Anda di halaman 1dari 4

NADYA SYAVIRA ARANI / 2020103099

UTS HUKUM PERDATA / HPI 3

SOAL

1. Jelaskan pembagian hukum perdata menurut ilmu pengetahuan

2. Siapa yang di sebut subjek hukum?

3. jelaskan pengertian perkawinan dan syarat sahnya perkawinan menurut hukum perdata!

4. apa beda perjanjian dengan perikatan!jelaskan syarat sahnya perjanjian!

5. apa akibat hukum jika menbatalkan perjanjian?

JAWABAN

1. A. Menurut ilmu pengetahuan hukum,hukum perdata lazim dibagi atas 4 bagian yaitu :
B. Hukum tentang diri seseorang (Personenrecht) diatur dalam Bab I dan II buku II serta buku
IV bab IV KUH Perdata.yang memuat peraturan-peraturan tentang : Manusia sebagai subjek
hukum,Kecakapan untuk memiliki hak-hak,kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan
hak-haknya itu,serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan
itu,Domisili,Nama,Pencatatan sipil (Burgerlijk Stand).
C. Hukum keluarga (Familierecht), diatur dalam Bab IV – XVIII buku I KUH Perdata. yang
mengatur tentang perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan yaitu : Perkawinan beserta hubungannya dalam lapangan kekayaan antara
suami istri,hubungan antara orang tua dan anak,perwalian,Pengampuan (Curatele),dan
Perceraian.
D. Hukum kekayaan (Vermogensrecht) diatur dalam Bab I-IX dan XIX – XXI buku II,serta Bab
I – XVIII buku III KUH Perdata,yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang
dapat dinilai dengan uang.
E. Hukum warisan (Erfrecht) diatur dalam Bab XII – XVIII buku II KUH Perdata,mengatur
hal-hal ihwal tentang benda atau kekayaan seorang jika ia meninggal dunia

2. Subyek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari,
yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu berdasar dari
sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).

Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan
hukum.

a. Manusia (natuurlijk persoon). Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek
hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai
subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal
dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek
hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa
golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka
dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain,
seperti anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah, dan orang yang
berada dalam pengampunan seperti orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.

b. Badan Hukum (rechts persoon). Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan
orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan
hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti
melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya.
Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat
melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan
dapat dibubarkan.

3. Kata “kawin” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti 1) membentuk keluarga
dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah
Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memberikan pengertian dan ketentuan
tentang perkawinan yang berlaku untuk semua warga negara Indonesia. Menurut Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian
tersebut menyebutkan adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri.

a. Berlaku asas monogami (Pasa127 KUHPer).


o Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 KUHPer).
o Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUHPer).
o Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan
terakhir bubar (Pasal 34 KUHPer).
o Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua
mereka (Pasal 35 KUHPer). Mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan
berikut ini:
b. Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang di ba wah pengawasannya, harus
ada izin dari wali pengawas (Pasal 36 KUHPer).
c. Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya,
maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu,
sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37 KUHPer).
d. Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak
dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak yang di
bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali
Adapun syarat formil adalah syarat yang berkaikan dengan formalitas dalam melaksanakan
perkawinan. Yaitu pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman maksud kawin (Pasal
50 sampat Pasal 51 KUH Per). Pembagian maksud kawin diajukan kepada pegawai catatan sipil.
Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangusngkannya perkawinan dengan
jalan menempelkan pada pintu utama dari tempat dimana register-register catatatan sipil
diselenggarakan dalam jangka waktu 10 hari. Pengumuman ini berfungsi sebagai pengawas yang
dilakukan masyarakat, sehingga dapat memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan
untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut.

4. perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang
satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Dari definisi tersebut dapat terlihat bahwa perjanjian dapat
menimbulkan perikatan tapi perikatan tidak hanya ada karena perjanjian melainkan juga hal
lain, misalnya karena undang-undang.

Syarat-syarat tersebut dikenal dengan “syarat sahnya perjanjian” sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 KUHPer, sebagai berikut:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
b.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek yang
membuat perjanjian itu.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam
perjanjian tersebut.

5. Akibat pembatalan perjanjian di atur dalam Pasal 1451 dan 1452 KUHPer.Akibathukumpada
pembatalan perjanjian adalah pengembalian pada posisi semulasebagaimana halnya
sebelum terjadi perjanjian.3Akibat pembatalan perjanjian dapat dilihat dari dua
aspek.Pertama, pembatalan terhadap perjanjian yang melanggar syaratsubyektif sahnya
perjanjian sehingga perjanjian dapat dibatalkan, dan kedua adalahpembatalan terhadap
perjanjian yang melanggar syarat obyektif perjanjian yang bataldemi hukum.Akibat
terhadap perjanjian yang dapat di batalkan adalahsalah satu pihak dapatmeminta
pembatalan perjanjian. Perjanjian akan tetap mengikat para pihak apabila tidakdibatalkan oleh
hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan.Hakuntuk meminta
pembatalan perjanjian,menuntut pemulihanbahkan hak untuk menuntutganti rugimerupakan
hak bagi para pihak yangmerasa dirugikan,sedangkan pihaklainnyayang telah terlanjur
menerima prestasi dari pihak lain wajib mengembalikannya.Sedangkan, akibat hukum terhadap
perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjiandianggap batal atau bahkan perjanjian
dianggap tidak ada dan tidak pernah terjadi dariawal.Konsekuensi lanjutan dari
pembatalan perjanjian adalah apabila setelahpembatalan salah satu pihak tidak
melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikanapa yang telah diperolehnya maka pihak
lain dapat mengajukan gugatan. Hal inisemata-mata untuk melaksanakan tujuan
pembatalan yaitu mengembalikan keadaansebagaimana semula sebelum perjanjian terjadi

Anda mungkin juga menyukai