FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
TAHUN 2022
1
BAB I
Pembajak di laut lepas baik yang dilakukan oleh kapal-kapal asing maupun oleh
laut lepas. Pembajakan di laut lepas dapat dikategorikan ke dalam kejahatan lintas batas
berbeda yang terorganisir, rapi dan dikendalikan dari negara mana saja, karena itu
serangan terhadap kapal dapat terjadi dimana saja dan pelaku penyerangan bisa
laut telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi Jenewa l958 danKonvensi
Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa l958 dalam Pasal l5 merumuskan
pembajakan di laut yaitu bahwa1 :Pembajakan terdiri dari salah satu tindakan berikut:
berkomitmen untuk tujuan pribadi oleh awak atau penumpang kapal swasta atau
1
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung : Penerbit Binacipta, 1978), hlm. 224-
225
2
a) Di laut lepas, terhadap kapal lain atau pesawat udara, atau terhadap orang atau
b) Terhadap kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar
udara.
Masalah pembajakan kapal memang suatu resiko yang terjadi saat sedang berlayar
di laut lepas. Indonesia merupakan negara kepulauan yang mana sebagian besar
wilayahnya dikelilingi laut. Salah satu fungsi laut adalah jalur transportasi yang
menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa yang lain untuk segala macam kegiatan.
Diantara wilayah atau teritorial Indonesia terdapat wilayah laut internasional yang mana
semua kapal dari penjuru dunia bebas untuk keluar masuk. Disaat kapal sedang berlayar
di dalam laut internasional, maka tidak boleh ada satu aturan/hukum dari negara
manapun yang ada disana. Lalu bagaimana jika terjadi sebuah pembajakan oleh para
bajak laut ? pembajakan memiliki arti yang sangat negatif. Aksi yang pada umumnya
dilakukan oleh para bajak laut ini merampas barang atau hak orang lain. Dalam hukum
internasional, pembajakan dapat diartikan sebagai kejahatan tertua yang masuk kedalam
yurisdiksi universal. Bajak laut dianggap sebagai hostis humanis generis (musuh
seluruh umat manusia), sehingga setiap negara dapat menggunakan hukum nasionalnya
3
untuk menghukum para bajak laut yang melakukan pembajakan, terlepas dari negara
mana dia berasal.2 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) melalui
resolusi DK PBB nomor 1897 tahun 2009 telah menetapkan kerangka hukum yang
Tidak ada dalam catatan sejarah bahwa pembajakan dilakukan dengan cara yang
baik dan sopan. Pembajak tentu dilakukan dengan cara kekerasan dan tidak segan untuk
membunuh korbannya jika apa yang mereka inginkan tidak dipenuhi. Berbagai upaya
dilakukan oleh pemerintah agar dapat membebaskan para korban mulai dari dialog
antara pemerintah dengan para bajak laut hingga memberi uang tebusan kepada mereka.
Namun upaya-upaya yang dilakukan tidak akan memberikan efek jera secara
menyeluruh atau hanya menyelesaikan masalah dengan skala kecil dan tidak
menyeluruh. Justru dengan diberikan uang tebusan kepada bajak laut akan membuat
mereka ingin menambah apa yang mereka inginkan dan akan mengulangi perbuatannya
tersebut.
Kasus yang akan dibahas disini adalah terkait dengan pembajakan kapal kelompok
Abu Sayyaf. Kronologinya adalah dua kapal pembawa batu bara berangkat dari Sungai
Puting, Kalimantan Selatan bertolak ke Filipina Selatan pada tanggal 15 Maret 2016.
Ketika melintasi Basilan Island, di mana terdapat beberapa pulau kecil yang tidak sering
dilalui oleh petugas patroli, kapal tersebut dikejar oleh para pembajak dengan
menggunakan kapal cepat (speedboat). Dengan ukuran kapal yang kecil dan muatan
2
Y Gunawan, 2012, Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui Yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional, Jurnal Media Hukum, Vol 25, No 1 (2018), Yogyakarta, FH UMY. Diakses pada
laman http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1978/1959 pada tanggal 28 Mei 2022 pukul
07.34 WIB
4
batu bara yang banyak, kapal pengangkut seperti ini sering menjadi sasaran para
Para pembajak itu lalu menyandera dua kapal itu beserta awak kapal dengan
menggunakan senjata api. Mereka (pembajak yang mengaku dari kelompok Abu
Sayyaf) lalu menghubungi pemilik kapal untuk meminta uang tebusan sebesar 50 juta
Peso (setara dengan 14,2 miliar Rupiah) untuk dipenuhi paling lambat hingga tanggal
31 Maret 2016.
Berdasarkan keadaan terakhir pada tanggal 29 Maret 2016, Kapal Brahma 12 telah
dilepaskan dan saat ini berada di tangan otoritas Filipina. Pihak Kepala Dinas
Penerangan TNI Angkatan Laut juga telah menegaskan untuk memantau keadaan
ini menggunakan empat kapal perang, yakni KRI Surabaya, KRI Ajak, KRI Ami dan
KRI Mandau.
untuk mengadili para bajak laut yang tertangkap melakukan kejahatan di wilayah
mereka atau terhadap kapal-kapal dan awak kapal. Alasan penolakan tersebut antara
lain, dikarenakan untuk hukum nasional misalnya, hukum yang ada tidak memadai atau
tidak ada pengaturan mengenai kriminalisasi tindakan yang dilakukan oleh para bajak
laut.4
3
Liputan6.com. "Cerita Kapten Kapal Tugboat Jadi Target Perompak Abu Sayyaf". liputan6.com. Diakses
tanggal 28 Mei 2022 pukul 8.12 WIB
4
Y Gunawan, 2012, Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui Yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional, Jurnal Media Hukum, Vol 25, No 1 (2018), Yogyakarta, FH UMY. Diakses pada
laman http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1978/1959 pada tanggal 28 Mei 2022 pukul
07.34 WIB
5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa masalah yang akan
dibahas yaitu:
2. Pengaruh United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982
6
BAB II
berpendapat bahwa forum terbaik untuk penuntutan peradilan tindak pidana adalah
pengadilan nasional, bukan pengadilan supranasional. Ada dua alasan utama untuk
lokasi di mana tindak pidana tersebut dilakukan. Oleh karena itu, lokasi pengadilan juga
harus dekat dengan bukti yang diperlukan untuk mengadili pelanggaran: yaitu,
terdakwa, korban, saksi, dan bukti fisik.5 Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court) merupakan mahkamah yang independen dan merupakan badan dari
5
Ibid. Diakses pada tanggal 29 Mei 2022 pukul 07.34 WIB
7
PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional,
Pengadilan:
a) Propio Motu:
satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai
sumber, termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan yang
b) State Referrals:
Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut
untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan,
c) UNSC Resolution:
situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1
terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah
6
Fahri H Satriyo, Analisis Komparatif Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Mekanisme
Mahkamah Pidana Internasional Dengan Mahkamah Internasional Adhoc, FH UNS, 2014. hlm 16-17
8
1.3.2. Pengaruh Unied Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS)
Konvensi Hukum Laut (United Nations Convention on The Law of The Sea) disetujui
pada 10 Desember 1982. Dalam konvensi ini ecara umum membahas tentang
pembajakan laut pada pasal 100-107. Dalam Pasal 100 UNCLOS 1982 mengatur
perompakan :
“all states shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of
piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any State.”
menerapkan hukumnya untuk mengadili perompak, meski hal tersebut dilakukan oleh
negara pihak ketiga berdasarkan asas universal yaitu melekat terhadap pelaku sehingga
setiap negara dapat mengadilinya meskipun tidak terkait sama sekali dengan kejahatan
tersebut. UNCLOS 1982 juga mengatur definisi dan kualifikasi tindakan yang
dikategorikan sebagai perompakan daitu dalam Pasal 101. Peristiwa yang dikatakan
a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan
memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang
● Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau
9
● Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar
b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau
pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat
udara perompak.
c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan
di atas.7
Selain itu pengaturan lainnya terdapat dalam Pasal 104 KHL 1982 menyatakan
bahwa, “Suatu kapal atau pesawat udara dapat tetap memiliki kebangsaannya
walaupun telah menjadi kapal atau pesawat udara perompak. Tetap dimilikinya atau
kebangsaan itu.”8 Dan juga pada Pasal 106 KHL 1982 mengatur bahwa “Apabila
tindakan penyitaan terhadap suatu kapal atau pesawat udara yang dicurigai melakukan
pembajakan ini tanpa bukti yang cukup, maka negara yang telah melakukan penyitaan
tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang timbul akibat
penyitaan tersebut kepada negara yang kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau
7
Astri Dwi Utami¸ Yurisdiksi Internasional Penanggulangan Perompakan di Laut Lepas, Vol 3 No 1, 1
Januari-April 2014. Diakses pada tanggal 30 Desember 2018 pukul 09.45
8
Abdul Muthalib Tahar, Hukum Internasional dan Perkembangannya, (Bandar Lampung: Universitas
Lampung, 2012), hlm 58
9
Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos
1982) Di Indonesia, (Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja
Dewan Kelautan Indonesia, 2008). hlm 34
10
Berdasarkan konvensi hukum laut internasional memberikan kesempatan kepada
negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landasan kontinen sehingga
350 mil laut dari garis pangkal.berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan
adalah 200 mil laut maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk
melakukan submission ke PBB mengenai batas landasan kontinen indonesia diluar 200
mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologi, kemungkinan memiliki
wilayah yang dapat diajukan ssuai dengan ketentuan penarikan batas landasan kontinen
diluar 200 mil. Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 juga melahirkan delapan zonasi
10
Lazarus, Pokok-Pokok Hukum Laut Internasional, ( Semarang: Pusat Studi hukum Laut, 2005). hlm 22
11
Indonesia tentunya tidak pernah mengalami kejadian saat kapalnya dibajak oleh pra
bajak laut. Kasus yang dibahas dalam tulisan ini adalah kapal Indonesia dibajak oleh
kelompok Abu Sayyaf saat melakukan pengiriman batu bara ke Filipina Selatan dari
merupakan syarat utama seorang diplomat yang terlibat dalam politik internasional,
Tapi seiring dengan perkembangan zaman, cakupan isu, aktor, dan agenda
diplomasi bukan lagi tugas dari pemerintah melainkan dapat dilakukan oleh swasta/ non
track diplomacy) dalam menjalankan misi diplomasi, tidak akan efektif dalam rangka
aktivitas diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik sangat dibutuhkan
diplomacy dan total diplomacy menjadi alternatif yang digunakan untuk menjawab
tantangan dan peluang dalam kerjasama bilateral dan multilateral yang menyokong
politik luar negeri Indonesia saat ini. Kelompok Abu Sayyaf merupakan non state
12
actor dan diplomasi dapat digunakan tidak hanya antar sesama Negara tetapi juga
Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf adalah
semua unsur anak bangsa. Adapun proses diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia
menggunakan cara first track diplomacy. Dalam track pertama ini dilakukan oleh
pihak namun tetap dipimpin oleh pemerintah. Dalam track one ini, jajaran yang
terlibat dari pemerintah yakni Kemenlu, TNI dan Polri dimana petugas Polri ada di
Filipina dan selama ini berkoordinasi. Sejak kelompok Abu Sayyaf mengumumkan
bahwa pihaknya bertanggung jawab atas pembajakan kapal dan penyanderaan awak
kapal dimana 10 orangnya merupakan WNI, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno
Marsuri kemudian terbang menuju Filipina pada 1-2 April 2016 dan berkoordinasi
dengan pihak Filipina. Dari pertemuan dengan pihak-pihak penting di Manila, ada 4
tersebut. Ketiga, menyampaikan apresiasi atas kerjasama yang sejauh ini telah
diberikan oleh otoritas Filipina dalam rangka koordinasi pelepasan sandera. Dan
13
Dalam usaha pembebasan para sandera, TNI juga melakukan operasi intelijen di
bawah koordinasi dari Kementerian Luar Negeri. Tim ini dipimpin Mayor Jendral
Purnawirawan Kivlan Zen. Tim ini beranggatakan 7 orang dan merupakan bagian dari
operasi intelijen Badan Intelijen Strategis tentara Indonesia. Tim ini menggandeng
Intelijen Filipina dan menyertakan PT. Patria Maritim Lines perusahaan pemilik
Kapal. Menurut Kivlan pada tanggal 27 Maret 2016 Perusahaan pemilik kapal
mengirim sejumlah tim untuk bernegosiasi. Kivlan turun ke Filipina karena punya
perdamaian untuk menjaga genjatan senjata antara pemerintah Filipina dan pembrontak
MNLF yang dipimpin oleh Nur Misuari pada 1995-1996 (Tempo, 2016:31). Kesiagaan
TNI, bisa semakin memperkuat peran-peran diplomasi yang dilaksanakan oleh Kemlu.
terus menggema. Pasukan TNI juga telah disiapkan di sekitar wilayah Kalimantan
Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu. Namun permintaan itu ditolak oleh pihak Filipina
karena dalam konstitusi Filipina, tidak diizinkan kekuatan militer (negara lain) di
Filipina tanpa perjanjian. Namun Menteri Luar Negeri Filipina dan panglima angkatan
bersenjata Filipina tampak jelas komitmen untuk menyelesaikan masalah ini dan
14
BAB III
1.4. Kesimpulan
15
memiliki efek negatif yang sangat dirasakan oleh masyarakat internasional secara
ketidakstabilan di negara-negara yang sudah berkembang dan tidak stabil. Bajak laut
dianggaap sebagai hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia), sehingga
setiap negara dapat menggunakan hukum nasionalnya untuk menghukum para bajak
laut yang melakukan pembajakan, terlepas dari negara mana dia berasal.
atau tribunal khusus, seperti Mahkamah Pidana Internasional. Kasus pembajakan dapat
membawa kasus tersebut maka dapat dijabarkan oleh statuta Roma dengan Propio
wewenang untuk mengadili terkait kasus pembajakan yang dilakukan oleh bajak laut.
ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi
tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang
belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.
United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi
Hukum Laut 1982 secara umum membahas tentang pembajakan. Pembahasan ini
terdapat dalam pasal 100-107. Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 juga melahirkan
delapan zonasi pengaturan hukum laut yaitu :Perairan pedalam (internal waters),
16
pelayaran internasional, Laut teritorial ( teritorial waters), Zona tambahan ( contingous
( kontinental shelf), Laut lepas ( high seas), Kawasan dasa laut internasional
utama seorang diplomat yang terlibat dalam politik internasional, yang pada
diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik sangat dibutuhkan dalam
DAFTAR PUSTAKA
Lazarus, 2005, Pokok-Pokok Hukum Laut Internasional, Semarang: Pusat Studi hukum
Laut
Binacipta,.
17
Liputan6.com. "Cerita Kapten Kapal Tugboat Jadi Target Perompak Abu Sayyaf".
liputan6.com.
Abdul Alim Salam, 2008, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum
FH UNS, 2014.
18