Anda di halaman 1dari 41

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEROMPAKAN

DI LAUT BELAWAN
(Studi di Polairud Belawan)

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat


Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum

Oleh:
Nur Atika Sari
1906200056

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
1

A. Judul: PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA

PEROMPAKAN DI LAUT BELAWAN (STUDI DI POLAIRUD

BELAWAN)

B. Latar Belakang

Pembajakan di kapal laut sudah ada sejak zaman IIIyrians tahun 233 SM.

Pada saat itu kekaisaran Romawi telah melakukan upaya untuk melindungi pedagang

Italia dan Yunani dari kejahatan pembajakan ketika berlayar di laut. Namun

pembajakan terus bertahan dan menyebar ke berbagai belahan dunia. Pembajakan di

laut tidak terlepas dari munculnya para bajak laut pada hakikatnya bajak laut sudah

ada sejak zaman dahulu atau pada masa-masa kerajaan. Kegiatan pembajakan kapal

pada awalnya merupakan bagian dari tugas armada laut dari sebuah kerajaan tertentu

yang diberikan kekuasaan langsung dari seorang raja untuk menjaga keamanan laut

dari kerajaan dan kapal-kapal dagang mereka serta menyerang kapal-kapal

pengangkut dari kerajaan lain untuk merampas hasil bumi dari kerajaan lain.

Pembajakan ini dilakukan terhadap kapal-kapal yang memiliki bendera kapal yang

berbeda, pada masa ini kegiatan perompakan tidak dapat dihukum karena mendapat

kewenangan dan perlindungan langsung dari salah satu negara.

Peraturan hukum merupakan perwujudan dari norma hukum. Peraturan

hukum hanya merupakan salah satu dari lambang-lambang yang dipakai oleh norma

hukum untuk membadankan dirinya. Namun bagaimanapun, peraturan hukum

merupakan cara yang paling sempurna dibandingkan dengan cara-cara pembadanan


2

yang lain. Peraturan hukum merupakan sarana yang paling lengkap untuk

mengutarakan apa yang dikehendaki oleh norma hukum.

Perturan hukum mengenai kategori saran untuk menampilkan norma hukum

sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat. Pertama, barang tentu disusun dari

rangkaian kata-kata yang membentuk suatu kalimat. Bahasa hukum boleh disebut

mewakili suatu ragam Bahasa tersendiri, disamping ragam-ragam bahasa yang lain.

Cirinya ditandai oleh penggunaan kata-kata yang terukur dan berusaha untuk

merumuskan pengertian-pengertian yang hendak disampaikannya secara eksak. Oleh

karena itu timbul kesan, bahwa ragam bahasa hukum, dalam hal ini bahasa peraturan

atau undang-undang, adalah menjemukan dan tafsir ganda dihindari sejauh mungkin.

Tetapi, keadaan sesungguhnya tidaklah demikian.

Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme

kompleks dimana struktur, substansi, dan kultur berinteraksi. Struktur adalah salah

satu dasar dan elemen nyata dari sistem hukum. Substansi adalah elemen lainnya.

Bahwa struktur sebuah sistem yudisial terbayang ketika berbicara yuridiksi

pengadilan. Sementara substansi tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan

mengenai institusi-institusi itu berlaku.1

Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia

lain, selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan keperluan orang lain

maka diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupannya. Hal tersebut penting

1
Rahman Syamsuddin dan Ismail Aris. 2014. Merajut Hukum Di Indonesia. Jakarta: Mitra
Wacana Media, hal.3
3

sehingga manusia tidak selalu saling berkelahi untuk menjaga kelangsungan

hidupnya. Tidak selalu berjaga-jaga dari serangan manusia lain.2

Perompakan adalah setiap tindakan ilegal kekerasan atau penahanan, atau

tindakan penjarahan, yang ditujakan kepada awak atau penumpang dari kapal atau

pesawat terbang, dan diarahkan di laut lepas terhadap kapal atau pesawat udara, atau

terhadap orang atau properti di kapal atau pesawat udara terhadap kapal, di luar

yurisdiksi negara manapun.

Perompakan kapal laut, atau sering disebut juga sebagai bajak laut, merujuk

pada tindakan mengambil alih kapal secara paksa oleh kelompok bersenjata dengan

tujuan mencuri kargo, menahan sandera, atau mendapatkan tebusan. Perompakan

kapal laut telah ada sejak zaman dahulu dan masih terjadi dalam beberapa wilayah

laut tertentu di dunia saat ini. Pada umumnya, perompakan kapal laut terjadi di

peraian yang dianggap rawan, seperti disekitar Teluk Aden, laut Somalia, Selat

Malaka, dan beberapa wilayah di sekitar Afrika Barat.

Seperti yang terjadi pada kapal nelayan Pukat Teri KM.Deli GT.10 yang

pulang melaut dengan membawa hasil tangkapan selama 12 hari dilaut, setibanya di

perairan masuk alur Belawan, kelima perompak yang masing-masing menggunakan

senjata laras panjang berjenis AK 47 ini langsung berniat menguras seluruh hasil

tangkapan dengan tidak segan-segan melukai ABK kapal. Secara visual Tim VBSS

(Visit, Board, Search, and Seizure) Sastrol Lantamal I yang biasa melakukan Patroli

rutin dengan menggunakan dua kapal patroli sekitar alur masuk pelabuhan Belawan
2
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. 2012. Kriminologi. Jakarta: Rajawali Pers, hal.35
4

melihat kejanggalan aneh pada kapal nelayan Pukat Teri yang berpapasan dengan dua

kapal patroli, tanpa menunggu lama Tim VBSS langsung memutar balik arah ke

kapal nelayan tersebut dan meminta agar kapal nelayan menghentikan mesin. Kelima

perompak yang sudah mengetahui kedatangan kapal patroli VBSS ini langsung

melakukan perlawanan dengan menembaki kearah kapal petugas, mengetahui telah

terjadi adanya baku tembak, secara spontan kedua kapal tim patroli VBSS ini terus

melakukan pengejaran. Alhasil satu kapal patroli VBSS berhasil merapat kedinding

lambung kanan kapal nelayan dan berhasil menaiki kapal tersebut, dan terjadi baku

tembak jarak dekat pun terus dilakukan dengan hasil satu perompak tewas ditembak,

mengetahui satu rekan perompak roboh, keempat perompak tersebut langsung lari

dan ingin menceburkan diri ke laut tetapi dengan sigap tim VBSS berhasil

mengamankan keempat perompak tersebut.

Para perompak sering menggunakan taktik, seperti melumpuhkan komunikasi

kapal, mengintimidasi awak kapal dengan senjata api, atau menggunakan kapal cepat

untuk mendekati target mereka secara tiba-tiba. Perompakan kapal laut sangat

melanggar hukum Internasional dan dianggap sebagai ancaman serius terhadap

keamanan maritime global. Untuk melawan perompakan kapal laut, banyak negara

non-organisasi Internasional telah bekerjasama dalam operasi patroli, peningkatan

keamanan, dan penangkapan para perompak. Misalnya, tugas bersama Maritim Eropa

( EUNAVFOR) telah melakukan operasi anti-perompakan di lepas pantai Somalia.

Selain upaya pemerintah dan organisasi Internasional, kapal-kapal dagang dan

perusahaan pelayaran juga mengadopsi langkah-langkah keamanan yang ketat untuk


5

melindungi kapal dan awal mereka dari serangan perompakan. Ini termasuk

penggunaan tim keamanan bersenjata, penggunaan rute pelayaran yang lebih aman,

serta koordinasi dengan lembaga pemerintah dan keamanan regional.

Menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah

peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

di lingkungan masyarakat, dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan

pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman

tertentu. Hukum diartikan sebagai tata nilai; hukum mengandung nilai tentang baik-

buruk, salah-benar, adil-tidak adil, dan lain-lain, yang berlaku secara umum.

Pembatasan kedaulatan atas laut teritorial umumnya hanya dibatasi oleh

hukum Internasional. Di Indonesia pembatasan hukum Internasional dimuat dalam

pasal 9 Undang-undang hukum pidana (KUHP).3 Pembajakan kapal di laut

merupakan kejahatan lintas Negara yang bisa terjadi pada Negara manapun dan pada

pembajaknya bisa pula dari Negara manapun. Tetapi sudah sebaiknya hukum akan

memandang ini sebagai sebuah kejahatan yang patut untuk segera diantisipasi

sekalipun ketika dalam proses penanganannya harus berbenturan dengan adanya

yurisdiksi dari Negara asing. Sebab seperti yang telah dikemukakan jika pembajakan

kapal dilaut merupakan kejahatan lintas Negara (transnational) yang bisa terjadi pada

Negara manapun juga.

3
Leden Marpaung. 2013. Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, hal.8
6

Konsep Transnational Crime merupakan tindak pidana atau kejahatan yang

melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara Internasional

pada era tahun 1990-an dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang

membahas pencegahan kejahatan pada tahun 1995. Pembajakan kapal di Sumatera

Utara sepanjang Tahun 2010-2023 hanya terjadi satu kasus, meskipun begitu kasus

ini tentu saja sangat serius dan harus tetap di tindak lanjuti. Peran apparat kepolisian

sendiri sangat berdampak buruk terhadap rasa keamanan dan kenyamanan kepada

para kapal nelayan. Berdasarkan uraian di atas maka disusun proposal ini dengan

judul : “Penegakan Hukum Tindak Pidana Perompakan Di Laut Belawan (Studi Di

Polairud Belawan)”

1. Rumusan Masalah

Masalah yang dirumuskan berdasarkan uraian diatas dapat ditarik

permasalahan yang akan menjadi batasan pembahasan dari penelitian, adapun

rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagaimana bentuk penegakan hukum terhadap perompakan di laut Belawan?

2. Apa yang menjadi hambatan dalam melakukan penegakan hukum tindak

pidana perompakan di laut Belawan?

3. Bagaimana upaya dalam mengatasi adanya tindak pidana pembajakan kapal di

laut Belawan?

1. Faedah Penelitian

1. Secara Teoritis
7

Penelitian ini dapat bermanfaat dalam bidang ilmu hukum khususnya

konsentrasi hukum pidana, khususnya penegakan hukum tindak pidana

perompakan di laut Belawan, maka penelitian ini akan memperkaya

pemahaman di bidang tindak pidana kelautan

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi kepentingan negara, bangsa, dan pembangunan, serta memberikan

manfaat kepada masyarakat umum serta memberikan informasi

pengetahuan bagi mahasiswa, agar mendapatkan pemahaman tentang

penegakan hukum tindak pidana perompakan di laut Belawan.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penulis bertujuan untuk mengetahui penegakan hukum tindak pidana

perompakan di laut Belawan.

2. Untuk mengetahui hambatan dalam melakukan penegakan hukum tindak

pidana perompakan di laut Belawan.

3. Untuk mengetahui upaya dalam mengatasi adanya tindak pidana

pembajakan kapal di laut Belawan.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional atau kerangka konsep adalah kerangka yang

menggambarkan hubungan antara definisi-definisi atau konsep-konsep khusus yang

akan diteliti. Untuk ilmu hukum dapat diambil misalnya dari peraturan perundang-
8

undangan dan pendapat ahli. Definisi operasional mempunyai tujuan untuk

mempersempit cakupan makna variasi sehingga data yang diambil akan lebih

terfokus. Konsep merupakan salah satu unsurkonkrit dari teori. Namun demikian,

masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dari konsep ini dengan jalan memberikan

definisi operasionalnya.4

Sesuai dengan judul penelitian yang diajukan yaitu “Penegakan Hukum

Tindak Pidana Perompakan di Laut Belawan (Studi di Polairud Belawan)”

maka dapat diterangkan definisi operasionalnya dalam penelitian yaitu :

1. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.5 Menurut pendapat Soerjono Soekanto (1983:3)

adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam

kaidah-kaidah, pandangan-pandangan dan mengejawantahkannya dalam

sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir unttuk

menciptakan kedamaian pergaulan hidup.

2. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang melawan hukum yang

mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana. Tindak pidana adalah suatu

4
Ida Hanifah, dkk. 2018. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa. Medan: Pustaka Asdi
Mahasiswa, halaman. 17.
5
Laurensius Arliman. 2015. Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat. Yogyakarta:
CV Budi Utama, halaman 12.
9

pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan

sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku.

3. Perompakan adalah perbuatan melawan hukum yang terjadi di laut lepas

dengan cara kekerasan maupun penahanan secara tidak sah yang dibuat untuk

kebutuhan individu. Adapun yang dimaksud dengan pembajakan di laut

menurut UNCLOS adalah setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang

tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan

pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara

swasta.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagau pedoman pelaku

dalam lalu lintas atau hubungan – hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk

mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat

menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang

melibatkan banyak hal.6


6
Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, 1988, Jakarta, Hlm. 32
10

Pengertian penegakan hukum pidana dapat diartikan sebagai

penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap orang

yang mempunyai kepentingan sesuai dengan kewenangannya masing-masing

menurut aturan hukum yang berlaku. Penegakan hukum pidana merupakan

suatu sistem yang menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah-kaidah

serta perilaku nyata masyarakat. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi

pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau

seharusnya. Perilaku atau sikap itu bertujuan untuk mencipkatan, memelihara,

dan mempertahankan kedamaian.

Menurut Jimmly Asshadique7 penegakan hukum adalah proses

dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum

secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-

hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kata lain

dari penegakan hukum adalah fungsionalisasi hukum pidana yang

dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui

penegakan hukum pidana yang rasional untuk memenuhi rasa keadilan dan

daya guna. Menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang

dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk

mencapai suatu tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas

7
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Guru Besar Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Hukum Tata Negara dan
Administrasi Negara Indonesia.
http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf (diakses tanggal 18-Februari-
2018, Pukul 18.46 WIB)
11

yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan

pemidanaan.

Menurut penulis, hukum pidana adalah hukum yang meliputi semua

aturan hukum yang mengandung ancaman pidana. Pidana adalah suatu akibat

yang diberikan kepada seseorang yang telah menyebabkan sebab atau

kejahatan itu sendiri. Penyebab datang dari berbagai cara yang menimbulkan

kerugian pada sebagian masyarakat, maka penguasa lah yang dapat

menyebabkan si penyebab itu untuk menerima akibat yang telah diperbuat

(hukuman).

Sebenarnya, hukum kebiasaan internasional tidak memberikan definisi

yang disepakati untuk apa yang disebut sebagai tindakan yang merupakan

kejahatan internasional pembajakan (Garmon, 2003: 260). Namun, saat ini ada

dua perjanjian internasional, yang setidaknya dari sebagian isinya mengatur

tindakan pembajakan dalam negeri. Perjanjian tersebut pertama adalah

Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation

Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) sebuah perjanjian dengan 160

negara yang secara khusus mendefinisikan pembajakan (Hamid, 2011: 317).

Penegakan hukum di Indonesia adalah suatu proses yang melibatkan

penerapan dan penegakan peraturan hukum yang berlaku di negara ini.

Penegakan hukum memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan

keadilan, ketertiban, dan keamanan dalam masyarakat. Berikut adalah

beberapa poin yang dapat dibahas tentang penegakan hukum di Indonesia:


12

1. Sistem Hukum: Indonesia menggunakan sistem hukum campuran yang

terdiri dari hukum adat, hukum agama, dan hukum nasional yang diatur

oleh undang-undang. Sistem peradilan Indonesia terdiri dari peradilan

umum dan peradilan agama.

2. Penegak Hukum: Penegakan hukum di Indonesia dilakukan oleh berbagai

lembaga dan instansi, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia

(Polri), Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Setiap lembaga

memiliki peran dan wewenangnya sendiri dalam penegakan hukum.

3. Peran Kepolisian: Polri memiliki tugas utama dalam menjaga keamanan

dan ketertiban masyarakat. Mereka bertanggung jawab untuk menyelidiki

pelanggaran hukum, menangkap pelaku kejahatan, dan menyelenggarakan

proses penyidikan. Polri juga memiliki tugas dalam mencegah dan

menanggulangi gangguan keamanan.

4. Peran Kejaksaan Agung: Kejaksaan Agung adalah lembaga yang

bertanggung jawab dalam penyidikan tindak pidana, penuntutan di

pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan. Mereka memiliki

kekuasaan penuntutan untuk membawa pelaku kejahatan ke pengadilan.

5. Peran Mahkamah Agung: Mahkamah Agung adalah lembaga peradilan

tertinggi di Indonesia. Mereka memiliki wewenang untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara yang telah masuk ke dalam proses

peradilan. Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat.


13

6. Keterbatasan dan Tantangan: Meskipun ada upaya yang dilakukan dalam

penegakan hukum, masih ada beberapa tantangan yang dihadapi di

Indonesia. Beberapa tantangan tersebut termasuk korupsi, lambatnya

proses peradilan, keterbatasan sumber daya, dan ketimpangan akses

terhadap keadilan.

7. Reformasi Hukum: Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah

reformasi hukum untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penegakan

hukum. Reformasi hukum termasuk perubahan dalam sistem peradilan,

penguatan lembaga penegak hukum, dan peningkatan transparansi dan

akuntabilitas.

8. Perlindungan HAM: Penegakan hukum juga harus memperhatikan

perlindungan hak asasi manusia (HAM). Penting bagi penegak hukum

untuk memastikan bahwa proses penegakan hukum dilakukan dengan adil,

tidak melanggar HAM, dan menghormati hak-hak individu.

2. Tahap-Tahap Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum pidana melalui beberapa tujuan tertentu. Beberapa

tahap sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk

mencapai suatu tujuan tertentu. Tahap-tahap tersebut adalah :

a. Tahap Formulasi Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan

pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai

dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian

merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling


14

baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut

dengan tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap Aplikasi Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum

pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke

pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan

serta menerapkan peraturan-peraturan perundang-undangan pidana yang telah

dibuat oleh pembuat undang-undang dalam melaksanakan tugas ini aparat

penegak hukum harus berperang teguh pada nilai-nilai keadilan dan guna.

Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap Eksekusi Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret

oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparataparat pelaksana

pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat

oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan

dalam putusan pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan

yang telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu

dalam pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-

undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-

undang daya guna.8

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu

usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu

8
Muladi dan Arif Barda Nawawi, Penegakan Hukum Pidana, Rineka Cipta, 1984, Jakarta,
hal. 157.
15

tujuan tertentu. Jelas harus merupakan jalinan mata rantai aktivitas yang terputus

yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.9

Tahap-tahap penegakan hukum secara umum melibatkan beberapa proses

yang berurutan. Berikut adalah tahap-tahap umum dalam penegakan hukum:

1. Identifikasi Pelanggaran Hukum: Tahap pertama adalah mengidentifikasi

pelanggaran hukum yang terjadi. Ini melibatkan penelitian, investigasi, atau

pengawasan untuk menemukan tindakan yang melanggar hukum.

2. Penyelidikan: Setelah pelanggaran hukum diidentifikasi, tahap penyelidikan

dimulai. Penyelidikan dilakukan untuk mengumpulkan bukti,

mengidentifikasi pelaku, dan mengumpulkan informasi yang relevan terkait

dengan kasus tersebut. Penyelidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum

seperti kepolisian atau badan penyidik.

3. Penahanan/Tersangka: Jika dalam penyelidikan ditemukan cukup bukti yang

menunjukkan keterlibatan seseorang dalam pelanggaran hukum, orang

tersebut dapat ditahan atau dinyatakan sebagai tersangka. Penahanan atau

penetapan status tersangka harus didasarkan pada bukti yang cukup dan sesuai

dengan prosedur hukum yang berlaku.

4. Penuntutan: Setelah penyelidikan selesai, langkah selanjutnya adalah

penuntutan. Kejaksaan Agung atau jaksa penuntut umum bertanggung jawab

untuk menentukan apakah kasus tersebut akan dibawa ke pengadilan atau

tidak. Kejaksaan Agung akan mengevaluasi bukti yang dikumpulkan selama


9
Sudarto, Kapita Selejta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, 1986, Bandung, hal. 15.
16

penyelidikan dan memutuskan apakah cukup bukti untuk memulai proses

pengadilan.

5. Persidangan: Tahap persidangan melibatkan pemeriksaan fakta dan bukti oleh

pengadilan. Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus, termasuk jaksa penuntut

umum, pengacara pembela, saksi, dan terdakwa, akan memberikan argumen

mereka di hadapan hakim. Hakim akan mempertimbangkan semua bukti dan

argumen yang diajukan untuk membuat keputusan akhir.

6. Putusan Pengadilan: Setelah mendengarkan argumen dari semua pihak yang

terlibat, hakim akan mengeluarkan putusan pengadilan. Putusan tersebut bisa

berupa bebas, pidana, denda, atau hukuman lainnya tergantung pada hasil

persidangan dan tingkat pelanggaran hukum yang terjadi.

7. Pelaksanaan Putusan: Tahap terakhir adalah pelaksanaan putusan pengadilan.

Jika terddapat hukuman pidana, pelaksanaan putusan melibatkan penahanan

atau penerapan hukuman yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Hal ini bisa

dilakukan oleh pihak berwenang seperti lembaga pemasyarakatan atau aparat

penegak hukum.

Tahap-tahap di atas adalah proses umum dalam penegakan hukum.

Namun, penting untuk diingat bahwa setiap kasus dapat memiliki kekhasan

sendiri dan tahapan proses penegakan hukum dapat bervariasi tergantung pada

peraturan dan sistem hukum yang berlaku di suatu negara.

F. Perompakan/Pembajakan Kapal Laut


17

1. Sejarah Pembajakan di Laut

Sejarah menunjukkan bahwa pembajakan di laut sudah ada sejak awal

manusia melakukan perjalanan melalui laut. Alfred S. Bradford bahkan menyatakan

bahwa pembajakan di laut memiliki umur yang sama dengan kapal dan kodrat

manusia. Para perompak yang melakukan pembajakan di laut pada awalnya hanya

memiliki tujuan untuk memperkaya diri.10 Dalam berbagai situasi perompak juga

melakukan penculikann dan meminta tebusan. Sejarah tercatat menunjukkan bahwa

sejak zaman Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi, pembajakan di laut telah menjadi

beban dari perdagangan maritim. Salah satu tindakan pembajakan di laut yang

disertai dengan penculikan pada masa ini adalah pada tahun 75 SM, dimana kapal

Julius Caesar diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan. Para

perompak kemudian mendapatkan tebusannya atas pelepasan Julius Caesar namun

mereka ditangkap dan dihukum kemudian.11

Pada abad ke-16, peormpak digunakan oleh negara-negara untuk menambah

kekuatan maritim mereka. Para perompak ini disebut sebagai privateer, yaitu

“perompak” yang diizinkan atau disahkan oleh negara untuk bertindak atas nama

negara tersebut melalui surat yang disebut “letter of marquee.” Tujuan utama para

privateers ini adalah merusak sumber daya negara musuh, melatih kapten angkatan

10
Alfred S. Bradfod, Flying the Black Flag – A Brief History of Piracy, (Westport,
Connecticut : Praeger, 2007) hal.4
11
Thaine Lennox Gentele,”Piracy, sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter
Ransom Payments and Hijacking,” Transportation Law Journal, Vol.37:199,2010, hal. 202-
203.
18

laut yang baru, bahkan menyulut peperangan.12 Setelah perang Spanyol usai, Inggris

dan Spanyol menyimpulkan bahwa tidak dieprlukannya lagi para privateers. Raja

James kemudian mencabut seluruh letter of marquee dan mengkriminalisasikan

pembajakan di laut dalam bentuk apapun. Tindakan ini menyebabkan ratusan

privateer kehilangan pekerjaan dan mencari pekerjaan sebagai perompak secara

penuh. Tanpa adanya negara yang mengasuh atau menyewa privateer ini, maka

mereka melakukan tindakannya berupa menyerang dan merompak semua negara-

negara tanpa diskriminasi.13

Pada tahun 1856 mayoritas negara-negara yang memiliki kekuatan maritim

besar menandatangani Deklarasi Paris 1856 yang menyatakan penghapusan terhadap

pembajakan di laut dalam bentuk apapun, termasuk privateering dan pembajakan di

laut yang disponsori oleh negara. Sejak Deklarasi Paris 1856 ini, timbul konsep

bahwa pembajakan di laut adalah hostis humani generis atau musuh dari seluruh

umat manusia.14 Pembajakan di laut dalam wilayah Barat tidak hanya mempengaruhi

Yunani, Romawi, Spanyol dan Inggris. Tercatat pula berbagai pembajakan di laut

dalam kawasan Eropa Utara (Suku Viking) dan Amerika (Bucaneers).

Dalam kawasan Asia, pembajakan di laut terjadi mayoritas pada kawasan

Timur dan Tenggara. Pada wilayah Asia Timur, pembajakan di laut paling awal

tercatat terjadi pada Dinasti Han (106 SM – 220 M), namun pembajakan di laut di

yakini sudah ada sebelum zaman ini. Pembajakan di laut pada masa ini timbul saat

12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.
19

ada kesempatan seperti peperangan, bencana alam, dan depresi ekonomi. Pada awal

abad ke-17, pembajakan di laut kembali meningkat pada masa peperangan Dinasti

Ming dan Qing. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan di pantai, sehingga para

perompak dapat bebas beroperasi. Pada abad ke-18 dan ke-19 pembajakan di laut

juga terjadi akibat berbagai pemberontakan antara lain oleh Taiwan dan Vietnam,

serta disusul terjadinya Perang Opium pada tahun 1839-1842.

Pada abad ke-20, terjadi perang saudara di China antara penganut paham

nasionalis dengan komunis, sehingga kembali memberikan kesempatan yang baik

bagi perompak untuk beraksi.15 Pada wilayah Asia Tenggara, pembajakan di laut

marak terjadi pada abad ke-19 dimana para perompak mencoba membajak kapal-

kapal perdagangan milik Eropa. Pembajakan di laut dalam kawasan ini dilakukan

berdasarkan komunitas yang terorganisasi dan bahkan melibatkan elit-elit lokal. Para

perompak ini mayoritas beraksi di perairan Selat Malaka dan perairan Riau-Lingga

dan tercatat pula hingga sampai Kalimantan Utara.16 Fenomena pembajakan di laut

dalam kawasan Asia Tenggara yang paling terkenal pada era modern ini adalah yang

dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia dan Abu Sayyaf di

Filipina.17

2. Pengertian Pembajakan Kapal Laut

15
Bruce A. Elleman, Andrew Forbes and David Rosenberg, Piracy and Maritime Crime,
(Newport: Rhode Island: Naval War College Press, 2010), hal. 37-46
16
Ger Tetlier, Piracy in Sounthest Asia – A Historical Comparasion, hal. 70-71.
17
Graham Gerard Ong-Webb, “Piracy in Maritime Asia: Current Trends” dalam Peter Lehr,
op. Cit. Hal. 78.
20

Pembajakan adalah sebuah tindakan perang seperti yang dilakukan oleh pihak

swasta (yang tidak berafiliasi dengan pemerintah manapun) yang terlibat dalam

tindak perompakan dan kekerasan kriminal di laut. Istilah ini telah digunakan untuk

merujuk pada serangan lintas batas tanah oleh agen-agen non-negara. Istilah ini juga

dapat mencakup tindakan yang dilakukan di air atau di pantai. Pembajakan, menurut

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, terdiri dari setiap tindak

pidana kekerasan, penahanan, pemerkosaan, atau penyusutan berkomitmen untuk

kepentingan pribadi oleh awak atau penumpang kapal pribadi atau pesawat yang

diarahkan di laut tinggi terhadap lain kapal, pesawat, atau terhadap orang atau

properti di papan sebuah kapal atau pesawat udara. Pembajakan juga dapat dilakukan

terhadap kapal, pesawat, orang, atau properti di tempat di luar yurisdiksi negara

manapun.

Pembajakan merupakan kejahatan yang dilakukan dengan cara kekerasan,

maka yang dilakukan seharusnya bukan lagi negosiasi ataupun dialog atau bahkan

dengan menggunakan uang tebusan. Upaya-upaya yang telah disebutkan ini, pada

dasarnya tidak akan menyelesaikan persoalan secara menyeluruh karena tidak

memberikan efek jera sedikitpun terhadap para perompak itu. Bahkan yang terjadi

sebaliknya, dengan adanya uang tebusan justru akan semakin membuat para

perompak itu berjaya dan akan mengulangi perbuatan mereka lagi. Hingga diperlukan

usaha yang lebih komprehensif untuk menyelesaikan masalah pembajakan ini, salah

satunya yaitu dengan menggunakan otoritas Mahkamah Pidana Internasional.


21

Sejak ditemukannya kapal sebagai sarana untuk melakukan penjelajahan laut,

teknologi pelayarann telah berkembang begitu pesat. Bersamaan dengan itu,

penggunaan kapal dan teknologi pelayaran juga menjadi sarana baru untuk

melakukan kejahatan. Perompakan secara adalah tindakan menyerang kapal oleh

sekelompok orang secara pribadi (tidak terkait dengan negara) dengan tujuan

menguasai kapal tersebut beserta dengan muatannya, biasanya yang menjadi sasaran

adalah kapal-kapal dagang yang mengangkut banyak harta dan muatan berharga yang

bisa dijual lagi.

Sejarah kegiatan perompakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia

itu sendiri. Catatan sejarah tertua menunjukkan bahwa tindakan perompakan sudah

dilakukan oleh suku manusia laut di wilayah Aegean dan Mediterranean pada abad 13

SM. Perkembangan masa penjelajahan laut untuk mencari daratan baru yang dikenal

dengan era dunia baru, menjadi masa-masa keemasan era perompak. Pada masa itulah

terkenal beberapa nama perompak seperti Edward “Blackbeard” Teach, John “Calico

Jack” Rackham, Bartholomew Roberts, dan lain-lain. Kegiatan perompakan pada

masa lalu, terbagi dalam dua jenis, pertama adalah apa yang disebut pirate, yaitu

pelaku perompakan yang merupakan kriminal murni dan menjadi buronan di seluruh

dunia.18

Jenis yang kedua disebut privateer, yaitu perompak yang diberi surat izin oleh

pemerintah untuk melakukan tindakan perompakan terhadap kapal dagang negara

18
Akbar Kurnia, “modern piracy bajak laut dalam hukum”, melalui
http://akbarkurnia.blogspot.co.id/2011/06/modern-piracy-bajak-laut-dalam-hukum.html,
diakses 21 Desember 2015 Pukul 10.00 WIB
22

musuh. Privateer merupakan suatu metode perang pada abad pertengahan yang telah

dilarang pada abad kesembilan belas. Kegiatan perompakan ternyata tidak berhenti

sampai disitu, bahkan mengikuti perkembangan zaman hingga ke masa sekarang.

Kegiatan perompakan yang mulai dilupakan orang dan hanya dianggap sebagai

sejarah, kembali menjadi pusat perhatian sejak terjadinya kasus perompakan di

Somalia beberapa tahun silam. Dalam insiden pembajakan dilaut, motif ekonomi

sangat tampak terlihat dengan kehadiran uang tebusan yang diminta kepada pemilik

kapal atau operator kapal untuk membebaskan para sandera. Bukan hanya itu, para

pembajak pun tidak segan untuk menyakiti sandera baik itu psikis maupun fisik.

selain itu, para pembajak juga kerap melakukan tindakan yang lebih brutal lagi

dengan berusaha menghadirkan “arena” baru dilaut baik itu pemerintah lokal,

maupun pihak ketiga yang mencoba membebaskan sandera berupa pertempuran.

Pembajakan merupakan salah satu bentuk kejahatan pelayaran yang telah

lama ada. Pembajakan berkembang seiring dengan perkembangan perdagangan.

Sejak abad ke-18 masyarakat bangsa-bangsa telah mengenal dan mengakui kejahatan

pembajakan terhadap kapal-kapal dagang di laut sebagai kejahatan internasional

(piracy de jure gentium). Pada masa itu hubungan perdagangan sangat penting

sehingga tindakan pembajakan dipandang sebagai musuh bangsa-bangsa karena

sangat merugikan kepentingan kesejahteraan bangsa-bangsa. Pembajakan di laut

memiliki karakteristik sebagai berikut:19

19
Victor Situmorang. 1987.Sketsa Azas Hukum LautInternasional. Jakarta: Bina Aksara,
halaman 57
23

1. Diakui oleh masyarakat Internasional sebagai kejahatan jure gentium

karena dianggap sebagai hostis humani generic (musuh bersama umat

manusia)

2. Tindakan yang memiliki dampak atas lebih dari satu negara

3. Melibatkan lebih dari satu kewarganegaraan

4. Penggunaan sarana dan prasarana yang cukup canggih

5. Merupakan golongan tindak pidana internasional yang berasal dari

kebiasaan hukum Internasional.

3. Pengertian Laut Indonesia

Indonesia dikenal dengan negara kepulauan yang dimana banyaknya pulau

yang dikelilingi laut dengan bentangan luas dari timur ke barat Indonesia dan

selatanke utara Indonesia. Sebagai mana kita ketahui bahwa laut adalah ruang

perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-

bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta

segenap unsur terkait dan yang batas sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-

undangan dan hukum Internasional.

Laut adalah kumpulan air asin yang sangat banyak dan luas dipermukaan

bumi yang memisahkan atau menghubungkan suatu benua dengan benua lainnya dan

suatu pulau dengan pulau lainnya.20 Ada beberapa jenis laut di bumi ini, dan menurut

proses terjadinya kita mengenal adanya laut transgresi, laut ingresi, dan laut regresi.

20
Softil, “pengertian laut dan klasifikasi laut”, melalui http://softilmu.blogspot.co.id/
2013/07/pengertian-laut-dan-klasifikasi-laut.html, diakses 20 Desember 2015 Pukul 18.00
WIB
24

a. Laut Transgresi

Laut Transgresi adalah laut yang terjadi karena adanya perubahan permukaan

laut secara positif (secara meluas). Perubahan permukaan ini terjadi karena naiknya

permukaan air laut atau daratannya yang turun, sehingga bagianbagian daratan yang

rendah tergenang air laut.Perubahan ini terjadi pada zaman es. Contoh laut jenis ini

adalah Laut Jawa, Laut Arafuru, dan Laut Utara.

b. Laut Ingresi

Laut ingresi adalah laut yang terjadi karena adanya penurnan tanah di dasar

laut. Oleh karena itu laut ini sering disebut laut tanah turun. Penurunan tanah di dasar

laut akan membentuk lubuk laut dan palung laut. Lubuk laut atau basin adalah

penurunan di dasar laut yang berbentuk bulat. Contohnya Lubuk Sulu, Lubuk

Sulawesi, dan Lubuk Karibia. Sedangkan Palung Laut atau trog adalah penurunan di

dasar laut yang bentuknya memanjang. Contohnya Palung Mindanau yang dalamnya

1.085 m, Palung Sunda yang dalamnya 7.450 m, dan Palung Mariana yang dalamnya

10.683 (terdalam di dunia).

c. Laut Regresi

Laut regresi adalah laut yang menyempit. Penyempitan terjadi karena adanya

pengendapan oleh batuan (pasir, lumpur, dan lain-lain) yang dibawa oleh sungai-

sungai yang bermuara di laut tersebut. Penyempitan laut banyak terjadi di pantai utara
25

pulau Jawa. Laut dibedakan berdasarkan 4 wilayah (zona), yaitu Zona Lithoral, Zona

Neritic, Zona Bathyal, dan Zona Abysal.21

Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

menjelaskan berdasarkan fakta sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia bahwa

Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,

secara geografis adalah negara kepulauan. Oleh sebab itu, pada tanggal 13 Desember

1957 Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan suatu pernyataan (deklarasi)

mengenai Wilayah Perairan Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-

pulau yang termasuk Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah

bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Indonesia dan dengan demikian

bagian daripada perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan

mutlak Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal

asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan

dan keselamatan Indonesia. Penentuan batas landas lautan teritorial (yang lebarnya 12

mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-

pulau Indonesia. Ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas-lekasnya dengan

undang-undang". Dalam Bab ini menguraikan beberapa teori yang menjadi dasar

teori dalam penulisan seperti pembagian laut menurut UNCLOS 1982. Berdasarkan

UNCLOS 1982 tersebut lau dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut :

1. Perairan Pedalaman
21
Ibid.
26

Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis

pangkal. Di wilayah perairan dalam ini, negara memiliki kedaulatan penuh atasnya.

Tidak ada kapal asing yang diperbolehkan masuk ke dalam wilayah ini kecuali

dalam keadaan yang bersifat memaksa (Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar,

2006 : 186).

2. Laut Teritorial

Pasal 3 UNCLOS 1982 mengatur bahwa setiap negara mempunyai hak untuk

menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil

laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan UNCLOS 1982 ini.

UNCLOS 1982 memberikan keleluasan bagi setiap negara untuk menetapkan lebar

laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebih 12 mil laut, diukur dari garis

pangkal yang ditentukan sesuai dengan UNCLOS 1982 juga (Albert W Koers, 1991 :

7). Aturan mengenai jalur lintas damai ini diatur dalam pasal 19 UNCLOS 1982 yang

menyatakan bahwa lintas damai adalah lintas yang dilakukan kapal sepanjang tidak

merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara. Lintas tersebut harus

dilakukan sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 dan peraturan hukum

Internasional lainnya.

Jalur ini dipahami sebagai sebagai jalur tradisional yang biasa dilalui oleh kapal-

kapal dagang/ pariwisata asing untuk secara bebas melintas jalur tersebut tanpa ada

niatan untuk berhenti, memasuki perairan pedalaman, melakukan komunikasi dengan

orang/ lembaga dari negara pantai dengan syarat dilakukan secara damai dan tunduk

kepada perintah keamanan negara pantai. Kewajiban negara terhadap lintas damai
27

diatur dalam Pasal 24 UNCLOS 1982, yakni negara tidakk diperkenankan

menghalangi lintas damai kapal asing yang melalui laut teritorialnya.

3. Zona Tambahan

Zona tambahan merupakan suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari

garis pangkal. Hal ini dirumuskan dalam pasal 33 UNCLOS 1982, bahwa negara

pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran peraturan

perundang-undangan pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga

dapat menerapkan hukumnya (Albert W Koers, 1991 : 7).

Zona tambahan negara pantai mempunyai kewenangan sebagai berikut :

1. Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal imigrasi

atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya

2. Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang

dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.

4. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif dirumuskan dalam Pasal 55 UNCLOS 1982

yang menyatakn bahwa Zona Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan

berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus.

Ditegaskan pula di dalam Pasal 57 bahwa lebar Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh

melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur. ZEE

memiliki perbedaan dengan laut teritorial. ZEE tidak tunduk pada kedaulatan penuh

negara pantai. Negara pantai hanya menikmati hak-hak berdaulat dan bukan

kedaulatan. Hal ini dapat dilihat di Pasal 58 UNCLOS 1982 bahwa di zona ekonomi
28

eksklusif di semua negara dengan tunduk pada ketentuan yang relavan dengan

UNCLOS 1982. (Albert W Koers, 1991 : 8)

5. Laut Lepas

Laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut

teritorial atau dalam perairan internal suatu negara, definisi ini kemudian sudah

mendapatkan modifikasii dengan lahirnya UNCLOS 1982 (Rebecca M. Wallace,

1993 : 155). UNCLOS 1982 memberikan modifikasi atas pengertian laut lepas yakni

semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, kaut

teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara

kepulauan, yang tidak mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang

dinikmati semua negara di zona ekonomi eksklusif. Sedangkan, Pasal 86 UNCLOS

1982 menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak

termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan

pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan.

Dahulu dalam hukum Internasional laut lepas dimulai 3 mil dari tepi pantai, akan

tetapi sejalan dengan perkembangan jarak yang disepakati secara umum menjadi 12

mil. Setelah adanya UNCLOS 1982 laut lepas dihitung setelah 200 mil dari garis

pangkal (Bryan A Ganner, 1999: 1466) : Laut lepas terbuka untuk semua negara baik

itu negara pantai maupun negara bukan pantai. Prinsip yang digunakan dalam konsep

laut lepas menggunakan prinsip kebebasan. Prinsip kebebasan itu berarti tidak

berlakunya kedaulatan, hak berdaulat atau yurisdiksi suatu negara ( Jawahir Thontowi

dan Pranoto Iskandar, 2006 : 189).


29

Kebebasan laut lepas, dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan

dalam UNCLOS 1982 dan ketentuan lain di hukum Internasional. Kebebasan laut

lepas itu meliputi laut lepas baik untuk negara pantai atau negara tidak berpantai :

1) Kebebasan berlayar ;

2) Kebebasan penerbangan;

3) Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut;

4) Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan intalasi lainnya

yang diperbolehkan berdasarkan hukum Internasional;

5) Kebebasan menangkap ikan;

6) Kebebasan riset ilmiah.

Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua negara, dengan

memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan negara lain dalam

melaksanakan kebebasan laut lepas dan juga dengan memperhatikan

sebagaimana mestinya hak-hak dalam UNCLOS 1982 yang berhubungan

dengan kegiatan di kawasan di laut lepas.

Pasal 90 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa setiap negara,

mempunyai hak untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut lepas.

Dengan begitu, harus adanya suatu keterkaitan yang jelas antara kapal

dengan bendera negaranya, ditegaskan pula dalam Pasal 92 bahwa status

kapal di laut lepas sebagai berikut :

1) Kapal harus berlayar di bawah bendera suatu negara saja dan

kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan


30

dalam perjanjian Internasionall atau dalam UNCLOS 1982, harus

tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas.

2) Suatu kapal tidak boleh merubah bendera kebangsaannya

sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan

yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan

pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran.

3) Sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau

lebih, dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh

menuntut salah satu dari kebangsaan itu terhadap negara lain

maupun, dan dapat dianggap sebagai suatu kapal tanpa

kebangsaan.

G. Keaslian Penelitian

Berdasarkan permasalahan serta cara yang terdapat dalam penelitian

ini. Penulisan ini merupakan sebuah hasil karya asli dari penulis dan bukan

merupakan bahan duplikasi ataupun plagiat dari hasil karya penulis lain.

Meskipun telah ada beberapa penelitian terdahulu dari penulis lain yang

hampir sejenis dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu:

1. Penelitian oleh Ahmad Sukri mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara tahun

2017 yang berjudul “Penyelesaian Perkara Terhadap Pelaku

Pembajakan Kapal Di Perairan Laut Indonesia (Analisis Putusan

Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor 98/Pid.B/2007/PN.Klt)”.


31

Penelitian tersebut dilakukan menggunakan sumber data sekunder

yang melalui bahan penelusuran kepustakaan. Penelitian ini bersifat

deskriptif, penellitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat

sifat-sifat suatu individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu, atau

menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada

tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam

masyarakat.

2. Penelitian oleh Fatur Rahman Panjaitan mahasiswa Program Studi

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Sumatera Utara tahun 2018 yang berjudul “Penerapan Sistem

Pemidanaan Terhadap Nakhoda Kapal Atas Pelanggaran Tata

Berlalu Lintas Di Wilayah Perairan Indonesia”. Penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis

normatif, yaitu penelitian hukum yang menganalisis dan mengkaji

dari data yang bersumber dari data pustaka. Penelitian ini bersifat

deskriptif, yaitu penelitian yang terdiri atas satu variabel atau lebih

dari satu variabel namun tidak saling bersinggungan, bersifat

deduktif berdasarkan konsep yang bersifat umum yang kemudian

diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, untuk

menunjukkan komporasi atau hubungan seperangkat data dengan

data lainnya.
32

Berdasarkan kedua penelitian tersebut, tidak ada yang secara substansi

sama persis dengan penelitian yang akan dikaji pada penelitian ini, maka

dari itu penelitian ini layak untuk dilanjutkan karena secara substansi belum

ada yang sama persis membahas mengenai penegakan hukum tindak pidana

perompakan di Laut Belawan.

H. Metode Penelitian

Metode dalam penelitan hukum terdapat beberapa pendekatan

dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.

Sesuai dengan urgensi penelitian hukum untuk menghasilakn argumentasi,

teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah,

maka diperlukan metode penelitian sebagai rangkuman langkah untuk

mencapai preskripsi penelitian hukum. Penulisan yang baik memerlukan

ketelitian dan kecermatan yang memfokuskan pada penelitian ini, penulis

mengupayakan mengumpulkan, menyusun dan mengimplementasikan data

yang sudah ada dan menelaah secara jelas dan spesifik dengan

memepergunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penleitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan kajian

penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang
33

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian

ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.

Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan

hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang

berkaitan dengan hukum internasional. Penelitian bertujuan menemukan

landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif

konflik hukum internasional

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini memeiliki sifat-sifat deskriptif, penelitian bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan gejala atau

kelompok tertentu, atau untuk menentukan peneyebaran suatu gejala dengan

gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini mengarah kepada penelitian

yuridis normatif yaitu suatu penelitian atau ditujukan hanya pada peraturan

yang tertulis atau bahan hukuman yang lain

3. Sumber Data

Sumber data pada penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang terdiri

dari beberapa data antara lain data sekunder dan data al-islami, data al-islam
34

yang digunkan dalam peneltian ini adalah, sedangkan data sekunder pada

penelitian ini terdiri dari:

1. Bahan hukum primer yaitu: kitab Undang-Undang hukum pidana

dan Undang-Undang Noor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.

2. Bahan hukum sekunder berupa data pendukung berupa buku-

buku, katya ilmiah, hasil penelitian dan buku lainnya yang

berhubungan dengan permasalahan yang ada.22

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun

sekunder, berupa kamus hukum, internet, dan lainnya.

4. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi lapangan (field research) yaitu dengan melakukan penelitian secara

langsung terjun ke lapangan dengan meriset kasus Penegakan Hukum

Tindak Pidana Di Laut Belawan dengan melakukan wawancara.

5. Analisis Data

Data di dalam penulisan ini diperoleh melalui wawancara dan penelusuran

kepusakaan serta analisis menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif

22
Fakultas Hukum UMSU. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas
HukumUniversitas Muhammadiyah Sumatera Utara, halaman 6
35

dilakukan dengan memperhatikan fakta yang ada di lapangan dan digabungkan

dengan data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan.23

I. Jadwal Penelitian

Langkah-langkah dalam melakukan penelitian terkait judul skripsi ini

adalah sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan. Dalam tahapan ini dilakukan dalam urusan

administrasi pengajuan judul serta proposal, dijadwalkan 1 (satu)

minggu.

2. Tahap Pengumpulan Data. Dalam tahapan ini dilakukan

pengumpulah literature dan bahan-bahan lain yang

berkenaan/berhubungan dengan penelitian, dijadwalkan dilakukan 3

(tiga) minggu.

3. Tahap Pengolahan Data. Dalam tahapan ini dilakukan pengolahan

serta penyempurnaan terhadap semua data yang diperoleh,

dijadwalkan selama 4 (empat) minggu.

4. Tahap Penyelesaian. Pada tahapan ini merupakan tahap terakhir

rangkaian penulisan skripsi, dan penyelesaian keperluan proses

bimbingan, dilakukan 6 (enam) minggu.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
23
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Op.cit, Hal.74.
36

Alfred S. Bradfod, Flying the Black Flag – A Brief History of Piracy,

(Westport, Connecticut : Praeger, 2007)

BruceA. Elleman, Andrew Forbes and David Rosenberg, Piracy and

Maritime Crime, (Newport: Rhode Island: Naval War Collage Press,

2010)

Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, 1998, Jakarta

Fakultas Hukum UMSU. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan:

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Ger Tetlier, Piracy in Sounthest Asia – A Historical Comparasion

Graham Gerard Ong-Webb, “Piracy in Maritime Asia: Current Trends”

dalam Peter Lehr

Ida Hanifah, dkk: 2018. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa.

Medan: Pustaka Asdi Mahasiswa

Leden Marpaung. 2013. Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia.

Jakarta: Sinar Grafika

Laurensius Arliman. 2015. Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat.

Yogyakarta: CV. Budi Utama

Muladi dan Arif Barda Nawawi, Penegakan Hukum Pidana, Rineka Cipta,

1984, Jakarta

Rahman Syamsuddin dan Ismail Aris. 2014. Merajut Hukum Di Indonesia.

Jakarta: Mitra Wacana Media

Sudarto, Kapita Selejta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, 1986, Bandung


37

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. 2012. Kriminologi. Jakarta:

Rajawali Pers

Victor Situmorang. 1987. Sketsa Azas Hukum Laut International, Jakarta:

Bina Aksara

B. Jurnal

Thaine Lennox Gentele, “Piracy, sea Robbery and Terrorism: Enforcing

Laws to Deter Ransom Payments and Hijacking,” Transportation

Law Journal, Vol 37:199,2010

C. Internet

Akbar Kurnia, “modern piracy bajak laut dalam hukum”, melalui

http://akbarkurnia.blogspot.co.id/2011/06/modern-piracy-bajak-laut-

dalam-hukum.html, Diakses 21 Desember 2015 Pukul 10.00 Wib.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Guru Besar

Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Ketua Dewan Penasihat

Asosiasi Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Indonesia.

http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf .

Diakses tanggal 18 Februari 2018, Pukul 18.46 WIB

Softil, “pengertian laut dan klasifikasi laut”, melalui

http://softilmu.blogspot.co.id/2013/07/pengertian-laut-dan-

klasifikasi-laut.html, Diakses 20 Desember 2015 Pukul 18.00.Wib


38

Lampiran

KERANGKA SKRIPSI (sementara)

Lembar Pendaftran
39

Lembar Acara Ujian

Persyaratan Keaslian

Kata Pengantar

Abstrak

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang

1. Rumusan Masalah

2. Manfaat Penelitian

B. Tujuan Penelitian

C. Definisi Operasional

D. Keaslian Penelitian

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

2. Sifat Penelitian

3. Sumber Data

4. Alat Pengumpul Data

5. Analisis Data

Bab II Tinjauan Pustaka

A. Penegakan Hukum

B. Tahap-Tahap Penegakan Hukm Pidana

C. Laut Indonesia
40

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Penegakan Hukum Mengenai Perompakan di Laut Belawan

B. Hambatan Dalam Melakukan Penegakan Hukum Tindak Pidana

Perompakan di Laut Belawan

C. Upaya Dalam Mengatasi Adanya Tindak Pidana Pembajakan

Kapal di Laut Belawan

Bab IV Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai