Anda di halaman 1dari 10

Pembajakan kapan

indonesia di
perairan filipina
Oleh Anggota Kelompok 6 :

1. Anugrah Ari P. 11000119140215


2. Clara Beatrice 11000119120017
3. Dhiyaul Auliannisa 11000119120119
4. Drisamaeta Cahyastri 11000119140201
5. Fatih Rafi A. 11000119140471
6. Issha Navy Caroline 11000119140611
7. Kirana Andikaputri 11000119130395
8. Muhammad Dhafin 11000119140481
9. Puput Mufti Kholilah 11000119120100
10. Yedita Veronika 11000119130514
Latar Belakang
Hukum Maritim (Maritim Law) menurut kamus hukum “Black’s Law Dictionary”, adalah
hukum yang mengatur pelayaran dalam arti pengangkutan barang dan orang melalui laut,
kegiatan kenavigasian, dan perkapalan sebagai sarana atau moda transportasi laut termasuk
aspek keselamatan maupun kegiatan yang terkait langsung dengan perdagangan melalui laut yang
diatur dalam hukum perdata/dagang maupun yang diatur dalam hukum publik .
Dalam praktik pembajakan kapal dilaut, para pembajak tentulah tidak memikirkan tentang
tempat melakukan pembajakan, apakah diperairan pedalaman, laut teritorial, zona ekonomi
eksklusif, ataukah dilaut lepas.
Perlu penanganan luas dalam melawan kelompok terorisme di laut dengan gelar operasi
pemberantasan bersama dengan negara-negara pihak. Indonesia bekerja sama dengan
Pemerintah Filipina, kemudian Pemerintah Filipina menggerakkan Tentaranya untuk melakukan
upaya penyelamatan sandera.
KRONOLO
GI
Pembajakan pada Kapal Brahma 12 dan Anand 12 dari Indonesia
dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf yang merupakan pembajak
teroris asal Filipina. Tidak hanya melakukan pembajakan, kelompok
Abu Sayyaf juga melakukan penyanderaan 10 awak kapal yang
merupakan warga negara Indonesia. Kelompok Abu Sayyaf meminta
pembayaran tebusan sejumlah 50 juta peso yang setara dengan 14-15
miliar, apabila pemerintah Indonesia menginginkan para awak dan
kapal tersebut dibebaskan.
Berawal dari kapal Brahman 12 itu berlayar dekat Pulau
Tambulian di kota Tapul saat dua orang kakak beradik anggota Abu
Sayyaf, Nickson dan Brown Muktadil, naik ke kapal tersebut. Muktadil
bersaudara dikenal merupakan anggota brigade Abu Sayyaf pimpinan
Alhabsy Misaya. Di bawah todongan senjata, para ABK tidak berkutik.
Kemudian kapal itu ditarik menggunakan perahu yang lebih kecil oleh
anggota Abu Sayyaf. Kapal kecil yang digunakan untuk menarik
Brahman 12 ditemukan di desa pesisir Tubig Dakula di Languyan,
Tawi-Tawi.
ANALISIS
BERDASARKAN
TEORI HUKUM
Terdapat dua pendekatan, yaitu direct control
INTERNASIONAL
dan indirect control. Direct control merupakan
penegakan hukum pidana internasional melalui forum
pengadilan yang berdasarkan pada instrumen hukum
internasional.

Kasus pembajakan kapal ini penegakan


hukumnya masih termasuk dalam penegakan hukum
pidana internasional, di mana pembajakan kapal
tersebut terjadi dalam dua negara, yaitu perairan
Tawi-tawi, Filipina, dan kapal berbendara Indonesia,
tetapi dapat diselesaikan dengan menggunakan
hukum nasional, sehingga menggunakan pendekatan
indirect control.
Analisis berdasarkan kapa
l
asas hukum oidana
internasuinal
a. Asas Teritorial b. Asas Ekstrateritorial c. Asas Personal Aktif

Pasal 103 UNCLOS 1982 Negara bendera kapal Filipina ikut andil
menyebutkan bahwa suatu kapal berhak untuk mengadili kasus dalam menangani kasus
atau pesawat udara dianggap yang terjadi berdasarkan tersebut karena pelaku
sebagai kapal atau pesawat tempat perbuatan dilakukan, tindak kejahatan ialah
udara perompak apabila kapal pada kasus ini dilakukan di kelompok Abu Sayyaf yang
atau pesawat udara itu atas kapal, yakni kapal berasal dari Filipina.
dimaksudkan oleh pihak yang berbendera Indonesia, sehingga
menguasai atau Indonesia berhak untuk
mengendalikannya digunakan mengadili.
untuk tujuan melakukan salah
satu dari tindakan yang
disebutkan di dalam Pasal 101
UNCLOS 1982.
Analisis berdasarkan
asas hukum oidana
internasuinal
e. Asas Universal
d. Asas Personal Pasif
Semua negara berhak
Indonesia berhak
mengadili kasus pembajakan
mengadili karena korban tindak
kapal ini yang termasuk
kejahatan berasal dari Indonesia.
sebagai kejahatan.
ANALISIS
BERDASARKAN
A PRINSIP
KOMPLEMENTE
R
Prinsip ini dijelaskan di dalam Mukadimah Statuta Roma tahun 1998, bahwa
maksud dari prinsip ini adalah Mahkamah Pidana Internasional merupakan
pelengkap dari yurisdiksi pidana nasional. Pasal 1 Statuta Roma tahun 1998
memberikan penjelasan mengenai prinsip komplementer (Complementary
Principle). Berdasarkan hal ini, merupakan pengakuan terhadap prinsip kedaulatan
negara dan harapan masyarakat internasional agar sistem hukum nasional memuat
pengaturan hukum untuk mengadili dan menghukum tindak pidana yang menjadi
keprihatinan dan kesengsaraan dunia. Sehingga dengan terbentuknya Mahkamah
Pidana Internasional tidak bermaksud untuk menggantikan keberadaannya peranan
yurisdiksi nasional yang berlaku di setiap negara.
ANALISIS
BERDASARKAN
A PRINSIP
PENERIMAAN
Merupakan prinsip yang dimiliki oleh mahkamah dalam mengadili suatu perkara di bawah
ruang tetap admissibility (masalah penerimaan perkara) yang tercantum di dalam Pasal 17
Statuta Roma tahun 1998.

Hal tersebut merujuk pada hubungan antara sistem hukum nasional dan Mahkamah Pidana
Internasional dalam menentukan suatu kasus dinyatakan tidak dapat diterima apabila:
1. Perkaranya sedang diperiksa dan diadili oleh negara setempat kecuali negara tersebut tidak
mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan
penyidikan atau penuntutan
2. Perkaranya telah diselidiki oleh negara setempat dan negara tersebut memutuskan untuk
tidak melakukan penuntutan terhadap orang yang Kejahatan-Kejahatan Internasional
3. Orang yang bersangkutan telah diadili untuk perbuatan yang sama dengan perbuatan yang
menjadi dasar tuntutan mahkamah pidana internasional seperti yang disebutkan didalam
Pasal 20 ayat (3) Statuta Roma tahun 1998.
ANALISIS
BERDASARKAN
A PRINSIP
OTOMATIS
Menurut prinsip ini pelaksanaan yurisdiksi mahkamah atas dasar tindakan
tindakan pidana yang tercantum dalam Statuta Roma tahun 1998 dengan tidak
memerlukan persetujuan dari negaranegara pihak yang bersangkutan. Semua
negara secara langsung (otomatis) menerima yurisdiksi mahkamah atas semua
kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah, yang demikian itu terdapat
dalam paragraph 12 ayat (1) Statuta Roma tahun 1998. Sedangkan dalam Pasal 12
ayat (2) Statuta Roma tahun 1998 menjelaskan bahwa mahkamah dapat
menjalankan yurisdiksinya jika kejahatan terjadi di wilayah negara pihak-pihak dan
orang yang melakukan kejahatan tersebut adalah warga negara dari engara anggota
Statuta tersebut.
THANK
YOU!
ANY
QUESTI
ON?

Anda mungkin juga menyukai