Anda di halaman 1dari 19

Nama: Eri Pranita

Nim:B1C121119

BAB V Isu Strategis Keamanan Maritim bagi Indonesia

Laut merupakan penghubung utama antar negara-negara di dunia, walaupun beberapa negara
berada pada kawasan landlocked, hal tersebut tidak menutup kemungkinan kebutuhan negara
atas laut. Fenomena tersebut disebabkan karena sekitar 90 persen dari seluruh aktivitas lintas
batas negara sebagian besar dijalankan menggunakan jalur laut (Conway 2008). Indonesia, dan
sebagian besar negara-negara Asia Tenggara yang wilayahnya merupakan perairan memiliki
masalah keamanan terkait jalur laut. Salah satu wilayah perairan Indonesia yang memiliki nilai
strategis adalah Laut Sulu, dimana laut ini adalah trek pelayaran yang paling padat juga
berbahaya setelah Selat Malaka. Rata-rata setiap tahun ada sekitar 3900 kapal yang melalui
trek ini dengan nilai barang mencapai US$40 miliar (Prastyono 2005). Banyak negara
menggunakan laut ini untuk kepentingannya dalam berdagang karena potensi, letak dan
kuantitas kegiatan lautnya yang padat. Namun hal tersebut juga menjadi faktor berbagai
ancaman yang terjadi seperti masalah pelanggaran wilayah karena posisi yang tepat berbatasan
dengan tiga negara (Indonesia, Malaysia dan Filipina), masalah penyelundupan senjata,
perdagangan manusia, penangkapan ikan secara ilegal hingga pembajakan (piracy)(Gumilang
2016).
Indonesia yang merupakan negara kepulauan atau archipelagic state mengharuskan negara
untuk menjaga keutuhan dan kesatuan wilayah nasional yang mencangkup darat, laut maupun
udara. Dalam hubungannya dengan hal tersebut Undang Undang No. 6 tahun 1996 dan PP No.
37 tahun 2002 kemudian menerangkan bahwa Alur Laut Kepulauan yaitu alur laut yang dilewati
oleh kapal atau pesawat udara asing di atas alur laut tersebut yang digunakan untuk melakukan
pelayaran dan penerbangan dengan cara normal secara belaka untuk transit yang berulang-
ulang, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang melewati atau di atas perairan
kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan yang lainnya (BPK RI 1996).

Indonesia dalam hal ini memiliki tiga jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) International
Maritim Organization (Peraturan Pemerintah RI 2002) serta lima daerah choke pointsantara lain
Selat Singapura, Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Ombai-Wetar, dan Selat Sunda (Kemenko
Kemaritiman 2017). Dalam hal ini Laut Sulu berhubungan langsung dengan Laut Sulawesi yang
merupakan perairan yang membentuk pintu masuk ke daerah ALKI II yang terhubung ke Selat
Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok menuju Samudera Hindia. Alur ALKI II membentuk
pintu alternatif kedua setelah Selat Malaka untuk negara melaksanakan kepentingannya di
lautan, termasuk melakukan perdagangan karena jalurnya yang strategis untuk pelayaran kapal
angkut menuju Asia Timur dan sebaliknya. Jalur ini juga sering digunakan bagi kapal-kapal
tanker besar yang memiliki bobot lebih dari 200.000 ton dengan berbagai muatan. Laut
Sulawesi dalam hal ini berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, Laut Sulu dan pulau-
pulau di Filipina Selatan serta perairan ini merupakan perairan yang banyak akan terumbu
karang dan biota laut sehingga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi (Rustam 2017).

Laut Sulu-Sulawesi mempunyai nilai strategis karena ribuan armada tanker minyak dan armada
dagang melewati Laut Sulu-Sulawesi karena potensi, letak maupun kuantitas kegiatan laut yang
padat pada trek tersebut. Selain itu karena letaknya di puncak segitiga Terumbu Karang Dunia
yang mengiris tiga negara yaitu Indonesia, Filipina dan Malaysia, hal tersebut menambah nilai
yang dimiliki perairan ini (Rustam 2017). Namun keuntungan tersebut bukan cuma
menimbulkan pengaruh baik, melainkan menyebabkan berbagai ancaman juga di lautan seperti
diantaranya pelanggaran wilayah karena posisinya yang berbatasan dengan tiga negara, konflik
penangkapan ikan secara ilegal, penerobosan senjata dan human trafficking, hingga masalah
perampokan kapal dan penculikan awak kapal (maritime piracy).

Pembajakan (piracy) dianggap sebagai suatu ancaman yang kritis dalam keamanan maritime
pada wilayah Asia Tenggara. Semakin berlalunya waktu, banyaknya kejadian piracy yang terjadi
di kawasan dalam beberapa tahun terakhir, ancaman ini kemudian mendapat banyak perhatian
dari International Maritime Organisation (IMO) dan the International Maritime Bureau (IMB)
yang berfokus pada isu piracy. IMO merupakan organisasi yang dinaungi oleh PBB dimana
dalam mendefinisikan pembajakan mengadopsi pengertian dan definisi yang telah dijelaskan
oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) (Johnson, Derek; Valencia
2005). Secara singkat piracy diartikan sebagai suatu tindakan memasuki kapal dengan tujuan
untuk melakukan pencurian ataupun tindakan jahat lainnya dengan maksud tertentu melalui
adanya kekerasan dalam melakukan aktivitas pembajakan kapal tersebut. Definisi yang
dimaksud juga cukup dekat dalam mengidentifikasi beberapa aktivitas ilegal yang dilakukan di
laut dan dilihat berpotensi sebagai suatu pembajakan atau piracy. Sementara disisi lain, IMB
yang merupakan bagian dalam International Chamber of Commerce (ICC) yang diperkirakan
memiliki kesamaan agenda, yang mencakup segala sesuatu atau aktivitas pembajakan dan
perlawanan pada kapal dalam yurisdiksi maritime suatu negara.

Aktivitas pembajakan di laut (maritime piracy) di kawasan Asia Tenggara secara umum
dilaporkan meningkat dalam beberapa dekade terakhir, fenomena ini dapat dilihat dengan
adanya perubahan jumlah secara drastis sejak akhir 1990 an hingga pada awal 2000an, dimana
94 insiden pada tahun 1998 berkembang menjadi 257 pada tahun 2000 dan 187 di tahun 2003
(ICC IMB 2017). Hal ini tidak terlepas dari pengaruh aksi teroris 9/11 dalam dunia internasional.
Kemunculan pembajakan dan perampokan di laut juga tidak terlepas dari beberapa faktor
seperti kondisi sosial ekonomi yang lemah, lemahnya pengawasan pemerintah dan kapasitas
negara serta hal ini juga disebabkan oleh semakin berkembangnya teknologi baru untuk
mempermudah melakukan aksi kriminal di lautan (maritime criminal) seperti navigasi satelit,
ponsel maupun internet (Storey 2016)

A. Konsep Keamanan Maritim


Konsep keamanan maritim (maritime security) menurut Chris Rahman memiliki pengertian yang
berbeda tergantung individu atau organisasi yang mendefinisikan, termasuk didalamnya
tergantung kepentingan dalam organisasi, atau bias politik maupun ideologi. Secara khusus
terminology ini kemudian dimanfaatkan dalam cara yang kurangmaju dan serampangan
(underdeveloped way dan carefree). Keamanan maritim secara sederhana seringkali dilihat
sebagai dimensi lain atau sisi lain dari keamanan, walaupun beberapa kajian literatur mengenai
keamanan secara mengejutkan menjelaskan bahwa keamanan maritim tidak pernah
diidentifikasi sebagai sektor isu yang berdiri sendiri melainkan tetap menjadi bagian dari isu
keamanan (Rahman 2009). Namun kebanyakan literatur mengenai keamanan maritim saat ini
menjelaskan bahwa keamanan maritim cenderung berfokus pada karakteristik laut dan
berbagai kegunaannya, serta ancaman yang mungkin ditimbulkan dari kegunaan laut tersebut
(Rahman 2009).

Chris Rahman menjelaskan maritime security melalui beberapa pendekatan yang melihat
keamanan maritim dari perspektif non tradisional (non strategis). Perspektif yang digunakan
dalam pendekatan ini tak jarang tumpang tindih, karena saling berkaitan dan untuk beberapa
kasus merepresentasikan aspek yang berbeda dari permasalahan yang sama untuk mengetahui
manakaj pendekatan yang lebih efektif dalam mengelola kelautan serta mempertahankan good
order diantaranya. Kebijakan praktis dan respon operasional oleh negara pada keamanan
maritim mereka biasanya membutuhkan aspek-aspek yang menggabungkan lebih dari satu
pendekatan ini. Pendekatan yang ditawarkan oleh Chris Rahman dalam melihat hal tersebut
adalah dengan melihat: (1) Security of the sea itself; (2) ocean governance; (3) maritime border
protection; (4) military activities at sea; serta (5) security regulation of the maritime
transportation system (Rahman 2009).

1) Proteksi terhadap Ekosistem Laut

Keamanan di lautan , merupakan kategori pertama dari keamanan maritime dimana dalam hal
ini harus dapat merefleksikan kepercayaan environmentalist yang melihat bahwa lautan
sebagai suatu objek keamanan daripada politik kelautan (maritime politics) dan oleh karenanya
perlu untuk diamankan demi kebaikan bersama. Proteksi yang dimaksud kemudian mencakup
proteksi dan keamanan lingkungan kelautan (protection of the marine environment) serta
konservasi terhadap segala sumber daya yang ada di lautan (baik yang hidup atau living
maupun non- living) sebagai garis terdepan dari konsep keamanan maritime.

Pendekatan ini dikemukakan oleh 1987 WCED report dalam chapter 17 of agenda 21 yang
menjelaskan mengenai keamanan di lautan, yang kemudian diadopsi pada 1992 oleh UN
Conference on Environment and Development. Hal ini kemudian diaplikasikan bahkan dalam US
National Strategy for Maritime Security, yang melaksanakan counterterrorism dalam domain
maritim sebagai salah satu objek strategis dalam pelaksanaan proteksi dan keamanan serta
upaya menanggulangi eksploitasi ilegal terhadap sumber daya. Pada hakikatnya penting untuk
menjaga kelestarian dan keamanan laut mengingat dampaknya pada human existence,
perkembangan dan keamanan, maka pendekatan ini kemudian melihat pada karakteristik
spesial yang dimiliki oleh laut, serta menuntut adanya “freedom for the seas” termasuk dalam
lingkungan kelautan (maritime environment) serta ekosistem yang ada didalamnya (Rahman
2009).

2) Tata Kelola Maritim

Dalam menjelaskan tata kelola kelautan (ocean governance) menurut Chris Rahman juga
memiliki bias kuat pada lingkungan kemaritiman. Ocean governance dideskripsikan sebagai
suatu kreasi dan implementasi daripada aturan-aturan serta praktek untuk mengelola
pengguna serta penggunaan laut (Rahman 2009). Tidak adanya pengaturan mengenai world
government dalam tata kelola kelautan maka penting membuat suatu rezim yang berisi aturan
serta dapat ditaati oleh negara-negara terkait penggunaan laut. Hal ini dimaksudkan untuk
menyediakan wadah untuk menyelesaikan konflik yang mungkin terjadi karena penyalahgunaan
manfaat kelautan.

Walaupun sebenarnya telah ada Hukum Konvensi Laut sebagai pendekatan dalam tata kelola
laut, pengaturan terhadap laut perlu untuk diimplementasikan secara nyata. Konvensi tersebut
dalam hal ini menyediakan berbagai sarana untuk menyeimbangkan hal tersebut, namun global
ocean governance secara konstan mempengaruhi sistem sehingga perlu ada pembaharuan
nyata yang diwadahi dengan suatu yurisdiksi hukum yang perlu ditaati bersama. Ocean
governance dalam hal ini dapat berupa organisasi internasional, pemerintahan, institusi
maupun organisasi non pemerintah (Rahman 2009).

Global governance dimaksudkan sebagai industri pertumbuhan global dalam organisasi


internasional, pemerintahan, institusi maupun organisasi non pemerintah. Maka dalam hal ini
global governance sebagai pendekatan ocean management dalam keamanan maritim berfungsi
untuk mempromosikan, memperkuat pertahanan baik secara politik maupun retorikal dan
institusional dalam sebuah sistem demi mencapai suatu rezim maritim yang stabil (apabila ada)
(Rahman 2009). Kendati demikian rezim maritim yang stabil dalam pengelolaan tata kelola laut
yang efektif pun belum tentu dapat memberikan keamanan, melainkan sebagai media untuk
menyusun framework yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan keamanan dalam laut dalam
kaitannya dengan hubungan internasional.

3) Perlindungan Perbatasan Laut

Untuk mencapai tata kelola kelautan yang efektif, diperlukan upaya penjagaan dan
pengamanan terhadap yurisdiksi maritime negara perlu untuk diperketat. Menjaga kedaulatan
negara di lautan merupakan konsep keamanan nasional dari setiap negara. Dalam hal ini setiap
negara patut untuk menaati yurisdiksi dan batas-batas wilayah yang telah ditetapkan oleh the
Law of the Sea Convention, serta tak terkecuali rezim ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) yang
mengatakan bahwa yurisdiksi kelautan suatu dapat dihitung sepanjang ZEE negara tersebut
dengan maksimal 200 mil dari garis dasar pantai (Rahman 2009). Sehingga melalui yurisdiksi
tersebut negara dapat memiliki kedaulatan penuh akan apa yang ada dalam wilayah lautnya,
termasuk pengelolaan segala sumber daya yang ada didalamnya. Dampak dari hal tersebut
adalah tak jarang terjadi pelanggaran terhadap hal tersebut karena tingginya pertumbuhan
permintaan offshore oil maupun gas project yang ada di lautan di seluruh dunia. Oleh
karenanya perketatan proteksi di lautan khususnya di batas wilayah (border) perlu ditingkatkan
untuk menanggulangi kejahatan transnasional seperti piracy, terorisme, pencurian,
penyelundupan illegal, dsb.

Pendekatan ini kemudian melihat bahwa apabila suatu negara ingiin mengembangkan dan
memaksimalkan proteksi di wilayah perbatasan lautan negara tersebut maka perlu adanya
koordinasi yang lebih dekat dengan negara lain, atau actor/agensi lain yang bersangkutan
dengan mengembangkan strategi dan kebijakannya baik dalam level nasional (national strategy
for maritime security) maupun di level internasional. Mengingat adanya physically borderless
serta fungsi laut sebagai jalur perdagangan, tidak jarang ancaman transnasional akan muncul
dari sana. Maka secara prinsipnya pendekatan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menjaga
kedaulatan dan kepentingan maritime suatu negara dalam zona kelautannya.

4) Aktivitas Militer di Lautan

Pendekatan aktivitas militer di lautan melihat keamanan secara tradisional seperti dalam
konsep common security. Termasuk penekanan terhadap penggunaan senjata (arms control),
khususnya dalam operasi- operasi yang beragam. Aktivitas militer di lautan umumnya
didominasi oleh aktivitas yang dilakukan angkatan laut, namun dalam pelaksanaanya tidak
selalu naval arms control tidak selalu berjalan mulus. Hal ini didasarkan oleh beberapa faktor
seperti: (1) mahalnya persenjataan angkatan laut dan biasanya tersedia dalam jumlah terbatas;
(2) physically borderless nature di lautan mobilitas yang inheren menyebabkan naval arms
control tidak dapat dibatasi secara berarti; (3) adanya asimetris yang besar antara naval force
structures serta postur strategis nasional; (4) kombatan di permukaan harus memiliki inherently
flexible platform agar dapat melakukan berbagai macam perdan selain berperang, misalnya
diplomatic serta melakukan riset; (5) adanya permintaan mengenai naval platform yang lebih
besar dari sebelumnya termasuk border protection dan ocean governance; (6) adanya
pergeseran teori terkait arms control yang kemudian penggunaannya malah menyebabkan
insekuritas dan ancaman; (7) kenyataan bahwa pengalaman masa lalu yang berusaha
menghentikan perang dengan regulasi dan structural naval arms control mengalami kegagalan
(Rahman 2009).

Namun demikian focus dalam arms control juga dijelaskan sebagai advokasi dalam
mempromosikan the operational arms control aspects of naval/maritime confidence building
measures melalui tiga kategori: (1) Declaratory, menerangkan mengenai prinsip utama,
termasuk kesepakatan batas wilayah, intensi negara terhadap non agresi dan non nuklir status
serta aksesi dalam the Law of the Sea Convention. (2) Transparency, diukur melalui pertukaran
informasi pada communications measures dengan mendirikan jaringan dan prosedur selama
krisis misalnya; notification measures yang menyediakan pemberitahuan terkait latihan
gabungan militer atau unusual deployment; observation/inspection measures, dengan secara
sukarela memberikan informasi mengenai latihan kemiliteran maupun fasilitas persenjataan
angkatan laut suatu negara. (3) Constraint, yang dapat dicegah melalui risk reduction measures
melalui perjanjian atau kesepakatan antar angkatan (laut) bersenjata negara-negara untuk
mencegah konfrontasi yang tidak diinginkan (Rahman 2009).

5) Sistem Regulasi Keamanan terhadap Moda Transportasi Laut

Regulasi terhadap transportasi maritime internasional adalah suatu isu keamanan dan perlu
diatur oleh the International Maritime Organization (IMO). Regulasi yang ditetapkan oleh IMO
terhadap maritime transportation system dilakukan untuk mencegah adanya dominasi dan
eksploitasi terhadap hal ini oleh kelompok teroris, perompak, maupun ancaman-ancaman lain
yang mungkin terjadi pada transportasi laut (kapal) di lautan di seluruh dunia. IMO dalam hal ini
memiliki kewenangan untuk mengatur dan legitimasi sebagai wadah negara-negara untuk
mengamankan wilayah kelautannya melalui regulasi serta kesepakatan- kesepakatan yang ada
(Rahman 2009). Dalam hal ini regulasi dalam shipping (perkapalan) serta transportasi kelautan
penting kemudian untuk memperketat regulasi terhadap hal ini agar terhindar dari
kemungkinan adanya ancaman teroris, mengingat bahwa transportasi kelautan sangat rentan
terhadap ancaman. Maka dalam hal ini regulasi yang ditetapkan oleh IMO terhadap maritime
transportation system dilakukan untuk mencegah adanya dominasi dan eksploitasi terhadap hal
ini oleh kelompok teroris, perompak, maupun ancaman-ancaman lain yang mungkin terjadi
pada transportasi laut (kapal) di lautan di seluruh dunia. IMO dalam hal ini memiliki
kewenangan untuk mengatur dan legitimasi sebagai wadah negara-negara untuk
mengamankan wilayah kelautannya melalui regulasi serta kesepakatan- kesepakatan yang ada
(Rahman 2009

B. Cakupan Keamanan Maritim


Definisi keamanan maritim masih terus berkembang, namun—pada tataran
internasional saat ini—banyak dipengaruhi pandangan mazhab non-tradisional. Terdapat
kesepakatan bahwa lingkup ancaman terhadap keamanan maritim bersifat global sehingga,
membutuhkan kerja sama internasional dan regional, khususnya dari negara-negara pantai
(coastal states), dalam penanganannya.

tingkat regional Asia Tenggara, keamanan maritim telah di-pandang sebagai salah satu
elemen penting dalam gagasan ASEAN Se-curity Community sehingga ASEAN menciptakan
mekanisme ASEAN Maritime Forum. Namun, sama seperti pada tataran internasional, di ASEAN
pun tidak terdapat definisi jelas mengenai keamanan maritim. Hanya disebutkan bahwa ASEAN
Maritime Forum dibentuk sebagai forum untuk membahas langkah dalam memberikan respons
terhadap ancaman-ancaman keamanan maritim. Ancaman terhadap keamanan maritim adalah
pembajakan, perampokan bersenjata, lingkungan kelautan, penangkapan ikan ilegal,
penyelundupan barang, senjata, dan human trafficking serta drug trafficking. Jelas bahwa
pembahasan komponen ancaman yang ada di ASEAN lebih luas dibandingkan konsep
keamanan maritim yang tengah dibahas pada tataran internasional karena memasukkan
komponen lingkungan kelautan dan penangkapan ikan ilegal.

Jika dilihat dari kajian studi keamanan dan dengan meminjam kerangka analisis Barry
Buzan dkk (1998), konsep keamanan maritim tampaknya berada di antara dua interaksi
pemikiran yang berbeda yaitu antara kelompok yang menggunakan kerangka tradisional
tentang keamanan dan kelompok yang menggunakan kerangka non-tradisional. Seperti yang
diketahui, kelompok tradisional cenderung untuk membatasi konsep keamanan (de-
securitization) sedangkan kelompok non-tradisional memiliki kecenderungan untuk
memperluasnya (securitization). Jika fokus dari kelompok tradisional tentang referent object
(tentang apa yangterancam) adalah pada kedaulatan dan identitas negara (baca: kedaulatan
negara dan bangsa), maka kelompok non-tradisional cenderung untuk memperluasnya. Jika
kelompok non-tradisional cenderung memiliki bentangan keamanan (security landscape) yang
sangat luas tentang apa yang dimaksud dengan masalah-masalah keamanan (security
problems), maka kelompok tradisional cenderung untuk membatasinya pada konflik kekerasan.
Timothy D. Hoyt (2003) secara sangat baik telah menggambarkan perbedaan tentang
dua mazhab keamanan ini. Mazhab tradisional mendefinisikan masalah-masalah keamanan
sebagai kegiatan pencarian keamanan oleh negara dan kompetisi antar negara untuk
keamanan. Pencarian dan kompetisi itu diwujudkan misalnya melalui konfrontasi, perlombaan
senjata (arms race) dan perang. Karena itu bentangan keamanan (security landscape) menurut
mazhab ini pada dasarnya adalah masalahantarnegara (interstate problem). Mazhab yang
kedua, yang non-tradisional, menyatakan bahwa bentangan keamanan semacam itu tidak
mencukupi. Tetapi bentangan keamanan itu harus memasukkan masalah keamanan
intranegara (intrastate security problem) dan masalah keamanan lintas-nasional (transnational
security problem). Yang dimaksud dengan masalah keamanan intra-negara misalnya dapat
muncul dari kekacauan (disorder) dalam negara dan masyarakat karena etnik, rasial, agama,
linguistik atau strata ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan masalah keamanan lintas-
nasional misalnya adalah ancaman-ancaman keamanan yang berasal dari isu-isu kependudukan
seperti migrasi, lingkungan hidup dan sumber daya yang ruangnya tidak dapat dibatasi pada
skala nasional. Bahkan ada yang menyatakan bahwa fokus kepedulian harus dialihkan dari unit
analisis negara ke arah unit analisis kelompok dan individu dengan berbagai isu yang sifatnya
non-militer, misalnya keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan
lingkungan dan keamanan politik. Hal ini misalnya tampak dari akademisi yang menganjurkan
konsep keamanan manusia (human security)

Dari mazhab ini, menurut Timothy, hanya menyampaikan setengah kebenaran (half
correct). Kelemahan dari mazhab tradisionaadalah bahwa pandangan keamanannya terlalu
menekankan pada faktor mliter. Sementara kelemahan kelompok non-tradisional terletak pada
konsep yang terlalu luas sehingga sangat sukar untuk membedakan antara apa yang disebut
dengan masalah-masalah keamanan dengan masalah-masalah kebijakan publik (public policy
problems). Dengan kata lain jika mengikuti pemikiran mazhab non-tradisional studi tentang
keamanan kehilangan fokusnya. Karena kelemahan-kelemahan semacam ini, Timothy
menyatakan perlu disepakati apa yang menjadi isu sentral dalam keamanan. Ia menyarankan,
isu sentral tersebut adalah masalahkonflik kekerasan (the problem of violent conflict). Dengan
meletakkan fokusnya pada konflik kekerasan, yang kemudian perlu dilakukan adalah
memahami faktor-faktor militer dan non-militer yang dapat melahirkan konflik kekerasan.
Selain kebutuhan untuk mengidentifikasikan faktor-faktor militer dan non-militer ini, yang juga
perlu diidentifikasikan adalah arenanya, apakah terletak pada arena antarnegara, intranegara,
dan lintas batas negara (transnational).

Perairan Indonesia terhubung dengan Indian Ocean dan sea-lines of communication


(SLOCs) yang merupakan bagian terpenting dalam hal navigasi, bahkan lebih dari 130.000 kapal
yang melewati Selat Malaka. Di sini, kawasan maritim menjadi penting untuk pelayaran,
perdagangan, dan sumber daya laut. Sementara itu, pergeseran kekuat-an di tingkat global
memiliki implikasi strategis terhadap hubungan antara negara-negara besar dan pola
perimbangan kekuatan di kawasan ini. Hal itu secara tidak langsung maupun langsung
berimplikasi pada pertahanan dan keamanan maritim Indonesia dan ASEAN. Beberapa isu
strategis membuat peningkatan kekuatan militer Indonesia di laut menjadi salah satu prioritas
kebijakan pemerintah Indonesia pada periode 2014–2019.

C. Isu-Isu Keamanan Maritim


, secara geografis, geopolitik, dan geoekonomi sangat strategis dan seharusnya dapat
memainkan peran penting dalam upaya keamanan maritim. Wilayah perairan Indonesia untuk
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, dan III menjadi jalur lalu lintas internasional. Selat
Malaka merupakan salah satu jalur laut tersibuk di dunia. Data International Chamber of
Commerce (ICC) pada Tabel

5.1 menunjukkan bahwa lalu lintas kapal yang melintasi perairan Indonesia sangat tinggi.

Ramainya lalu lintas pelayaran diikuti meningkatnya kejahatan di laut. Misalnya, maraknya
bajak laut, penyelundupan dan IUU fishing di berbagai wilayah perairan Indonesia, khususnya di
Selat Malaka. Bila merujuk pada laporan-laporan yang disampaikan ICC dan International
Maritime Bureau (IMB), ada beberapa persoalan keamanan maritim yang terjadi, yaitu:

1. Pembajakan, Perampokan, dan Penyelundupan di Laut

Bila bandingkan lima negara yang banyak mendapat serangan bajak laut (India, Nigeria,
Malaysia, Indonesia dan Vietnam), persentase terbesar dialami Indonesia, yaitu 108 kali pada
2015.1 Gambar 5.1 menunjukkan posisi laut Indonesia yang terbuka, memudahkan segala
kemungkinan kejahatan lintas negara terjadi, termasuk serangan bajak laut. Gambar 5.2
menunjukkan lokasi penyerangan bajak laut/perompak di wilayah laut Indonesia.

Selain di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, ada 11 lokasi lainnya yang menjadi lokasi
penyerangan pada 2015 di Indonesia, yaitu Belawan, Dumai, Nipah, Tanjung Priok, Gresik,
Taboneo, Adang Bay, Mara Berau, Muara Jawa, Balikpapan, dan Kepulauan Bintan. Gambar 5.2
menunjukkan betapa rawannya perairan Indonesia terhadap bajak laut dan perampok. Melihat
data serangan dari tahun 2011 hingga 2015, dapat disimpulkan terjadi peningkatan yang cukup
signifikan.2 Hal itu sebenarnya telah diantisipasi dengan meningkatkan kapasitas anti
pembajakan kru kapal. Namun, sistem dan mekanisme pembajakan maupun perampokan
semakin lihai dan menggunakan teknologi yang canggih. Angkatan Laut Indonesia, bekerja sama
dengan IMB, telah menggagalkan beberapa kali pembajakan laut, bahkan pada pertengahan
2015 telah berhasil menangkap orang kedua yang tersangka sebagai dalang kejahatan
transnasional. Kedua orang ini tertangkap ketika sedang berusaha membajak kapal tanker MT
Okrim Harmony dari Malaysia. Keberhasilan berlanjut pada Desember 2015 ketika Polisi Batam
menangkap Hentje Lango, dalang utama pembajakan kapal tersebut.
Dengan tertangkapnya dalang utama pembajakan tersebut, Komandan Angkatan Laut
Armada Barat memastikan bahwa Selat Malaka aman dilintasi.4 Namun, kejahatan
transnasional bajak laut seperti gunung es yang hanya sebagian kecilnya saja yang terlihat di
permukaan. Oleh karena itu, pernyataan Komandan AL Armada Barat masih perlu pembuktian.
Selain bajak laut, penyelundupan-penyelundupan barang ke dan dari Indonesia ke negara
tetangga pun cukup marak. Pada Januari 2016 yang lalu, kapal patroli Indonesia mengejar dan
mencoba menghentikan empat kapal penyelundup. Tiba-tiba awak pengawal empat kapal
tersebut balik menyerang dengan melempar bom molotov, kapak, dan senjata tajam ke
petugas patroli RI yang mendekati dengan sekoci.

Umenjaga keamanan maritim Selat Malaka yang memanjang sekitar 520 mil, dilakukan
kerja sama Malacca Straits Sea Patrol(MSSP) antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura pada 20
Juli 2004. Sesuai kesepakatan Malsindo Trilateral Coordinated Patrol di Batam, tujuan utama
dilakukan kerja sama adalah untuk menjaga keamanan Selat Malaka dari para pembajak dan
kemungkinan terorisme, dan penyelundupan barang. Demikian pula upaya kesepakatan Jakarta
Statement Meeting pada 8 September 2005 yang dihadiri delegasi tiga negara dan 32 negara-
negara pengguna (user states), termasuk Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan pengamat dari
berbagai organisasi internasional di bidang pelayaran dan perkapalan. Kemudian pada
September 2007, sebuah pendekatan baru untuk mendukung keamanan di Selat Malaka
diluncurkan, yaitu Eyes in the Sky Initiative(EIS).6 Inisiatif ini menggabungkan patroli udara
dengan patroli laut. MSSP dan EIS adalah bagian dari kerja sama yang dibangun untuk
mengatasi masalah keamanan Selat Malaka. Sejak didirikan, kerja sama ini juga didukung IMO,
namun tidak sepenuhnya berlangsung efektif. Salah satu indikator ketidakefektifan adalah
setiap kali terjadi serangan dan pemberantasan, tidak lama kemudian serangan terjadi kembali
dengan berbagai modus operandi.

Walaupun demikian, skema kerja sama trilateral tersebut dianggap paling memungkinkan
sehingga dipakai dalam kerja sama trilateral Indonesia-Malaysia-Filipina. Kasus penyanderaan
warga Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina, IUU Fishing, maupun maraknya
penyelundupan lintas batas, menjadi alasan utama Indonesia mendorong kedua negara lainnya
membangun kerja sama pengamanan wilayah lautnya. Di Yogyakarta tanggal 4 Mei 2016
dicapai empat kesepakatan yang isinya:7
1) Kerja sama untuk patroli bersama antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
2) Membangun mekanisme tindakan bila terjadi masalah di laut.
3) Tukar menukar informasi antara ketiga negara, dengan membuka hotline antara
crisis center Indonesia dengan Malaysia dan Filipina.

4) Menyusun standar operasional prosedur yang jelas.


Kerja sama tersebut mengutamakan patroli bersama. Kerja sama laut bagian timur
Indonesia sudah merupakan hal yang serius dan Indonesia sebagai negara yang paling terkena
dampaknya. Berdasarkan data yang disampaikan Menteri Luar Negeri RI, pada 2015 terdapat
lebih dari seratus ribu kapal melintas perairan Sulu dengan membawa 55 juta metrik ton kargo
dalam satu juta kontainer dan lebih dari 18 juta penumpang

2. Sengketa Perbatasan

Sengketa perbatasan bukan merupakan hal yang baru bagi Indonesia. Sebagai negara
maritim, Indonesia berbatasan dengan 10 negara di sekitarnya, yaitu Malaysia, Singapura,
Brunei Darussalam, Filipina, PNG, Australia, Timor Leste, Vietnam, India, dan Palau. Setidaknya
ada empat titik wilayah perbatasan yang menjadi persoalan Indonesia dan Malaysia, meliputi
segmen Selat Malaka, Malaka Selatan, Laut Cina Selatan, dan Laut Sulawesi. Adapun masalah
batas negara di laut masih ada lima negara, yaitu untuk Singapura, ada dua titik yang belum
disepakati. Wilayah tersebut meliputi Selat Singapura Timur yang berhadapan dengan Batam
dan wilayah sekitar Suar Batu Buleh. Selain itu, Indonesia masih merundingkan batas zona
ekonomi eksklusif dengan Filipina dan Palau. Sementara itu, perundingan tapal batas laut
dengan Timor Leste masih menunggu penentuan garis batas darat.9
Meskipun garis batas negara di laut yang berbatasan dengan lima negara lainnya sudah
selesai dan disepakati, sengketa perbatasan masih timbul dan sering kali menjadi persoalan
politik antarakedua negara tersebut. Kasus perbudakan di Benjina, Maluku, yang melibatkan
pengusaha kapal penangkap ikan milik warga Thailand dengan awak kapal mayoritas dari
Myanmar yang menjadi korban perdagangan orang, tidak dapat diselesaikan melalui kerja sama
kedua negara ataupun ketiga negara secara baik dan sepenuhnya menjadi kasus kriminal biasa
di Indonesia.10
Lain halnya dengan sengketa di Laut Cina Selatan (LCS). Meskipun Indonesia tidak masuk ke
dalam kategori negara pengklaim dalam sengketa LCS, klaim batas wilayah itu tumpang tindih
dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia yang diakui secara internasional. Ketegangan terjadi
ketika ada insiden penembakan pada 17 Juni 2016 setelah berulang kali kapal-kapal nelayan
Tiongkok masuk ke perairan Natuna dan kedapatan mencari ikan di perairan Natuna.
Penembakan itu diprotes keras oleh Tiongkok.11

LCS terus bergulir di antara negara yang bersengketa. Salah satu negara pihak, yakni Filipina,
membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional. Hasil keputusan Permanent Court of
Arbitration (PCA)12 yang memenangkan klaim Filipina pada kenyataannya menguntungkan
Indonesia. Keputusan PCA yang menguatkan UNCLOS menegaskan bahwa klaim RRT atas “nine-
dash-line” tidak memiliki dasar hukum sehingga tidak tumpang tindih dengan batas wilayah laut
Tiongkok. Meskipun demikian, ketegangan belum reda di kawasan tersebut. Indonesia memang
hanya berbatasan laut dengan Malaysia dan Vietnam, namun harus tetap mengupayakan
penjagaan kedaulatannya.
3. Persoalan Tata Kelola Sumber Daya Laut
Indonesia dikenal dengan kekayaan hayati lautnya. Namun bila melihat satu per satu,
terlihat potret permasalahan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir dan laut Indonesia.
Setidaknya ada beberapa hal penting untuk dicermati sebagaimana ditunjukkan pada Tabel
5.2.13 Persoalan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut juga terjadi di LCS, bahkan
sengketa lebih karena perebutan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut di kawasan
tersebut (Lihat Gambar 5.3). Kandungan kekayaan alam di wilayah tersebut tidak hanya terkait
energi, tetapi juga terkait perikanan. Kekayaan alam di LCS yang setidaknya berhasil didata,
yaitu sebagai berikut:
- Cadangan minyak: 12% dari produksi dunia (BP Energy Out-look, 2013).
- Kapasitas produksi 2,5 juta barel per hari (Japan Foundation, 2013).

- Estimasi survei geologi AS menyebutkan bahwa lokasi itu terhadap 60–70% kandungan
hidrokarbon gas alam.

Dengan besarnya kekuatan kandungan sumber daya laut yangndimiliki kawasan, dapat
dipastikan bahwa upaya mempertahankan atau mendapatkan wilayah tersebut akan sangat
dimungkinkan pada masa mendatang.
4. Forced Migration
Isu forced migration—salah satunya adalah pengungsi (refugee)—awalnya berkembang pada
1975. Saat itu terjadi Perang Indochina dan banyak pengungsi dari Vietnam, Kamboja, dan Laos
menggunakan perahu melintasi Laut Cina Selatan menuju ke beberapa negara di Asia Tenggara,
khususnya ke Malaysia dan Indonesia.14 Mobilitas pengungsi menggunakan perahu pada
sepuluh tahun terakhir berulang karena Malaysia, Thailand, dan Indonesia menjadi lokasi
transit para pengungsi dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah yang hendak ke Australia.
Perbedaannya, dewasa ini jalur laut hanyalah salah satu pilihan transportasi. Jalur laut semakin
mengemuka ketika pertengahan tahun 2014 hingga 2015 lebih dari 33.600 orang Bangladesh
dan pengungsi Rohingya secara bergelombang meninggalkan Bangladesh dan Myanmar. Lokasi
transitnya adalah Malaysia dan Indonesia. Eksodus ribuan orang ini dikenal dengan sebutan
Andaman Crisis.15Terhitung sekitar 1800 orang etnis Rohingya sempat ditampung di Aceh.
Meskipun Indonesia bukanlah negara tujuan, kehadiran mereka di perairan RI menyebabkan
Indonesia harus menampung mereka. Sepanjang tahun 2015, bencana kemanusiaan tidak
dapat dihindari ketika etnis Bangladesh dan Rohingya melewati Teluk Bengal dan Laut
Andaman. Diperkirakan sebanyak 370 orang meninggal sebelum mencapai daratan.

Pada kenyataannya, etnis Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh mendapat perhatian
yang berbeda dibandingkan pengungsi-pengungsi lain dari luar negara ASEAN—yang sebagian
besar juga beragama Islam. Ada beberapa faktor yang memengaruhinya. Pertama, para
pengungsi ini mendarat di Aceh dan para nelayan maupun masyara-kat setempat sensitif dalam
memberikan pertolongan kemanusiaan. Berbeda dengan pengungsi-pengungsi lainnya yang
mendarat di bagian selatan pulau Sumatra dan Jawa serta Sulawesi Selatan. Kedua, masifnya
jumlah pengungsi etnis Rohingya dan asalnya dari sesama negara ASEAN. Mereka datang
dengan keadaan yang mengenaskan dan banyak pengungsi meninggal di tengah laut sebelum
mencapai daratan. Hal ini menjadi pemberitaan besar di media nasional maupun internasional.

Upaya penanganan para pengungsi dan pencari suaka dewasa ini tidak mudah
diklasifikasikan. Hal ini karena proses mobilitas membuat mereka jatuh ke tangan
penyelundupan migran melalui laut—salah satu bentuk kejahatan transnasional. Dalam banyak
kasus, para perempuan dan anak-anak Rohingya dan Bangladesh menjadi korban perdagangan
manusia. Tidak hanya menjadi korban ketik dalam proses perjalanannya, tetapi juga di tempat
transit maupun penampungan.

Penyelesaian keempat persoalan tersebut membutuhkan dukungan negara-negara ASEAN,


terutama dalam pembahasan secara kelembagaan, dan individual negara untuk memperkuat
sistemnya. Dalam kerangka ARF, keamanan maritim sebenarnya telah dibahas dan telah dicapai
beberapa kesepakatan. Sementara itu, dalam kerangka Komunitas Politik-Keamanan ASEAN,
telah pula disepakati sembilan isu kejahatan trasnasional yang mayoritas merupakan keja-hatan
trasnasional laut. Secara kelembagaan, telah ada pembahasan pada level kelompok kerja
hingga SOMTC, dan Indonesia mempunyai peran besar dalam setiap langkah kemajuannya

Dalam persoalan-persoalan kejahatan transnasional maupun kemanusiaan di laut, Indonesia


adalah pemrakarsa banyak inisiatif kerja sama maupun kesepakatan. Hal itu dilakukan oleh
Indonesia karena selain memiliki banyak kepentingan atas keamanan lautnya, posisi Indonesia
juga sebagai inisiator banyak isu dalam pilar Ko-munitas ASEAN politik keamanan. Meskipun
ada kesepakatan kerja sama dalam sembilan isu kejahatan transnasional (termasuk empat
masalah maritim tersebut), kerja sama yang terbangun adalah kerja sama bilateral, trilateral,
dan multilateral dalam implementasinya. Dalam kerangka ASEAN tidak ada yang sampai pada
perencanaan aksi, kecuali dalam hal perdagangan manusia.

Upaya Penanganan Permasalahan Perbatasan


pasti memiliki batas – batas sejauh mana sebuah negara berdaulat dan memiliki hak
berdaulat terhadap wilayahnya. Hal ini bisa dilihat dari perbatasan wilayah sebuah negara
dengan negara lain, baik perbatasan darat maupun laut.

Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universal memiliki peran
strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah baik untuk kepentingan nasional maupun
hubungan antar negera (internasional). Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang diapit
oleh dua benua dan dua samudra. Sehubungan dengan itu, Indonesia berbatasan langsung baik
darat maupun laut dengan beberapa negara sekitarnya, antara lain berbatasan laut dengan
Australia, Filipina, India, Malaysia, Palau, Papua New Guinea, Singapura, Timor Leste, Thailand,
Vietnam. perbatasan darat meliputi negara-negara Malaysia, Papua New Guinea dan Timor
Leste. Dengan banyaknya negara yang berbatasan langsung, hal ini bisa menimbulkan konflik
perbatasan seperti pada kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dan sengketa Blok Ambalat.
Kondisi saat ini, pengelolaan batas wilayah negara baik batas di darat maupun di laut belum
tuntas sepenuhnya. Berbagai faktor tentunya menyebabkan penanganan perbatasan negara ini
tidak mudah untuk bisa diatasi oleh satu atau dua institusi saja, namun masih harus dituntaskan
secara lintas sektoral (interdep). Setiap negara mempunyai kewenangan untuk menetapkan
sendiri batas-batas wilayahnya. Namun mengingat batas terluar wilayah negara senantiasa
berbatasan dengan wilayah atau perairan kedaulatan (yurisdiksi) otoritas negara lain, maka
penetapan tersebut harus memperhatikan kewenangan otoritas negara lain sehingga perlu ada
suatu kerjasama (Juni Suburi, 2003).
Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Indonesia terkait dengan penanganan masalahan
perbatasan wilayah dan yurisdiksi antar negara di laut adalah (Etty R.Agoes, 2003; 11) :

1. Belum adanya landasan hukum penetapan atau pengukuran batas-batas terluar


wilayah dan yurisdiksi negara di laut.
2. Belum didaftarkannya daftar koordinat
goegrafis koordinat titik-titik pangkal pada Sekretaris Jenderal PBB.
3. Masih adanya garis-garis batas dengan negara tetangga yang bermasalah.
4. Kurangnya kesadaran akan kesatuan wilayah Indonesia sebagai satu negara kepulauan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, khusus mengenai permasalahan perbatasan
antara negara tercatat antara lain (Etty R.Agoes, 2003; 11) :

1. Secara yuridis belum ada pegangan dan pengaturan yang jelas dan menyeluruh.
2. Penyelesaian permasalahan yang timbul sangat tergantung pada pola untung rugi serta
bergantung pada kemampuan juru runding yang ditunjuk.
3. Kondisi masyarakat wilayah perbatasan yang masih sangat marginal, membuka peluang
untuk dimanfaatkan oleh pihak lain yang berkepentingan
4. Acuan-acuan teknis survey dan pemetaan batas negara masih bersifat parsial, sehingga
memerlukan koordinasi yang panjang dan berbelit.
5. Pemecahan masalah masih bersifat insidensil dan situasional.
6. Banyaknya instansi yang bidang tugasnya bertalian erat dengan masalah perbatasan negara
dan menyulitkan pengintegrasiannya.

Adapun upaya hukum yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam penanganan
permasalahan perbatasan maritime berupa upaya hukum preventif dan represif.

1. Upaya Preventif
Pemerintah Indonesia sejauh ini telah banyak melakukan upaya-upaya preventif guna
melindungi dan mempertahankan wilayah negara, khususnya yang berhubungan dengan
perbatasan negara.
2. B. Upaya Represif

Pada prakteknya, upaya represif dilakukan setelah muncul suatu permasalahan.


Sebagai negara yang dikelilingi oleh beberapa negara yang berbatasan secara langsung, baik
darat atau laut, sudah pasti terdapat beberapa permasalahan yang berhubungan dengan
perbatasan wilayah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

D.Kompleksitas Keamanan Maritim


Masalah keamanan maritim Indonesia dalam kerangka ASEAN merupakan persoalan yang
harus dicermati secara tepat dan cepat. Hal itu karena masalah tersebut bukanlah sekadar
kepentingan Indonesia, tetapi juga kepentingan bersama negara-negara di kawasan Asia
Tenggara. Terlebih lagi masalah keamanan dan keselamatan pelayaran bukan hanya persoalan
keselamatan manusia dan barang serta kapal, tetapi juga berdampak besar terhadap
perekonomian Internasional dan Indonesia sendiri. Sementara itu, karakteristik masalah
keamanan maritim berbeda-beda antara satu dan lainnya. Karakteristik wilayah barat dan timur
memengaruhi berkembangnya persoalan maritim transnasional. Oleh karena itu, sudah
waktunya penguatan pengamanan dan keselamatan laut menjadi prioritas dalam upaya
penguatan kelengkapan armada laut.Indonesia mempunyai kepentingan yang tinggi dalam
upaya menyelesaikan masalah maritim. Namun, ketika sebagian besar kepen-tingan merupakan
isu transnasional yang melibatkan negara-negara tetangga, upaya membangun keamanan dan
keselamatan pelayaran maupun keamanan laut di tingkat regional ASEAN menjadi keharusan.
Meskipun telah ada beberapa kesepakatan di tingkat ASEAN dan adanya ASEAN Maritime
Forum, Indonesia masih perlu mendorong agar kesepakatan-kesepakatan itu dapat
dioperasionalisasikan.

Sistem Regulasi Keamanan pada Moda Transportasi Laut


Regulasi terhadap transportasi maritime internasional telah menjadi konsen semenjak
terjadinya insiden 9/11 yang kemudian dianggap sebagai suatu isu keamanan dan perlu diatur
oleh the International Maritime Organization (IMO). Dalam hal ini regulasi dalam shipping
(perkapalan) serta transportasi kelautan penting kemudian untuk memperketat regulasi
terhadap hal ini agar terhindar dari kemungkinan adanya ancaman teroris, mengingat bahwa
transportasi kelautan sangat rentan terhadap ancaman. Maka dalam hal ini regulasi yang
ditetapkan oleh IMO terhadap maritime transportation system dilakukan untuk mencegah
adanya dominasi dan eksploitasi terhadap hal ini oleh kelompok teroris, perompak, maupun
ancaman-ancaman lain yang mungkin terjadi pada transportasi laut (kapal) di lautan di seluruh
dunia. IMO dalam hal ini memiliki kewenangan untuk mengatur dan legitimasi sebagai wadah
negara-negara untuk mengamankan wilayah kelautannya melalui regulasi serta kesepakatan-
kesepakatan yang ada (Rahman 2009).

International Maritime Organization (IMO) adalah suatu badan khusus PBB yang memiliki
tanggung jawab dalam keselamatan dan keamanan aktivitas pelayaran dan pencegahan polusi
di laut oleh kapal. IMO secara teknis memiliki tugas untuk mengembangkan dan mengadopsi
peraturan baru dan pemutakhiran legislasi yang ada melalui pertemuan yang dihadiri oleh ahli
maritime dari negara anggota, organisasi antar pemerintah dan non pemerintah, dsb (Kemlu
n.d.). IMO dalam hal ini memiliki mandate untuk membuat jalur perdagangan dan aktivitas
perdagangan yang melewati lautan dapat terjamin keamanannya (IMO n.d.).

MO dalam hal ini juga mengatur mengenai standarisasi penggunaan alat dan juga keselamatan
pelayaran sehingga setiap negara memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan dan
keselamatan navigasi di negaranya. Sejalan dengan agenda Nawa Cita Presiden Joko Widodo
untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritime, salah satu bentuk upaya yang dillkukan
oleh Indonesia adalah secara aktif berpartisipasi dalam IMO yang merupakan upaya penguatan
kebijakan politik luar negeri yang dilandasi pada kepentingan nasional dan jati diri bangsa
sebagai negara maritime.
pertemuan komite dan sub-komite IMO kemudian menghasilkan suatu konvensi internasional
yang komprehensif dengan berbagai rekomendasi yang mengatur berbagai fase dalam bidang
pelayaran internasional seperti (1) Kegiatan yang ditujukan bagi pencegahan kecelakaan,
termasuk di dalamnya standar rancangan kapal, konstruksi kelengkapan, kegiatan operasional
dan ketenagakerjaan berdasarkan perjanjian internasional; (2) Kegiatan yang perlu untuk
mendata adanya kecelakaan, termasuk didalamnya tekkait regulasi dalam komunikasi keadaan
darurat dan keselamatan, serta (3) Adanya konvensi-konvensi yang menimbulkan rezim
kompensasi dan pertanggungjawaban (IMO n.d.).

Indonesia dalam hal ini juga telah menjadi anggota aktif dalam berbagai kegiatan IMO sejak
tahun 1961. Salah satunya dengan menunjukkan peran aktif dengan mempromosikan
pengembangan kerjasama internasional dalam bidang keselamatan dan keamanan pelayaran,
termasuk dalam bidang perlindungan lingkungan laut. Indonesia telah menjadi anggota Dewan
IMO pertama kali pada tahun 1973. Kemudian berlanjut pada dua periode keanggotaan
selanjutnya pada 1975 dan 1977. Indonesia sempat gagal menjadi dewan anggota IMO pada
tahun 1979 dan 1981, namun kembali terpilih pada Sidang Assembly ke 13 pada tahun 1983
sampai saat ini (IMO n.d.). Indonesia dalam hal ini juga telah melaksanakan kerjasama dengan
IMO dalam melaksanakan tanggung jawab untuk menjaga keselamatan, keamanan dan
perlindungan lingkungan hidup.

Sehingga dalam hal ini penulis melihat bahwa keterlibatan IMO sebagai suatu badan yang
meregulasi maritime transportation system sangat berpengaruh terhadap keselamatan kapal
yang hendak melintasi perairan luas. Lebih lanjut penulis melihat bahwa regulasi yang telah
ditetapkan oleh IMO mengenai keselamatan transportasi kelautan telah ditaati dan dipahami
secara jelas oleh Indonesia, dimana hal ini bisa jadi digunakan sebagai upaya untuk mengurangi
jumlah signifikansi kejahatan pembajakan oleh ASG di Laut Sulu. Kepatuhan dan keterlibatan
Indonesia dalam IMO penulis lihat sebagai bentuk dari sikap antisipasi Indonesia akan
kemungkinan kejahatan transnasional yang mungkin akan terjadi di lautan. Hal ini juga dapat
dilihat sebagai upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah agar ABK WNI terhindar dari
pembajakan, penculikan dan penyanderaan yang kerap dilakukan oleh ASG di Perairan Sulu.

Anda mungkin juga menyukai