Anda di halaman 1dari 68

RESUME HUKUM ACARA PENGADILAN AGAMA

KELOMPOK 10

PUTRI WULANDARI (12103193046), ANDRE BAGUS P. (12103193077),


RIZKY SAPUTRA (12103193061), AHMAD DZAKY A. (12103193099),
ARISTA HAJAH D. P. (12103193064), M. RIZALULLAH (12103193073),
ANDHIKA BAYU P. (12103193096), M. ZEIN HAFIZZUDIN (12103193103).

KHI Pasal 1 sampai 17

PUTRI WULANDARI (12103193046)

Hukum Perkawinan

Dalam hukum perkawinan pasal 1, sebelum pasangan melanjutkan ke jenjang yang


lebih dalam lagi, biasa melakukan suatu budaya yakni peminangan. Peminangan merupakan
suatu pertemuan yang dilakukan dalam rangka memilih jodoh yang dihadiri oleh kedua belah
pihak dalam syariat islam peminangan dapat diartikan sebagai khitbah atau lamaran yang
bertujuan untuk mengenalkan kedua belah pihak untuk menunjukkan keseriusan seseorang
menuju jenjang yang lebih tinggi lagi yakni pernikahan. Khitbah atau peminangan dapat
bberakhir bila salah satu dari pihak memutuskan untuk mengakhirinya. Misalnya saja salah
satu pihak lebih memilih bersama pacarnya, maka pihak yang ditinggal boleh mengakhirinya.
Dalam proses peminangan tidak ada hukum yang mengikat sebagaimana hukum pernikahan
yakni Undang-undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, walau seperti itu peminangan akan dinyatakan tidak sah bila
yang akan dipinang ternyata sudah dipinang oleh laki-laki lain.

Pada pasal 2 yang terdapat dalam Bab II tentang dasar-dasar pernikahan menjelaskana
pernikahan dalam penjelaasan Islam atau menurut syariat pada umumnya disebut sebagai
ibadah terlama bagi manusia. pernikahan sendiri merupakan suatu penyatuan atau
menyatukan dua orang dalam satu ikatan suci dengan memenuhi syarat dan rukun sah dalam
setiap prosesnya untuk membina bahtera keluarga bersama dan mengharap menjadi keluarga
yang sakinahh mawaddah, dan rohmah. Sebagaimana dalam pasal 5 hendaklah dalam suatu
pernikahan haruslah ada pencatatan yang diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 dan UU No.32
Tahun 1954, dalam proses pernikahan setiap pasangan hendaknya mendaftarkan pernikahan
hingga mendapat akta nikah. Hal ini bertujuan agar pernikahan yang dilakukan dapat terjamin
ketertiban bagi masyarakat di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, sebab bila suatu
pernikahan terjadi tetapi tidak ada bukti yang berupa akta nikah maka pernikahan tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu dalam Islam bila menggelar acara
pernikahan keluarga hendak meramaikan yang dimaksud adalah mengadakan walimahan
setelah akad nikah dilasanakan. Hal ini seperti yang dijelaaskan dalam kutipan Syeh
Muhammad Qasim dalam kitab Fathul Qarib yang maksudnya adalah walimahan itu
hukumnya sunnah yakni dengan mengadakan mendoakan dan jamuan makan ketika akad
telah terlaksana.1 Sebagaimana pernikahan yang harus ada kekuatan hukumnya agar memiliki
kekuatan hukum yang kuat, begitu juga walimahan (perayaan doa bersama dan jamun) yang
didatangi oleh banyak orang bertujuan untuk memberikan pengakuan serta doa dari
masyarakat. Bila akta nikah hilang maka dapat melakukan itsbat sesuai pada pasal 7 ayat 3
hukum pernikahan. Dalam meengarungi bahtera rumah tangga, sangat tentu dalam keluarga
merasakan yang namnya pertentangan dan bahkan juga sampai melakukan perceraian. Dalam
pasal 8 menjelaskan, putusnya pernikahan bukan hanya karena cerai mati melainkan juga
perceraian yang sudah ada surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama. Bila surat
keputusan cerai tersebut hilang, maka bisa meminta salinan kepada Pengadilan Agama.

Sebelum pernikahan dilakukan, hendaknya terdapat rukun dan syarat pernikahan yang
terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan qabul.
Mempelai pria atau calon suami merupakan rukun dalam pernikahan, ada batasan usia yang
dianjurkan dalam peraturan pemerintah, diantaranya dalam pasal 7 UU No.1 tahun 1974
yakni sekurang-kurangnya berusia 19 tahun. Sedangkan dalam pasal 6 ayat (1),(2),(3),(4),
daan (5) UU No. Tahun 1974 boleh kurang dari 21 tahun tetapi harus mendapat izin
sebagaimana diatur dalam pasal tersebut. Sebagaimana disebutkan pula oleh Imam Zakaria
al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, 42:
yang artinya “Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri (yakni Islam dan bukan
mahram), tidak terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya calon istri baginya”. 2 Pasal 16
menjelaskan bahwa Perkawinan akan sah bila kedua mempelai saling menyetujui baik secara
lisan, tertulis maupun isyarat. Pasal 17 menekankan pada persetujuan calon mempelai
dihadapan para saksi nikah yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Bila calon
1
Muhammad Ibnu Sahroji, “Anjuran Mengadakann Pesta Pernikahan dalam Islaam”, NU Online,
https://islam.nu.or.id/post/read85010/anjuran-mengadakan-pesta-pernikahan-dalam-islam, diakses pada 6
Januari 2018.
2
Muhammad Ibnu Sahroji, “Lima Rukun Nikah dan Penjelasannya”, NU Online,
https://islam.nu.or.id/post/read//84168/lima-rukun-nikah-dan-penjelasannya, diakses pada Desember 2012.
mempelai berkebutuhan khusus misalnya tuna wicara maupun tuna rungu maka persetujuan
nikah boleh dilakukan secara tertuulis maupun isyarat lain yang bisa dimengerti.

1-24 PASAL HUKUM EKONOMI SYARI’AH KHI

Bab I tentang ketentuan hukum, pada pasal 1 menjelaskan mengenai beberapa


pengertian di antaranya Ekonomi syariah yakni suatu kegiatan yang dilakukan perseorangan,
kelompok maupun organisasi yang bersifat komersial maupun tidak guna memenuhi
kebutuhan yang didasarkan oleh hukum syariah. Subyek hukum merupakan seseorang atau
kelompok yang dianggap cakap hukum atau yang memiliki hak serta kewajiban sehingga
menciptakan wewenang hukum dalam hak-haknya. Dengan kata lain, subyek berarti pelaku
pelaksana hukum tersebut. Kecakapan hukum adalah kemampuan yang dimiliki oleh subyek
hukum. Anak merupakan seseorang yang berusia dibaawaah 18 tahun yang belum memiliki
kecakapan hukum. Perwalian atau perwakilan merupakan orang yang diberi kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum atas nama dan kepentingan muwalia. Sedangkan muwalia
merupakan seseorang yang belum cakap melakukan hukum. Serta penjelasan mengenai wali
(kurator badan hukum) kepada muwali, pengadilan, amwal (benda yang memiliki hak), beda
berwujud, benda tidak berwujud (tidaknampak oleh indera), benda bererak, benda tidak
bergerak (tidak dapat digerakkan tanpa ada bantuan), benda terdaftar (berkepemilikan yang
telah berwenang), benda tidak terdaftar, kepemilikan benda, penguasaan benda, pengalihan
hak kebendaan, uang, dan orang yang kesemuanya akan dijelaskan pada pasal berikutnya.

Bab II mengenai subyek hukum dalam pasal 2 menjelaskan bahwa seseoang yang
memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum yang berusia lebih dari 18 tahun
yang tidak dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan. Dengan kata lain subyek
merupakan seseorang atau setiap manusia yang memiliki wewenang atas hak dan
kewajibannya. Bila seorang anak yang berusia dibawah 18 tahun dapat melakukan
permohonan pengakuan kepada pengadilan. Bagian kedua pasal 4 menjelaskan orang ang
tidk memilikikecakapaan hukum boleh dilakukan oleh wali atau perwalian. Perwalian ini
bisaa dilakukan walau seseorang berusia lebih dari 18 tahun yang pailit atau tidak cakap
hukum.

Pasal 6 pengadilan boleh menetapkan perwalian kepada seseorang yang dipandang


tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Pasal 7 pengadilan berwenang menetapkan
orang yang berutanng sebagaimana atas perwalian permohonan dari orang yang memberi
pinjaman atau berpiutang. Pasal 9 nebjelaskantentang konsep muwalla. Seperti yang
diketahui muwalla sendiri merupakan orang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum
atau taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Muwalla boleh melakukan perbuatan yang dapat menguntungkana dirinya walaupun
tanpa izin wali dan dilarang melakukan perbuatan hukumm yang merugikan dirinya
walaupun mendapat izin dari wali. Intinnya, apa yang diperbuata muwalla atas kehendak izin
kepada wali dan bila ada perseteruan antar keduaanya muwalla boleh mengajukan
permohonan kepada pengadilan. Izin perwalian yang dimaksud oleh muwalla ini bisa
dilakukan secara lisan maupun tulisan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat (2)
dan (3). Wali yang dimaksud dalam pasal 11 ialah terdiri dari

a. Orang tua muwalla;


b. Orang yang menerima wasiat dari orang tua muwalla;
c. Bapk/ibu angkat muwalla;
d. Orang lain atau badan hukum yang ditetapkan oleh pengadilan.

Kekuasaan wali pada pasal 11 (c) mulai berlaku sejak penetapan pengadilan untuk
menjadi pelaku hukum tetap, dalam pasal 13 menjelaskann wali bertugas sebagai wali
muwalla yang melindungi dan menjamin haknya sampai ia cakap melakukan perbuatan
hukum. Wali berhak menolak memberi izin kepada muwalla untuk mempertimbangkan
kerugian serta keuntungan yang akan dirasa bila melakukan perbuatan hukum tersebut. Pada
pasal 15 menjelaskan masa beakhirnya wali pada muwalla kaarena:

a. Meninggal dunia;
b. Muwalla telah memiliki kecakapan melakukan perbuatan huku;
c. Dicabut berdasarkan penetapan oleh pengadilan.

Bila wali melakukan kerugian kepada muwalla, maka wali harus menanggung kerugian atas
derita dan kesalahanny terhadap muwalla sesuai penetapan pengadilan sesuai dengan pasal
16 ayat (1).

Bab III tentang Amwal

Pasal 17 bagian pertama tentang asas pemilikan Amwal, di sini menjelaskan tentang
kepemilikan amwal dapat didasarkan pada asas:
a. Amanah (bisa dipercaya)
b. Infiradiyah (dilakukan dalam bentuk badan usaha atau korporasi)
c. Ijtima’iyah (tidak hanya bersifat pemenuhan hidup perseorangan melainkan terdapat
hak masyarakat)
d. manfaat

bagian kedua yakni cara perolehan Amwal dalam pasal 18 benda dapatdiperoleh dengan cara
sebagai beriku:

a. petukaran;
b. pewarisan;;
c. hibah
d. wasiat
e. pertambahan alamiah
f. jual-beli
g. luqathah (harta temuan)
h. wakaf
i. cara lain yang sesuai dengan ketentuan hukum syariah.

Bagian ketiga tentang sifat kepemilikan Amwal yang tercantum dalam pasal 19, yakni prinsip
kepemilikan amwal daapat diuraikan sebagai berikut;

a. pemilikan yang penuh (kepemilikan manfaat tanpa batas waktu tertentu)


b. pemilikan tidak penuh (dibatasi waktu dalam pemanfaatannya)
c. pemilikan yang tidak bisaa dihapus, tetapi bisa dialihkan
d. pemilikan syarikat yang penuh diharuskan sesuai hak dan kewajiban seccara
proporsional.

Pasal 20 mengenai akad beserta ketentuan hukumya. Terdapat beberapa penjelasa sebagai
berikut:

1. Akad yakni kesepakatan dalam perjanjian antarkedua belah pihak


2. Bai’ yakni jual beli atau pertukaran benda
3. Syirkah yakni kerjasama dua orang aatau lebih
4. Mudharabah yakni kerjasama antara pemilik modal dan pengelola modal
5. Muzaraaan yakni kerjasama antara pemilik lahan dengan pengelola lahan
6. Murahabah yakni perjanjian antara bank dengan nasabah
7. Musaqah yakni kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan tanaman
8. Khiyar yakni hak pilih bagi penjual dan pembeli
9. Ijarah yakni sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran
10. Istisna yakni jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan yang sebelumnya
disepakati oleh kedua belah pihak.
11. Shunduq hifzi ida’/safe deposit yakni tempat penyimpanan barang berharga.
12. Kafalah atau jaminan yang diberikan kepada penjamin
13. Hawalah atau pengalihan hutang
14. Rahn atau gadai
15. Ghasb atau memilih hak milik orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu dan
tanpa niat untuk memilikinya.
16. Itiaf atau perusakan
17. Wadi’ah penitipan yang dilakukan oleh orang yang ingin menitipkan kepada yang
dititipi.
18. Ju’alah yakni perjanjian yang didalamnya terdapat imbalan yang sudah ditentukan
19. Wakalah yakni pemberian kuasa kepada orang lain yang dipercaya
20. Mabi’/barang dagangan
21. Saham suatu harta milik bersama yang disatukan guna sebagai usaha bersama
22. Obligasi syariah atau surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah
23. Sukuk maliyah atau reksa dana syariah
24. Efek beragun aset syariah
25. Surat berharga komersial
26. Ta’min atau asuransi
27. Suq maliyah atau pasar modal
28. Nuqud i’timni atau pembiayaan
29. Dain atau utang
30. Hisab mudayya atau piutang yakni tagihan yang timbul atas transaksi jual-beli atau
ijrah lain
31. Da’in atau peminjam orang yang memiliki hutang
32. Mudayi atau yang memberi pinjaman
33. Waraqah tijariah atau surat berharga syariah misalnya bukti berinvestasi berdasarkan
prinsip syariah, misalnya wesel, reksadana syariah dan lain-laim
34. Salam atau jasa pembiayaan yang dilakukan bersamaan dengan pesanan lain
35. Tsaman atau harga (jumlah yang harus dibayarkan pada suatu baraang)
36. Qard atau penyediaan dana atau tagihan
37. Ta’widh atau ganti rugi yang dilakukan oleh waprestasi
38. Lembaga keuangan syariah
39. Sunduq mu’ayat taqa’udi/dana pensiun syariah
40. Hisabat jariyat atau rekening koran
41. Bai; wafa/ atau jual beli
42. Menteri adalah menteri keuangan Republik Indonesiaa.

BAB II tentang asas akad. Menurut Ibnu Rajab dalam kitabnya Al-Qaidah li Ibn Rajab: 73
dalam fiqih yang berarti ada dua makna yaitu ‘Am dan Khash. 3 ‘Am akad yakni komitmen
yang harus dipatuhi oleh diri dari seorang insan, baik ada hubungannya dengan orang lain,
termasukk agama misalnya jual beli. Khash akad yakni upaya menjalin kesepakatan yang
sempurna (ifftaq tam) antara dua pihak yang memiliki kehendak atau lebih agar tumbuh
komitmen bersama.4 Akad dalam pasal 21 dilakukan berdasarkan asas sebagai berikut:

1. Ikhtiyary/sukarela yakni dilakukan oleh beberapa pihak tanpa ada unsur keterpaksaan.
2. Amanah/menepati: dilakukan sesuai kesepakatan.
3. Ikhtiyati/kehati-hatian: akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan
dilakukan secara tepat dan cermat.
4. Saling menguntungkann
5. Taswiyah/kesetaraan: mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
6. Transparan: bertanggungjawab secara terbuka.
7. Kemampuan
8. Taisir/kemudahan: setiap akad yang dilakukan tidak saling menyusahkan melainkan
memudahkan.
9. Itikad baik: niat yang baik tidak mengandung jebakam dan perbuatan buruk lainnya.
10. Sebab yang halal
11. Al-hurriyah (kebebasan berkontrak)
12. Al-kitabah (tertulis)

Bab III tentang Rukun, syarat, kategori hukum ‘Aib, akibat, dan penafsiran akad. Pasal 22
dalam bagian pertama menyebutkan rukun dan syarat akad. Rukun akad terdiri atas:

a. Pihak-pihak yang berakad


3
Muhammad Syamsudin, “Kajian Fiqih Muamalah Terapan: Akad”, NU Online,
https://islam.nu.or.id/post/read/83180/kajian-fiqih-muamalah-terapan-akad, dikases pada 12 November 2017.
4
ibid
b. Obyek akad
c. Tujuan pokok akad
d. kesepakatan

pasal 23 menjelaskan tentang pihak yang berakad adalah pihak perseorangan atau individu
dengan individu, kelompok, persekutuan, atau badan usaha. Orang berakad hendaknya
berakal, caka hukum dan tamyiz atau dapat membedakan baik dan buruk. Obyek akad adalah
amwal atau jasa yang dihalalkan serta dibutuhkan masing-masing pihak yang berakad. Dalam
pasal 24 menyebutkan obyek akad yang dihukumi sah adalah obyek yang suci, bermanfaat,
hak milik sempurna, dan dapat diserahterimakan. Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Sighat akad
dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan maupun, tulisan ataupun perbuatan.
RESUME
PASAL 25 - PASAL 80 KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

RIZKY SAPUTRA (12103193061)

Selepas memahami makna akad pada Pasal 20 yang berbunyi bahwa akad adalah
kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak guna melaksanakan suatu
perbuatan hukum tertentu. Di Pasal 25 ini dijelaskan mengenai tujuan dari akad itu sendiri
yang hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup serta pengembangan usaha
masing-masing pihak yang mengadakan akad. Selain itu, ayat (2) juga menjelaskan terkait
sighat akad yang dapat dilaksanakan secara jelas, baik itu lisan, tulisan maupun perbuatan.
Dalam Islam, dasar hukum tujuan akad dan mekanisme sighat ini dapat kita temukan pada
Qur’an Surat al-Ahzab ayat 70 tentang perintah berkata dengan benar, kemudian perintah
berbuat adil dan saling menguntungkan juga terdapat dalam QS. Al A’raf ayat 29. Sedangkan
menurut hukum positif di Indonesia, perilaku baik, jujur, serta adil ini juga termaktub dalam
UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan juga Pasal 1338 KUH Perdata.
5

Pasal 25 ayat (1) dan (2) ini memegang erat sejumlah prinsip hukum. Pertama, tauhid
karena perjanjian antar manusia pasti tidak terlepas dari tanggungjawab kita kepada Allah
SWT. Berikutnya prinsip-prinsip lain sepertu keadilan, kebolehan, kesetaraan atau equality,
kejujuran, kebenaran, kerelaan, hingga kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam praktiknya
di lapangan, implementasi terhadap Pasal ini saya rasa cukup efektif meskipun tak jarang kita
temui juga masih ada saja oknum-oknum yang mencurangi akad dengan motif yang beragam
sehingga prinsip-prinsip tadi pun tidak dapat terwujud. Masukan dari saya, perlu diadakan
monitoring dan optimalisasi di setiap lini yang berakad atau bertransaksi baik melalui
kelembagaan maupun birokrasi sehingga dapat tercipta ekosistem ekonomi syari’ah yang
kondusif dan produktif.

Memasuki Bagian Kedua terkait kategori hukum akad, Pasal 26 berisi tentang akad
yang tidak sah apabila berlawanan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Dasar hukum yang dipakai dalam Pasal ini adalah di
antaranya QS. Al-Maidah ayat 1 yang berisi perintah memenuhi perjanjian-perjanjian (akan)
dari Allah. Selain itu, ketentuan dalam perundang-undangan kita juga menjadi landasar

5
Dahrul Muftadin, Dasar-dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapannya Dalam Transaksi Syariah, Jurnal Al
Adl, Vol. 11, No. 1, Januari 2018, hal. 108
konkrit yang secara hierarkis menegaskan bahwa suatu hukum yang kedudukannya lebih
tinggi mengesampingkan hukum yang posisinya lebih rendah dan juga asas legalitas bahwa
setiap perbuatan yang sudah ada ketentuan dalam satu aturan perundangan maka wajib
hukumnya untuk ditaati. Prinsip-prinsip yang dianut dalam Pasal 26 ini adalah prinsip
keadilan, kelayakan, dan kepastian hukum terkait akad yang tidak sah. Penerapan terhadap
Pasal ini saya rasa cukup baik karena pada dasarnya hal ini sudah menjadi habbit atau
kebiasaan di tengah masyarakat untuk ditaati ketentuan-ketentuannya.

Kemudian pada Pasal 27 dan 28 dijelaskan secara spesifik terkait tiga kategori
hukum akad. Pertama akad yang sah yakni akad yang telah tercukupi rukun dan syarat-
syaratnya. Kedua yakni akad fasad yang berarti akad yang sudah penuh rukun dan syaratnya
tetapi terdapat hal lain yang mengganggu atau merusak akad tersebut dikarenakan
pertimbangan maslahat. Sedang yang ketiga adalah akad yang batal atau suatu perjanjian
yang kurang atau tidak terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Dasar pemberlakuan Pasal ini
di antaranya adalah pendapat sejumlah besar Imam Madzhab ihwal dominasi konsep
pertimbangan etis dan moral dalam pembuatan akad sehingga dalam satu perjanjian/transaksi
harus tercukupi terlebih dulu rukun dan syarat-syaratnya. Prinsip yang diusung dalam Pasal
ini ialah prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemaslahatan. Implementasi terhadap
ketentuan ini juga saya rasa telah dilakukan dan berhasil dihidupkan di tengah masyarakat.

Pada Bagian Ketiga tentang Aib Kesepakatan dibuka dengan Pasal 29 ayat (1) dan
(2) menjabarkan terkait akad yang sah sebagaimana Pasal 27 tadi adalah perjanjian yang
tidak memuat unsur ghalath atau khilaf, dilaksanakan di bawah ikhrah atau paksaan, taghrir
atau tipuan, serta ghubn atau penyamaran. Selanjutnya akad yang disepakati haruslah yang
mengingatkan diri, adanya kecakapan untuk membuat satu perikatan, pada hal tertentu, serta
suatu sebab yang halal berdasarkan syari’at Islam. Maksud kekhilafan dan paksaan sendiri
dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 30 dan 31. Dimana kekhilafan adalah yang terjadi perihal
hakikat yang jadi pokok perjanjian saja, sedangkan paksaan ialah yang mendorong satu pihak
untuk melakukan hal-hal yang tidak diridhoi atau pilihan bebasnya. Masih berkenaan dengan
paksaan, Pasal 32 menjabarkan paksaan yang menyebabkan batalnya akad hanyalah bila
pemaksa mampu untuk melakukannya, pihak yang dipaksa punya prasangka kuat bahwa si
pemaksa dapat segera melaksanakan apa yang diancamkan, yang diancamkan menekan
dengan berat jiwa, ancaman dilakukan serta merta, dan paksaan ini melawan hukum.
Dasar hukum yang menjadi landasan atas Pasal-Pasal tersebut di atas adalah QS. An
Nisa ayat 29 yang jelas melarang orang-orang beriman unruk tidak memakan harta
sesamanya dengan jalan yang bathil dan harus atas dasar suka sama suka di antara pihak yang
terlibat. Dalam hukum positif Indonesia misalnya UU Perlindungan Konsumen dan
KUHP/KUHPer juga melarang adanya paksaan atau ancaman pada siapa pun. Pasal-Pasal di
atas memuat prinsip kerelaan, keadilan, kesetaraan, serta legalitas hukum. Sedangkan untuk
penerapannya sendiri menurut saya masih cukup kurang karena sering kita jumpai paksaan
atau ancaman itu dalam transaksi bahkan yang bermottokan syariat di dalamnya. Misalnya
pada kasus pinjaman online atau semacamnya. Saran saya aturan terkait pinjaman online ini
diperketat lagi supaya kedepan tidak terjadi lagi problematika yang serupa.

Lanjut pada Pasal 33, 34, dan 35 memiliki konteks yang relatif sama yakni berkenaan
dengan penipuan dan penyamaran. Penipuan sebagaimana Pasal 33 dimaknai sebagai
tindakan memengaruhi pihak lain melalui tipu daya dengan menciptakan akad, dengan dasar
bahwa akad itu untuk kemaslahatannya tapi faktanya tidak demikian. Sedangkan di Pasal 34
disebutkan bahwa penipuan lebih kepada alasan pembatalan satu akad bila tipu muslihat
dipakai suatu pihak. Kemudian di Pasal 35 menyinggung soal penyamaran yang merupakan
keadaan dimana tidak ada kesetaraan antara prestasi dengan imbalan prestasi atas suatu akad.
Secara implisit ketentuan dalam ketiga Pasal tersebut berdasarkan pada tindakan penipuan
yang di KUHP termaktub di Pasal 362. Sedangkan di dalam Islam sendiri, syariat telah jelas
melarang perbuatan bohong, menipu, dan ingkar janji di banyak sekali ayat Quran maupun di
dalam Sunnah. Sedangkan prinsip yang erat kaitannya dengan Pasal penipuan dalam akad ini
adalah prinsip kejujuran, keadilan, dan kesetaraan. Pengaplikasian terhadap Pasal-pasal
tersebut saya rasa masih cukup kurang karena masih sering juga kita temukan kasus-kasus
atau fenomena penipuan di segala jenis akad atau transaksi. Saran saya, negara harus mau
melakukan edukasi dan literasi terhadap masyarakat terkait perilaku jujur dan etika dalam
berakad atau bertransaksi.

Memasuki Bagian Keempat, Pasal 36 hingga 39 mendeskripsi perkara yang serupa


yakni ingkar janji dan sanksi-sanksinya. Di Pasal 36 dijelaskan bahwa pihak-pihak yang
ingkar janji ialah mereka yang tidak melakukan apa yang sudah dijanjikan, melaksanakan apa
yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, melakukan tetapi terlambat, dan
melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Namun pihak dalam sebuah akad bisa
melakukan ingkar janji sebagaimana dikatakan dalam Pasal 37 yakni yang disertai dengan
surat perintah atau fakta lain demi pernjanjian tersebut. Lalu pada Pasal 38 diatur mengenai
sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada para ingkar janji, yakni dengan membayar ganti
rugi, pembatalan akad, denda, peralihan risiko, hingga membayar biaya perkara. Untuk sanksi
pembayaran ganti rugi sendiri dapat dijatuhkan seandainya pihak yang ingkar tetap
melakukan ingkar janji, pihak yang ingkar tidak bisa membuktikan bahwa perbuatannya tidak
dibawah paksaan, dan dalam waktu yang telah dilampaukan. Dasar hukum ketentuan ini
adalah QS. An Nahl ayat 91 dan 92 tentang keharusan menepati janji. Sedangkan dalam
KUHP Pasal 378 juga berkaitan erat dengan hukuman bagi mereka yang ingkar janji. Untuk
prinsip yang dipakai dalam Pasal-Pasal tersebut adalah prinsip tauhid, kepastian hukum,
kejujuran, dan kerelaan. Implementasi terhadap Pasal-pasal tersebut menurut saya cukup
terlaksana dan bisa diterima oleh masyarakat secara luas.

Di Bagian Kelima, Pasal 40 dan 41 menekankan ihwal keadaan memaksa dan syarat-
syaratnya. Keadaan memaksa sebagaimana Pasal 40 merupakan keadaan dimana salah satu
pihak yang berakad terhalang untuk melakukan prestasinya. Berlanjut di Pasal 41 diterangkan
soal syarat-syaratnya seperti adanya peristiwa tersebut tidak terduga oleh semua pihak, tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melakukan prestasi, di luar kesalahan
pihak prestasi, maupun pihak tersebut tadi memang tidak memiliki itikad buruk. Hal ini
sejalan dengan kaidah fiqih yang intinya keadaan darurat diperbolehkan untuk melakukan
hal-hal yang umumnya dilarang, dalam berakad yakni selama ada kesepakatan antar pihak
yang bersangkutan. Ketentuan ini lantas sesuai dengan prinsip keadilan dan kesataraan di
mata hukum, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun. Sedangkan penerapan terhadapnya
menurut hemat saya kurang efektif karena seringkali ada saja pihak yang tidak terima karena
subjektifitas atas kondisi darurat tersebut.

Pada Bagian Keenam terkait risiko, terdapat dua Pasal yang menggambarkan tentang
kewajiban menanggung risiko. Tepat pada Pasal 42 termaktub bahwa kewajiban memikul
kerugian yang tidak disebabkan oleh pihak tertentu dinyatakan sebagai risiko. Kemudian
Pasal 43 menambahkan terkait kewajiban menanggung kerugian tadi hanya bisa terjadi bila
terjadi di luar kesalahan salah satu pihak dalam perjanjian sepihak dipukul oleh peminjam,
atau juga di luar kesalahan pihak dalam perjanjian timbal balik dipikul oleh pihak yang
meminjamkan. Ketentuan Pasal 42 dan 43 sejatinya berdasar pada QS. Al Hasyr ayat 18 yang
pada intinya menekankan tentang kepastian adanya penanggungjawaban atas risiko tertentu.
Dalam sistem perundang-undangan negara hukum ini disebut juga asas kausalitas. Sedang
dalam prinsipnya, dua Pasal ini memfokuskan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan.
Kemudian penerapan atas hal ini menurut saya sudah sangat jelas terwujud dan cukup kuat
dasar pengaturannya di Indonesia.

Masih berhubungan dengan risiko, pada Bagian Ketujuh ditentukan mengenai Akibat
Akad pada empat Pasal yakni Pasal 44, 45, 46, dan 47. Secara kolektif dijelaskan bahwa
seluruh akad yang dibuat secara sah sebagai nash syari’ah bagi mereka yang membuat akad.
Di Pasal 45 dan 46 juga disinggung bahwa akan tidak hanya mengikat hal yang tegas di
dalamnya, tapi juga segala sesuatu menurut sifat akad yang diharuskan oleh kebiasaan,
kepatutan, dan nash-nash syari’ah, yang itu semua berlaku di antara pihak-pihak yang
berakad. Kemudian Pasal 47 menegaskan bahwa suatu akad bisa dibatalkan oleh pihak yang
berpiutang bila pihak yang utang terbukti merugikan pihak berpiutang. Dasar hukum yang
mendasari ketentuan terkait akibat akad ini hakikatnya adalah QS. An Nahl ayat 90 tentang
perintah berbuat adil dan risiko yang akan diterima sebagai pembelajaran. Prinsip yang
diterapkan yakni kebebasan, kepastian hukum, dan kerelaan. Sedangkan pengaplikasian atas
Pasal-pasal ini menurut saya sudah baik dan efektif.

Bagian yang cukup detail adalah Bagian Kedelapan yakni berkaitan dengan
Penafsiran Akad yang dimulai dari Pasal 48 hingga diakhiri pada Pasal 55. Pelaksanaan akad
atau hasil akhir akad sebagaimana Pasal 48 harus sesuai dengan maksud dan tujuan akad
bukan hanya kata dan kalimat saja. Pada Pasal 49, akad harus diartikan dengan pengertian
aslinya dan bukan kiasannya, jika teksnya telah jelas maka tak perlu diadakan penafsiran lagi.
Pasal 50 melanjutkan bahwa akad atau hasil akhir akad harus sesuai dengan maksud dan
tujuan akad, bukan hanya pada kata dan kalimat. Untuk Pasal 51 memiliki bunyi yang juga
serupa dalam Pasal 49. Lanjut di Pasal 52 disebutkan bahwa perbuatan untuk melakukan satu
kalimat lebih utama dari tidak melaksanakan kalimat itu. Sedang pada Pasal 53 dan 54
tertulis bahwa arti tersurat tidak bisa diterapkan dan pengertiannya tidak dibatasi. Terakhir
pada Pasal 55 berbunyi bahwa bila suatu akad diberikan dua pengertian, maka harus dipilih
pengertiannya sehingga akad bisa dilaksanakan. Prinsip-prinsip yang dipakai dalam ketentuan
di atas adalah kebebasan dalam menafsirkan dan legalitas hukum bila menafsirkan akad.

Beralih ke BAB IV tentang Bai’, di Bagian Pertama terdapat 6 pasal yang


menjelaskan tentang Rukun Bai’. Terdapat 3 rukun Bai’ sebagaimana tertulis dalam Pasal 56
yakni pihak-pihak, obyek, dan kesepakatan. Di Pasal 57, pihak-pihak yang terikat dalam
perjanjian jual beli terdiri atas penjual, pembeli, dan pihak lain yang terlibat pada akad
tersebut. Sedangkan menurut Pasal 58, obyek jual beli terdiri dari benda yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, yang bergerak atau yang tidak bergerak, dan yang terdaftar
maupun yang tidak terdaftar. Pasal 59 kemudian menambahkan terkait kesepakatan yang
dapat dilakukan dengan tulisan, lisan, dan isyarat serta memiliki makna hukum yang sama.
Lantas ditegaskan pada dua pasal terakhir yakni Pasal 60 dan 61 bahwa kesepakatan
dilakukan guna memenuhi kebutuhan masing-masing pihak dan ketika terjadi perubahan akad
jual beli akibat perubahan harga, maka akad terakhir lah yang dinyatakan berlaku. Dasar
hukum Islam pemberlakuan Pasal-pasal tersebut pada dasarnya adalah pendapat para ulama
fiqih seperti ulama Malikiyah dan Syafiiah yang memiliki pendapat masing-masing terkait
definisi dan rukun jual beli itu sendiri. Sedang tentang jual beli sendiri, QS. Al-Baqarah ayat
275 jelas menghalalkannya dan kemudian mengharamkan riba. Selain itu terdapat juga QS.
An-Nisa ayat 29 tentang larangan dalam memakan harta sesama kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka. Jadi, prinsip-prinsip hukum yang
berkorelasi dengan ketentuan di atas adalah prinsip kebebasan, kerelaan, kesetaraan,
kemaslahatan, dan itikad baik.

Menginjak pada Bagian Kedua, terdapat 6 Pasal juga yang bersangkutan dengan
Kesepakatan Penjual dan Pembeli. Dalam Pasal 62 disebutkan bahwasanya penjual dan
pembeli wajib menyepakati nilai obyek jual beli yang diwujudkan dengan harga. Kemudian
dalam Pasal 63 disadur juga bahwa penjual wajib menyerahkan objek jual beli sesuai harga
yang telah disepakati, dan pembeli wajib menyerahkan uang atau benda yang setara nilainya
dengan obyek jual beli. Pada Pasal 64 kemudian dijelaskan bahwa jual beli terjadi dan
mengikat saat obyek jual beli diterima pembeli meskipun tidak dinyatakan secara langsung.
Pun di Pasal 65 penjual boleh menawarkan penjualan barang dengan harga borongan atas
persetujuan pembeli dengan harga yang disepakati. Pembeli dalam Pasal 66 juga dilarang
memilah milah benda dagangan yang diperjualbelikan dengan cara borongan untuk maksud
membeli sebagian saja. Sedangkan Pasal 67 memperbolehkan penjual untuk menawarkan
beberapa jenis barang dagangan secara terpisan dengan harga berbeda. Terkait kesepakatan
ini, sebenarnya didasarkan pada pendapat mayoritas ulama di antaranya ialah ulama
Syafi’iyah yang menyebutkan bahwa Tidak sah akad jual beli kecuali dengan sighat yang
diucapkan. Selain itu, QS. Al Hasyr ayat 9 juga seringkali dijadikan dasar hukum bahwa baik
pembeli maupun penjual harus bisa memelihara diri masing-masing dari sifat kikir dan fokus
pada keuntungan yang dilebih lebihkan. Kemudian prinsip hukum yang sesuai dengan hal ini
adalah prinsip keadilan, equality, dan kerelaan satu sama lain, sehingga nanti juga tergapai
prinsip kemaslahatan/kemanfaatan. Untuk pengimplementasiannya sendiri menurut saya
sudah sangat optimal karena hal di atas sudah seolah menjadi kebiasaan di dalam konsep
bertransaksi masyarakat kita sehari hari.

Bagian Ketiga terdapat 5 Pasal yang keseluruhannya berbicara tentang Tempat dan
Syarat Pelaksanaan Bai’. Tempat jual beli dalam Pasal 68 adalah tempat pertemuan pihak-
pihak dalam melakukan akad jual beli. Pasal 69 dilanjutkan dengan hak khiyar/pilih penjual
dan pembeli selama berada di tempat jual beli, sejak ijab dilaksanakan hingga usainya
pertemuan tersebut. Pada Pasal 70, ijab menjadi batal bila di antara pihak tersebut
menunjukkan ketidakseriusan dalam mengungkapkan ijab kabul. Sedangkan Pasal 71 dan 72
menganggap ijab itu batal seandainya penjual menarik kembali pernyataan ijab sebelum
pembeli kabul, sehingga perubahan ijab sebelum kabul dapat membatalkan ijab. Kelima pasal
tersebut didasarkan pada HR. Ibnu Majah ketika Rasulullah Muhammad SAW bersabda
bahwa sesungguhnya jual beli itu berdasarkan dari adanya saling kerelaan. Artinya prinsip
kerelaan begitu utama pada Pasal-pasal ini.

Pasal 73 dan 74 kemudian memberikan klasifikasi kaitannya dengan Bai’ dengan


Syarat Khusus. Di Pasal 73, syarat khusus yang dikaitkan dengan akad jual beli dikatakan sah
dan mengikat hanya bila menguntungan pihak-pihak. Demikian Pasal 74 tertulis bahwa bila
jual beli bersyarat hanya menguntungkan salah satu pihak maka jual belinya sah tapi
persyaratannya batal. Hal ini sesuai dan berdasar hukum pada QS. Fatir ayat 29 bahwa
“Mereka itu mengharapkan tijarah yang tidak akan rugi.”. Prinsip yang terpakai dalam aturan
ini ialah tauhid, persamaan/kesetaraan, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam praktiknya,
seringkali masih ditemui pedagang maupun pembeli yang ingin mengambil untung sendiri
tanpa menghiraukan pihak lain. Misalnya pembeli membeli dengan uang palsu, penjual yang
mencurangi barang dagangan, dsb.

Pasal 75 berkaitan dengan Berakhirnya Akad Bai’ yakni penjual dan pembeli yang
mengakhiri akad antara para pihak, dilakukan dalam satu rangkaian forum, dan berakhir
ketika terjadi pembayaran dan penyerahan uang. Kemudian untuk Bagian Keenam terdapat
tiga Pasal yakni Pasal 76, 77, dan 78 tentang Objek Bai’. Pada Pasal 76 dijelaskan bahwa
syarat-syarat obyek yang dapat diperjualbelikan ialah barang yang nyata adanya, dapat
diserahkan, memiliki nilai, halal, diketahui pembeli, sifat barang juga diketahui pembeli, serta
barang tersebut harus pasti ada pada waktu akad berlangsung, Kemudian Pasal 77 tertulis
bahwa jual beli dapat dilakukan terhadap barang yang terukur, dapat ditakar atau ditimbang,
serta satuan komponen dari barang itu sudah dipisah dari komponen yang telah terjual. Lantas
di Pasal 78, beberapa hal yang termasuk ke dalam jual beli meski tidak disebutkan secara
tegas pada akad misalnya dalam proses jual beli menurut adat, sesuatu yang dianggap bagian
dari satu barang yang dijual, bagian dari benda yang dijual, dan tambahan hasil dari barang
yang dijual akan muncul seusai akad berlaku dan sebelum serah terima dan sah menjadi milik
pembeli. Hal ini kemudian sesuai dengan prinsip kerelaan dan kesepakatan antar pihak yang
mana kemudian ini juga sesuai dengan HR. Ibnu Majah yang sempat disinggung di awal tadi
bahwa Nabi Muhammad SAW memrioritaskan kerelaan.

Di Bagian Ketujuhterkait Hak yang Berkaitan dengan Harga dan Barang Setelah
Akad Bai’. Pasal 79 menegaskan bahwa penjual punya hak dalam mentasharufkan harga
barang yang dijual sebelum menyerahkan barang itu. Lalu apabila barang yang dijual tadi
tergolong tidak bergerak pembeli bisa langsung menjualnya ke pihak lain sebelum
penyerahan barang tersebut. Kemudian di Pasal 80, penambahan dan pengurangan harga
serta jumlah barang yang dijual selepas akad dapat diselesaikan sesuai kesepakatan para
pihak. Hal ini memuat prinsip hukum kemaslahatan dan kebebasan dalam bertransaksi
dimana pembeli bahkan bebas menjual barang tidak bergerak sebelum diterimanya.
Implementasi terhadap Pasal ini saya rasa cukup efektif dan sering saya temui di sekitar saya
sebagai bagian dari implikasi positif terciptanya kepatuhan dan ketertiban hukum atas
ketentuan ini.

KEPUSTAKAAN:

Dahrul Muftadin, Dasar-dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapannya Dalam


Transaksi Syariah, Jurnal Al Adl, Vol. 11, No. 1, Januari 2018.
KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH PASAL 81-131

ARISTA HAJAH DWI PAMUNGKAS (12103193064)

Definisi :

Kompilasi Hukum Ekonomi syariah (KHES) adalah usaha atau kegiatan yang
dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau
tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak
komersial menurut prinsip syariah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) adalah salah
suatu bentuk positivisasi hukum Islam dengan beberapa pengadaptasian terhadap konteks
kekinian dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kehadiran KHES
adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi ketersediaan sumber hukum terapan Peradilan
Agama di bidang ekonomi syariah pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Sehingga tidak ada alasan lagi bagi hakim untuk tidak menangani sengketa ekonomi syariah
dengan dalih tidak ada peraturannya.
Secara keseluruhan, KHES sudah dapat digunakan sebagai pedoman baku di
lingkungan peradilan agama, tetapi masih banyak yang perlu dibenahi dan disempunakan,
baik berkaitan dengan istilah-istilah maupun klausul-klausul dalam KHES itu sendiri yang
tak sedikit masih multi interpretable, sehingga dikhawatirkan akan muncul ketidakpastian
hukum akibat adanya klausul-klausul yang tidak jelas tersebut, oleh karena itu kritik dan
penyempurnaan tersebut juga harus dilakukan untuk mengkaji ulang istilah-istilah yang
terdapat pada sistem ekonomi berbasis Islam. Secara sosiologis, KHES disusun sebagai
respon terhadap perkembangan baru dalam hukum mu’amalat dalam bentuk praktek-praktek
ekonomi Syari’ah melalui LKS-LKS yang memerlukan payung hukum. Secara
konstitusional, KHES disusun sebagai respon terhadap UU No. 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA), yang memperluas
kewenangan PA, seperti Hukum Ekonomi Syari’ah. Dengan kata lain, KHES merupakan
upaya ”positifisasi” hukum muamalat dalam kehidupan umat Islam di Indonesia yang secara
konstitusional sudah dijamin oleh sisitem konstitusi Indonesia. KHES juga bagian dari
produk ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i) karena melibatkan banyak kalangan (ahli).
Dalam ijtihad jama’i tidak mengharuskan semua orang telah menguasai hukum Islam atau
memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, tetapi cukup menguasai dalam bidangnya. Hanya
saja, dalam penyusunan KHES hanya mengakomodir sebagian kecil umat Islam dan para
pakar, berbeda dalam penyusunan KHI sebelumnya.

KHES Pasal 81-131

Pada pasal 81 - 90 ini berisi tentang serah terima barang, dimana setelah akad di
lakukan pembeli wajib membayar barang dan penjual wajib menyerahkan barangnya. Dalam
pembayaran tunai, penjual berhak menahan barang sampai pembeli membayar keseluruhan
harga yang telah disepakati. penjualan secara borongan, penjual berhak menahan sebagian
atau seluruh barang yang belum dilunasi tanpa mengubah harga dari setiap jenis barang dan
Apabila pembeli telah menerima barang dan harganya telah disepakati, kemudian barang itu
rusak atau hilang, maka ia harus membayar harga barang tersebut. Dalam penjelasan tersebut
penjual juga mempunyai hak Hak penahanan barang hilang ketika penjual menyerahkan
barang yang dijualnya sebelum menerima pembayaran, hak penahanan barang hilang ketika
penjual mengalihkan hak untuk menerima pembayaran harga barang yang dijual dari pembeli
kepada orang lain dengan persetujuan pembeli mengenai pengalihan hak ini. Barang yang
sudah dijual melalui akad tanpa syarat harus diserahkan pada tempat barang itu berada pada
saat jual-beli berlangsung.Pembeli memiliki hak memilih untuk membatalkan akad atau
menerima barang di tempat barang itu berada pada saat akad jual beli, apabila ia baru
menerima informasi mengenai tempat barang tersebut setelah selesai proses akadnya. Apabila
pembeli jatuh pailit setelah menerima barang yang dibelinya kemudian meninggal dunia
sebelum membayarnya, maka penjual boleh menuntut ahli waris pembeli untuk
mengembalikan barang yang telah dijualnya. Apabila pembeli meninggal dan jatuh pailit
sebelum penerimaan barang yang dibeli dan sebelum pembayaran, maka penjual mempunyai
hak untuk menahan barangnya. Ahli waris pembeli dapat meneruskan atau membatalkan jual
beli yang telah dilakukan pembeli.

Pada pasal 91-99 disini di jelaskan tentang akibat Bai'. Bai' sendiri yaitu jual-beli yang
sah dan mengikat berakibat berpindahnya kepemilikan objek jual beli. Dalam pasal ini di
jelaskan tidak sah nya jual beli karena barang yang telah diterima pembeli dalam jual beli
adalah barang titipan.Dalam jual-beli yang belum menimbulkan hak dan kewajiban (ghayr
lazim ), penjual dan pembeli memiliki hak pilihan (khiyar) untuk membatalkan jual-beli
itu.Jual-beli yang dilakukan oleh pihak yang tidak cakap hukum adalah sah apabila mendapat
izin dari pemilik barang atau wakilnya. Dalam jual-beli yang fasad, masing-masing pihak
mempunyai hak untuk membatalkan akad jual beli. Apabila pembeli telah mengubah barang
yang telah diterimanya maka ia tidak punya hak untuk membatalkan akad jual beli.Dalam hal
pembatalan jual-beli fasad, apabila harga telah dibayar dan diterima oleh penjual, maka
pembeli mempunyai hak untuk menahan barang yang dijual sampai penjual mengembalikan
uangnya.

Pada pasal 100-103 menjelaskan tentang bai' salam yaitu jual beli yang terikat dengan
ijab qabul seperti penjualan biasa dilakukan dengan kebiasaan dan kepatutan. Bai’salam
dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan kualitas barang sudah jelas.Kuantitas barang
dapat diukur dengan takaran atau timbangan dan/atau meteran. Spesifikasi barang yang
dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.Bai’ salam harus memenuhi syarat
bahwa barang yang dijual, waktu, dan tempat penyerahan dinyatakan dengan jelas. Dalam
sistem pembayaran Pembayaran barang dalam bai’ salam dapat dilakukan pada waktu dan
tempat yang disepakati.

Pada pasal 104-108 menjelaskan tentang bai' istishna. Pasal ini menjelaskan bahwa Bai
istishna dapat dilakukan pada barang yang dapat di pesan. Dalam bai’ istisna, identifikasi dan
deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesan.Pembayaran dalam bai’ istisna
dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati.Setelah akad jual-beli pesanan mengikat,
tidak satu pihak pun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah
disepakati.Apabila objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasinya, maka
pemesan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan
pesanan.

Pada pasal 109-111 menjelaskan tentang Bai’ yang Dilakukan oleh Orang yang Sedang
Menderita Sakit Keras. Apabila orang yang sedang menderita sakit keras menjual suatu
barang kepada salah seorang ahli warisnya, maka keabsahan jual-beli itu bergantung pada
izin dari ahli waris yang lain, dan Apabila seseorang yang sedang menderita sakit keras
menjual suatu barang kepada pihak lain yang tidak termasuk ahli warisnya dengan harga
yang sesuai dengan nilai barang tersebut, maka jual-beli itu sah.Apabila orang yang sedang
menderita sakit keras menjual suatu barang kepada salah seorang ahli warisnya, maka
keabsahan jual-beli itu bergantung pada izin dari ahli waris yang lain. Apabila jumlah
kekayaan seseorang yang sakit kurang dari jumlah utangnya, dan menjual seluruh
kekayaannya dengan harga yang lebih rendah, kemudian orang itu meninggal, maka para
pemberi pinjaman dapat meminta untuk menyesuaikan harga jual barang tersebut sesuai
harga yang sebenarnya. Apabila pembeli tidak mau melakukan penyesuaian harga barang
maka para pemberi pinjaman dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk
membatalkan penjualan tersebut.

Pada pasal 112-115 bai' Wafa yang artinya Barang dalam jual-beli yang bergantung
pada hak penebusan, barang tidak boleh dijual kepada pihak lain, baik oleh penjual maupun
oleh pembeli, kecuali ada kesepakatan di antarapara pihak. Kerusakan barang dalam jual-beli
dengan hak penebusan adalah tanggung jawab pihak yang menguasainya. Penjual dalam jual-
beli dengan hak penebusan berhak untuk membeli kembali atau tidak terhadap barang yang
telah rusak. Dalam jual-beli yang bergantung pada hak penebusan, penjual dapat
mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan menuntut barangnya
dikembalikan.Pembeli berkewajiban mengembalikan barang dan menuntut uangnya kembali
seharga barang itu.

Pada pasal 116-124 menjelaskan tentang bai' murabhahah yang artinya Pembeli harus
membayar harga barang yang telah disepakati dalam murabahah pada waktu yang telah
disepakati.Pihak penjual dalam murabahah dapat mengadakan perjanjian khusus dengan
pembeli untuk mencegah terjadinya penyalah gunaan akad.Apabila penjual hendak
mewakilkan kepada pembeli untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual-beli
murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip sudah menjadi milik penjual.
Apabila penjual menerima permintaan pembeli akan suatu barang atau aset, penjual harus
membeli terlebih dulu aset yang dipesan tersebut dan pembeli harus menyempurnakan jual-
beli yang sah dengan penjual. Penjual boleh meminta pembeli untuk membayar uang muka
saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan dalam jual-beli murabahah. Apabila
pembeli kemudian menolak untuk membeli barang tersebut, biaya riil penjual harus dibayar
dari uang muka tersebut. Apabila nilai uang muka dari pembeli kurang dari kerugian yang
harus ditanggung oleh penjual, penjual dapat menuntut pembeli untuk mengganti sisa
kerugiannya. Sistem pembayaran dalam akad murabahah dapat dilakukan secara tunai atau
cicilan dalam kurun waktu yang disepakati. Dalam hal pembeli mengalami penurunan
kemampuan dalam pembayaran cicilan, maka ia dapat diberi keringanan.Keringanan dapat
diwujudkan dalam bentuk konversi dengan membuat akad baru dalam penyelesaian
kewajiban.

Pada pasal 125- 131 menjelaskan tentang konversi akad murabahah disini dijelaskan
bahwa Penjual dapat melakukan konversi dengan membuat akad baru bagi pembeli yang
tidak bisa melunasi pembiayaan murabahah-nya sesuai jumlah dan waktu yang telah
disepakati.Penjual dapat memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada
pembeli dalam akad murabahah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya
dengan tepat waktu dan/atau pembeli yang mengalami penurunan kemampuan
pembayaran.Besar potongan diserahkan pada kebijakan penjual. Penjual dapat melakukan
penjadwalan kembali tagihan murabahah bagi pembeli yang tidak bisa melunasi sesuai
dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati dengan ketentuan: 1. tidak menambah jumlah
tagihan yang tersisa 2. pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya
riil 3.perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan para pihak. Lembaga
Keuangan Syariah boleh melakukan konversi dengan membuat akad baru bagi nasabah yang
tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang
telah disepakati, dengan syarat yang bersangkutan masih prospektif. Akad murabahah dapat
diselesaikan dengan cara menjual obyek akad kepada Lembaga Keuangan Syariah dengan
harga pasar, atau nasabah melunasi sisa utangnya kepada Lembaga Keuangan Syariah dari
hasil penjualan obyek akad. Apabila hasil penjualan obyek akad murabahah melebihi sisa
utang, maka kelebihan itu dikembalikan kepada peminjam / nasabah.Apabila hasil penjualan
lebih kecil dari sisa utang, maka sisa utang tetap menjadi utang nasabah yang harus dilunasi
berdasarkan kesepakatan.

Dasar hukum :

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah .

Prinsip hukum:

Prinsip hukum dari kompilasi hukum ekonomi syariah yaitu di lihat dari segi manfaat nya
dapat memudahkan kita untuk bertransaksi jual beli dengan jujur dan ber komitmen yang
baik.

Contoh atau praktek lapangan KHES :

Contoh nya seperti berdirinya bank Muamalat Indonesia dan lembaga keuangan Syariah.
pada tahun 1990, kemudian disusul oleh lembaga keuangan syari’ah (LKS) lainnya setelah
melihat prospek dan ketangguhan LKS seperti BMI ketika melewati krisis ekonomi nasional
sekitar tahun 1998. Belakangan, perkembangan

Kritik atau saran:


Karena berbentuk kompilasi, aturan itu harus mencakup banyak ragam ekonomi syariah. Tak
sekedar soal perbankan syariah, tapi juga soal wakaf, zakat, dan praktik ekonomi syariah
lainnya.

Sumber Referensi :

Manan, Abdul. 2007. “Informasi tentang Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
Mahkamah Agung RI”, makalah dipresentasikan dalam “Seminar Nasional Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah” Kerjasama Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara dengan
Mahkamah Agung RI, Medan, 27 Oktober 2007.

Hazairin. 1974. Tujuh Serangkai tentang Hukum. Jakarta: Tinta Mas Indonesia.

Hoeker, M.B. 1978. Adat Law in Modern Indonesi. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Rais, Isnawati. 1999. “Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim (Suatu Studi tentang
Pengembangan Hukum Islam di Indonesia)”. Disertasi. Jakarta: Doktor PPS IAIN
Syarif Hidayatullah.

Ahmad SF, Amrullah. 1417/1996. Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Jakarta:
Gema Insani Press.

Ali, Muhammad Daud. 1993. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di
Indonesia, cet. 3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Rosada.
RESUME

PASAL 132 HINGGA PASAL 182 KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

ANDHIKA BAYU PRATAMA (12103193096)

Definisi:

Usaha yang dilakukan oleh orang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat nilai
tinggi dan kecil berdasarkan prinsip syariah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah adalah
penyusunan atau pengumpulan atau penghimpunan berbagai aturan, putusan atau ketetapan
yang berkaitan dengan ekonomi syariah. KHES merupakan bentuk posistifisasi dari produk
hukum fikih muamalat Indonesia yang dijamin oleh system konstitusi Negara kita. KHES
Saat masih menjadi produk pemikiran hukum fikih, statusnya masih belum mengikat
terhadap kaum muslimin di Indonesia, namun nantinya jika dijadikan hukum positif atau
setidaknya dijadikan sebagai bahan hukum materiil oleh hakim, maka statusnya menjadi
mengikat. KHES dapat dijadikan sebagai pertimbanagn hakim dalam memutuskan perkara
hukum alias berperan sebagai sumber hukum materiil apabila hakim menggunakannya.
Hanya saja perbedaaannya adalah pada cakupan materinya jika KHES lebih pada
pembahasan hukum ekonomi syariah, atau hukum bisnis ssyariah (muamalah maaliyyah),
sedangkan KHI membahasa Hukum keluarga (akhwal syakhsiyyah).

KHES Pasal 132-182

Pasal 132 sampai Pasal 133 merupakan lanjutan dari pasal sebelumnya yang
menjelaskan tentang konversi akad murabahah bahwa Penjual dapat melakukan konversi
dengan membuat akad baru bagi pembeli yang tidak bisa melunasi pembiayaan murabahah-
nya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati.Penjual dapat memberikan potongan dari
total kewajiban pembayaran kepada pembeli dalam akad murabahah yang telah melakukan
kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan/atau pembeli yang mengalami
penurunan kemampuan pembayaran.Besar potongan diserahkan pada kebijakan penjual.
Lembaga Keuangan Syariah boleh melakukan konversi dengan membuat akad baru bagi
nasabah yang tidak bisa melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang
telah disepakati, dengan syarat yang bersangkutan masih berlaku atau masih ada.

KHES Pasal 134 sampai Pasal 145


Selanjutnya pasal 134 sampai pasal 145 pada pasal ini menjelaskan tentang
shirkah.Shirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebihuntuk suatu usaha tertentu
di mana setiap pihak memberikankontribusi dana/modal usaha (ra's al-mal) dengan ketentuan
bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau secaraproporsional, sedangkan
kerugian ditanggung oleh para pihak secara bersama.Dalam pasal ini juga di jelaskan Syirkah
dapat dilakukan dalam bentuk syirkah amwal, syirkah abdan, dan syirkah wujuh. Kerjasama
dapat dilakukan antara dua pihak pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama
dengan jumlah modal yang tidak sama, masing-masing pihak berpartisipasti dalam
perusahaan, dan keuntungan atau kerugian dibagi sama atau atas dasar proporsi modal.
Kerjasama dapat dilakukan antara dua pihak pemilik modal atau lebih untuk melakukan
usaha bersama dengan jumlah modal yang sama dan keuntungan atau kerugian dibagi
sama.Kerjasama dapat dilakukan antara dua pihak atau lebih yang memiliki keterampilan
untuk melakukan usaha bersama.Selanjutnya Pembagian keuntungan dalam syirkah al-wujuh
ditentukan berdasarkan kesepakatan. Selain itu menjelaskan tentang Benda yang tidak laku
dijual, dikembalikan kepada pihak pemilik.Apabila barang yang diniagakan rusak karena
kelalaian pihak pedagang, maka pihak pedagang wajib mengganti kerusakan tersebut. Setiap
anggota syirkah mewakili anggota lainnya untuk melakukan akad dengan pihak ketiga,
Masing-masing anggota syirkah bertanggung jawab atas risiko yang diakibatkan oleh akad
yang dilakukannya dengan pihak ketiga.Lalu menjelaskan tentang Akad kerjasama dengan
saham yang sama, terkandung syarat suatu akad jaminan/kafalah.Syirkah dengan saham yang
tidak sama, hanya termasuk akad keagenan/wakalah, dan tidak mengandung akad
jaminan/kafalah.Akad yang tidak disertai dengan jaminan tidak berakibat saling menjamin.

KHES Pasal 146 sampai pasal 147

Pasal ini menjelaskan tentang syirkah amwal.Syirkah amwal adalah persekutuan


antara dua pihak pemodal atau lebih dalam usaha tertentu dengan mengumpulkan modal
bersama dan membagi keuntungan dan resiko kerugian berdasarkan kesepakatan.Selain itu
Dalam kerjasama modal, setiap anggota syirkah harus menyertakan modal berupa uang tunai
atau barang berharga.Apabila kekayaan anggota yang akan dijadikan modal syirkah bukan
berbentuk uang tunai, maka kekayaan tersebut harus dijual dan atau dinilai terlebih dahulu
sebelum melakukan akad kerjasama.

KHES Pasal 148 sampai pasal 164


Pasal ini menjelaskan tentang syirkah abdan.Syirkah abdan adalah bentuk kerjasama
antara dua orang yang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama-sama dan berbagi
keuntungan dari pekerjaan itu.Selain itu juga menjelaskan tentang jaminan, Jaminan boleh
dilakukan terhadap akad kerjasama- pekerjaan. Dalam hal pembagian tugas,Pembagian tugas
dalam akad kerjasama-pekerjaan, dilakukan berdasarkan kesepakatan. Semua pihak yang
terikat dalam syirkah abdan wajib melaksanakan pekerjaan yang telah diterima oleh anggota
syirkah lainnya.Semua pihak yang terikat dalam syirkah abdan dianggap telah menerima
imbalan apabila imbalan tersebut telah diterima oleh anggota syirkah lain. Pembagian
keuntungan dalam akad kerjasama-pekerjaan dibolehkan berbeda dengan pertimbangan salah
satu pihak lebih ahli. Kesepakatan pembagian keuntungan dalam akad kerjasama- pekerjaan
didasarkan atas modal dan atau kerja.Para pihak yang melakukan akad kerjasama-pekerjaan
boleh menerima uang muka.Penjamin dalam akad kerjasama-pekerjaan dibolehkan menerima
sebagian imbalan sebelum pekerjaannya selesai.Para pihak yang tidak menjalankan pekerjaan
sesuai dengan kesepakatan dalam akad kerjasama-pekerjaan, harus mengembalikan uang
muka yang telah diterimanya.Hasil pekerjaan dalam transaksi kerjasama-pekerjaan yang tidak
sama persis dengan spesifikasi yang telah disepakati, diselesaikan secara musyawarah.

KHES Pasal 165 sampai 172

Pasal ini menjelaskan atau menggambar tentang Syirkah Mufawadhah.Syirkah


Mufadhah adalah kerjasama yang di mana modal semua pihak dan bentuk kerja sama yang
mereka lakukan baik kualitas dan kuantitas harus sama dan keuntungan dibagi rata. Perbuatan
hukum yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad kerjasama-mufawwadhah dapat
berupa pengakuan utang, melakukan penjualan, pembelian, dan atau penyewaan.Perihal
benda yang rusak, Benda yang rusak yang telah dijual oleh salah satu pihak anggota akad
kerjasama-mufawwadhah kepada pihak lain, dapat dikembalikan oleh pihak pembeli kepada
salah satu pihak anggota syirkah. Kerjasama-mufawwadhah disyaratkan tiap anggota syirkah
harus sama, baik dalam modal maupun hasil.Penjelasan lain Setiap anggota dalam akad
kerjasama-mufawwadhah dilarang menambah harta dalam bentuk modal (uang tunai atau
harta tunai) yang melebihi dari modal kerjasama.

KHES pasal 173 sampai pasal 177

Pasal ini menjelasakan tentang syirkah ‘inan.Syirkah ‘inan adalah bentuk kerjasama
antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi berupa kerja (amal) dan
modal (mal).Dalam syirkah ‘inan Pembagian keuntungan dan atau kerugian dalam kerjasama
modal dan kerja ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Akad syirkah ‘inan dapat dilakukan
pada perniagaan umum dan atau perniagaan khusus. Nilai kerugian dan kerusakan yang
terjadi bukan karena kelalaian para pihak dalam syirkah al-‘inan, wajib ditanggung secara
proporsional.Keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ‘inan dibagi secara proporsional.

KHES pasal 178 sampai 182

Pasal ini menjelaskan tentang syirkah musytarakah. Syirkah musytarakah adalah


bentuk kerjasama dari usaha kemitraan yang di dalamnya terdapat bagi hasil di mana dua
pihak atau lebih menggabungkan modal atau tenaga dalam melakukan usaha, dengan proporsi
pembagian profit sesuai porsi tanggungjawab. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara
para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal.Dalam Syirkah
musytarakah, Dalam kerjasama modal yang disertai dengan kerjasama pekerjaan, maka
pekerjaan dinilai berdasarkan porsi tanggungjawab dan prestasi.Setiap pihak yang melakukan
kerjasama berhak menjual harta bersama untuk mendapatkan uang tunai atau cicilan, sesuai
harga pasar.Apabila salah satu pihak yang bekerjasama menggunakan modal syirkah untuk
membeli benda yang sejenis dengan benda yang mereka perniagakan, maka benda itu
menjadi benda syirkah.

Dasar Hukum:

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah .

Prinsip hukum:

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah memudahkan kita dalam berniaga atau bertransaksi
dengan benar,baik dan jujur

Contoh atau praktek lapangan KHES :

Ada dua orang sahabat mendirikan toko kelontong. Masing-masing memberikan kontribusi
modal uang yang jumlahnya sama. Keuntungan dan kerugian dibagi sama. Mereka
menjualnya dan membagi keuntungan 50%

Kritik atau saran:

Seharusnya harus lebih luas lagi dalam hal aturannya dan pembahasannya harus beragam lagi
Sumber Referensi :

Ahmad, Idris. 1986. Fiqh al-Syafi’iyah, Jakarta: Karya Indah

Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muamalah. Rajawali Press, Jakarta. Cetakan Ketujuh.

Qardawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. GIB. Jakarta.

Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Jaya Media Pratama. 2000

Syafe’i, Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2004

https://id.wikipedia.org/wiki/Musyarakah
RESUME KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH PASAL 183-233

ANDRE BAGUS PRASETYO (12103193077)

Pasal 183

(1) Apabila salah satu pihak yang bekerjasama yang telah melakukan transaksi, menunjuk
orang lain untuk menjadi wakilnya agar menerima uang dan atau surat berharga lainnya dari
harta yang dijual, maka pihak lain tidak dapat memecat wakil itu.

(2) Hanya pihak yang menunjuk yang berhak memecat wakil yang ditunjuknya.

(3) Pemecatan wakil oleh pihak lain yang bekerjasama dapat dilakukan apabila telah
menerima pendelegasian dari pihak lain yang berhak.

Pasal 184

Tidak satu pihak pun yang boleh meminjamkan harta syirkah kepada pihak ketiga tanpa izin
dari anggota syirkah lainnya.

Pasal 185

Biaya perjalanan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang bekerjasama untuk kepentingan
usaha bersama, dibebankan pada biaya syirkah.

Pasal 186

Setiap pihak anggota syirkah boleh menggadaikan harta syirkah atau menerima harta gadai;
mengembangkan usaha dengan barang syirkahnya ke luar negeri; dan membuat kerjasama
dengan pihak ketiga, dengan izin semua pihak yang bekerjasama.

Pasal 187

Syirkah milk/hak milik bersama atas harta dengan kepemilikan penuh terjadi apabila ada dua
pihak atau lebih, bergabung dalam suatu kepemilikan atas harta tertentu.

Pasal 188
Apabila terjadi kehilangan sebagian dari hak m ilik bersama atas harta dengan kepemilikan
penuh, maka bagian kepemilikan dari sisa hak milik tersebut ditentukan berdasarkan
prosentase awal masing-masing pemilik.

Pasal 189

Hak milik bersama atas harta dengan kepemilikan penuh terbagi atas syirkah ikhtiyari/hak
milik bersama secara sukarela dan syirkah ijbari/hak milik bersama bukan karena usaha
manusia.

Pasal 190

(1) Syirkah ikhtiyari terjadi karena adanya kehendak untuk melakukan perbuatan dari para
pemilik sendiri.

(2) Syirkah ijban' terjadi bukan karena adanya kehendak untuk melakukan perbuatan dari
para pemilik sendiri.

Pasal 191

Hak milik bersama melahirkan adanya tanggung jawab bersama dari para pihak.

Pasal 192

Hak milik bersama atas harta dengan kepemilikan sempurna terdiri atas hak milik bersama
atas harta dan hak milik bersama atas piutang.

Pasal 193

Pemanfaatan syirkah milk dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

Pasal 194

Tidak satu pihak pun dari para pemilik syirkah milk dapat memaksa pihak-pihak lain untuk
menjual atau membeli sahamnya.

Pasal 195

(1) Hasil yang diperoleh dari harta m ilik bersama dengan kepemilikan penuh harus dibagi di
antara para pihak secara proporsional.
(2) Perubahan pembagian saham hanya dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan masing-
masing pihak.

Pasal 196

(1) Para pemilik harta bersama dengan kepemilikan penuh, ditinjau dari segi kepemilikan
sahamnya, hanya dapat bertindak untuk dirinya sendiri.

(2) Tindakan untuk atas nama pemilik yang lain hanya bisa terjadi setelah ada izin dari
pemilik yang lain tersebut.

Pasal 197

Apabila satu pihak menyewakan harta milik bersama, maka ia wajib membayar hasil ijarah
kepada pihak lainnya secara proporsional.

Pasal 198

Pemanfaatan syirkah milk oleh salah satu pihak pemilik hanya boleh dilakukan apabila tidak
menyebabkan perubahan nilai manfaat pada hak milik bersama tersebut dan setelah ada izin
dari pihak lainnya.

Pasal 199

(1) Salah satu pihak pemilik bersama tidak boleh mengubah peruntukan harta milik bersama
tanpa persetujuan pemilik lainnya.

(2) Apabila dalam keadaan memaksa untuk merubah peruntukan, sementara tidak semua
pemilik bersama dapat memberikan persetujuan, maka hakim dapat bertindak untuk atas
nama pemilik yang tidak dapat memberikan persetujuan tersebut.

Pasal 200

Apabila salah satu pihak pemilik bersama dititipi harta milik bersama, maka ia bertanggung
jawab atas keamanan harta milik bersama tersebut.

Pasal 201

(1) Penjualan saham dari harta yang tidak tercampur bisa dilakukan oleh salah satu pihak
pemilik bersama tanpa adanya persetujuan pihak lainnya.
(2) Penjualan saham dari harta yang tercampur hanya bisa dilakukan oleh salah satu pihak
dari pemilik bersama setelah adanya persetujuan pihak-pihak lainnya.

Pasal 202

Apabila seseorang dari sejumlah ahli waris, tanpa seizin yang lainnya, mengambil dan
menggunakan sejumlah uang dari harta yang belum dibagikan, maka ia harus menanggung
segala kerugian akibat perbuatannya itu.

Pasal 203

Apabila salah satu pihak atau lebih meminjamkan harta warisan yang menjadi hak milik
bersama kepada pihak lain, maka piutang itu menjadi hak milik bersama.

Pasal 204

Piutang dari seorang yang meninggal merupakan hak milik bersama para ahli warisnya sesuai
dengan bagiannya masingmasing.

Pasal 205

Utang pengganti kerugian akibat salah satu pihak merusak harta bersama, maka utang
ditanggung oleh para pemilik.

Pasal 206

(1) Apabila harta milik bersama dijual dan pembayarannya ditangguhkan, maka sejumlah
uang yang harus dibayarkan oleh pembeli menjadi piutang bersama.

(2) Apabila harta milik bersama dijual dan disebutkan bagian masing-masing pem ilik, maka
masing-masing pihak memiliki piutang masing-masing dari pembeli.

Pasal 207

Salah satu pemilik piutang bersama dapat meminta dan menerima pembayaran untuk
bagiannya sepdiri, secara terpisah, dari yang berutang.

Pasal 208

Pembayaran yang diterima oleh salah satu pihak dari piutang yang dimiliki bersama, menjadi
hak milik bersama.
Pasal 209

(1) Apabila satu pihak pemilik piutang bersama membeli sesuatu dari yang berutang seharga
sahamnya maka pemilik lainnya tidak menjadi pemilik harta yang dibeli

tersebut.

(2) Pemilik lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas dapat menuntut kerugian senilai
sahamnya bila harga harta yang dibeli melebihi harga saham miliknya.

Pasal 210

Apabila salah satu pihak pemilik piutang bersama melakukan shulh dengan yang berutang
mengenai bagiannya, maka pemilik lainnya tetap menerima bagiannya senilai sahamnya
masing-masing.

Pasal 211

(1) Apabila salah satu pihak pemilik piutang bersama menerima bagiannya dari yang
berutang , dan secara tidak sengaja rusak ketika berada di tangannya, maka ia tidak
bertanggung jawab untuk mengganti kerugian berkaitan dengan saham pemilik lainnya.

(2) Sisa utang yang belum dibayar oleh yang berutang adalah milik pemilik lainnya.

Pasal 212

(1) Apabila salah satu pihak pemilik piutang bersama mempekerjakan yang berutang dengan
upah yang diperhitungkan dari sahamnya, maka pemilik lainnya dapat menuntut bagiannya
sesuai dengan sahamnya dari sejumlah upah yang diberikan.

(2) Sisa piutang dari yang berutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi piutang
bersama.

Pasal 213

Apabila satu pihak pemilik piutang bersama membebaskan utang yang berutang sesuai
dengan sahamnya, maka sisa utang wajib dibayar oleh pemilik saham lainnya.

Pasal 214
Para pihak pemilik piutang bersama tidak boleh memperpanjang atau memperpendek tanggal
pembayaran tanpa ada kesepakatan dari pihak lainnya.

Pasal 215

Pemisahan hak milik bersama dapat dilakukan selama dapat dihitung ukurannya dengan
penetapan pembagian atau pertukaran.

Pasal 216

(1) Pemisahan dengan cara pembagian dilakukan pada harta yang sama jenisnya atau yang
dapat dijumpai di pasar.

(2) Setiap pemilik bersama dari harta-harta milik bersama yang sama jenisnya bisa
mengambil bagiannya dengan memberitahukan pemilik lainnya.

(3) Pembagian pada ayat (2) di atas belum sempurna sampai bagian saham milik pemilik
yang tidak ada di tempat diserahkan kepadanya.

(4) Apabila bagian pemilik lain yang tidak ada di tempat itu rusak sebelum diserahkan
kepadanya, maka bagian yang telah diterima oleh pemilik yang telah menerima menjadi milik
bersama.

Pasal 217

(1) Dalam hal harta yang jenisnya tidak dapat dijumpai dipasar, maka pemisahan dilakukan
dengan cara pertukaran dan bisa dilangsungkan melalui kesepakatan di antara para pihak.

(2) Untuk pertukaran yang disebutkan pada ayat (1) di atas, salah satu pihak dari para pemilik
bersama tidak berhak mengambil bagiannya bila pemilik lainnya tidak ada di tempat atau
tidak ada izin.

Pasal 218

Pemisahan dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan atau ketetapan pengadilan.

Pasal 219

Pemisahan hak milik bersama hanya dapat dilakukan pada harta yang berwujud dengan status
kepemilikan sempurna.
Pasal 220

Pemisahan harus dilakukan setelah bagian sahamnya diidentifikasi dan bisa dibedakan.

Pasal 221

Pemisahan harus dilakukan sesuai dengan saham yang dimiliki masing-masing pemilik.

Pasal 222

Pemisahan berdasarkan kesepakatan harus dinyatakan para pemilik baik dengan lisan, tulisan,
atau isyarat.

Pasal 223

Pemisahan berdasarkan penetapan pengadilan dapat dilakukan atas adanya permohonan salah
satu pihak atau para pihak.

Pasal 224

Pemisahan dapat dilakukan terhadap harta yang manfaatnya tidak boleh hilang dengan
adanya pemisahan tersebut.

Pasal 225

Pemisahan tidak boleh merugikan pihak lainnya atau pihakpihak yang memiliki hak manfaat
atas hak milik bersama tersebut.

Pasal 226

Hak milik bersama yang dapat diukur dipisahkan berdasarkan ukuran.

Pasal 227

Hak milik bersama yang tidak dapat diukur dipisahkan berdasarkan nilainya.

Pasal 228

Apabila salah satu pihak dari pemilik menggunakan hak milik bersama, maka ia wajib
mengganti kerugian untuk diserahkan kepada para pemilik lainnya sesuai dengan sahamnya,
apabila penggunaan tersebut menimbulkan kerugian.

Pasal 229
Apabila salah satu pemilik merusak hak milik bersama, maka ia wajib mengganti kerugian
untuk diserahkan kepada para pemilik lainnya sesuai dengan sahamnya.

Pasal 230

Apabila salah satu pihak pem ilik menerima pembayaran piutang bersama kemudian
menghilangkannya, maka lainnya dapat menuntut ganti rugi.

Pasal 231

(1) Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan atau barang yang berharga kepada pihak lain
untuk melakukan kerjasama dalam usaha.

(2) Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang disepakati.

(3) Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad.

Pasal 232

Rukun kerjasama dalam modal dan usaha adalah:

a. shahib al-mal/pemilik modal;

b. mudharib/pelaku usaha; dan

c. akad.

Pasal 233

Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan dapat bersifat mutlak/bebas dan
muqayyad/terbatas pada bidang usaha tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu.
KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH PASAL 234-284

AHMAD DZAKY ALFARES (12103193099)

BAB VIII

MUDHARABAH

Bagian Pertama

Syarat dan Rukun Mudharabah

 Pengertian Mudharabah

Mudharabah merupakan sebuah kegiatan kerjasama antara dua pihak atau lebih.
Pemilik modal dalam mudharabah ini memberikan kepercayaan sejumlah modal kepada
pengelola dengan perjanjian dari awal.

 Pasal 234
Pasal 234 menjelaskan tentang pihak usaha yang melakukan atau memiliki usaha
dalam syirkah al-mudharabah, maka pihak usaha tersebut harus memiliki sebuah
keterampilan yang diperlukan dalam sebuah usaha agar usaha tersebut dapat terwujud
secara baik.

 Pasal 235
Pasal 235 menjelaskan 3 ayat , yaitu:
1. Dapat dikatakan modal usaha harus berupa barang, uang ataupun benda
berharga.
2. Modal usaha harus diserahkan kepada pelaku usaha (mudharib).
3. Jumlah modal dalam suatu akad harus dituliskan dengan pernyataan nominal
yang pasti.

 Pasal 236
Pasal 236 menjelaskan pembagian keuntungan hasil usaha antara penjual dan pembeli
harus dinyatakan dengan pasti.
 Pasal 237
Pasal 237 menjelaskan bahwa akad mudharabah (akad jual beli) yang tidak memenuhi
persyaratan, maka akad tersebut dianggap atau termasuk batal

Bagian Kedua
Ketentuan Mudharabah
 Pasal 238
Pasal 238 menjelaskan 3 ketentuan akad mudharabah (akad jual beli), diantaranya:
1. Status benda yang berada di tangan penjual yang diterima dari seorang
pembeli, disebut dengan modal.
2. Penjual berkedudukan sebagai wakil dari pembeli dalam menggunakan modal
yang diterima oleh penjual.
3. Keuntungan yang dihasilkan dalam jual beli (mudharabah) menjadi milik
bersama antara pelaku usaha dengan pemilik modal.

 Pasal 239
Pasal 239 menjelaskan 4 ayat mengenai penjual (mudharib), yaitu:
1. Penjual berhak membeli barang dengan tujuan menjualnya kembali untuk
memperoleh keuntungan.
2. Penjual berhak menjual barangnya dengan harga tinggi atau rendah. Baik
dengan tunai maupun dengan cicilan.
3. Penjual berhak menerima pembayaran dari harga barang dengan sistim
piutang.
4. Penjual tidak boleh menjual barang dalam jangka waktu yang tidak masuk
akal.

 Pasal 240
Pasal 240 menjelaskan bahwa mudharib (pelaku usaha) tidak boleh menghibahkan,
menyedekahkan, atau meminjamkan harta yang termasuk kerjasama dengan pemilik
modal kecuali diberikan izin oleh pemilik modal.
 Pasal 241
Pasal 241 menjelaskan 3 ayat mengenai mudharib, yaitu:
1. Pelaku usaha (mudharib) berhak memberikan kuasa kepada pihak lain untuk
menjadi wakil pelaku usaha, untuk membeli dan menjual barang apabila sudah
disepakati dalam akad jual beli atau akad mudharabah.
2. Mudharib berhak mendepositkan dan menginvestasikan harta kerjasama
dengan menggunakan sistem Syariah.
3. Mudharib berhak menghubungi pihak lain untuk melakukan kegiatan jual beli
barang sesuai dengan kesepakatan didalam akad mudharabah.

 Pasal 242
Pasal 242 menjelaskan 2 ayat , yaitu:
1. Mudharib berhak mendapatkan keuntungan sebagai imbalan pekerjaannya,
yang sudah disepakati antara kedua belah pihak dalam sebuah akad.
2. Mudharib tidak berhak mendapatkan imbalan apabila usaha yang
dilakukannya mengalami kerugian.

 Pasal 243
Pasal 243 menjelaskan 2 ayat, yaitu:
1. Pemilik modal berhak mendapatkan keuntungan berdasarkan modalnya yang
sudah disepakati melalui akad.
2. Pemilik modal usaha tidak berhak mendapatkan keuntungan apabila usaha
yang dijalankan oleh mudharib mengalami kerugian.

 Pasal 244
Pasal 244 menjelaskan bahwa seorang mudharib tidak boleh mencampurkan harta
kekayaan pribadi dengan harta kekayaan kerjasama dalam melakukan jual beli.
Kecuali jika sudah menjadi sebuah kebiasaan di kalangan pelaku usaha.

 Pasal 245
Pasal 245 menjelaskan bahwa mudharib diperbolehkan mencampur harta kekayaan
pribadi dengan harta kekayaan jual beli apabila mendapatkan izin dari pihak pemilik
modal dalam melakukan usaha-usaha tertentu.

 Pasal 246
Pasal 246 menjelaskan bahwa keuntungan hasil usaha yang menggunakan modal
campuran, maka akan dibagi secara sama rata, atau atas dasar kesepakatan dari semua
pihak melalui akad.

 Pasal 247
Pasal 247 menjelaskan bahwa biaya perjalanan yang dilakukan oleh mudharib dalam
menjalankan sebuah bisnis bersama, dibebankan kepada pemilik modal.

 Pasal 248
Pasal 248 menjelaskan bahwa mudharib wajib untuk menjaga dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh pemilik modal
dalam akad.

DASAR HUKUM
 Pasal 249
Pasal 249 menjelaskan bahwa mudharib wajib untuk bertanggungjawab terhadap
risiko kerugian atau kerusakan yang diakibatkan oleh usahanya yang telah melampaui
batas yang diizinkan atau bahkan tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah
ditentukan oleh pemilik modal dalam akad.

 Pasal 250
Pasal 250 menjelaskan bahwa akad mudharabah selesai apabila waktu kerjasama yang
Sudah ditentukan dan disepakati dalam akad telah berakhir.

 Pasal 251
Pasal 251 menjelaskan 4 ayat, yaitu:
1. Pemilik modal dapat megakhiri kesepakatan apabila ad apihak yang melanggat
kesepakaatan dalam akad mudharabah.
2. Pemberitahuan kerjasama oleh pemilik modal diberitahukan kepada mudharib.
3. Mudharib wajib untuk mengembalikan modal dan keuntungan kepad pemlik
modal yang menjadi hak milik pemilik modal dalam kerjasama mudharabah.
4. Perselihisan antara pemilik moda dengan mudharib dapat diselesaikan dengan
melalui pengadilan.

 Pasal 252
Pasal 252 menjelaskan bahwa kerugian dalam usaha dan kerusakan barang dagangan
dalam kerjasama mudharabah yang terjadi bukan karena kelalaian mudharib, maka
kerugian tersebut akan sepenuhnyan dibebankan kepada pemilik modal awal dalam
jual beli.

 Pasal 253
Pasal 253 menjelaskan bahwa akad mudharabah akan berakhir dengan sendirinya
apabila pemilik modal atau mudharib meninggal dunia, atau tidak pandai dalam
melakukan perbuatan hukum.

 Pasal 254
Pasal 254 menjelaskan 2 ayat, yaitu:
1. Pemilik modal berhak melakukan penagihan terhadap pihka-pihak lain
berdasarkan bukti dari mudharib (pegawai) yang telah meninggal dunia.
2. Kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya pegawai, maka akan
dibebankan kepada pemilik modal.

CONTOH
 Contoh dari pasal-pasal diatas yaitu kegiatan usaha yang dibangun oleh si A.
Namun si A mendapatkan modal dari si B. si A mendirikan usaha jualan jajan
tradisional dengan mendapatkan titipan pasokan jajan dari berbagai pelaku
usaha lain. Apabila si A mengalami kerugian karena diluar kelalaian dia, maka
kerugian tersebut akan ditanggung oleh pemilik modal. Tetapi apabila
kerugian akibat kelalaian si A, maka yang akan menanggung kerugian tersebut
adalah si A.

BAB IX
MURAZA’AH DAN MUSAQAH
Bagian Pertama
Rukun dan Syarat Muzara’ah
 Pengertian

Muzara’ah adalah sebuah kerjasama untuk pengelolahan pertanian antara pemilik lahan
dengan penggarap lahan. Dalam muzara’ah, pemilik lahan memebrikan lahan pertaniannya
kepada penggarap untuk ditanami dan dikelola dengan baik dan akan mendapatkan imbalan
dari hasil panen tersebut.

Sedangkan musaqah hampir sama dengan muzara’ah, tetapi musaqah lebih sederhana
karena dalam musaqah ini penggarap lahan hanya bertanggungjawab untuk menyiram dan
memeliharan tanaman yang sudah ditanam dilahan pemilik. Imbalan yang didapatkan yaitu
penggarap berhak mendapat bagian dari hasil panen.

 Pasal 255
Pasal 255 membahas tentang rukun dan syarat muzara’ah. Rukun Muzara’ah yaitu:
1. Pemilik lahan
2. Penggarap
3. Lahan yang digarap
4. Akad

 Pasal 256
Pasal 256 menjelaskan bahwa pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan
digarap oleh penggarap (pihak yang menggarap lahan).

 Pasal 257
Pasal 257 menjelaskan bahwa penggarap wajib memiliki keahlian dalam bertani dan
siap untuk menggarap lahan yang diterima.

 Pasal 258
Pasal 258 menjelaskan bahwa penggarap wajib untuk memberikan keuntungan
kepada pemilik lahan apabila pengelolaan lahan yang digarap mendapatkan
keuntungan.
 Pasal 259
Pasal 259 menjelaskan 3 ayat, yaitu:
1. Akad muzara’ah dapat dilakkan secara terbatas atau mutlak.
2. Jenis benih yang akan ditanam dalam akad muzara’ah terbatas, harus
ditentukan dengan pasti dalam akad, dan diketahui oleh seluruh penggarap
lahan.
3. Penggarap lahan bebas untuk memilih jenis benih tanaman yang akan ditanam
dan digarap dalam akad muzara’ah yang mutlak atau pasti.
4. Penggarap wajib untuk memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi lahan,
keadaan cuaca, dan cara yang tepat untuk mengatasinya apabila menjelang
masa tanam.

 Pasal 260
Pasal 260 menjelaskan bahwa penggarap wajib memberitahukan dan menjelaskan
perkiraan hasil panen kepada pemilik lahan dalam akad muzara’ah mutlak.

 Pasal 261
Pasal 261 menjelaskan bahwa penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan
kesepaktan mengenai pembagian hasil pertanian yang akan diterima oleh masing-
masing pihak antara pemilik lahan dengan penggarap lahan.

 Pasal 262
Pasal 262 menyebutkan 3 ayat, yaitu:
1. Penyimpangan yang dilakukan penggarap dalam akad muzara’ah dapat
mengakibatkan batalnya akad tersebut.
2. Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh penggarap yang melakukan
pelanggaran, maka hasil panen tersebut seluruhnya akan menjadi milik
pemilik lahan.
3. Dalam hal seperti pada ayat (2), pemilik lahan disarankan untuk memberikan
imbalan kepada penggarap, atas kerja yang dilakukan oleh penggarap

 Pasal 263
Pasal 263 menyebutkan 2 ayat, yaitu:
1. Penggarap berhak melanjutkan akad muzara’ah apabila tanamannya belum
layak untuk dipanen meskipun pemilik lahan sudah meninggal dunia.
2. Ahli waris pemilik lahan, wajib untuk melanjutkan kerjasama muzara’ah sama
dengan yang dilakukan oleh pihak yang meninggal dunia sebelum tanamannya
pihak penggarap bisa dipanen.

 Pasal 264
Pasal 264 menyebutkan 2 ayat, yaitu:
1. Hak menggarap lahan yang dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila
penggarap meninggal dunia, sampai tanamannya bisa dipanen.
2. Ahli waris penggarap berhak untunk meneruskan atau mematalkan ajad
muzara’ah yang dilakukan oleh pihak penggarap yang meninggal dunia.

 Pasal 265
Pasal 265 menjelaskan bahwa akad muzara’ah akan berakhir apabila waktu yang
disepakati telah berakhir atau sudah menempati waktu yang telah disepakati.

Contoh Muzara’ah
 yaitu Pak Irit memiliki lahan sawah kosong. Kemudian Pak Irit bertemu Pak Susanto
untuk diberikan tanggungjawab menggarap lahan Pak Irit tersebut. Setelah panen, Pak
Irit memberikan imbalan kepada Pak Susanto berupa hasil panen.

Bagian Kedua
Rukun dan Syarat Musaqah
 Pasal 266
Pasal 266 menyebutkan tentang rukun musaqah, yaitu:
1. Pihak pemasok tanaman.
2. Pemeliharan tanaman.
3. Tanaman yang dipelihara
4. Akad.

 Pasal 267
Pasal 267 menyebutkan 2 ayat, yaitu:
1. Pemilik tanaman wajib untuk menyerahkan tanamannya kepada pihak
pemelihara tanaman.
2. Pemelihara tanaman wajib memelihara tanama dari pemilik tanaman yang
menjadi tanggungjawab pemelihara tanaman.

 Pasal 268
Pasal 268 menjelaskan bahwa pemelihara tananman disyaratkan untuk memiliki
keahlian atau keterampilan dalam bidangnya untuk melakukan pekerjaannya dengan
baik.

 Pasal 269
Pasal 269 menjelaskan bahwa pembagian hasil dari pemeliharaan tanaman harus
disebutkan jumlahnya secara pasti dalam akad.

 Pasal 270
Pasal 270 menjelaskan bahwa pemeliharaan tanaman wajib mengganti kerugian yang
disebabkan dari pelaksanaan tugasnya apabila keugian tersebut akibat dari kelalalian
pemeliharan tanaman.

Contoh Musaqah
 yaitu Pak Irit memiliki lahan sawah yang sudah ditanami jagung. Kemudian bertemu
Mas Basori yang kebetulan belum memiliki pekerjaan. Akhirnya Pak Irit memberikan
pekerjaan kepada Mas Basori dengan memberikan tanggungjawab untuk merawat dan
memelihara jagung disawah Pak Irit tersebut. Setelah panen, Mas Basori juga akan
mendapatkan imbalan berupa hasil panen tersebut.

BAB X
KHIYAR
Bagian Pertama
Khiyar Syarat
 Pengertian
Khiyar memiliki arti yaitu memilih. Dalam kegiatan jual beli, khiyar berarti hak untuk
memilih bagi penjual ataupun pembeli dalam memilih barang kemudian dilanjutkan
dengan akad atau persetujuan untuk meneruskan atau membatalkan. Jadi pengertian dari
khiyar syarat yaitu hak untuk memilih berdasarkan persyaratan.

 Pasal 271
Pasal 271 menyebutkan 2 ayat, yaitu:
1. Penjual dan pembeli dapat sepakat untuk mempertimbangkan secara matang
dalam hal melanjutkan atau membatalkan sebuah akad jual beli yang
dilakukan oleh kedua pihak tersebut.
2. Waktu yang diperlukan untuk penjelasan dalam ayat (1) adalah 3 hari. Kecuali
apabila disepakati dalam akad lain.

 Pasal 272
Pasal 272 menjelaskan bahwa apabila masa khiyar telah melewati batas waktu,
sedangkan para pihak yang mempunya hak khiyar tidak menyatakan membatalkan
atau melanjutkan akad, maka akad jual beli tersebut masih berlaku.

 Pasal 273
Pasal 273 menyebutkan 3 ayat, yaitu:
1. Hak khiyar syart tidak dapat diwariskan oleh siapapun.
2. Pembeli menjadi pemilik penuh untuk benda yang dijual setelah kematian
penjual pasa masa khiyar.
3. Kepemilikan benda yang berada didalam rentang waktu khiyar berpindah
kepada ahli waris pembeli apabila pembeli meninggal dunia dalam masa
khiyar.

 Pasal 274
Pasal 274 menjelaskan bahwa pembeli wajib untuk membayar penuh terhadap benda
yang dibelinya apabila benda itu rusak ketika sudah berada ditangan pembeli itu.
Pembeli membayar sesuai dengan harga barang saat sebelum rusak.

Contoh dari Khiyar Syarat


 Ketika membeli barang online, kemudian dituliskan deskripsi barangnya dan ada
persayaratan apabila barang tidak sesuai bisa dikembalikan dalam jangka waktu
tertentu.

Bagian Kedua
Khiyar Naqdi
 Pengertian

Khiyar Naqdi yaitu pembeli memiliki hak untuk membatalkan atau melanjutkan
pembelian apabila belum dibayar atau belum melunasi barang tersebut.

 Pasal 275
Pasal 275 menyebutkan 3 ayat, yaitu:
1. Penjual dan pembeli dapat melakukan akad dengan pembayaran yang
ditangguhkan.
2. Jual beli sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam ayat (1) akan batal apabila
pembeli tidak membayar denda barang yang dibeli pada waktu yang telah
dijanjikan.
3. Jual beli yang ditetapkan pada ayat (1) akan batal apabila pembeli meningga
dunia pada tenggang waktu khiyar sebelum barang tersebut dibayar.

Contoh Khiyar Naqdi


 Ketika kita akan membeli barang melalui e-commerce. Kemudian ketika sudah
direncanakan untuk membeli barang di toko A dan metode pembayaran akan melalui
indomaret, jika menemukan barang di toko lain lebih murah, maka barang di toko A
tersebut sah ketika dibatalkan karena pembeli belum melunasi barang tersebut.

Bagian Ketiga
Khiyar Ru’yah
 Pengertian

Khiyar Ru’yah adalah hak untuk memilih melanjutkan atau membatalkan transaksi
ketika sudah melihat barang yang akan dibeli. Hal ini berlaku apabila barang tidak ada
ditempat.

 Pasal 276
Pasal 276 menyebutkan 4 ayat, yaitu:
1. Pembeli berhak memeriksa contoh benda yang akan dibelinya.
2. Pembeli berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli benda
yang telah diperiksanya.
3. Pembeli berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli apabila
benda yang dibelinya tidak sesuai dengan contoh yang diberikan.
4. Hak untuk memeriksa benda yang akan dibeli, dapat diwakilkan kepada pihak
lain yang diberi tanggungjawab.

 Pasal 277
Pasal 277 menyebutkan 2 ayat, yaitu:
1. Pembeli benda yang termasuk beda tetap, dapat memeriksa seluruhnya atau
Sebagian saja dari benda tersebut.
2. Pembeli benda bergerak yang beragam jenisnya, harus memeriksa seluruh
jenis benda-benda tersebut.

 Pasal 278
Pasal 278 menyebutkan 3 ayat, yaitu:
1. Pembeli yang buta boleh melakukan jual beli dengan cara memberikan hak
ru’yah melalui sebuah media perantara.
2. Pemeriksaan benda yang akan dibeli oleh pembeli yang buta, bisa dilakukan
secara langsung atau dilakukan oleh wakilnya yang tidak buta.
3. Pembeli yang buta kehilangan hak pilihnya apabila benda yang dibeli sudah
dijelaskan sifat-sifatnya, cici-cirinya, dan telah diraba, dicium atau dicicipi
oleh pembeli yang buta tersebut.

Contoh Khiyar Ru’yah


 Ketika membeli sepatu, datang ke toko dan menunjukkan sepatu seperti contoh yang
ada di toko tetapi barangnya di Gudang toko. Pada saat barangnya datang ternyata
tidak sesuai dengan contoh gambar maka pembeli tersebut membatalkan transaksinya.

Bagian Keempat
Khiyar ‘Aib
 Pengertian

Khiyar ‘Aib adalah hak untuk memilih antara membatalkan transaksi atau
melanjutkan transaksi apabila barang tersebut ditemui kecacatan saat akan atau sudah
bertransaksi.

 Pasal 279
Pasal 279 menjelaskan bahwa benda yang diperjualbelikan harus terbebas dari aib
mana saja. Kecuali jika barang tersebut telah dijelaskan dari sebelum berlangsungnya
transaksi jual beli.

 Pasal 280
Pasal 280 menjelaskan bahwa pembeli berhak untuk meneruskan atau membatalkan
akad jual beli yang objeknya termasuk kedalam aib tanpa penjelasan apapun
sebelumnya dari pihak penjual.

 Pasal 281
Pasal 281 menyebutkan 4 ayat, yaitu:
1. Aib benda yang menimbulakn sebuah perselisihan antara pihak penjual dan
pihak pembeli akan diselesaikan oleh pengadilan.
2. Aib benda akan diperiksa dan ditetapkan oleh ahli atau Lembaga yang
berwewenang.
3. Penjual benda wajib untuk mengembalikan yang pembelian kepada pihak
pembeli apabila objek dagangan atau benda yang dibeli adalah aib yang
disebabkan karena kelalaian dari pihak penjual.
4. Pengadilan berhak untuk menolak tuntutan pembatalan jual beli dari pihak
pembeli apabila aib benda tersebut terjadi karena kelalaian atau kesalahan dari
pihak pembeli, bukan pihak penjual.

DASAR HUKUM
 Pasal 282

Pasal 282 menjelaskan bahwa pengadilan berhak menetapkan status kepemilikan


benda tambahan dari benda aib tersebut yang disengketakan dalam pengadilan.

 Pasal 283
Pasal 283 menyebutkan 2 ayat, yaitu:
1. Pembeli bisa menolak seluruh benda yang dibeli secara borongan apabila
terbukti ada beberapa diantara benda-benda tersebut sudah aib sebelum
dilakukan serah terima benda.
2. Pembeli diperbolehkan jika hanya membeli benda-benda yang tidak aib.

PRINSIP HUKUM

 Pasal 284
Pasal 284 menjelaskan bahwa objek dari jual beli yang telah digunakan atau
dimanfaatkan secara sempurna, tidak dapat dikembalikan.

Contoh Khiyar Aib


 Ketika membeli baju, ternyata baju yang datang ada cacatnya di salah satu bagian
yaitu jahitannya lepas. Nah dengan begitu kita bisa memilih hak untuk membatalkan
atau melanjutkan akad dalam transaksi jual beli tersebut.

KRITIK DAN SARAN

Kegiatan transaksi jual beli merupakan kegiatan yang umum dilakukan oleh orang-
orang di dunia ini. Tetapi menjadi pelaku usaha ataupun pengelola yang baik masih jarang
ditemui. Dalam kegiatan usaha pasti ada yang namanya perselisihan. maka dari itu pada saat
melakukan kegiatan bisnis, sekarang ini usaha apapun dapat diselesesaikan melalui
pengadilan untuk mendapatkan sebuah keadilan.

SUMBER REFERENSI

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (eBook), Mahkamah Agung RI


Pusat Pengkajiab Hukum Ekonomi Syariah (PPHIM) (2009), Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah. PT. Kencana.
Latupono, Barzah dkk, Buku Ajar Hukum Islam (edisi revisi) 2020. Cetakan pertama
2017. Yogyakarta: CV. Budi Utama.
RESUME PASAL 285 – 345 KOMPILASI HUKUM EKONOMU SYARI’AH

MUHAMMAD RIZALULLAH (12103193073)

Definisi:

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah merupakan perangkat peraturan yang menjadi lampiran
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Mahkamah Agung RI N0. 02
Tahun 2008, fungsinya adalah sebagai pedoman bagi para Hakim dalam lingkungan
Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan
dengan ekonomi syariah, sehingga dengan demikian ia merupakan tindak lanjut dari adanya
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang menetapkan adanya kewenangan baru dari
Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) dirangkum dari berbagai bahan referensi baik dari beberapa kitab
fikih terutama Fikih Muamalah, Kodifikasi Hukum Islam yang berlaku di Turki yang dikenal
dengan sebutan Majalah al-Ahkâm al-Adillah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional dan hasil
studi banding pada berbagai Negara yang menerapkan ekonomi syariah. Dilihat dari
kandungan isi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah di atas, dari 796 pasal, sejumlah 653 pasal
(80 %) adalah berkenaan dengan akad atau perjanjian, dengan demikian materi terbanyak dari
ketentuan-ketentuan tentang ekonomi syariah adalah berkenaan dengan hukum perikatan
(akad). Salah satu pembahasan tentang akad ini adalah akad mudharabah.

Pasal 285

(1) Penjualan benda yang ‘aibnya tidak merusak kualitas benda yang diperjualbelikan yang
diketahui sebelum serah terima, adalah sah.

(2) Pembeli dalam penjualan benda yang 'aib yang dapat merusak kualitasnya, berhak untuk
mengembalikan benda itu kepada penjual dan berhak memperoleh seluruh uangnya kembali.

Pasal 286

(1) Penjualan benda yang tidak dapat dimanfaatkan lagi, tidak sah.

(2) Pembeli berhak untuk mengembalikan barang sebagaimana dalam ayat (1) kepada
penjual, dan berhak menerima kembali seluruh uangnya.

Pasal 285 dan 286


Didalam pasal tersebut mengatur akad jual beli ketika seorang pembeli dapat dirugikan,
karena barang yang dibeli dari seorang penjual tidak dapat dipegang amanahnya di saat
melakukan akad tersebut. Maksudnya adalah ketika pembeli yang membeli barang kepada
penjual yang barang nya dapat merusak kualitasnya dan tidak dapat sesuai dapat
mengembalikannya dan sebaliknya jika barangnya sesuai pembeli berhak membelinya dan
berhak sah atas memilikinya.

Bagian Kelima Khiyar Ghabn dan Taghrib

Pasal 287

Pembeli berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad karena penjual memberi
keterangan yang salah mengenai kualitas benda yang dijualnya.

Pasal 288

(1) Pembeli dapat menuntut pihak penjual untuk menyediakan barang yang sesuai dengan
keterangannya.

(2) Pembeli dapat mengajukan ke pengadilan untuk menetapkan agar pemberi keterangan
palsu untuk menyediakan barang yang sesuai dengan keterangannya atau didenda.

Pasal 289

(1) Hak menuntut karena salah memberi keterangan sebagai ditetapkan pada ayat (1) Pasal
288 dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

(2) Pembeli kehilangan hak pilihnya sebagaimana ditetapkan pada ayat (1) dan (2) Pasal 288,
apabila ia telah memanfaatkan benda yang dibelinya secara sempurna.

Pasal 290

Penjualan benda yang didasarkan keterangan yang salah yang dilakukan dengan sengaja oleh
penjual atau wakilnya, dapat dibatalkan.

Pasal 291

(1) Pembelian benda yang haram diperjualbelikan, tidak sah.


(2) Pembeli benda yang disertai keterangan yang salah yang dilakukan tidak sengaja, adalah
sah.

(3) Pembeli dalam akad yang diatur pada ayat (2) di atas, berhak untuk membatalkan atau
meneruskan akad tersebut.

Pasal 292

(1) Pihak yang merasa tertipu dalam akad jual-beli dapat membatalkan penjualan tersebut.

(2) Persengketaan antara korban penipuan dengan pelaku penipuan dapat diselesaikan
dengan dam ai/al-shulh dan atau ke pengadilan.

Pasal 293

Pembeli yang menjadi korban penipuan, kehilangan hak untuk membatalkan akad jual-b eli
apabila benda yang dijadikan obyek akad telah dimanfaatkan secara sempurna.

Pasal 294

(1) , Hak untuk melakukan pembatalan akad jual-beli yang disertai dengan penipuan, tidak
dapat diwariskan.

(2) Hak untuk melakukan pembatalan akad jual-beli yang disertai dengan penipuan, berakhir
apabila pihak yang tertipu telah mengubah dan atau m emodifikasi benda yang dijadikan
obyek jual-b eli.

Pasal 287-294

Pasal tersebut membahas tentang khiyar ghabn dan taghrib

Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi yaitu kehidupan pasar dewasa ini yang
penuh dengan berbagai slogan yang intinya mengambil untung sebanyak-banyaknya walau
dengan sumpah palsu. Untuk merealisasikan tujuan ini, segala cara ditempuh supaya bisa
membeli dengan harga terendah lalu menjualnya dengan harga selangit, tanpa peduli apakah
prilakunya itu menzhalimi orang lain atau tidak. Islam sebagai agama yang datang untuk
menebar rahmat melarang semua bentuk tindakan yang akan merugikan orang lain tanpa
didukung alasan yang dibenarkan syari’at. Termasuk diantara yang dilarang adalah prilaku
para pelaku bisnis diatas. Bila sudah terlanjur terjadi, maka khiyâr al-ghabn bisa dijadikan
solusi untuk menghindari kerugian lebih besar.

IJARAH

Rukun ijarah

Pasal 295

Rukun ijarah adalah:

a. m usta'jir/pihak yang menyewa

b. mu’ajir/pihak yang menyewakan

c. ma’jur/benda yang diijarahkan

d. akad.

pasal 296

(1) Shigat akad ijarah harus menggunakan kalim at yang jelas.

(2) Akad ijarah dapat dilakukan dengan lisan, tulisan, dan atau isyarat.

Pasal 297

Akad ijarah dapat diubah, diperpanjang, dan atau dibatalkan berdasarkan kesepakatan.

Pasal 298

(1) Akad ijarah dapat diberlakukan untuk waktu yang akan datang.

(2) Para pihak yang melakukan akad ijarah tidak boleh membatalkannya hanya karena akad
itu masih belum berlaku.

Pasal 299
Akad ijarah yang telah disepakati tidak dapat dibatalkan karena ada penawaran yang lebih
tinggi dari pihak ketiga.

Pasal 300

(1) Apabila musta’jir menjadi pem ilik dari ma’jur, maka akad ijarah berakhir dengan
sendirinya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga pada ijarah jam a’i/kolektif.

Pasal 295-300

Secara harfiah, ijarah berasal dari kata al-ajru dari bahasa Arab yang menurut bahasa
Indonesia berarti ganti dan upah. Sementara secara etimologi, ijarah bermakna menjual
manfaat. Dalam arti luas, ijarah adalah akad atas kemanfaatan suatu barang dalam waktu
tertentu dengan pengganti sejumlah tertentu yang telah disepakati.

menurut fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000, ijarah adalah akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa
atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Hukum ijarah
adalah mubah atau diperbolehkan.

Syarat Pelaksanaan dan Penyelesaian Ijarah

Pasal 301

Untuk menyelesaikan suatu proses akad ijarah, pihak-pihak yang melakukan akad harus
mempunyai kecakapan melakukan perbuatan hukum.

Pasal 302

Akad ijarah dapat dilakukan dengan tatap muka maupun jarak jauh.

Pasal 303

Mu’a jir haruslah pem ilik, wakilnya, atau pengampunya.

Pasal 304

(1) Penggunaan ma’ju r harus dicantumkan dalam akad ijarah.


(2) Apabila penggunaan ma’ju r tidak dinyatakan secara pasti dalam akad, maka ma’ju r
digunakan berdasarkan aturan umum dan kebiasaan.

Pasal 305

Apabila salah satu syarat dalam akad ijarah tidak ada, maka akad itu batal

Pasal 306

(1) Uang ijarah tidak harus dibayar apabila akad ijarahnya batal.

2) Harga ijarah yang w ajar/ujrah-al-m itsli adalah harga ijarah yang ditentukan oleh ahli
yang berpengalaman dan jujur.

Pasal 301-306

Dalam pasal ini membahas tentang syarat pelaksanaan dan penyelesaian ijarah

Dalam pelaksanaannya, tata cara ijarah atau prosedurnya dalam properti ini terbagi menjadi
beberapa tahap seperti dijelaskan sebagai berikut:

 Tahap 1 Tata Cara Ijarah, Permohonan pembiayaan ijarah Nasabah mengajukan


pembiayaan ijarah ke bank syariah.
 Tahap 2 Tata Cara Ijarah, Menyewa atau membeli ijarah Bank syariah kemudian
membeli atau menyewa barang yang diinginkan oleh nasabah sebagai objek ijarah
dari penjual, pemilik, pengembang, atau supplier.
 Tahap 3 Tata Cara Ijarah, Akad pembiayaan ijarah atas obyek ijarah Bank dan
nasabah menandatangani akad pembiayaan ijarah setelah dicapai kesepakatan antara
nasabah dan bank mengenai barang objek ijarah, tarif ijarah, periode ijarah dan biaya
pemeliharaannya.
 Tahap 4 Tata Cara Ijarah, Penyerahan objek ijarah selama akhir periode sewa Bank
menyerahkan objek ijarah kepada nasabah sesuai akad yang disepakati. Jika periode
ijarah berakhir, nasabah atau penyewa harus menyerahkan kembali obyek ijarah
kepada bank sebagai aset untuk disewakan kembali atau bank mengembalikan obyek
ijarah kepada penjual, pemilik, pengembang, atau supplier.
 Tahap 5 Tata Cara Ijarah, Pemindahan kepemilikan jika jenis transaksinya
Ijarah muntahia bi al-tamlik. Jika akadnya adalah Ijarah muntahia bi al-tamlik, maka
di akhir periode sewa, objek ijarah tersebut sewa akan dijual atau dihibahkan kepada
penyewa.

Contoh praktek ijarah dalam kehidupan sehari-hari misalnya seseorang ingin mencari
bangunan rumah kontrakan untuk menjadi rumah produksi usahanya dengan biaya 30
juta/tahun. Selanjutnya, pihak yang ingin menyewa bertemu dengan orang yang dapat
menyewakan propertinya. Setelah menunjukkan kondisi rumah secara detail pada
penyewa tersebut, setelah itu penyewa sudah yakin bahwa keadaan rumah yang akan
disewakan baik untuk menunjang usahanya.

Pihak yang memiliki bangunan rumah melakukan kesepakatan dengan penyewa serta
meyakinkannya, dan pihak penyewa menerima kesepakatan untuk menyetujui bahwa
akan mengontrak rumah tersebut sekaligus. Pihak penyewa mendapatkan manfaat
yaitu dengan menempati rumah tersebut dan memanfaatkan semua isi rumah yang ada
untuk usaha sedangkan pihak yang menyewakan juga mendapatkan manfaat dengan
menerima bayaran. Jika tidak mampu dengan jumlah pembiayaan tertentu pihak
penyewa dapat mengajukan pinjaman bank syariah untuk memediasi akad ijarah
tersebut.

Uang ijarah dan cara pembayarannya

Pasal 307

(1) Jasa ijarah dapat berupa uang, surat berharga, dan atau benda lain berdasarkan
kesepakatan.

(2) Jasa ijarah dapat dibayar dengan atau tanpa uang muka, pembayaran didahulukan,
pembayaran setelah ma’ju r selesai digunakan, atau diutang berdasarkan kesepakatan.

Pasal 308

(1) Uang muka ijarah yang sudah dibayar tidak dapat dikembalikan kecuali ditentukan lain
dalam akad.

(2) Uang muka ijarah harus dikembalikan oleh mu’ajir apabila pembatalan ijarah dilakukan
olehnya .
(3) Uang muka ijarah tidak harus dikembalikan oleh mu’a jir apabila pembatalan ijarah
dilakukan oleh musta’jir.

Pasal 307-308

Pasal ini membahas tentang uang ijarah dan tata cara pembayarannya

Uang ijarah dan tata pembayarannya sudah dibahas di pelaksaan atau tata cara di atas

Penggunaan ma’jur

Pasal 309

(1) Musta’jir dapat menggunakan ma’ju r secara bebas apabila akad ijarah dilakukan secara
mutlak.

(2) Musta’jir hanya dapat menggunakan ma’ju r secara tertentu apabila akad ijarah dilakukan
secara terbatas.

Pasal 310

Musta’jir dilarang menyewakan dan meminjamkan ma’jur kepada pihak lain kecuali atas izin
dari pihak yang menyewakan.

Pasal 311

Uang ijarah w ajib dibayar oleh pihak musta’jir meskipun ma’ju r tidak digunakan.

Pasal 309-311

Dalam pasal tersebut membahas tentang cara penggunaan ma’jur

Pemeliharaan Ma’jur, Tanggungjawab Kerusakan

Pasal 312

Pemeliharaan m a'jur adalah tanggungjawab musta’jir kecuali ditentukan lain dalam akad.

Pasal 313

(1) Kerusakan ma’ju r karena kelalaian musta’jir adalah tanggung jawabnya, kecuali
ditentukan lain dalam akad.
(2) Apabila ma’ju r rusak selama masa akad yang terjadi bukan karena kelalaian musta’jir,
maka mu’a jir wajib menggantinya.

(3) Apabila dalam akad ijarah tidak ditetapkan mengenai pihak yang bertanggungjawab atas
kerusakan ma’jur, maka hukum kebiasaan yang berlaku di kalangan mereka yang dijadikan
hukum.

Pasal 314

(1) Apabila terjadi kerusakan ma’jur sebelum jasa yang diperjanjikan diterima secara penuh
oleh m usta'jir, musta’jir tetap wajib membayar uang ijarah kepada mu’a jir berdasarkan
tenggat waktu dan jasa yang diperoleh.

(2) Penentuan nominal uang ijarah sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan melalui
musyawarah.

Marga dan Jangka Waktu Ijarah

Pasal 315

(1) Nilai atau harga ijarah antara lain ditentukan berdasarkan satuan waktu.

(2) Satuan waktu yang dimaksud dalam ayat (1) adalah menit, jam , hari, bulan, dan atau
tahun.

Pasal 316

(1) Awal waktu ijarah ditetapkan dalam akad atau atas dasar kebiasaan.

(2) Waktu ijarah dapat diubah berdasarkan kesepakatan para pihak.

Pasal 317

Kelebihan waktu dalam ijarah yang dilakukan oleh musta’jir, harus dibayar berdasarkan
kesepakatan atau kebiasaan.

Jenis Ma’ju r

Pasal 318

(1) Ma’ju r harus benda yang halal atau mubah.


(2) Ma’ju r harus digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan menurut syari'at.

(3) Setiap benda yang dapat dijadikan obyek bai’ dapat dijadikan ma’jur.

Pasal 319

(1) Ijarah dapat dilakukan terhadap keseluruhan ma’jur atau sebagiannya sesuai kesepakatan.

(2) Hak-hak tambahan musta’jir yang berkaitan dengan ma’ju r ditetapkan dalam akad .

(3) Apabila hak-hak tambahan musta’jir sebagaimana dalam ayat (2) tidak ditetapkan dalam
akad, maka hakhak tambahan tersebut ditentukan berdasarkan kebiasaan.

Pengembalian Ma’ju r

Pasal 320

Ijarah berakhir dengan berakhirnya waktu ijarah yang ditetapkan dalam akad.

Pasal 321

(1) Cara pengembalian ma’ju r dilakukan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam akad.

(2) Bila cara pengembalian ma’jur tidak ditentukan dalam akad, maka pegembalian ma’ju r
dilakukan sesuai dengan kebiasaan.

Ijarah Muntahiyah bi Tamlik

Pasal 322

Rukun dan syarat dalam ijarah dapat diterapkan dalam pelaksanaan Ijarah Muntahiyah.bi
Tam lik.

Pasal 323

(1) Akad Ijarah Muntahiyah bi Tam lik atas suatu benda antara mu’a jir dengan musta’jir
diakhiri dengan kepindahan kepem ilikan;

(2) Pemindahan kepemilikan sebagaimana ditetapkan dalam ayat (1), dapat dilakukan
dengan akad bai’ atau hibah.
Pasal 324

(1) Ijarah Muntahiyah bi Tam lik harus dinyatakan secara eksplisit dalam akad.

(2) Akad pemindahan kepemilikan hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah Muntahiyah bi
Tam lik berakhir.

Pasal 325

Musta’jir dalam akad ijarah muntahiyah bi tam lik dilarang menyewakan dan/atau menjual
ma’jur,kecuali ditetapkan lain dalam akad

Pasal 326

Harga ijarah dan pembelian objek akad ijarah muntahiyah bi tam lik ditetapkan dalam akad.

Pasal 327

(1) Pihak mu’ajir dapat melakukan penyelesaian akad ijarah melunasi pembiayaan sesuai
tenggat waktu yang muntahiyah bi tam lik bagi musta’jir yang tidak mampu disepakati.

(2) Penyelesaian sebagaimana dalam ayat (1) dapat dilakukan melalui shulh/damai dan/atau
pengadilan.

Pasal 328

Pengadilan dapat menentukan untuk menjual ma’jur muntahiyah bi tam lik yang tidak dapat
dilunasi oleh musta’jir dengan harga pasar untuk melunasi utang musta’jir.

Pasal 329

(1) Apabila harga ju al ma’ju r dalam Ijarah Muntahiyah bi Tam lik melebihi sisa utang,
maka pihak mu’ajir harus mengembalikan sisanya kepada musta’jir.

(2) Apabila harga jual ma’ju r dalam Ijarah Muntahiyah bi Tam lik lebih kecil dari sisa utang,
maka sisa utang tetap wajib dibayar oleh musta’jir.

(3) Apabila musta’jir sebagaimana dalam ayat (2) tidak dapat melunasi sisa utangnya,
Pengadilan dapat membebaskannya atas izin pihak muajir.

Shunduq Hifzi Ida’/Safe Deposit Box


Pasal 330

Penggunaan shunduq hifzi ida’/safe deposit box dapat dilakukan dengan akad ijarah.

Pasal 331

Penggunaan shunduq hifzi ida’ /safe deposit box berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam rukun dan syarat ijarah.

Pasal 332

Benda-benda yang dapat disimpan dalam shunduq hifzi ida’ /safe deposit box adalah benda
yang berharga yang tidak diharamkan dan tidak dilarang oleh negara.

Pasal 333

Besar biaya ijarah shunduq hifzi ida'/safe deposit box ditetapkan berdasarkan kesepakatan
dalam akad.

Pasal 334

Hak dan kewajiban m u'ajir dan musta’jir ditentukan berdasarkan kesepakatan sepanjang
tidak bertentangan dengan rukun dan syarat ijarah.

Bagian Pertama

Rukun dan Syarat Kafalah

Pasal 335

(1) Rukun akad kafalah terdiri atas:

a. kafil/penjam in;

b. makful ‘anhu/pihak yang dijam in;

c. makful lahu/pihak yang berpiutang;

d. makful bihi/objek kafalah; dan

e. akad.
(2) Akad yang dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan para pihak baik dengan lisan,
tulisan, atau isyarat.

Pasal 336

Para pihak yang melakukan akad kafalah harus memiliki kecakapan hukum.

Pasal 337

(1) Makful ‘anhu/peminjam harus dikenal oleh kafil/ penjamin dan sanggup menyerahkan
jaminannya kepada kafil/penjam in.

(2) Makful lahu/pihak pemberi pinjaman harus diketahui identitasnya.

Pasal 338

Makful bih/objek jaminan harus:

a. merupakan tanggungan peminjam baik berupa uang, benda, atau pekerjaan;

b. dapat dilaksanakan oleh penjamin;

c. merupakan piutang m engikat/lazim yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar
atau dibebaskan;

d. jelas nilai, jum lah, dan spesifikasinya; dan

e. tidak diharamkan.

Pasal 339

(1) Jaminan berlaku sesuai dengan syarat dan batas waktu yang disepakati.

(2) Jaminan berlaku sampai terjadinya penolakan dari pihak peminjam.

Pasal 340

Kafil/penjam in dibolehkan lebih dari satu orang.

Pasal 341

Barang yang sedang digadaikan atau berada di luar tanggungjawab kafil/penjam in tidak
dapat dijadikan makful bihi.
Kafalah Muthlaqah dan Muqayyadah

Pasal 342

Kafalah dapat dilakukan dengan cara muthlaqah/tidak dengan syarat atau


muaqayyadah/dengan syarat. Pasal 343

Dalam akad kafalah yang tidak terikat persyaratan, kafalah dapat segera dituntut apabila
utang itu harus segera dibayar oleh debitur.

Pasal 344

Dalam akad kafalah yang terikat persyaratan, penjamin tidak dapat dituntut untuk membayar
sampai syarat itu dipenuhi.

Pasal 345

Dalam hal kafalah dengan jangka waktu terbatas, tuntutan hanya dapat diajukan kepada
penjamin selama jangka waktu kafalah.
RESUME

PASAL 346 SAMPAI PASAL 398 KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH

M. ZEIN HAFIZZUDIN (12103193103)

KHES Pasal 346

Pasal 346 menjelaskan tentang kafalah muthlaqah dan muqayyadah. Kafalah muthlaqah dan
muqayyadah adalah kafalah yang dilakukan dengan cara tidak dengan syarat atau dengan
syarat, dengan ketentuan (1) Dalam akad kafalah yang tidak terikat persyaratan, kafalah dapat
segera dituntut jika utang itu harus segera dibayar oleh debitor, (2) Dalam akad kafalah yang
terikat prsyaratan, kafalah dapat segera dituntut untuk membayar sampai syarat itu dipenuhi,
(3) Dalam kafalah dengan jangka waktu terbatas, tuntutan hanya dapat diajukan kepada
penjamin selama jangka waktu kafalah, (4) Penjamin tidak dapat menarik diri dari kafalah
setelah akad ditetapkan kecuali dipersyaratkan lain.

KHES Pasal 347 sampai Pasal 354

Kemudian pada pasal lain juga dijelaskan yakni Pasal 347 KHES yang berbunyi : akad
kafalah atas diri dan atas harta. Padal Pasal 348 KHES ayat (1) pihak pemberi pinjaman
memiliki hak memiliki hak memilih untuk menuntut kepada penjamin atau pihak peminjam.
Selanjutnya dalam Pasal 351 ayat (1) apabila penjamin meninggal dunia maka ahli warisnya
berkewajiban untuk menggantikan atau menunjuk penggantinya.

Pada pasal 347 KHES dijelaskan kafalah terdiri dari kafalah atas diri dan atas harta maksud
dari pernyataan pasal tersebut bahwa kafalah dapat dilakukan dengan diri sendiri atau dengan
jiwa (kafalah bin-Nafs) dan kafalah dapat dilakukan dengan harta benda (kafalah bil-Mal).

Sedangkan dalam Pasal 348 KHES ayat (1) bahwa apabila penjamin meninggal dunia maka
kewajiban penjamin tidak terputus, malainkan harus digantikan oleh wali waris dari penjamin
tersebut.

KHES Pasal 355 sampai Pasal 361

Dikatakan bahwa jaminan, penanggungan atau kafalah adalah suatu perjanjian antara kreditur
atau pihak pertama dengan debitur atau kreditur yang mana pihak debitur tidak dapat
memenuhi prestasinya sehingga di dalam perjanjian tersebut. Jaminan yang ada pada KHES
ini sendiri adalah jaminan yang diambil dari berbagai kitab klasik yang telah disesuaikan
dengan kultur masyarakat Indonesia.

KHES Pasal 362 sampai Pasal 365

Pada pasal 362 sampai pasal 364 KHES dan fatwa DS MUI telah memenuhi yaitu dengan
adanya muhil, muhal, muhal’alaih, muhal bih dan akad (ijab Kabul) dan sesuai dengan pasal
494 KHES. Tetapi sebelum kesepakatan itu berlangsung pihak bank (muhal) akan melakukan
pengecekan terlebih dulu apakah mampu tidaknya calon nasabah untuk menerima
pemindahan hutang tersebut hal inipun sesuai dengan fiqih menurut Sayyid Sabiq yang mana
penghawalan batal kepada seseorang yang tidak mampu membayar hutangnya.

KHES Pasal 366 sampai Pasal 372

Jika akad hiwalah telah terjadi, maka akibat hukum dari akad ini adalah sebagai berikut :

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama unruk membayar utang
kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas. Sedangkan menurut Sebagian
ulama mazhab Hanafi, antara lain, kamal ibn al-humman, kewajiban itu masih tetap
ada, selama pihak ketiga belum melunasi utangnya kepada pihak kedua, karena
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mereka memandang bahwa akad itu
didasarkan atas prinsip saling percaya, bukan prinsip pengalihan hak dan kewajiban.
2. Akad hiwalah, menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut
pembayaran utang kepada pihak ketiga.
3. Mazhab Hanafi yang membenarkan terjadinya al-hiwalah al-muthlaqah berpendapat
bahwa jika akad hiwalah al-muthlaqah terjadi karena kemauan pihak pertama, maka
hak dan kewajiban antara pihak pertama dan ketiga yang mereka tentukan Ketika
melakukan akad utang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya jika
jumlah utang piutang antara ketiga pihak tidak sama.

KHES Pasal 373 sampai Pasal 376

Pada dasarnya akad gadai boleh dilakukan secara lisan, tulisan maupun isyarat (pasal 373 (3)
KHES ) sebagaimana dalam praktik gadai, akad berbentuk lisan boleh dilakukan. Akan tetapi
lebih baik akad gadai dituangkan dalam bentuk tulisan agar lebih jelas dan mudah dipahami
oleh kedua pihak. Rukun dan syarat rahn diatur dalam pasal 373-376 KHES. Berdasarkan
penelitian, gadai berjalan apabila terdapat rahin, murtahin, marhun, marhun bih, serta akad
yang menaungi perjanjian gadai tersebut.

KHES Pasal 377 sampai Pasal 380

Segala sesuatu yang termasuk dalam marhun, maka turut digadaikan pula. Marhun dapat
diagnti dengan marhun yang lain berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Marhun bih
yang di jamin dengan marhun bisa ditambah secara sah dengan jaminan marhun yang sama.
Setiap tambahan dari marhun merupakan bagian dari marhun asal.

Menambah marhun adalah memberikan barang gadaian lagi disamping barang gadaian yang
telah ada dengan utang (marhun bih) yang sama. Hal ini hukumnya boleh menurut jumhur,
karena itu merupakan bentuk tambahan penguat jaminan yang merupakan tujuan inti dari
akad gadai.

KHES Pasal 381 sampai Pasal 384

Akad rahn dapat dibatalkan apabila marhun belum diterima oleh murtahin dan murtahin
dengan kehendak sendiri dapat membatalkan akadnya. Sedangkan bagi rahn tidak dapat
membatalkan akad dengan kesepakatan. Murtahin boleh menahan marhun setelah pembatalan
akad sampai marhun bih/utang yang dijamin oleh marhun itu dibayar lunas.

Pembatalan akad rahn dari pihak murtahin, atau murtahin membatalkan akad rah yang ada,
walaupun membatalkan tersebut hanya sepihak. Karena hak yang ada adalah milik murtahin,
dan akad rahn bagi pihak murtahin sifatnya tidak mengikat.

KHES Pasal 385

Pada prinsipnya harta pinjaman tidak boleh digadaikan kecuali dengan seizin pemiliknya.
Apabila pemilik harta memberi izin secara mutlak, maka peminjam boleh menggadaikannya
secara mutlak, dan apabila pemilik harta memberi izin secara terbatas maka peminjam harus
menggadaikannya secara terbatas. Pemilik harta yang mengizinkan hartanya dijadikan
jaminan dalam rahn harus mengetahui dan memahami resikonya. Pemilik harta yang
dipinjamkan dan telah digadaikan, mempunyai hak untuk meminta kepada pemberi guna
menebus harta gadai serta mengembalikan kepadanya.

KHES Pasal 386 sampai Pasal 394


Murtahin mempunyai hak menahan marhun sampai marhun bih/utang dibayar lunas. Apabila
rahin meninggal, maka murtahin mempunyai hak istimewa dari pihak-pihak yang lain dalam
mendapatkan pembayaran utang. Sedangkan dengan adanya marhun tidak menghilangkan
hak murtahin untuk menuntut pembayaran utang. Rahin dapat menuntut salah satu marhun
apabila ia telah membayar lunas utang yang didasarkan atas jaminan marhun tersebut.

KHES Pasal 395 sampai Pasal 396

Rahn dan murtahin dapat melakukan kesepakatan untuk meminjamkan marhun kepada pihak
ketiga. Murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun tanpa izin rahin.

KHES Pasal 397 sampai Pasal 398

Murtahin dapat menyimpan sendiri marhun atau pada pihak ketiga. Kekuasaan penyimpan
harta gadai sama dengan kekuasaan penerima harta gadai. Penyimpan harta gadai tidak boleh
menyerahkan harta tersebut baik kepada pemberi gadai maupun kepada penerima gadai tanpa
izin dari salah satu pihak. Harta gadai dapat dititipkan kepada penyimpan yang lain apabila
penyimpan yang pertama meninggal, dengan persetujuan pemberi dan penerima gadai tidak
sepakat.pemberi gadai bertanggung jawab atas biaya penyimpan dan pemeliharaan harta
gadai, kecuali ditentukan lain dalam akad.

Anda mungkin juga menyukai