ketika terdapat
keturunan melalui ketentraman, kesejukkan dan kesenangan diilhami anak.
B. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian menurut bahasa Indonesia dari kata dasar “cerai” yang memiliki
arti berarti “pisah”. Menurut istilah syara” perceraian adalah arti dari kata untuk
melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafaẓ yang sudah
dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’.18
Dalam istilah Fiqih perceraian sama artinya dengan istilah “Talaq” atau
“Furqah”. Furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul.
Dan Talaq berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Perkataan furqah
dan talak memiliki arti umum dan khusus. Dalam arti secara umum ialah segala
macam perceraian yang dijatuhkan oleh pria/suami dan ditetapkan oleh hakim.
Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
2. Tujuan Penceraian
VII. Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan metode pendekata n yuridis. Pendekatan yuridis
adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum
normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa
hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Menggunakan jenis penelitian hukum
normatif yaitu penelitan hukum yang dilakukan dengan
17
Hanifah, M. (2019). Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Soumatera Law Review, 2(2), 297-308.
18
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 1993), juz. 11, h.
175