Anda di halaman 1dari 10

SANKSI HUKUM TERHADAP PEROMPAKAN DI LAUT LEPAS MENURUT

HUKUM INTERNASIONAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Hukum

Disusun Oleh :
Kezia Maria Yanada
202005000168

UNIVERSITAS KATOLIK ATMA JAYA


FAKULTAS HUKUM
2022/2023
BAB I
Pendahuluan
I. Latar Belakang
Kapal laut merupakan salah satu moda transportasi yang banyak digunakan
untuk segala kepentingan, diantaranya seperti berlibur dengan menggunakan
kapal pesiar, mengangkut batubara dengan menggunakan kapal tongkang, dan
mengangkut segala macam barang ekspor dan impor menggunakan kapal kargo,
pelayaran ini tidak hanya dilakukan dalam negeri saja, namun pelayaran ini
menjangkau antar negara bahkan antar benua yang tentunya akan melalui
perairan internasional, ketika melewati perairan internasional, kapal-kapal sering
sekali mengalami pembajakan oleh para perompak laut atau biasa disebut sebagai
bajak laut. Pembajakan yang dilakukan di laut lepas memiliki dimensi
internasional karena disebut sebagai tindak kejahatan yang dilakukan di laut
lepas. Pembajakan di laut lepas sejak dahulu sudah diatur berdasarkan hukum
kebiasaan internasional karena dianggap telah memberi gangguan terhadap
pelayaran dan perdagangan antar negara.
Sebagai hukum positif internasional, pembajakan di laut lepas telah diatur
dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 karena telah memperlihatkan
adanya perkembangan dalam dalam hal pembajakan, tindakan yang
dikategorikan sebagai pembajakan, pelaku pembajakan dan sarana yang
digunakan untuk melakukan pembajakan. Perkembangan tersebut memang
mencerminkan kebutuhan masyarakat internasional yang sesuai dengan kondisi
dan situasi saat ini.
Para perompak yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis,
menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka. Somalia
dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang
menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Selain
pembajakan, penculikan dan kekerasan mematikan juga melanda negara tersebut.
Seperti kasus sebuah kapal M.V. Jahan Moni berbendera Bangladesh di lepas
pantai India di Laut Arab dibajak oleh orang Somalia. Para pembajakan Somalia
mulai naik kapal setelah mengejar M.V. Jahan Moni di Laut Arab. Kapal dengan
16 awak milik sebuah perusahaan pelayaran Bangladesh itu sedang menuju ke
arah Eropa dengan barang dagangan dari Singapura. Para pembajakan Somalia
telah mengumpulkan puluhan juta US dolar uang tebusan dari membajak kapal
M.V. Jahan Moni di Lautan India, meskipun pembajakan itu terjadi sekitar 3.000
kilometer di timur Somalia.
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud meneliti tentang bagaimana
pengaturan hukum internasional pada kasus perompakan kapal yang dilakukan di
perairan internasional.
II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana yurisdiksi suatu negara terhadap tindakan kejahatan di laut lepas
menurut hukum internasional?
2. Bagaimana pengaturan hukum terhadap pembajakan atau perompakan di laut
lepas menurut hukum internasional?
3. Apa hukuman yang akan diberikan bagi perompak yang melakukan kejahatan
di laut lepas?
III. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana yurisdiksi suatu negara terhadap tindakan
kejahatan di wilayah laut lepas menurut hukum internasional.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap pembajakan atau
perompakan di laut lepas menurut hukum internasional.
3. Untuk mengetahui apa hukuman yang akan diberikan bagi perompak yang
melakukan kejahatan di laut lepas.
BAB II
Tinjauan Pustaka

1. Definisi Perompakan
Perompakan merupakan setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak
sah atau setiap tindakan memusnahkan seseorang atau barang yang dilakukan oleh
awak kapal atau penumpang dari suatu kapal. 1 Pengertian mengenai perompakan
atau pembajakan juga dapat dilihat dalam Pasal 101 UNCLOS 1982 yang
berbunyi “Perompakan adalah semua tindakan kekerasan atau penawanan yang
melawan hukum, yang dilakukan untuk keuntungan diri sendiri oleh awak kapal
atau penumpang kapal atau pesawat terbang dilakukan di laut bebas terhadap
kapal lain atau pesawat terbang lain atau terhadap orang atau barang di atas kapal
atau pesawat terbang tersebut.2” Perompakan yang dimaksud dalam Pasal 101
UNCLOS 1082 harus terjadi di wilayah laut lepas atau di luar wilayah negara.
Jika terjadi di wilayah perairan suatu negara, maka tindakan tersebut tidak dapat
disebut sebagai perompakan.3
Menurut Organisasi Keamanan Global, perompakan dapat diartikan sebagai
kejahatan internasional yang meliputi tindakan illegal kekerasan, pemenjaraan
atau depresi yang dilakukan oleh awak atau penumpang kapal sipil atau pesawat
udara untuk tujuan pribadi atau terhadap kapal lain di laut lepas atau di pesawat,
orang, atau barang kapal.
Kemudian menurut International Maritime Organization (IMO), definisi
perompakan berdasarkan UNCLOS dapat dibagi menjadi beberapa karakteristik,
yaitu4:
1. Pembajakan harus melingkupi tindakan melawan hukum, contohnya tindak
kekerasan yang dilakukan oleh awak atau penumpang kapal atau pesawat.
2. Pembajakan dilakukan di laut lepas atau diluar yurisdiksi suatu negara.

1
Bernhard Limbong, Poros Maritim, Margaretha Pustaka, 2015, Hlm. 350.
2
United Nations Convention on the Law of the Sea, article 101.
3
Septi Dyah Tirtawati dan Joko Setiyono, “Menilik Penerapan Prinsip Yurisdiksi Universal Negara
Terhadap Kejahatan Perompakan di Laut Lepas Menurut Hukum Internasional”, Jurnal Hukum Pidana
dan Ketatanegaraan Vol. 10 No. 2, Desember 2021, Hlm. 113-114.
4
Budi Pramono dan Ayu Larasati, “Pelaksanaan Prinsip Yurisdiksi Universal Mengenai Penanganan
Menjadi Pelanggaran di Wilayah Perairan Indonesia” NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial
Vol. 9 No. 1 Tahun 2022, Hlm. 347.
3. Definisi UNCLOS tentang perompakan memiliki persyaratan dua kapal.
Maksudnya adalah perompak harus memakai kapal mereka sendiri untuk
merebut kapal lain.
4. Pembajakan harus dilakukan untuk tujuan pribadi.

2. Perompakan di Laut Lepas sebagai Kejahatan Internasional


Suatu tindak kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan internasional
jika sudah memenuhi syarat-syarat suatu tindakan yang membahayakan
kepentingan seluruh masyarakat internasional atau biasa disebut dengan “delicto
jus gentium”. Selain itu, untuk dapat dikatakan sebagai kejahatan internasional,
suatu tindakan harus memenuhi syarat-syarat yang menyatakan bahwa tindakan
tersebut memerlukan penanganan internasional. Suatu perbuatan yang dianggap
membahayakan kepentingan internasional dapat disebut juga dengan “serious
crime of international concern”
Perompakan sendiri merupakan permasalahan yang sering terjadi, terlebih
perompakan di laut lepas. Perompakan di laut lepas memiliki dimensi
internasional karena biasanya digunakan untuk menyebutkan tindak kekerasan
yang dilakukan di laut lepas. Perompakan merupakan kejahatan terhadap manusia
atau dalam bahasa latin adalah homo homini lupus yang didalamnya termasuk
pembajakan menurut hukum internasional.5

3. Yurisdiksi Suatu Negara terhadap Perompakan


Yurisdiksi merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin yaitu “yurisdictio”
yang terdiri dari kata “yuris” dengan arti “kepunyaan menurut hukum” dan kata
“diction” artinya “ucapan” atau “sebutan”.6 Yurisdiksi juga memiliki arti
kekuasaan yang ditentukan oleh hukum atau merupakan kekuasaan untuk
melakukan sesuatu berdasarkan hukum.7 Yurisdiksi suatu negara biasanya
memiliki hubungan dengan kedaulatan negara. Yurisdiksi suatu negara merupakan
kewenangan yang dimiliki negara agar dapat menciptakan, melakukan,

5
Boer Mauna, Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2005, Hlm. 331.
6
Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990, Hlm. 292.
7
Dian Khoreanita Pratiwi dan Wahyu Nugroho, “Implementsi Yurisdiksi Negara Indonesia dalam
Pemberantasan Perompakan dan Perampokan Laut Berdasarkan Hukum Internasional”, Era Hukum
Volume 2 Nomor 2, Oktober 2017, Hlm. 4.
memberlakukan, serta memaksa berlakunya suatu hukum nasional negara tersebut
bagi wilayah diluar batas territorial atau batas kekuasaan negara tersebut.8
Dalam hukum internasional, terdapat beberapa prinsip yurisdiksi, yaitu:

1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial, merupakan yurisdiksi suatu negara terhadap


kejahatan yang terjadi diluar wilayah negara tersebut.
2. Prinsip Nasionalitas Aktif, memberikan yurisdiksi kepada suatu negara untuk
menindak kejahatan yang dilakukan diluar negara oleh seorang warga
negaranya.
3. Prinsip Nasionalitas Pasif, memberikan yurisdiksi bagi suatu negara untuk
menangani permasalahan yang terjadi saat warga negaranya menjadi korban
kejahatan yang dilakukan oleh warga negara asing diluar negeri.
4. Prinsip Universal, negara memiliki wewenang untuk menangkap dan
mengadili pelaku kejahatan yang dilakukan diluar wilayah negara manapun
tanpa memandang kebangsaan pelaku maupun korban.
5. Prinsip Perlindungan, memberikan yurisdiksi kepada suatu negara untuk
menangani serta mengadili warga negara asing yang dianggap telah
melakukan kejahatan serius atau serious crime serta mengancam kepentingan
negara tersebut.
Yurisdiksi universal merupakan kewenangan yang diberikan oleh hukum
internasional melalui Pasal 101 UNCLOS 1982 atau Pasal 15 Konvensi Laut
Lepas 1958. Prinsip yurisdiksi universal yang dimiliki oleh setiap negara
digunakan untuk menindak, menangkap, dan mengadili pelaku kejahatan
internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan atau
asal negara pelaku. Berdasarkan hal tersebut, maka prinsip yurisdiksi universal
dapat digunakan suatu negara untuk menindaklanjuti perompakan yang terjadi di
laut lepas.
Prinsip universal diterapkan terhadap kejahatan perompakan memiliki maksud
bahwa setiap negara memiliki hak untuk menangkap dan menghukum perompak
dengan tidak memandang asal negara serta dimana perompak melakukan
kejahatan.9 Ada beberapa karakteristik dari prinsip yurisdiksi universal, yaitu10:
1. Semua negara memiliki hak dalam melakukan yurisdiksi universal.
8
Dian Khoreanita Pratiwi dan Wahyu Nugroho, Ibid, Hlm. 7.
9
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
10
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010
2. Semua negara yang memiliki keinginan melakukan yurisdiksi universal tidak
perlu memikirkan siapa dan asal negara pelaku maupun korban.
3. Setiap negara bisa menerapkan yurisdiksi universal terhadap pelaku kejahatan
yang termasuk dalam kategori serius atau kejahatan internasional.
Berdasarkan ciri-ciri diatas, dapat disimpulkan bahwa yurisdiksi universal tidak
membutuhkan pertautan antara negara, pelaku, maupun korban dalam suatu
kejahatan internasional, salah satunya perompakan. Penerapan prinsip ini bisa
dilakukan untuk kejahatan-kejahatan internasional. Status yang diberikan
tergantung pada factor bahwa tindakan tersebut mengancam kebutuhan
masyarakat internasional

4. Peraturan Hukum Internasional Terhadap Perompakan di Laut Lepas


Dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Konvensi Roma 1988 dikatakan bahwa, setiap
negara pihak harus mengambil tindakan untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak
pidana sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 Konvensi Roma 1988
dan juga dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap pelanggaran seperti yang
ditetapkan dalam konvensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, negara yang
berhasil menangkap pelaku perompakan dapat mengirimkan para pelaku ke
negara lain yang memiliki peraturan hukum tentang hal itu untuk diadili. Hal ini
dilakukan jika suatu negara tidak memiliki peraturan nasional mengenai
perompakan. Hal ini sejalan dengan Pasal 105 UNCLOS 1982 yang menyatakan
bahwa di laut lepas atau ditempat lain di luar yurisdiksi negara manapun, suatu
negara dapat menyita kapal atau pesawat udara perompak atau kapal atau pesawat
udara yang telah diambil dan dibawah kendali perompak, serta menangkap orang-
orang yang menyita properti dalam kapal tersebut. Dengan kata lain, setiap negara
memiliki hak untuk menangkap dan menyita perompak yang melakukan
perompakan dilaut lepas. Kemudian negara dapat menentukan dan menjatuhkan
hukuman yang tepat bagi para perompak tersebut. Penyitaan yang dilakukan
menurut Pasal 107 UNCLOS 1982 dapat dilakukan oleh kapal perang atau kapal
lain yang diberi tanda dan dapat dikenali sebagai kapal dinas milik pemerintah.
Sehingga dapat diketahui bahwa kapal tersebut memiliki wewenang untuk
melakukan penyitaan terhadap perompak. Berdasarkan Pasal 107 UNCLOS 1982
dapat disimpulkan bahwa pemberantasan perompak yang terjadi di laut lepas
dapat dilakukan oleh suatu negara dengan kapal perang atau kapal dinas
pemerintah. Hukum yang dapat digunakan untuk mengadili dan menghukum
perompak adalah hukum nasional dari suatu negara yang melakukan
penangkapan.
BAB III
Metodologi Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif, yaitu proses
menemukan suatu aturan, prinsip, dan doktrin-doktrin hukum untuk menjawab
masalah penelitian.11 Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif meneliti
menggunakan fakta yang ada berdasarkan bahan pustaka atau data sekunder seperti
undang-undang, jurnal, karya ilmiah, dan hasil penelitian hukum lainnya.12
Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu metode penelitian yang memiliki landasan filsafat post positivisme,
digunakan untuk meneliti kondisi objek yang ilmiah, dimana peneliti merupakan
instrumen kunci.13 Metode penelitian kualitatif memiliki tujuan untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. 14 Bahan utama yang
digunakan untuk melakukan analisis dalam penelitian ini adalah pengaturan
internasional mengenai hukum laut, yaitu United Nations Convention on the Law of
the Sea (UNCLOS).

11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003, Hlm. 13.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Hlm. 24.
13
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta, 2005.
14
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, Hlm. 331.
DAFTAR PUSTAKA
Larasati, Budi Pramono dan Ayu. "Pelaksanaan Prinsip Yurisdiksi Universal
Mengenai Penanganan Menjadi Pelanggaran di Wilayah Perairan Indonesia."
NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial (2022).
Limbong, Bernhard. Poros Maritim. Margaretha Pustaka, 2015.
Madmuji, Soerjono Soekanto dan Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 2003.
Mauna, Boer. Hukum Internasional. Bandung: Alumni, 2005.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
Nugroho, Dian Khoreanita Pratiwi dan Wahyu. "Implementasi Yurisdiksi Negara
Indonesia Dalam Pemberantasan Perompakan dan Perampokan Laut
Berdasarkan Hukum Internasional." Era Hukum (2017).
Parhiana, Wayan. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 1990.
Sefriani. Hukum Internasionak Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010.
Setiyono, Septi Dyah Tirtawati dan Joko. "Menilik Penerapan Prinsip Yurisdiksi
Universal Negara Terhadap Kejahatan Perompakan di Laut Lepas Menurut
Hukum Internasional." Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan (2021).
Starke, J. G. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, 2005.

Anda mungkin juga menyukai