Anda di halaman 1dari 18

PEMBAJAKAN KAPAL INDONESIA DI PERAIRAN FILIPINA

OLEH KELOMPOK ABU SAYYAF

(STUDI YURISDIKSI MAHKAMAH INTERNASIONAL DAN UNITED NATIONS ON

THE LAW OF THE SEA)

Diaz Muh Hartawan (2012011384)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

TAHUN 2022

1
BAB I

1.1. Latar Belakang

Pembajak di laut lepas baik yang dilakukan oleh kapal-kapal asing maupun oleh

kapal-kapal domestik di wilayah perairan internasional telah menimbulkan keresahan

bagi pelayaran internasional. Penindakan kejahatan pembajakan laut lepas tersebut,

didasarkan pada berlakunya hukum internasional yang berkaitan dengan pembajakan

laut lepas. Pembajakan di laut lepas dapat dikategorikan ke dalam kejahatan lintas batas

negara. Pelaku pembajakan dapat melibatkan orang-orang dengan kewarganegaraan

berbeda yang terorganisir, rapi dan dikendalikan dari negara mana saja, karena itu

serangan terhadap kapal dapat terjadi dimana saja dan pelaku penyerangan bisa

melarikan diri kemana saja.

Dalam hukum positif internasional, definisi atau batasan pengertian pembajakan di

laut telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi Jenewa l958 danKonvensi

Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa l958 dalam Pasal l5 merumuskan

pembajakan di laut yaitu bahwa1 :Pembajakan terdiri dari salah satu tindakan berikut:

1) Setiap tindakan ilegal kekerasan, penahanan atau tindakan penyusutan,

berkomitmen untuk tujuan pribadi oleh awak atau penumpang kapal swasta atau

pesawat pribadi dan diarahkan:

1
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung : Penerbit Binacipta, 1978), hlm. 224-
225

2
a) Di laut lepas, terhadap kapal lain atau pesawat udara, atau terhadap orang atau

properti di atas kapal atau pesawat udara.

b) Terhadap kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar

yurisdiksi Negara manapun.

2) Setiap tindakan partisipasi sukarela dalam operasi pesawat terbang dengan

mengetahui fakta yang membuatnya menjadi bajak laut-kapal atau pesawat

udara.

3) Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang

disebutkan di sub-ayat (1) atau sub-ayat (2) pasal ini.

Masalah pembajakan kapal memang suatu resiko yang terjadi saat sedang berlayar

di laut lepas. Indonesia merupakan negara kepulauan yang mana sebagian besar

wilayahnya dikelilingi laut. Salah satu fungsi laut adalah jalur transportasi yang

menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa yang lain untuk segala macam kegiatan.

Diantara wilayah atau teritorial Indonesia terdapat wilayah laut internasional yang mana

semua kapal dari penjuru dunia bebas untuk keluar masuk. Disaat kapal sedang berlayar

di dalam laut internasional, maka tidak boleh ada satu aturan/hukum dari negara

manapun yang ada disana. Lalu bagaimana jika terjadi sebuah pembajakan oleh para

bajak laut ? pembajakan memiliki arti yang sangat negatif. Aksi yang pada umumnya

dilakukan oleh para bajak laut ini merampas barang atau hak orang lain. Dalam hukum

internasional, pembajakan dapat diartikan sebagai kejahatan tertua yang masuk kedalam

yurisdiksi universal. Bajak laut dianggap sebagai hostis humanis generis (musuh

seluruh umat manusia), sehingga setiap negara dapat menggunakan hukum nasionalnya

3
untuk menghukum para bajak laut yang melakukan pembajakan, terlepas dari negara

mana dia berasal.2 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) melalui

resolusi DK PBB nomor 1897 tahun 2009 telah menetapkan kerangka hukum yang

berlaku untuk memerangi perompakan.

Tidak ada dalam catatan sejarah bahwa pembajakan dilakukan dengan cara yang

baik dan sopan. Pembajak tentu dilakukan dengan cara kekerasan dan tidak segan untuk

membunuh korbannya jika apa yang mereka inginkan tidak dipenuhi. Berbagai upaya

dilakukan oleh pemerintah agar dapat membebaskan para korban mulai dari dialog

antara pemerintah dengan para bajak laut hingga memberi uang tebusan kepada mereka.

Namun upaya-upaya yang dilakukan tidak akan memberikan efek jera secara

menyeluruh atau hanya menyelesaikan masalah dengan skala kecil dan tidak

menyeluruh. Justru dengan diberikan uang tebusan kepada bajak laut akan membuat

mereka ingin menambah apa yang mereka inginkan dan akan mengulangi perbuatannya

tersebut.

Kasus yang akan dibahas disini adalah terkait dengan pembajakan kapal kelompok

Abu Sayyaf. Kronologinya adalah dua kapal pembawa batu bara berangkat dari Sungai

Puting, Kalimantan Selatan bertolak ke Filipina Selatan pada tanggal 15 Maret 2016.

Ketika melintasi Basilan Island, di mana terdapat beberapa pulau kecil yang tidak sering

dilalui oleh petugas patroli, kapal tersebut dikejar oleh para pembajak dengan

menggunakan kapal cepat (speedboat). Dengan ukuran kapal yang kecil dan muatan

2
Y Gunawan, 2012, Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui Yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional, Jurnal Media Hukum, Vol 25, No 1 (2018), Yogyakarta, FH UMY. Diakses pada
laman http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1978/1959 pada tanggal 28 Mei 2022 pukul
07.34 WIB

4
batu bara yang banyak, kapal pengangkut seperti ini sering menjadi sasaran para

pembajak di perbatasan-perbatasan negara, dalam hal ini, Filipina.3

Para pembajak itu lalu menyandera dua kapal itu beserta awak kapal dengan

menggunakan senjata api. Mereka (pembajak yang mengaku dari kelompok Abu

Sayyaf) lalu menghubungi pemilik kapal untuk meminta uang tebusan sebesar 50 juta

Peso (setara dengan 14,2 miliar Rupiah) untuk dipenuhi paling lambat hingga tanggal

31 Maret 2016.

Berdasarkan keadaan terakhir pada tanggal 29 Maret 2016, Kapal Brahma 12 telah

dilepaskan dan saat ini berada di tangan otoritas Filipina. Pihak Kepala Dinas

Penerangan TNI Angkatan Laut juga telah menegaskan untuk memantau keadaan

perairan Indonesia, khususnya di perbatasan negara Indonesia dengan Filipina. Patroli

ini menggunakan empat kapal perang, yakni KRI Surabaya, KRI Ajak, KRI Ami dan

KRI Mandau.

Sebagian besar negara memang menghindari tanggung jawab hukum mereka

untuk mengadili para bajak laut yang tertangkap melakukan kejahatan di wilayah

mereka atau terhadap kapal-kapal dan awak kapal. Alasan penolakan tersebut antara

lain, dikarenakan untuk hukum nasional misalnya, hukum yang ada tidak memadai atau

tidak ada pengaturan mengenai kriminalisasi tindakan yang dilakukan oleh para bajak

laut.4

3
Liputan6.com. "Cerita Kapten Kapal Tugboat Jadi Target Perompak Abu Sayyaf". liputan6.com. Diakses
tanggal 28 Mei 2022 pukul 8.12 WIB
4
Y Gunawan, 2012, Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui Yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional, Jurnal Media Hukum, Vol 25, No 1 (2018), Yogyakarta, FH UMY. Diakses pada
laman http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1978/1959 pada tanggal 28 Mei 2022 pukul
07.34 WIB

5
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa masalah yang akan

dibahas yaitu:

1. Bagaimana peran dan kewenangan mahkamah pidana internasional dalam

historis penyelesaian kasus pembajakan kapal di laut lepas?

2. Pengaruh United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982

dalam pembajakan laut?

3. Bagaimana proses diplomasi pemerintah indonesia terkait pembebasan kapal?

6
BAB II

1.3. Analisis Kasus

1.3.1. Peran dan Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Dalam Historis

Penyelesaian Kasus Pembajakan Kapal di Laut Lepas

Secara historis, negara telah diberikan kewenangan untuk menindak pelanggaran

hukum pidana internasional dengan menggunakan dua pendekatan:

1. Secara domestik dan menggunakan hukum internasional di tingkat nasional.

2. Penggunaan hukum internasional menggunakan pengadilan supranasional atau

tribunal khusus, seperti Mahkamah Pidana Internasional.

Menurut Profesor Antonio Cassese, bagaimanapun, banyak sarjana hukum

berpendapat bahwa forum terbaik untuk penuntutan peradilan tindak pidana adalah

pengadilan nasional, bukan pengadilan supranasional. Ada dua alasan utama untuk

kesimpulan ini; Pertama, pengadilan nasional merupakan pengadilan terdekat dengan

lokasi di mana tindak pidana tersebut dilakukan. Oleh karena itu, lokasi pengadilan juga

harus dekat dengan bukti yang diperlukan untuk mengadili pelanggaran: yaitu,

terdakwa, korban, saksi, dan bukti fisik.5 Mahkamah Pidana Internasional (International

Criminal Court) merupakan mahkamah yang independen dan merupakan badan dari

PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral. Meskipun Dewan Keamanan

5
Ibid. Diakses pada tanggal 29 Mei 2022 pukul 07.34 WIB

7
PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional,

keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut.

Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke

Pengadilan:

a) Propio Motu:

Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana

satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai

sumber, termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan yang

memberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut

b) State Referrals:

Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut

untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan,

tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi.

c) UNSC Resolution:

Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi

situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1

dan 2, ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB

mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut

terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah

dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.6

6
Fahri H Satriyo, Analisis Komparatif Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Mekanisme
Mahkamah Pidana Internasional Dengan Mahkamah Internasional Adhoc, FH UNS, 2014. hlm 16-17

8
1.3.2. Pengaruh Unied Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS)

1982 Dalam Pembajakan Laut

Konvensi Hukum Laut (United Nations Convention on The Law of The Sea) disetujui

pada 10 Desember 1982. Dalam konvensi ini ecara umum membahas tentang

pembajakan laut pada pasal 100-107. Dalam Pasal 100 UNCLOS 1982 mengatur

kewajiban negara untuk bekerja sama dalam menegakkan dan menanggulangi

perompakan :

“all states shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of

piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any State.”

Pasal tersebut memberikan landasan legitimasi bagi setiap negara untuk

menerapkan hukumnya untuk mengadili perompak, meski hal tersebut dilakukan oleh

negara pihak ketiga berdasarkan asas universal yaitu melekat terhadap pelaku sehingga

setiap negara dapat mengadilinya meskipun tidak terkait sama sekali dengan kejahatan

tersebut. UNCLOS 1982 juga mengatur definisi dan kualifikasi tindakan yang

dikategorikan sebagai perompakan daitu dalam Pasal 101. Peristiwa yang dikatakan

sebagai perompakan jika memenuhi unsur sebagai berikut:

a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan

memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang

dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan dilakukan:

● Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau

barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian;

9
● Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar

yurisdiksi negara manapun;

b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau

pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat

udara perompak.

c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan

di atas.7

Selain itu pengaturan lainnya terdapat dalam Pasal 104 KHL 1982 menyatakan

bahwa, “Suatu kapal atau pesawat udara dapat tetap memiliki kebangsaannya

walaupun telah menjadi kapal atau pesawat udara perompak. Tetap dimilikinya atau

kehilangan kebangsaan ditentukan oleh hukum negara yang telah memberikan

kebangsaan itu.”8 Dan juga pada Pasal 106 KHL 1982 mengatur bahwa “Apabila

tindakan penyitaan terhadap suatu kapal atau pesawat udara yang dicurigai melakukan

pembajakan ini tanpa bukti yang cukup, maka negara yang telah melakukan penyitaan

tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang timbul akibat

penyitaan tersebut kepada negara yang kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau

pesawat udara tersebut.”9

7
Astri Dwi Utami¸ Yurisdiksi Internasional Penanggulangan Perompakan di Laut Lepas, Vol 3 No 1, 1
Januari-April 2014. Diakses pada tanggal 30 Desember 2018 pukul 09.45
8
Abdul Muthalib Tahar, Hukum Internasional dan Perkembangannya, (Bandar Lampung: Universitas
Lampung, 2012), hlm 58
9
Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos
1982) Di Indonesia, (Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja
Dewan Kelautan Indonesia, 2008). hlm 34

10
Berdasarkan konvensi hukum laut internasional memberikan kesempatan kepada

negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landasan kontinen sehingga

350 mil laut dari garis pangkal.berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan

adalah 200 mil laut maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk

melakukan submission ke PBB mengenai batas landasan kontinen indonesia diluar 200

mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologi, kemungkinan memiliki

wilayah yang dapat diajukan ssuai dengan ketentuan penarikan batas landasan kontinen

diluar 200 mil. Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 juga melahirkan delapan zonasi

pengaturan hukum laut yaitu :

a. Perairan pedalam (internal waters)

b. Perairan (archipelagic water) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan

untuk pelayaran internasional

c. Laut teritorial (territorial waters)

d. Zona tambahan (contiguous waters)

e. Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone)

f. Landasan kontinen (continental shelf)

g. Laut lepas ( high seas)

h. Kawasan dasar laut internasional (international sea bed area)10

1.3.3. Proses Diplomasi Pemerintah Indonesia Terkait Pembebasan Kapal

10
Lazarus, Pokok-Pokok Hukum Laut Internasional, ( Semarang: Pusat Studi hukum Laut, 2005). hlm 22

11
Indonesia tentunya tidak pernah mengalami kejadian saat kapalnya dibajak oleh pra

bajak laut. Kasus yang dibahas dalam tulisan ini adalah kapal Indonesia dibajak oleh

kelompok Abu Sayyaf saat melakukan pengiriman batu bara ke Filipina Selatan dari

Kalimantan Selatan. Tidak tanggung-tanggung dua kapal Indonesia dibajak dan 10

orang ABK disandera oleh kelompok ini. Keterampilan dalam berdiplomasi

merupakan syarat utama seorang diplomat yang terlibat dalam politik internasional,

yang pada dasarnya dipergunakan untuk mencapai kesepakatan, kompromi, dan

penyelesaian masalah dimana tujuan-tujuan pemerintah yang saling bertentangan.

Berbicara mengenai kegiatan diplomasi pasti akan menuju ke diplomat dan

depatemen luar negeri. Karena Negara menciptakan departemen ini untuk

mengurusi urusan yang berkaitan dengan Negara lain.

Tapi seiring dengan perkembangan zaman, cakupan isu, aktor, dan agenda

diplomasi dalam hubungan internasional semakin kompleks dan berkembang. Tugas

diplomasi bukan lagi tugas dari pemerintah melainkan dapat dilakukan oleh swasta/ non

pemerintah. Diplomasi tradisional yang hanya melibatkan peran pemerintah (first

track diplomacy) dalam menjalankan misi diplomasi, tidak akan efektif dalam rangka

menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara. Oleh karena itu,

aktivitas diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik sangat dibutuhkan

dalam rangka melengkapi aktivitas diplomasi tradisional. Ide menuju open

diplomacy dan total diplomacy menjadi alternatif yang digunakan untuk menjawab

tantangan dan peluang dalam kerjasama bilateral dan multilateral yang menyokong

politik luar negeri Indonesia saat ini. Kelompok Abu Sayyaf merupakan non state

12
actor dan diplomasi dapat digunakan tidak hanya antar sesama Negara tetapi juga

dengan aktor non Negara.

Hasil analisa yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa strategi diplomasi

Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf adalah

dengan menggunakan multi-track diplomacy atau yang disebut juga dengan

diplomasi total yang dilakukan di bawah pemerintah Indonesia, namun melibatkan

semua unsur anak bangsa. Adapun proses diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia

menggunakan cara first track diplomacy. Dalam track pertama ini dilakukan oleh

pemerintah. Walaupun dalam pelaksanaan strategi diplomasi total melibatkan banyak

pihak namun tetap dipimpin oleh pemerintah. Dalam track one ini, jajaran yang

terlibat dari pemerintah yakni Kemenlu, TNI dan Polri dimana petugas Polri ada di

Filipina dan selama ini berkoordinasi. Sejak kelompok Abu Sayyaf mengumumkan

bahwa pihaknya bertanggung jawab atas pembajakan kapal dan penyanderaan awak

kapal dimana 10 orangnya merupakan WNI, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno

Marsuri kemudian terbang menuju Filipina pada 1-2 April 2016 dan berkoordinasi

dengan pihak Filipina. Dari pertemuan dengan pihak-pihak penting di Manila, ada 4

poin yang dibawa pulang yaitu: Pertama, mengintensifkan komunikasi dan

koordinasi dengan pemerintah Filipina dalam upaya pembebasan sandera WNI.

Kedua, menekankan kembali mengenai pentingnya keselamatan ke-10 WNI kita

tersebut. Ketiga, menyampaikan apresiasi atas kerjasama yang sejauh ini telah

diberikan oleh otoritas Filipina dalam rangka koordinasi pelepasan sandera. Dan

keempat, melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait lainnya.

13
Dalam usaha pembebasan para sandera, TNI juga melakukan operasi intelijen di

bawah koordinasi dari Kementerian Luar Negeri. Tim ini dipimpin Mayor Jendral

Purnawirawan Kivlan Zen. Tim ini beranggatakan 7 orang dan merupakan bagian dari

operasi intelijen Badan Intelijen Strategis tentara Indonesia. Tim ini menggandeng

Intelijen Filipina dan menyertakan PT. Patria Maritim Lines perusahaan pemilik

Kapal. Menurut Kivlan pada tanggal 27 Maret 2016 Perusahaan pemilik kapal

mengirim sejumlah tim untuk bernegosiasi. Kivlan turun ke Filipina karena punya

kontak dengan sejumlah tokoh Moro. Ia pernah menjadi anggota pasukan

perdamaian untuk menjaga genjatan senjata antara pemerintah Filipina dan pembrontak

MNLF yang dipimpin oleh Nur Misuari pada 1995-1996 (Tempo, 2016:31). Kesiagaan

TNI, bisa semakin memperkuat peran-peran diplomasi yang dilaksanakan oleh Kemlu.

Selama proses negosiasi dilakukan, desakan menggunakan kekuatan militer juga

terus menggema. Pasukan TNI juga telah disiapkan di sekitar wilayah Kalimantan

menunggu perintah melaksanakan kekuatan militer. Indonesia juga sempat

menawarkan pihak Filipina untuk meminta izin menggunakan kekuatan milter

dalam upaya pembebasan 10 WNI. Tawaran itu dilontarkan oleh Menteri

Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu. Namun permintaan itu ditolak oleh pihak Filipina

karena dalam konstitusi Filipina, tidak diizinkan kekuatan militer (negara lain) di

Filipina tanpa perjanjian. Namun Menteri Luar Negeri Filipina dan panglima angkatan

bersenjata Filipina tampak jelas komitmen untuk menyelesaikan masalah ini dan

terus berkomunikasi dengan pihak Luar Negeri Indonesia.

14
BAB III

1.4. Kesimpulan

Penindakan kejahatan pembajakan laut lepas tersebut, didasarkan pada berlakunya

hukum internasional yang berkaitan dengan pembajakan laut lepas. Pembajakan

15
memiliki efek negatif yang sangat dirasakan oleh masyarakat internasional secara

keseluruhan, karena menghambat pengiriman bantuan asing dan memberikan kontribusi

ketidakstabilan di negara-negara yang sudah berkembang dan tidak stabil. Bajak laut

dianggaap sebagai hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia), sehingga

setiap negara dapat menggunakan hukum nasionalnya untuk menghukum para bajak

laut yang melakukan pembajakan, terlepas dari negara mana dia berasal.

Negara diberikan kewenangan untuk mengadili kejahatan internasional dengan dua

pendekatan yaitu secara domestik dan menggunakan hukum internasional di tingkat

nasional dan penggunaan hukum internasional menggunakan pengadilan supranasional

atau tribunal khusus, seperti Mahkamah Pidana Internasional. Kasus pembajakan dapat

dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Untuk dapat

membawa kasus tersebut maka dapat dijabarkan oleh statuta Roma dengan Propio

Motu, State Referrals, UNSC Resolution. Mahkamah Pidana Internasional memiliki

wewenang untuk mengadili terkait kasus pembajakan yang dilakukan oleh bajak laut.

ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi

tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang

belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.

United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi

Hukum Laut 1982 secara umum membahas tentang pembajakan. Pembahasan ini

terdapat dalam pasal 100-107. Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 juga melahirkan

delapan zonasi pengaturan hukum laut yaitu :Perairan pedalam (internal waters),

Perairan ( archiplegic water) termasuk kedalamnya selat yang digunakan untuk

16
pelayaran internasional, Laut teritorial ( teritorial waters), Zona tambahan ( contingous

waters), Zona ekonomi eksklusif ( exclusiv economic zone), Landasan kontinen

( kontinental shelf), Laut lepas ( high seas), Kawasan dasa laut internasional

( international sea bed area). Keterampilan dalam berdiplomasi merupakan syarat

utama seorang diplomat yang terlibat dalam politik internasional, yang pada

dasarnya dipergunakan untuk mencapai kesepakatan, kompromi, dan penyelesaian

masalah dimana tujuan-tujuan pemerintah yang saling bertentangan. Aktivitas

diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik sangat dibutuhkan dalam

rangka melengkapi aktivitas diplomasi tradisional.

DAFTAR PUSTAKA

Lazarus, 2005, Pokok-Pokok Hukum Laut Internasional, Semarang: Pusat Studi hukum

Laut

Mochtar Kusumaatmadja,1978, Hukum Laut Internasional, Bandung: Penerbit

Binacipta,.

17
Liputan6.com. "Cerita Kapten Kapal Tugboat Jadi Target Perompak Abu Sayyaf".

liputan6.com.

Abdul Muthalib Tahar, 2012, Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar

Lampung: Universitas Lampung,

Abdul Alim Salam, 2008, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum

Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan

Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta,

Y Gunawan,2012, Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui Yurisdiksi


Mahkamah Pidana Internasional, Jurnal Media Hukum, Vol 25, No 1 (2018),
Yogyakarta, FH UMY. . Diakses pada laman
http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1978/1959
Astri Dwi Utami¸ Yurisdiksi Internasional Penanggulangan Perompakan di Laut

Lepas, Vol 3 No 1, 1 Januari-April 2014

Fahri H Satriyo, Analisis Komparatif Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui

Mekanisme Mahkamah Pidana Internasional Dengan Mahkamah Internasional Adhoc,

FH UNS, 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai