Anda di halaman 1dari 11

YURISDIKSI KRIMINAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:


Hukum Pidana Internasional
OLEH:
Mohammad Bambang 110110120215
Yohannes Teddy

110110120236

Rayan Reynaldi

110110120250

Parisabel R. H. N

110110120436

Debby Kristin

110110110511

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014

Secara umum yurisdiksi dapat diartikan sebagai kewenangan negara terhadap


individu, properti, dan peristiwa yang ada di wilayahnya.1 Yurisdiksi mempunyai dua istilah
yaitu konteks kedaulatan negara dan konteks organ yudisial. Dalam konteks kedaulatan
negara, yurisdiksi adalah manifestasi dari kedaulatan. Bowett medefinisikan yurisdiksi
sebagai kewenangan untuk membuat hukum dan kewenangan negara untuk memaksakan
berlakunya aturan hukum. Yurisdiksi dalam konteks organ yudisial berakaitan erat dengan
kewenangan untuk memaksakan berlakunya hukum pada umumnya diserahkan pada cabang
yudisial dari kekuasaan negara.
Pengertian yurisdiksi menurut beberapa ahli :
1. Mochtar Kusumaatmadja
Yurisdiksi adalah wewenang suatu negara untuk memaksa pentaatan terhadap
hukumnya baik yurisdiksi kriminal maupun perdata.
2. Brownlie
Yurisdiksi merupakan aplikasi dari kedaulatan. Negara berdaulat dapat
memaksakan pentaatan hukumnya.
3. D.J Harris
Yurisdiksi adalah kekuasaan berdasar hukum internasional untuk mengatur orang
dan benda dengan hukum nasionalnya.

Adapun juga teori tentang yurisdiksi kriminal yang berbicara tentang yurisdiksi untuk
menindak lanjuti suatu kejahatan yang dilakukan oleh individu. Malanczuk menjelaskan
bahwa dalam yurisdiksi kriminal ada empat prinsip yang berlaku, yakni:2
1. Territorial Principle
2. Nationality Principle
3. Protective Principle
4. Universal Jurisdiction

A. Territorial Principle
Dasar dari berlakunya prinsip teritori ini adalah kedaulatan negara atas semua yang
berada di dalam wilayahnya dimana sebuah negara dapat mengatur aktivitas yang ada dalam

Peter Malanczuk, Modern Introduction to International Law, New York, Routledge, 1997,
hlm. 109.
2

Ibid. hlm. 110-115.

wilayahnya dan untuk menuntut kejahatan yang terjadi di teritorinya. 3 Oleh karena itu, semua
kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu negara dapat diadili di pengadilan negara tersebut
meskipun pelaku kejahatan adalah warga negara asing.4 Prinsip teritorial ini di kemudian hari
berkembang daripada konsep awalnya karena berdasarkan prinsip ini, bukan hanya kejahatan
yang seluruhnya dilakukan di wilayah suatu negara, namun kejahatan yang prosesnya
sebagian terjadi di wilayah lain dan terpenuhinya delik berada di negara tersebut juga dapat
diadili.5 Contoh konritnya dapat dilihat dalam Lockerbie Case dimana Pengadilan Skotlandia
mengklaim bahwa ia mempunyai yurisdiksi untuk mengadili pengebom pesawat yang
meledak dan jatuh di kota Lockerbie, Skotlandia.6

B. Nationality Principle
Dikarenakan setiap negara memiliki kedaulatan dan kewenangan dan dikarenakan
setiap negara pasti terdiri dari kelompok individu, maka perlu adanya hubungan hukum
antara keduanya dan itu tercermin dalam konsep nasionalitas (kewarganegaraan). Warga
negara berhak terhadap perlindungan yang diberikan oleh negaranya di dalam hukum
internasional.7 Prinsip nasionalitas ini menurut Shaw dibagi menjadi: 8
1. Prinsip Nasionalitas Aktif
Berdasarkan prinsip ini, suatu negara dapat mengklaim yurisdiksinya untuk
mengadili warga negaranya atas kejahatan yang dilakukannya di luar wilayah
suatu negara tersebut.
2. Prinsip Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini, suatu negara dapat mengklaim yurisdiksinya untuk
mengadili individu untuk kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya yang
memiliki akibat terhadap individu negara tersebut.

C. Protective Principle
Berdasarkan prinsip ini, suatu negara dapat mengklain yurisdiksinya atas individu
yang bukan warga negaranya yang melakukan kejahatan di luar wilayahnya yang diduga

Malcolm Shaw, International Law, Cambridge, Cambridge University Press, 2008, hlm.
652.
4

Ibid. hlm. 653.


Ibid. hlm. 654.
6
Ibid. hlm. 655.
7
Ibid. hlm. 659.
8
Ibid. hlm. 660-666.
5

dapat mengancam keamanan negara.9 Tindakan yang dapat digolongkan mengancam


keamanan negara misalnya adalah perencanaan kudeta, spionase, memalsukan mata uang,
dan rencana untuk melanggar peraturan imirgrasi suatu negara.10

D. Universal Jurisdiction
Berdasarkan prinsip universal jurisdiction, setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk
mengadili kejahatan-kejahatan khusus. Dasar dari prinsip ini adalah kejahatan yang dilakukan
adalah kejahatan yang ditetapkan merugikan masyarakat internasional secara keseluruhan.
Ada dua kategori yang melekat pada lingkup universal jurisdiction, yaitu kompetensi dari
suatu negara untuk menuntut dan menghukum pelaku kejahatan terlepas dari tempat kejahatn
dilakukan ataupun hubungan nasionalitas dengan negara si pelaku.11 Menurut Malanczuk
universal jurisdiction ini umumnya berlaku untuk kejahatan-kejahatan terhadap hak asasi
manusia.12

Yurisdiksi Negara di Laut


Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the
Sea) tahun 1982 yang terdiri dari 320 pasal dan 9 Annex, mengatur tentang segala aspek
kegiatan di laut, seperti delimitasi, hak lintas, pencemaran terhadap lingkungan laut, riset
ilmiah kelautan, kegiatan ekonomi dan perdagangan, alih teknologi dan penyelesaian
sengketa tentang masalah-masalah kelautan.
Beberapa ketentuan penting dari Konvensi ini, secara umum diuraikan sebagai
berikut:
1. Status Hukum tentang Pelbagai Zona Maritim
UNCLOS 1982 mengakui hak negara untuk melakukan klaim atas pelbagai
macam zona maritim dngn status hukum yang berbeda-beda, yang dibagai sebagai
berikut :
a. Berada di bawah kedaulatan penuh negara meliputi laut pedalaman, laut
teritorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasionnnal
b. Negara mempunyai yurisdiksi khusus dan terbatas yaitu zona tambahan
c. Negara mempunyai yurisdiksi eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya
alamnya ( ZEE dan landas kontinen)
9

Ibid. hlm. 666-667


Op. Cit, Peter Malanczuk, hlm. 112.
11
Op. Cit, Malcolm Shaw, hlm. 668.
12
Op. Cit, Peter Malanczuk, hlm. 113-114.
10

d. Berada di bawah suatu pengaturan internasional khusus, yaitu daerah dasar


laut samudra dalam, atau lebih dikenal sebagai kawasan international seabed area
e. Tidak berada di bawah kedaulatan maupun yurisdiksi negara manapun,
yaitu laut lepas
2. Perairan Pedalaman
Batasan yang diberika oleh Konvensi tentang perairan pedalaman adalah
perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal yang dipakai untuk
menetapkan laut teritorial suatu negara. Bagi negara kepulauan berlaku suatu
ketentuan khusus bahwa perairan pedalaman dapat ditetapkan dengan menarik
suatu garis penutup pada mulut sungai, teluk dan pelabuhan yang berada pada
perairan kepulauannya.
Perbedaan prinsipil antara perairan pedalaman dengan laut teritorial adalah
bahwa di perairan pedalaman kedaulatan negara berlaku mutlak tanpa adanya
pembatasan oleh hukum internasional dalam bentuk kewajiban-kewajiban untuk
memberikan jaminan pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing.
3. Laut Teritorial
Konvensi menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah
daratan dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan,
perairan kepulauannya, meliputi juga suatu jalur laut yang berbatasan dengannya
yang disebut juga laut teritorial. Batas luar laut teritorial adalahgaris yang jarak
setiap titiknya dari titik yang terdekat pada garis pangkal, sama dengan lebar laut
teritorial.
Setiap negara diberi kebebasan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya
hingga suatu batas yag tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkalnya.
Seperti di perairan kepulauan, kedaulatan suatu negara di laut teritorial dibatasi
dengan kewjiban utuk menjamin dilaksanakannya hak lintas damai (innocent
passage) oleh kapal-kapal asing.
Dengan adanya perubahan lebar laut teritorial dari 3 menjadi 12 mil, sebagian
besar dari selat yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional berubah
statusnya menjadi bagian laut teritorial, ada pula yang menjadi bagian dari
perairan pedalaman. Pada selat demikian negara-negara mempunyai kewajiban
untuk memberikan jaminan pelaksanaan hak lintas kapal asing dalam bentuk baru
yang disebut hak lintas transit (transit passage), yang sifatnya lebih longgar dari
4

hak lintas damai (innocent pasage), dan dengan demikian lebih disukai oleh
kapal-kapal asing.
4. Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional
Menurut pasal 37 yang dapat dianggap sebagai selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional adalah perairan yang menghubungkan satu bagian laut
lepas atau zona ekonmi eksklusif dengan bagian laut dari laut lepas atau zona
ekonomi eksklusif.
Sedangkan pasal 38 memetapkan bahwa untuk selat-selat yang memenuhi
ketentuan demikian, akan berlaku rezim pelayaran yang disebut lintas transit
(transit passage).
Apabila ada bagian dari selat yang letaknya lebih dekat ke daratan utama dan
ada alur laut yang memisahkan daratan tersebut dengan suatu pulau dan dapat
memberikan kenyamanan yang sama untuk pelayaran, pada jalur pelayaran
demikian akan berlaku hak lintas damai..
Menurut Pasal 42, negara-negara tepi selat diberi kewenangan untuk
menerapkan ketentuan-ketentuan untuk menjamin keselamatan pelayaran dan lalu
lintas di selat, termasuk juga untuk mencegah dan mengurangi pencemaran laut,
serta menerapkan ketentuan-ketentuan tentang masalah saiter, bea-cukai dan
immigrasi.
5. Jalur / zona tambahan
Di luar laut teritorialnya, dalam suatu jalur / zona yang berbatasan dengannya
yang disebut jalur/zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan
yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang
undangannya di bidang bea cukai, fiskal, imigrasi dan saniter.
Batas terluar jalur/zona tambahan ini tidak boleh melebihi 24 mil laut, yang
diukur dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan laut teritorialnya.
Dengan demikian, luas jalur/zona tambahan suatu negara akan bergantung kepada
berapa jauh negara tersebut menetapkan lebar laut teritorialnya. Di luar
kewenangan negara pantai yang terbatas tersebut, pada dasarnya status perairan
zona tambahan tetap merupakan bagian dari laut lepas, kecuali kalau negara
pantai menetapkan zona ekonomi eksklusifnya.
6. Negara Kepulauan

Pemikiran tentang konsep negara kepulauan berkembang menjelang


dimulainya konferensi hukum laut ketiga, terutama yang dihasilkan oleh para
pakar yang berasal dari negara-negara kepulauan itu sendiri.
Pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa kedaulatan suatu
negara kepulauan meliputi juga perairan yang ditutup oleh atau terletak di sebelah
dalam dari garis pengakal lurus kepulauan, yang disebut sebagai perairan
kepulauan. Kedaulatan ini meliputi juga ruang udara di atasnya, dasar laut an
tanah dibawahnya, beserta kekayaan laut yang terkandung didalamnya.
Sebagai suatu negara kepulauan Indonesia diuntungkan dengan masuknya Bab
IV tentang negara kepulauan ke dalam konvensi, dan untuk itu Indonesia telah
meratifikasi konvensi hukum laut 1982 pada tahun 1985 dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 17 tahun 1985.
Salahs atu langkah implementasi yang dilakukan oleh Indonesia adalah
dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Undang-Undang ini menjamin berbagai macam hak lintas untuk kapalkapal asing yaitu:
-

hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia,

hak lintas alur alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan melalui
perairan kepulauan Indonesia,

hak lintas transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran


internasional yang terletak antara satu bagian laut lepas atau ZEE
Indonesia dengan bagian lain dari laut lepas atau ZEE Indonesia.

7. Zona ekonomi maritim


Konsep ini merupakan suatu konsep baru yang tidak dikenal dalam hukum
internasional selama ini. Setiap negara pantai memiliki hak hak berdaulat untuk
eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan suber daya alam, baik
hayati maupun non-hayati, yang terkandung didalam zona ekonomo eksklusif,
yang terletak di luar berbatsan dengan laut teritorial. Lebar zona ekonomi
eksklusif tersebut tidak boleh melebihi 200 mil-laut diukur dari garis garis
pangkal yang sama yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.13
8. Landasan kontinen

13

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Tim Alumni, 2003, hlm.180.

Batas terluar landas kontinen suatu negara ditetapkan sampai pinggiran luar
tepi kontinen, atau hingga jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang
dipakai untuk menetapkan lebar laut teritorialnya, apabila pinggiran luar tepi
kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Pinggiran luar tepi kontinen yang terletak
pada jarak melebihi 200 mil dari garis pangkal, yang akan merupakan batas
terluar dari landas kontinen suatu negaram tidak akan menghasilkan batas terluar
yang sama bagi setiap negaram karena kondisi pantai negara negara yang
berbeda 0- beda. Untuk itu konvensi menetapkan cara cara penetapan batas
terluar landas kontinen demikian, yaitu dengan menarik garis garis lurus yang
tidak melebihi 60 mil laut panjangnya, dengan menghubungkan titik titik tetap
terluar yang ketebalan batu endapannya adalah paling sedikit 1% dari jarak
terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen. Titik titik tetatp tersebut
harus jelas koordinat-koordinat lintang dan bujurnya titik titik tetap tersebut
tidak lebih dari 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. Titik titik tetap demikian
tidak boleh melebihi jarak 350 mil laut diukur dari garis pangkal darimana lebar
laut teritorial diukur, atau tidak akan melebihi jarak 200 mil laut dari garis
kedalaman 2.500 meter.
9. Negara-negara yang tidak berpantai dan negara-negara yang secara geografis tidak
beruntung
Negara-negara yang tidak berpantai dan negara-negara yang secara geografis
tidak beruntung memiliki hak untuk berperan atas dasar keadilan dalam kegiatan
eksploitasi dan eksplorasi bagian yang panta dari kelebihan (surplus) sumberdaya
hayati di zona ekonomi eksklusif negara pantai yang berada di kawasan atau subkawasan yang sama.
Negara negara tidak berpantai memiliki hak akses ke dan dari laut dan
kebebasan untuk transif melalui wilayah dari negara transit.
10. Laut Lepas
Setelah dihasilakannya Konvensi Hukum Laut 1982, bs terluar laut teritorial
menjadi 12 mil. Sama halnya dengan kebebasan di laut lepas (Konvensi Jenewa
1958) juga telah dikurangi. Di Laut lepas setia negara dapat menikmati
kebebasan-kebebasan di laut lepas, seperti kebebasan untuk berlayar, melakukan

penerbangan, memasang kabel dan pipa di bawah laut, membangun pulau buatan
dan instalasi lain nya, menangkap ikan, dan melakukan riset ilmiah kelautan.14
Kemudian kebebasan untuk menangkap ikan dilaut lepas hingga jarak 200 mil
dihapuskan karena digantikan dengan Zona Ekonomi Eksklusif serta seriap
negara wajib untuk menetapkan tindakan pengelolaan dan konservasi.
11. Kawasan
Kawasan atau lebih dikenal dengan The Area merupakan dasar laut dan dasar
samudera dalam beserta tanah di bawahnya yang terletak di luar yurisdiksi
nasional, yang secara geologis tidak termasuk kedalam pengertian tepian
kontinen. Atau dapat dikatakan bahwa kawasan ialah daerah dasar laut dan tanah
di bawahnya yang terletak di luar batas terluar landas kontinen suatu negara.15
Pada

kawasan

ini

negara-negara

tidak

memiliki

kebebasan

untuk

memanfaatkan kekayaan yang ada di dalamanya. Konvensi telah menetapkan


bahwa kawasan merupakan milik bersama umat manusia dimana diserahkan
kepada suatu badan internasional (Otorita).
Melalui suatu cara, parallel system, penambangan di kawasan ini diawasi oleh
Otorita. Cara ini dilakukan dengan negara atau badan hukum dapat mengajukan
permohonan

penambangan

yang

kemudian

menyertakan

dua

wilayah

penambangan dengan nilai sama.


12. Pulau
Batas terluar laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen dari
suatu pulau ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk wilayah
daratan. Akan tetapi batu karnag yang tidak menunjang kehidupan manusia tidak
termasuk di dalamnya.
13. Laut Tertutup dan Setengah Tertutup
Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau laut setengah
tertutup disarankan untuk berkerja sama dalam menentukan pengelolaan sumber
daya hayati,dan melaksanakan kegiatan-kegiatan riset lingkungan.
14. Lingkungan Laut
Setiap negara wajib untuk melakukan pengawasan dan pencegahan
pencemaran lingkungan laut, dan bertanggung jawab untuk setiap kerusakan yang

14
15

Ibid. hlm.189.
Ibid. hlm.189.

disebabkan oleh pelanggaran terhadap kewajibannya secara internasional untuk


menangani pencemaran.16

16

Ibid. hlm. 190.

DAFTAR PUSTAKA
Malanczuk, Peter, Modern Introduction to International Law, New York: Routledge, 1997.
Shaw , Malcolm, International Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Tim Alumni, 2003.

Anda mungkin juga menyukai