Anda di halaman 1dari 19

ILLEGAL FISHING, PENENGGELAMAN KAPAL BERBENDERA

ASING DI PERAIRAN INDONESIA MENURUT HUKUM


INTERNASIONAL

Oleh :
Riko Ismar Pratama (1812011004)
Daud Masuroni Simanjuntak (1812011008)
Ahmad Riski (1812011012)
Hafid Adzam (1812011017)
Kevin Danilo (1812011023)
Definisi dari Hukum Internasional

J.G. Starke (termasuk penulis hukum internasioanal abad XX)

Hukum internasional didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang


sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku
yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati,
dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-
hubungan mereka satu sama lain, yang juga meliputi :
a) kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-
lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka
satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara atau
individu-individu; dan
b) kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-
individu dan badan-badan non negara sejauh hak dan kewajiban
individu dan badan non negara tersebut penting bagi masyarakat
internasional.
Mochtar Kusumaatmadja
Memberikan definisi Hukum Internasional ialah keseluruhan kaidah
dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara, antara :
a) negara dengan negara;
b) negara dengan subjek hukum bukan negara; dan
c) subjek hukum bukan negara satu sama lain.

Menurut pendapat kami bahwa hukum internasional adalah hukum


yang mengatur hubungan negara dengan negara, negara dengan
subjek hukum bukan negara dan subjek hukum bukan negara satu
sama lain. Dimana hubungan ini terjadi karena adanya perbedaan-
perbedaan di setiap negara yaitu perbedaan sumber daya alam,
perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan teknologi. Hukum
Internasional juga mengatur persolaan-persolaan yang ditimbulkan
dari hubungan- hubungan yang melintasi batas negara tersebut.
Kedaulautan Perairan Negara Kepulauan

Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (KHL 1982), Negara


Kepulauan, yaitu suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain (Pasal 46 huruf a).

Adapun yang dimaksud dengan kepulauan adalah suatu gugusan pulau,


termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah
yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-
pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan
geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis
dianggap sebagai demikian (Pasal 46 huruf b).
Sedangkan yang dimaksud dengan pulau adalah daerah daratan yang
terbentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan berada di atas
permukaan ketika pasang (Pasal 121 ayat 1). Dapat dikatakan bahwa
negara kepulauan adalah negara pantai, namun negara pantai bukanlah
negara kepulauan.

Pada negara kepulauan bagian-bagian laut yang tunduk pada


kedaulatan negara, adalah laut teritorial, perairan pedalaman, perairan
kepulauan. Sedangkan bagian-bagian laut dimana negara kepulauan
memiliki yurisdiksi atau hak berdaulat meliputi zona tambahan, zona
ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen.
Bagian-bagian laut yang tunduk pada kedaulatan negara kepulauan

Laut Teritorial dan Perairan Pedalaman

Di dalam KHL 1982 tidak ditemukan definisi tentang “Laut Teritorial”.


Hanya ditentukan pada Pasal 3 bahwa “Setiap negara berhak
menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak
melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai
dengan konvensi ini”.

Penggunaan garis pangkal lurus pada negara kepulauan untuk


menetapkan lebar laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi
eksklusif, dan jarak terjauh landas kontinen, dapat berakibat bahwa
perairan yang terletak pada sisi darat/dalam dari garis pangkal lurus ini
merupakan perairan pedalaman.
Perairan Kepulauan

Apabila suatu negara kepulauan menggunakan garis pangkal


kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial, maka akan terdapat
suatu perairan yang tertutup oleh garis pangkal kepulauan, tanpa
memandang kedalaman laut atau jaraknya dari pantai. Perairan ini
disebut perairan kepulauan (Archipelagic Waters).

Negara kepulauan berdaulat atas perairan kepulauannya, ruang udara


di atas perairan kepulauan serta dasar laut dan tanah di bawahnya,
termasuk sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya (Pasal 49
KHL 1982).
Bagian-bagian laut dimana negara kepulauan memiliki yurisdiksi atau hak
berdaulat

Zona Tambahan (Contiguous Zone)

Zona tambahan adalah suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorial,
dan lebarnya tidak melebihi 24 mil laut yang diukur dari garis pangkal.
Berdasarkan Pasal 33 KHL 1982, di zona tambahan negara pantai dapat
melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk :
Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal,
imigrasi atau sanitasi di dalam wilayah atau laut teritorialnya.
Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas
yang dilakukan di dalam atau laut teritorialnya.
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Dalam bukunya Hukum Internasional dan Perkembangannya, Abdul


Muthalib Tahar, S.H., M.Hum., mengemukakan zona ekonomi eksklusif
sebagai berikut :
a) Suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial selebar
200 mil laut yang diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk
mengukur lebar laut teritorial.
b) Suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial selebar
197, 194, 188 mil laut (bagi negara yang menetapkan lebar laut
teritorialnya : 3, 6, atau 12 mil laut), dari batas luar (outer limit) laut
teritorial ke sisi/arah laut laut.
Dalam Pasal 56 KHL 1982 diatur mengenai hal Dalam zona ekonomi
eksklusif, negara pantai mempunyai :

Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi


dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati,
dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya
dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus
dan angin.

Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya


berdasarkan konvensi ini dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai
harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak dan kewajiban negara
lain, dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan
konvensi ini.
Landas Kontinen

Landas kontinen dalam KHL 1982 diatur dalam Bab VI Pasal 76-85, yang
didefinisikan : “Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut
dan tanah dibawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak
di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya
hingga pinggiran laut tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut
dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran
luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut” (Pasal 76 Ayat 1).
Kebijakan Penenggelaman Kapal Berbendera Asing Yang Melakukan
Illegal Fishing Di Indonesia Menurut Hukum Internasional

Terkait dengan permasalahan illegal fishing, upaya suatu negara yang


mengalami kerugian merupakan hal yang patut diperhitungkan. Upaya
yang diambil suatu negara dalam menangani kasus illegal fishing harus
diatur dalam suatu peraturan yang jelas. Pada kenyataannnya upaya yang
diambil oleh suatu negara dengan negara yang lain berbeda. Salah
satunya adalah kasus illegal fishing yang terjadi di Indonesia pada akhir
tahun 2014, yaitu upaya yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah
penenggelaman kapal nelayan asing dengan cara peledakan atau
penenggelaman.
Sebenarnya proses penenggelaman kapal asing yang melakukan
pencurian di wilayah laut Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru terjadi.
Karena praktik tersebut merupakan hal yang lazim dilakukan di dunia.
Tindakan illegal fishing tidak hanya merugikan secara ekonomi dengan
nilai triliunan rupiah yang hilang, tetapi juga menghancurkan perekonomian
nelayan. Selain itu juga menimbulkan dampak politik terhadap hubungan
antar negara yang berdampingan, melanggar kedaulatan negara dan
ancaman terhadap kelestarian sumber daya alam hayati. Tindakan yang
melanggar kedaulatan negara dan ancaman terhadap kelestarian sumber
daya hayati laut atau kegiatan yang berkenaan dengan perikanan adalah
perbuatan yang merugikan kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu
negara. Perbuatan ini telah diatur dalam UNCLOS (United Nattions
Convention on The Law of Sea) 1982.
Kebijakan penenggelaman kapal asing ilegal diyakini tidak akan
mempengaruhi hubungan bilateral, regional, dan multilateral Indonesia
dengan negara lain. Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas
Indonesia, Hikmanto Juwana, terdapat lima alasan kenapa kebijakan
tersebut justru layak didukung, yaitu :
a) Tidak ada negara di dunia ini yang membenarkan tindakan warganya
yang melakukan kejahatan di negara lain. Kapal asing yang
ditenggelamkan merupakan kapal yang tidak berizin untuk menangkap
ikan di wilayah Indonesia, sehingga disebut tindak kriminal.
b) Tindakan penenggelaman dilakukan di wilayah kedaulatan dan hak
berdaulat Indonesia (Zona Ekonomi Ekslusif).
c) Tindakan penenggelaman dilakukan atas dasar ketentuan hukum yang
sah, yaitu Pasal 69 ayat (4) Undang-undang Perikanan.
d) Negara lain harus memahami bahwa Indonesia dirugikan dengan
tindakan kriminal tersebut
e) Proses penenggelaman telah memperhatikan keselamatan awak
kapal.
Ada dua cara penenggelaman kapal ikan asing yang dilakukan oleh
pemerintah RI melalui otoritas.

Penenggelaman kapal melalui putusan pengadilan :


a) Otoritas yang menangkap kapal ikan asing membawa kapal dan ABK
ke darat.
b) Di darat dimana ada pengadilan perikanan akan dilaksanakan proses
hukum.
c) Setelah disidang dan di vonis bersalah dan putusan mempunyai
kekuatan hukum tetap maka kapal yang tertangkap tersebut akan
disita.
d) Apabila kapal disita maka tergantung pada jaksa eksekutor akan
melakukan apa terhadap kapal tersebut, apakah kapal akan dilelang
atau di musnahkan.
e) Apabila dimusnahkan menjadi pilihan maka salah satu cara adalah
diledakkan dan ditenggelamkan.
Tertangkap tangan oleh otoritas
Cara kedua ini didasarkan pada pasal 69 Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 yang berbunyi :

a) Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan


penegakan hukum dibidang perikanan dalam wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia.
b) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dapat
dilengkapi dengan senjata api.
c) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa,
membawa dan menahan kapal yang diduga atau patut melakukan
pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemprosesan lebih lanjut.
d) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan
khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan
yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Hukum Internasional telah mengamini bahwa penenggelaman kapal asing
yang melanggar peraturan yang berlaku oleh negara lintasannya, yang
salah satunya adalah negara Indonesia yang terbuka melakukannya.
Karena pada dasarnya melintasi teritorial tanpa izin dan melakukan
tindakan illegal fishing didalamnya sangatlah mengancam kedaulatan
negara dan wilayah. Karena hal tersebut sudah melanggar Yurisdiksi
Universal, karena itu merupakan kejahatan keji. Sebagaimana diketahui
prinsip dasar penegakan Hukum Internasional adalah mendahulukan
yurisdiksi nasional.
Tindakan tegas penenggelaman kapal, kalau dilihat dari aspek hukum
dengan cara pengeboman kapal tidaklah bertentangan dengan UNCLOS
dikarenakan subyek yang dilindungi oleh Pasal 73 ayat (3) adalah
manusianya bukanlah kapalnya, dimana manusianya dapat diberi denda
atau dideportasi tanpa diberikan pidana kurungan, sedangkan kapal yang
disita atau bahkan yang ditenggelamkan oleh Pemerintah Indonesia, tentu
saja dengan proses yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di
negara itu.
SEKIAN

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai