Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH TENTANG BATAS WILAYAH

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

OLEH:

 La Ode Muhammad Elidin


 Mohammad Tsani Ramadhani
 Mawada Tul Thoyba
 Hasriadin
 Sahril

SMAN 4 BAU-BAU
Wilayah negara kesatuan republik indonesia

"Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-
Undang". 
(Pasal 25A UUD 1945)
Macam – macam Wilayah Negara
Wilayah negara mencakup:

a. Daratan
Penentuan batas-batas suatu wilayah daratan, baik yang mencakup dua negara atau
lebih, pada umumnya berbentuk perjanjian atau traktat. Misalnya:
 1) Traktat antara Belanda dan Inggris pada tanggal 20 Juli 1891 menentukan batas
wilayah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan.
2) Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas
tertentu dengan Papua Nugini yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973. 
b. Lautan 
Pada awalnya, ada dua konsepsi (pandangan) pokok mengenai wilayah lautan,
yaitures nullius dan res communis.
1). Res nullius adalah konsepsi yang menyatakan bahwa laut itu dapat diambil dan dimiliki
oleh masing-masing negara. Konsepsi ini dikem-bangkan oleh John Sheldon (1584 - 1654)
dari Inggris dalam buku Mare Clausum atau The Right and Dominion of The Sea.
2). Res communis adalah konsepsi yang beranggapan bahwa laut itu adalah
milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-
masing negara. Konsepsi ini kemudian dikembangkan oleh Hugo de Groot (Grotius)
dari Belanda pada tahun 1608 dalarn buku Mare Liberum (Laut Bebas). Karena
konsepsi inilah, kemudian Grotius di anggap sebagai bapak hukum internasional.

Dewasa ini, masalah wilayah lautan telah memperoleh dasar hukum yaitu Konferensi
Hukum Laut Internasional III tahun 1982 yang diselenggarakan oleh PBB atau United
Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS) di Jamaica. Konferensi PBB itu
ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan 2 organisasi kebangsaan di dunia tanggal
10 Desember 1982.

Dalam bentuk traktat multilateral, batas-batas laut terinci sebagai berikut :

a. Batas Laut Teritorial


Setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut teritorial yang jaraknya sampai 12 mil laut,
diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai.

b. Batas Zona Bersebelahan


Sejauh 12 mil laut di luar batas laut teritorial atau 24 mil dari pantai adalah batas
zona bersebelahan. Di dalam wilayah ini negara pantai dapat mengambil tindakan
dan menghukum pihak-pihak yang melanggar undang-undang bea-cukai, fiskal, imigrasi, dan
ketertiban negara.

c. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)


ZEE adalah wilayah laut dari suatu negara pantai yang batasnya 200 mil laut diukur
dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara pantai yang bersangkutan berhak
menggali kekayaan alam lautan serta melakukan kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain
bebas berlayar atau terbang di atas wilayah itu, serta bebas pula memasang kabel dan pipa
di bawah lautan itu. Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap nelayan asing yang
kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-nya.

d. Batas Landas Benua


Landas benua adalah wilayah lautan suatu negara yang lebih dari 200 mil laut.
Dalam wilayah ini negara pantai boleh mengadakan eksplorasi dan eksploitasi,
dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat internasional.

c. Udara
Pada saat ini, belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai kedaulatan di
ruang udara. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang kemudian diganti oleh pasal 1 Konvensi
Chicago 1944 menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan
eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya. Mengenai ruang udara (air space), di kalangan
para ahli masih terjadi silang pendapat karena berkaitan dengan batas jarak ketinggian di
ruang udara yang sulit diukur. Sebagai contoh, Indonesia, menurut Undang-undang No. 20
Tahun 1982 menyatakan bahwa wilayah kedaulatan dirgantara yang termasuk orbit geo-
stationer adalah 35.761 km. Sebagai acuan, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat
para ahli mengenai batas wilayah udara sebagai berikut;

a. Lee
Lee berpendapat bahwa lapisan atmosfir dalam jarak tembak meriam yang dipasang di darat
dianggap sama dengan udara teritorial negara. Di luar jarak tembak itu, harus dinyatakan
sebagai udara bebas, dalam arti dapat dilalui oleh semua pesawat udara negara mana pun.

b. Van Holzen Dorf


Holzen menyatakan bahwa ketinggian ruang udara adalah 1.000 meter dari titik permukaan
bumi yang tertinggi.

a. Teori Udara Bebas (Air Freedom Theory


Penganut teori ini terbagi dalam dua aliran, yaitu kebebasan ruang udara tanpa batas
dan kebebasan udara terbatas.

1) Kebebasan ruang udara tanpa batas. Menurut aiiran ini, ruang udara itu bebas dan
dapat digunakan oleh siapa pun. Tidak ada riegara yang mempunyai hak dan kedaulatan
di ruang udara,
2) Kebebasan udara terbatas, terbagi menjadi dua. Hasil sidang Institute de
Droit International pada sidangnya di Gent (1906), Verona (1910) dan Madrid (1911).
 a) Setiap negara berhak mengambil tindakan tertentu untuk memeiihara keamanan dan
keselamatannya.
 b) Negara kolong (negara bawah, subjacent state) hanya mempunyai hak terhadap wilayah /
zona teritorial.
b. Teori Negara Berdaulat di Udara (The Air Sovereignity)
Ada beberapa teori yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara harus terbatas.
1) Teori Keamanan. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai kedaulatan atas
wilayah udaranya sampai yang diperlukan untuk menjaga keamanannya. Teori ini
dikemukakan oleh Fauchille pada tahun 1901 yang menetapkan ketinggian wiiayah udara
adalah 1.500 m. Namun pada tahun 1910 ketinggian itu diturunkan menjadi 500 m.
2) Teori Pengawasan Cooper (Cooper's Control Theory). Menurut Cooper
(1951), Kedaulatan negara ditentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan
untuk mengawasi ruang udara yang ada di atas wilayahnya secara fisik dan ilmiah, 
3) Teori Udara (Schacter). Menurut teori ini, wiiayah udara itu haruslah sampai
suatu ketinggian di mana udara masih cukup mampu mengangkat (mengapungkan) balon dan
pesawat udara.

d. Daerah Ekstrateritorial
Daerah Ekstrateritorial adalah daerah atau wilayah kekuasaan hukum suatu negara
yang berada dalam wilayah kekuasaan hukum Negara lain. Berdasarkan hukum internasional
yang mengacu pada hasil Reglemen dalam Kongres Wina tahun 1815 dan Kongres Aachen
tahun 1818, pada perwakilan diplomatik setiap negara terdapat daerah ekstrateritorial.

Di daerah ekstrateritorial berlaku larangan bagi alat negara, seperti polisi dan
pejabat kehakiman, untuk masuk tanpa izin resmi pihak kedutaan. Daerah itu juga bebas
dari pengawasan dan sensor terhadap setiap kegiatan yang ada dan selama di dalam
wilayah perwakilan tersebut.

Daerah ekstrateritorial dapat juga diberlakukan pada kapal-kapal laut yang berlayar di laut
terbuka di bawah bendera suatu negara tertentu.

Batas Wilayah Negara

Penentuan batas wilayah negara, baik yang berupa daratan dan atau lautan (perairan),
lazim dibuat dalam bentuk perjanjian (traktat) bilateral serta multilateral. Batas antara satu
negara dengan negara lain dapat berupa batas alam (sungai, danau, pegunungan, atau lembah)
dan batas buatan, misalnya pagar tembok, pagar kawat berduri, dan tiang-tiang tembok. Ada
juga negara yang menggunakan batas menurut geofisika berupa garis lintang.

Batas suatu wilayah negara yang jelas sangat penting artinya bagi keamanan dan
kedaulatan suatu negara dalam segala bentuknya. Kepentingan itu juga berkaitan dengan
pemanfaatan kekayaan alam, baik di darat maupun di laut, pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan negara, dan pemberian status orang-orang yang ada di dalam negara
bersangkutan.

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai perbatasan darat dengan 3 (tiga)


negara tetangga (Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste) serta 11 perbatasan laut dengan
negara tetangga (India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Federal
State of Micronesia, Papua Nugini, Timor Leste dan Australia).

Adapun perbatasan udara mengikuti perbatasan darat dan perbatasan teritorial laut antar
negara. Hingga saat ini penetapan batas dengan negara tetangga masih belum semua dapat
diselesaikan. Permasalahan penetapan perbatasan negara saat ini masih ada yang secara
intensif sedang dirundingkan dan masih ada yang belum dirundingkan. Kondisi situasi
demikian menjadi suatu bentuk ancaman, tantangan, hambatan yang dapat mengganggu
kedaulatan hak berdaulat NKRI. 

Permasalahan perbatasan yang muncul dari luar (eksternal) adalah: adanya


berbagai pelanggaran wilayah darat, wilayah laut dan wilayah udara kedaulatan NKRI. Disini
rawan terjadi kegiatan illegal seperti:
1.          illegal logging, 
2.          illegal fishing, 
3.          illegal trading, 
4.          illegal traficking dan 
5.          trans-national crime

Hal tersebut merupakan bentuk ancaman faktual disekitar perbatasan yang akan dapat
berubah menjadi ancaman potensial apabila pemerintah kurang bijak dalam menangani
permasalahan tersebut.
Sedangkan permasalahan perbatasan yang muncul dari dalam (internal) adalah:
tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan SDM yang masih rendah, kurangnya sarana
prasarana infrastruktur dan lain-lain sehingga dapat mengakibatkan kerawanan dan pengaruh
dari negara tetangga.

Perbatasan negara merupakan manifestasi dari kedaulatan wilayah suatu negara,


dan mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan
sumber kekayaan alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Idealnya wilayah
perbatasan juga sekaligus berfungsi sebagai “frontier” atau sebagai wilayah yang dapat untuk
memperluas pengaruh (sphere of influence) dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan terhadap negara-negara disekitarnya, sehingga pembangunan
wilayah perbatasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional
yang meliputi semua aspek kehidupan.

Oleh karena itu wilayah perbatasan bukan merupakan bidang masalah tunggal
tetapi merupakan masalah multidemensi yang memerlukan dukungan politik nasional
untuk mengatasinya. 

Kementerian Luar Negeri sebagai ujung tombak pemerintah bagi penyelesaian batas wilayah
dengan negara-negara tetangga, bersama dengan kementerian-kementerian dan lembaga
terkait lainnya turut serta merumuskan kebijakan dan hal-hal teknis yang diperlukan untuk
menghadapi perundingan-perundingan dengan negara-negara tetangga.

Selain itu, pemerintah telah berupaya untuk menggunakan diplomasi dan perundingan yang
lebih baik bagi penyelesaian batas wilayah yang belum tuntas dengan negara-negara tetangga,
dan upaya tersebut juga untuk mencegah terjadinya ketegangan di batas wilayah negara.
Untuk itu, masalah perbatasan hanya bisa diselesaikan oleh negara-negara tersebut yang
terkait langsung dengan kepentingannya, sehingga permasalahan batas wilayah tidak bisa
diselesaikan oleh salah satu negara saja tetapi melibatkan negara-negara lainnya. Dengan
demikian setiap ada permasalahan terkait masalah batas wilayah negara diharapkan dapat
diselesaikan dengan cara diplomasi atau perundingan-perundingan walaupun membutuhkan
waktu yang relatif lama.
Negara Kesatuan
Konsepsi negara kepulauan diterima oleh masyarakat internasional dan dimasukan kedalam
UNCLOS III 1982, terutama pada pasal 46. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa, “Negara
Kepulauan” berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan
dapat mencakup pulau-pulau lain”. Sedangkan pengertian kepulauan disebutkan sebagai, “
kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan
lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga
pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi,
ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis diangap sebagai demikian.” Dan
dalam sejarah hukum laut Indonesia sudah dijelaskan dalam deklarasi Juanda 1957, yaitu
pernyataan Wilayah Perairan Indonesia:

“Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian
pulau-pulau yang termasuk daratan negara RI dengan tidak memandang luas atau lebarnya
adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan RI dan dengan demikian
merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak
daripada negara RI”.

Sedangkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan


Indonesiadisebutkan bahwa, “Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari
satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.” Sementara itu,
dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 yang
berisi 9 pasal, yang berisi antara lain: Ketentuan-ketentuan tentang negara-negara kepulauan,
garis-garis pangkal lurus kepulauan, status hukum dari perairan kepulauan, penetapan
perairan pedalaman, dalam perairan kepulauan, hak lintas damai melalui perairan kepulauan,
hak lintas alur-alur laut kepulauan, hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam
pelaksanan hak lintas alur-alur laut kepulauan.

Pengaturan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 dimulai dengan penggunaan istilah
negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir (a) disebutkan bahwa, “negara
kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri satu atau lebih kepulauan dan dapat
mencakup pulau-pulau lain (pasal 46 butir (a). Maksud dari pasal 46 butir (a) tersebut adalah,
secara yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi negara yang
secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini dikarenakan, dalam pasal 46 butir
(b) disebutkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau,
perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya
demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan
suatui kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap
sebagai demikian. Dengan kata lain, pasal 46 ini membedakan pengertian yuridis antara
negara kepulauan (archipelagic state) dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri (Agoes
2004).

Indonesia menuangkan Konsepsi Negara Kepulauan dalam amandemen ke 2 UUD 1945 Bab
IXA tentang wilayah negara. Pada pasal 25 A berbunyi ” Negara Kesatuan RI adalah negara
kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah-wilayah yang batas-batasnya dan hak-
haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Selain itu, dalam pasal 2 Undang-Undang No 6
tahun 1996 tentang Perairan indonesia, pemerintah Indonesia secara tegas menyatakan bahwa
negara RI adalah negara kepulauan.
Sebagaimana yang disyaratkan oleh pasal 46 Konvesni Hukum laut PBB 1982, tidak semua
negara yang wilayahya terdiri dari kumpulan pulau-pulau dapat di anggap sebagai negara
kepulauan. Dari peraturan peundang-undangan nasional yang dikumpulkan oleh UN-
DOALOS ada 19 negara yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan negara kepulauan, yaitu; Antigua dan Barbuda, Bahama, Komoro, Cape Verde, Fiji,
Filipina, Indonesia, Jamaika, Kiribati, Maldives, Kepulauan Marshall, PNG, Kepulauan
Solomon, Saint Vincent dan Grenadines, Sao Tome dan Principe, Seychelles, Trinidad dan
Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu (Agoes 2004).

Selanjutnya dalam peraturan pelaksanannya, pemerintah RI mengeluarkan PP No 38 tahun


2002 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Pada
pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah menarik garis pangkal kepulauan untuk
menetapkan lebar laut teritorial. Sedangkan penarikan garis pangkal kepulauan dilakukan
dengan menggunakan; garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa garis pangkal lurus,
garis penutup teluk, garis penutup muara sungai, terusan dan kuala, serta garis penutup pada
pelabuhan.

Namun kepemilikan Indonesia terhadap pulau-pulau kecil, khususnya pulau-pulau terluar


yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, masih menyisakan permasalahan.
Kalahnya pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia telah mamberikan pelajaran kepada
Indonesia dimuka Internasional. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah RI hanya sekedar
memilki tanpa mempunyai kemampuan untuk menguasai dan memberdayakannya. Berkaca
dari maraknya potensi konflik dipulau-pulau kecil terluar, pemerintah Indonesia
mengeluarkan Perpres No 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Perpres tersebut bertujuan untuk:
1. Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta
menciptakan stabilitas kawasan.
2. Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
3. Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga diharapkan dapat mengatasi ancaman keamanan
yang meliputi kejahatan transnasional penangkapan ikan ilegal, penebangan kayu ilegal,
perdagangan anak-anak dan perempuan (trafficking), imigran gelap, penyelundupan manusia,
penyelendupan senjata dan bahan peledak, peredaran narkotika, pintu masuk terrorisme, serta
potensi konflik sosial dan politik. Hal ini penting agar kesaradaran untuk menjaga pulau-
pulau kecil diperbatasan tetap ada, dan pualu-pulau kecil diperbatasan tidak dianggap sekedar
halaman belakang.

Anda mungkin juga menyukai