Anda di halaman 1dari 52

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/351853024

Strategi Penguatan Keamanan Maritim Nasional Dalam Rangka Menjaga


Kedaulatan NKRI

Preprint · May 2021


DOI: 10.13140/RG.2.2.23263.38568

CITATION READS

1 1,407

1 author:

Boy Anugerah
School of Government and Public Policy - Indonesia
88 PUBLICATIONS   6 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Boy Anugerah on 25 May 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


1

Strategi Penguatan Keamanan Maritim Nasional Dalam Rangka


Menjaga Kedaulatan NKRI
Oleh:
Boy Anugerah, S.IP., M.Si., MPP. / Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of
Research

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Keamanan maritim (maritime Security) merupakan isu global yang terus
berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Pemahaman akan konsep dan
pemikiran terkait keamanan maritim ini sangat tergantung pada pemahaman
domain maritim yang dihadapkan pada kepentingan nasional suatu bangsa.
Menurut Robert Mangindaan (2011), domain maritim terkait dengan beberapa
aspek yang meliputi; fisiknya, kegiatan mengelola fisik, aturan mengenai
pengelolaanya dan budaya pengelolaan wilayah maritim. Apabila dipetakan dalam
kepentingan berbangsa dan bernegara, maka domain maritim ada aspek politik,
ekonomi, sosial dan militer dengan bobot yang sangat kuat dijadikan drivers untuk
mengembangkan kepentingan nasional.1
Menurut Geofry Till, 2013, menjelaskan bahwa setidaknya ada empat
indikasi bahwa kawasan laut memiliki nilai yang sangat penting bagi sejarah
manusia, Pertama laut sebagai potensi sumber daya alam, yang sangat besar,
Kedua, laut sebagai medium transportasi dan pertukaran, dimana hal ini dapat
dijelaskan bahwa transportasi laut merupakan urusan lokal, akan tetapi teknologi
kelautan terus berkembang. Trasnportasi laut yang bersifat lokal dan regional,
dapat menjadi sistem yang memapu menguasai dunia dan menciptakan sistem
kolonialisasi. Ketiga, laut sebagai medium informasi dan penyebaran ide.
Keempat, laut sebagai medium dominasi. Laut adalah posisi strategis dimana
sebuah negara/masyarakat dapat diserang atau menyerang, tidak mengagetkan
bila berbagai negara berlomba atau mencari sumber instabilitas (keamanan),
penopang ekonomi nasional, arena kerjasama internasional (politik-diplomatik),
mensejajarkan bangsa (sosial-budaya), yang kesemuanya mengindikasikan
bahwa domain maritim memiliki bobot yang kuat untuk dijadikan drivers bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan gambaran tersebut, dipahami bahwa pemanfaatan laut secara luas
diera globalisasi, telah melahirkan beragam konsep pemikiran tentang keamanan
maritim. Namun demikian, dalam perspektif pendekatan yang komprehensif
maritim security (keamanan Maritim) dipahami sebagai The combination of
preventif and responsive measures to protect the maritime domain against threats
and intentional unlawful acts.2 Secara umum, tantangan dan isu keamanan
maritim yang meliputi piracy an armed robbery, maritime terorism, illicit trafficking
by sea (Ex. Narcotics trafficking), small arms and light weapons trafficking, human
1
Mangindaan Robert, 2011, Indonesia dan Keamanan Maritim :Apa pentingnya?, Forum Kajian
Pertahanan dan Maritim, Jakarta.
2
Luttz Feldr et al, 2013, Maritime Security-Perspective for A Comprehensive Approach, ISPWS
Strategy Series, Focus on Defense And International Security April 2013, Jakarta.
2

trafficking, global climate change, cargo theft, dll. Tantangan tersebut senatiasa
berkembang dari waktu ke waktu dalam berbagai bentuknya.
Dalam lingkup regional ASEAN, isu keamanan maritim telah dipandang
sebagai salah satu isu penting dalam gagasan ASEAN Security Community.
Untuk itulah dibentuk ASEAN Maritime Forum sebagai wadah untuk membahas
langkah untuk memberikan respons terhadap ancaman-ancama keamanan
maritim yang meliputi; pembajakan, perampokan bersenjata, lingkungan kelautan,
illegal fishing, penyelundupan barang berbahaya, manusia, senjata, dan obat-obat
terlarang. Terkait dengan hal tersebut, tantang dan ancaman keamanan maritim
yang cukup menonjol adalah masih sering terjadi tindak kejahatan lintas negara
dan masih adanya permasalahan regional yang berpotensi akan mengganggu
stabilitas kawasan ASEAN, yang apabila tidak segera ditangani akan memberikan
implikasi pada stabilitas dan ketahanan nasional masing-masing negara anggota
ASEAN.
Sementara itu pada lingkup nasional, pembahasan mengenai keamanan
maritim akan sangat terkait erat dengan aspek geografis yang melekat pada
Indonesia. Indonesia sejak dahulu kala dikenal dengan sebutan negara bahari
karena penguasaan akan wilayah perairan yang sangat luas. Nenek moyang
bangsa Indonesia adalah kaum pelaut yang menghabiskan sebagian besar
waktunya di laut untuk menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama
penduduk yang hidup di sekitar wilayah perairan. Secara geografis, Indonesia
merupakan negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia. Klaim tersebut
mengacu pada Data Rujukan Kelautan Nasional yang dirilis pada 10 April 2018
oleh Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal TNI AL),
Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman sebagai fasilitator.3
Berdasarkan data tersebut, luas wilayah kelautan Indonesia terdiri dari
perairan pedalaman dan perairan kepulauan seluas 3.110.000 km2, serta laut
teritorial seluas 290.000 km2. Luas wilayah berdaulat Indonesia terdiri dari zona
tambahan seluas 270.000 km2, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 3.000.000
km2, serta landas kontinen seluas 2.800.000 km2. Luas perairan Indonesia seluas
6.400.000 km2 dan luas daratan Indonesia seluas 1.900.000 km2. Dengan
demikian, luas total Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mencakupi
wilayah lautan dan daratan adalah seluas 8.300.000 km2. Panjang garis pantai
sepanjang 108.00 km dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 17.504 pulau 4.
Jika dilihat dari perspektif maritim, atribut geografis yang dimiliki oleh Indonesia
tersebut memberikan keuntungan yang sangat strategis bagi Indonesia, utamanya
dari sisi perdagangan.5
Wilayah perairan yang luas, khususnya lautan, menyimpan potensi sumber
kekayaan alam yang sangat besar meliputi sumber daya perikanan dan terumbu
karang, serta kandungan minyak bumi dan gas alam sebagai sumber energi
nasional. Selain itu, posisi wilayah perairan Indonesia menjadi jalur perlintasan
strategis bagi kapal-kapal niaga dari banyak negara yang berpotensi memberikan
keuntungan ekonomi bagi bangsa Indonesia. Meskipun luasnya wilayah laut
tersebut memberikan keuntungan, namun juga tak dimungkiri dapat menghadirkan
ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) sebagai konsekuensi
3
Susmoro, Harjo. 2019. The Spearhead of Sea Power. Yogyakarta: Pandiva Buku. Halaman. 37.
4
Ibid.
5
Ibid.
3

logis. AGHT dapat hadir baik secara fisik maupun non-fisik, dapat digerakkan oleh
aktor negara, bisa juga datang dari aktor non-negara. AGHT bisa datang dari
pihak luar, bisa juga berasal dari level domestik atau dalam negeri. Yang paling
dikhawatirkan adalah AGHT yang asalnya dari pihak eksternal karena berpotensi
untuk merongrong kedaulatan dan dapat mengancam keutuhan wilayah NKRI.
Di era globalisasi saat ini, kejahatan transnasional telah berkembang begitu
pesat. Kejahatan model ini dilakukan oleh aktor-aktor non-negara seperti sindikat
penyelundupan manusia (people smuggling), kartel obat bius dan narkoba (drugs
trafficking), penyelundupan BBM (gas and oil smuggling), perompak laut yang
beroperasi lintas negara (transnational piracy), serta pelaku illegal logging, illegal
mining, dan illegal fishing yang sering beroperasi di negara perairan seperti
Indonesia. Kondisi tersebut belum termasuk aksi-aksi unilateral (aksi sepihak)
beberapa major power yang tak segan-segan melanggar kedaulatan dan hak
berdaulat negara lain di wilayah perairan seperti yang ditunjukkan oleh Tiongkok
dengan melanggar ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara beberapa waktu yang
lalu. Sebagai gambaran tingginya AGHT terhadap wilayah perairan Indoensia, kita
dapat merujuk data yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP
RI) bahwa kejahatan illegal fishing yang terjadi pada awal sampai dengan
pertengahan tahun 2019 berjumlah sekitar 38 kasus.
KKP RI setidaknya berhasil menangkap 38 kapal ikan ilegal, dengan rincian
15 Kapal Ikan Asing (KIA) Vietnam, 13 KIA Malaysia, dan 10 KIA Indonesia.
Jumlah tersebut menambah total tangkapan ikan ilegal yang dilakukan oleh KKP
sepanjang 2014-2019 dengan jumlah 582 kapal.6 Lain halnya dengan
penyelundupan narkoba, menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), jalur laut
adalah jalur paling rawan penyelundupan narkoba. Hal tersebut didukung oleh
data yang mengungkapkan bahwa 90% dari total kasus terjadi melalui jalur
tersebut.7 Kasus yang terjadi pada akhir tahun 2019, pihak terkait yaitu Polri, BNN
dan Bea Cukai, menggagalkan penyelundupan narkoba dengan modus
penjemputan dari kapal ke kapal (ship to ship) yang dibawa masuk dari Malaysia
menggunakan sampan motor menuju Sumatera Utara dengan barang bukti sabu-
sabu seberat 37 kg.8
Maraknya beragam kejahatan transnasional tersebut merupakan sebuah
kausalitas yang logis dari pesatnya kemajuan di bidang teknologi, informasi, dan
komunikasi di era globalisasi saat ini. Para pelaku penangkapan ikan secara ilegal
misalnya, sangat paham dalam memetakan titik lemah suatu negara yang lalai
dalam mengawasi wilayah perairannya. Ketika tidak ada tim yang melakukan
patroli, mereka masuk ke wilayah perairan dan menjalankan aksi-aksinya. Aksi-
aksi tersebut tidak dilakukan secara tradisional, melainkan menggunakan
teknologi penangkapan ikan dengan proses cepat dan skala tangkap yang masif.
Demikian juga halnya dengan sindikat kejahatan narkoba internasional. Beragam

6
“Kinerja Pengawasan KKP Sepanjang Triwulan 1/2019 Tunjukan Capaian Positif” diunduh dari
https://kkp.go.id/djpsdkp/artikel/10030-kinerja-pengawasan-kkp-sepanjang-triwulan-1-2019-
tunjukkan-capaian-positif, diakses pukul 19.30 WIB tanggal 21 Januari 2020.
7
“BNN Sebut 90 Persen Penyelundupan Narkoba Lewat Jalur Laut”, diakses di
https://www.liputan6.com/news/read/3662296/bnn-sebut-90-persen-penyelundupan-narkoba-
lewat-jalur-laut, pada 1 Maret 2020, pukul 22.35 WIB.
8
”Bea Cukai dan Bareskrim Ringkus Penyelundup 37 Kg Sabu-Sabu”, diakses di
https://mediaindonesia.com/read/detail/277100-bea-cukai-dan-bareskrim-ringkus-penyelundup-
37-kg-sabu-sabu, pada 1 Maret 2020, pukul 22.40 WIB.
4

modus mereka ciptakan dan kembangkan untuk mengelabui pengawasan di titik-


titik masuk sebuah negara, apalagi apabila titik masuk tersebut adalah wilayah
perairan yang minim pengawasan dan nir-teknologi. Dalam konteks ini, kejahatan
transnasional yang didukung oleh teknologi canggih benar-benar menjadi
ancaman bagi kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah negara.
Definisi negara maritim pada hakikatnya hanya merujuk pada suatu kondisi
yang taken for granted bagi suatu negara, semisal Indonesia yang dianugerahi
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa akan wilayah perairan dan sumber kekayaan alam
yang luar biasa. Hanya saja untuk menjadi sebuah negara yang berkekuatan atau
berkapasitas maritim, dibutuhkan strategi yang bersifat komprehensif, integral, dan
holistik. Strategi tersebut meliputi pemahaman segenap komponen bangsa, baik
pemerintah dan lapisan masyarakat, akan pentingnya memiliki kesadaran dan
wawasan maritim yang mumpuni. Kesadaran tersebut akan menjadi sebuah
penuntun dan daya picu untuk merumuskan kebijakan penguatan keamanan
maritim yang komperehensif yang mampu mengoptimalkan semua potensi
sumber daya nasional. Pada tahap lebih lanjut, perumusan kebijakan keamanan
maritim tersebut akan berkorelasi positif dengan upaya untuk menjaga kedaulatan
nasional dan keutuhan wilayah NKRI, serta memperkokoh ketahanan nasional di
semua lini kehidupan bangsa, baik gatra yang bersifat statis/alamiah (Tri Gatra),
maupun gatra yang bersifat dinamis/sosial (Panca Gatra).

2. Rumusan Masalah
Secara garis besar, keamanan maritim mengandung lima esensi, yang
terkandung dalam kepentingan nasional yang meliputi aspek kedaulatan dan
hukum di laut, utilisasi atau pemanfaatan laut secara aman dan damai, penegakan
hukum (law enforcement) baik hukum nasional sebuah negara maupun hukum
internasional, peran aktif Indonesia dalam menjaga keamanan regional dan global,
serta kerja sama aktif dari semua elemen bangsa. Kelima esensi keamanan
maritim tersebut penting untuk diberikan atensi dalam menyikapi potensi ancaman
di laut yang bersifat kompleks dan dinamis. Seperti yang sudah diulas di latar
belakang, luasnya wilayah perairan Indonesia di satu sisi memberikan
keuntungan, namun di sisi lain menghadirkan ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan. Secara umum, potensi AGHT di laut meliputi ancaman kekerasan
(misal perompakan kapal niaga dan kapal tanker), ancaman terhadap sumber
daya laut dan lingkungan (misal illegal fishing dan illegal logging), ancaman
pelanggaran hukum, serta ancaman bahaya navigasi.
Berbagai ancaman tersebut apabila tidak dipetakan dan direspons secara
masif, terstruktur dan sistematis, maka dapat berimplikasi negatif terhadap
kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah NKRI. Persoalannya bagi Indonesia
adalah kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh Indonesia belum cukup kuat
dan tangguh dalam mewujudkan keamanan maritim. Setidaknya ada dua
permasalahan besar yang dihadapi, yakni belum solid dan terintegrasinya
komitmen nasional sebagai bangsa maritim, serta kemampuan pengamanan
wilayah maritim yang belum optimal. Lemahnya komitmen nasional sebagai
bangsa maritim disebabkan oleh belum komprehensifnya pemahaman komponen
bangsa mengenai konsep negara maritim dan negara berkekuatan maritim, serta
kebijakan nasional di bidang maritim yang belum dijabarkan secara menyeluruh ke
segenap lapisan masyarakat.
5

Belum optimalnya kemampuan pengamanan wilayah maritim, sebagai


contoh, tercermin dari belum idealnya besaran anggaran pertahanan jika
dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, terlebih lagi
anggaran untuk matra laut (TNI AL). Hal lainnya yang menjadi faktor penyebab
adalah sinergi dan kolaborasi antar-institusi terkait yang belum benar-benar solid.
Persoalan pengamanan wilayah maritim sejatinya bukan hanya tanggung jawab
TNI (militer) saja, tapi juga kewenangan kementerian dan lembaga lainnya yang
terkait, semisal KKP RI, Kemendag RI, Kemenperin RI, Kemenkumham RI, Polri,
BIN, Bakamla, BUMN di bidang industri strategis, pemerintah daerah, meliputi
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, termasuk juga pihak swasta
nasional, serta membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat. Dengan
memetakan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Indonesia dalam konteks
keamanan maritim saat ini, maka rumusan masalah dalam penulisan sebagai
berikut: “Bagaimana menguatkan keamanan maritim untuk menjaga
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia?”.
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka pertanyaan kajian yang
akan dianalisis dan dielaborasi lebih jauh, beserta proyeksi solusi atau langkah
penanganan ke depan adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana agar komitmen nasional sebagai negara maritim menjadi
solid dan terintegrasi ke seluruh komponen bangsa?.
b. Bagaimana agar kemampuan pengamanan wilayah maritim yang
sudah ada saat ini semakin optimal?.
c. Bagaimana hak berdaulat di wilayah ZEE Indonesia dapat
ditegakkan?

3. Maksud dan Tujuan


a. Maksud
Penulisan LUSOR Analysis ini dimaksudkan untuk memberikan
deskprisi yang lengkap mengenai definisi keamanan maritim, serta
bagaimana melakukan penguatan keamanan maritim Indonesia sebagai
negara kepulauan dalam korelasinya dengan upaya menegakkan
kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah NKRI. Upaya penguatan
keamanan maritim tersebut akan berbasis pada dua hal utama, yakni
penguatan komitmen nasional sebagai negara maritim, serta peningkatan
kemampuan atau kapasitas pengamanan wilayah maritim.
b. Tujuan
Penulisan LUSOR Analysis memiliki tujuan utama, yakni sebagai
bentuk sumbang saran dan pemikiran dari penulis kepada para pemangku
kepentingan terkait (related stakeholders) untuk memecahkan
permasalahan di bidang keamanan maritim dalam rangka menegakkan
kedaulatan NKRI. Sumbang saran dan pemikiran ini diharapkan dapat
menjadi alternatif kebijakan bagi para pemangku kepentingan tersebut.

4. Ruang Lingkup dan Sistematika


a. Ruang Lingkup
Penulisan ini akan dibatasi pada penguatan keamanan maritim
melalui peningkatan komitmen mengoptimalkan kemampuan pengamanan
6

wilayah maritim dan menegakkan hak berdaulat di wilayah ZEE Indonesia


sehingga kedaulatan negara dapat ditegakkan.
b. Sistematika
Sistematika penulisan dari masing-masing bab dalam LUSOR
Analysis ini dirumuskan sebagai berikut:
Bab I, merupakan bagian yang berisikan Pendahuluan. Pada
bagian ini akan dipaparkan apa yang menjadi latar belakang penulis
mengangkat tema penguatan keamanan maritim guna menegakkan
kedaulatan NKRI. Setelah latar belakang, pada bab ini akan
dipaparkan mengenai perumusan masalah, maksud dan tujuan
penulisan, serta ruang lingkup dan sistematika penulisan yang akan
digunakan oleh penulis.
Bab II, merupakan bagian yang memuat Tinjauan Pustaka. Pada
bagian ini akan dipaparkan mengenai bagian umum, yakni
pengantar singkat mengenai konten yang akan dibahas pada Bab II
tersebut. Kemudian akan dijelaskan mengenai kerangka teoritis,
kerangka konseptual, landasan yuridis dalam bentuk undang-undang
dan peraturan perundang-undangan lainnya, data fakta yang
digunakan dalam perumusan masalah, serta lingkungan strategis
yang akan digunakan. Dalam penulisan ini, kerangka teoritis terdiri
dari Teori U dari C. Otto Scharmer dan Teori Kekuatan Laut dari
Alfred Tayer Mahan, Kerangka konseptual meliputi konsep kekuatan
maritim, keamanan maritim, kepentingan nasional, kedaulatan,
ketahanan nasional, serta kewaspadaan nasional.
Bab III, merupakan bagian yang memuat Pembahasan. Pada
bagian ini akan dijelaskan secara lebih terinci mengenai hasil
pencermatan penulis yang telah tertuang dalam Bab I dan Bab II
dengan memfokuskan pada pembahasan mengenai pokok-pokok
bahasan yang telah ditetapkan meliputi, pertama, penguatan
komitmen nasional bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, dan
kedua, penguatan kemampuan atau kapasitas pengamanan wilayah
maritim Indonesia.
Bab IV, merupakan bagian akhir dari penulisan LUSOR Analysis
yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi.

5. Metode dan Pendekatan


a. Metode. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan
LUSOR Analysis ini adalah metode penelitian kualitatif (qualitative
approach). Proses pengumpulan data akan dilakukan dengan
mengumpulkan data primer dan sekunder melalui studi literatur
terhadap sumber akademik yang memiliki kredibilitas tinggi seperti
berbagai buku, jurnal, artikel, majalah, makalah, hasil sidang,
seminar, dan konferensi, serta berbagai naskah peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan bahasan kajian.
b. Pendekatan. Penulisan LUSOR Analysis ini dilakukan dengan
pendekatan secara komprehensif, integral dan holistik dengan
menggunakan perspektif ketahanan nasional melalui studi
7

kepustakaan dengan analisis data sesuai kerangka teori dan dasar-


dasar regulasi yang digunakan

6. Pengertian
a. Penguatan adalah proses, cara, perbuatan menguati atau
menguatkan9
b. Keamanan yang asal katanya aman adalah suatu kondisi yang
bebas dari segala macam bentuk gangguan dan hambatan.
c. Maritim adalah mencakup ruang/wilayah permukaan laut, pelagik
dan mesopelagik yang merupakan daerah subur di mana pada
daerah ini terdapat kegiatan seperti pariwisata, lalulintas, pelayaran
dan jasa-jasa kelautan.10
d. Hak berdaulat adalah hak untuk mengelola dan memanfaatkan untuk
keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di
atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan
berkenan dengan kegiatan lain untuk eksplorasi dan eksploitasi zona
ekonomi tersebut, seperti produksi energi dari air, arus, dan angin.11
e. Kedaulatan adalah kekuasaan sebuah negara untuk menentukan
sikap dan nasibnya sendiri terlepas dari intervensi negara lain.12
f. Komitmen adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu13

9
Pengertian Penguatan. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/penguatan, pada tanggal
14 Juli 2020 pukul 17.03 wib
10
Dewan Maritim Indonesia. 2003. Laporan Semiloka Kebijakan Nasional Bidang Kemaritiman.
11
“Beda Kedaulatan dan Hak Berdaulat di Laut Menurut UNCLOS 1982”, diakses di
http://maritimnews.com/2016/04/beda-kedaulatan-dan-hak-berdaulat-di-laut-menurut-unclos-1982/,
pada 15 Juli 2020, pukul 04.33 WIB.
12
“Pengertian Kedaulatan Rakyat”, diakses di http://eprints.umm.ac.id/40138/3/BAB%20II.pdf, pada
1 Maret 2020, pukul 17.00 WIB.
13
Pengertian Komitmen. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/penguatan, pada tanggal
14 Juli 2020 pukul 17.03 wib
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

7. Umum
Selama beberapa tahun terakhir ini, konsep keamanan maritim menjadi
bahasan penting. Langkah yang diambil pemerintahan Presiden Joko Widodo
yang mengarusutamakan keamanan maritim sejak 2014 yang lalu melalui
kebijakan Poros Maritim Dunia (World Maritime Axis) patut diapresiasi. Upaya
menguatkan keamanan maritim merupakan wujud kesadaran bangsa dan negara
Indonesia atas diri dan lingkungannya. Kepemilikan akan wilayah lautan yang luas
meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, serta laut teritorial beserta
segala potensi sumber kekayaan alam yang ada di dalamnya, tidak akan berdaya-
guna secara optimal apabila tidak dikelola dan dikawal dengan keamanan maritim
yang tangguh.
Dalam konteks penguatan keamanan maritim, pemerintah masih
berhadapan dengan kendala-kendala yang harus ditangani terlebih dahulu.
Kendala tersebut secara garis besar terdiri atas dua hal, pertama, belum solid dan
terintegrasinya komitmen nasional sebagai bangsa maritim, dan kedua,
kemampuan pengamanan wilayah maritim yang belum optimal. Kendala pertama
lebih bersifat filosofis. Persoalan keamanan maritim masih dianggap sebagai
tugas dan tanggung jawab TNI saja, dalam hal ini TNI Angkatan Laut. Padalah
konsep keamanan maritim juga meliputi pengelolaan sumber kekayaan alam
maritim. Persoalan kedua lebih bersifat teknis dan operasional. Oleh sebab itu,
upaya penanganannya lebih membutuhkan strategi jangka panjang serta dana
yang memadai yang dimaktubkan dalam APBN dan APBD.
Untuk menganalisis permasalahan-permasalahan tersebut, dalam rangka
mencari jalan keluar terbaik bagi penguatan keamanan maritim Indonesia, pada
penulisan Kertas Karya Perorangan LUSOR Analysis ini, penulis akan melakukan
studi literatur dengan menggunakan sumber-sumber akademik yang kredibel.
Sebagai kerangka teoritis (theoretical framework) dalam penulisan, penulis akan
menggunakan Teori U yang dikembangkan oleh Otto Scharmer sebagai Analisis
pengambilan keputusan (decision making process). Selain Teori U, penulis juga
menggunakan Teori Kekuatan Laut (sea power theory) yang dirumuskan oleh
Alfred Tayer Mahan. Teori ini penulis anggap sangat relevan dengan objektif yang
hendak dicapai oleh pemerintah Indonesia melalui penguatan keamanan maritim,
yakni stabilitas keamanan di satu sisi, serta pembangunan ekonomi di sisi lainnya.
Untuk mengoperasionalisasikan kerangka teoritis yang sudah ditetapkan,
penulis akan menggunakan beberapa kerangka konseptual yang relevan yakni
konsep kekuatan maritim, konsep keamanan maritim, konsep kepentingan
nasional, konsep kedaulatan, serta konsep kewaspadaan nasional. Konsep
kekuatan dan keamanan maritim digunakan untuk mengelaborasi lebih jauh
mengenai upaya-upaya yang potensial ditempuh dalam menguatkan keamanan
maritim sebagai variabel independen dalam penulisan ini. Sedangkan konsep
kepentingan nasional, konsep kedaulatan, dan konsep kewaspadaan nasional
akan digunakan untuk menjelaskan variabel dependen dalam penulisan yakni
menjamin tegaknya kedaulatan NKRI. Penulisan ini juga akan diperkuat dengan
landasan yuridis kebijakan di bidang maritim, data fakta keamanan maritim
Indonesia, serta lingkungan strategis yang mempengaruhi, baik nasional, regional,
maupun internasional.
9

8. Kerangka Teoritis
a. Teori U dari C. Otto Scharmer14
Teori U merupakan sebuah teori yang membahas mengenai metode
manajemen perubahan, diperkenalkan oleh Otto Scharmer. Asumsi dasar
dari teori ini adalah bahwa sebagai bagian dari suatu masyarakat,
organisasi terkesan sulit dan kurang mampu dalam merespons segala
perubahan yang terjadi di dunia. Organisasi kerapkali hanya terpaku pada
pola pikir kelembagaannya saja dalam merumuskan solusi terhadap
permasalahan global seperti kesetaraan gender, kemiskinan, polusi, dan
masih banyak lagi. Secara umum, Teori U dijadikan sebagai panduan bagi
para pemimpin politik di suatu negara atau manajemen tertinggi sebuah
perusahaan dalam memecahkan sebuah persoalan penting dengan
mempelajari pola perilaku masa lalu yang tidak produktif yang
menyebabkan pola pengambilan keputusan (decision making) menjadi
tidak produktif.
Inti dari Teori U adalah kapasitas untuk hadir (presence) dan
mengindera (sensing). Secara mendetil teori U mencakupi lima aspek
penting, yakni: (a) mengawali niat bersama, yakni berhenti dan mulai
mendengarkan orang lain, serta mengikuti panggilan hidup yang akan
dilakukan, (b) sensasi, pergi ke tempat-tempat yang paling potensial, serta
dengar dengan pikiran dan hati yang terbuka lebar, (c) mempersembahkan
ilham dan kehendak bersama dengan pergi ke ambang pintu dan
membiarkan pengetahuan batin yang muncul, (d) mengeksplorasi masa
depan, dan (e) berkembang bersama melalui inovasi dengan mempelajari
ekosistem yang memfasilitasi penglihatan dan tindakan secara
keseluruhan.
Teori U dimaksudkan untuk mengembangkan kapasitas
kepemimpinan seseorang, baik pemimpin politik dalam konteks negara,
maupun manajemen puncak perusahaan untuk sektor privat. Ada tujuh
kapasitas yang hendak dikembangkan melalui teori ini, sebagai berikut: (a)
kapasitas untuk memegang ruang, yakni mampu mendengarkan panggilan
hidup yang akan dilakukan, (b) kapasitas untuk mengamati dan berfikir
terbuka, (c) kapasitas untuk melakukan penginderaan, terhubung dengan
hati, (d) kapasitas untuk terhubung ke sumber terdalam yang terdapat
dalam diri, (e) kapasitas untuk memegang komitmen yang teguh, (f)
kapasitas untuk berfikir serta bertindak secara efektif, jauh dari hal-hal yang
sifatnya distraksi seperti sikap reaktif dan terlalu banyak analisis ketimbang
praktik, serta (g) kapasitas untuk melakukan yang terbaik (performing)
semisal menemukan pemimpin yang tepat atau teknologi yang bagus untuk
menjalankan sebuah proyek.
Manfaat dari implementasi Teori U antara lain: (a) ada keterkaitan
antara kesadaran pemimpin dengan kinerja yang dihasilkan, (b) individu
dan tim akan bergerak melalui keseluruhan sistem proses perencanaan
terpadu yang menggabungkan metode pengamatan, mengetahui, serta
memvisualisasikan pengambilan keputusan, (c) menciptakan inovasi, (d)
proses pembuatan kebijakan terhubung dan terintegrasi dengan visi dan

14
Scharmer, C . Otto. (2008). Theory U: Leading From the Future as It Emerges. The Social
Technology of Presencing. San Fransisco: Barret-Koehler Publishers Inc.
10

misi organisasi, (e) relevan dengan perkembangan dan praktik, baik


individu, maupun organisasi, dan (f) penggunaan teknologi sosial yang
berkontribusi pada resolusi konflik dan rekayasa sosial.
b. Teori Kekuatan Laut dari Alfred Tayer Mahan15
Alfred Tayer Mahan dikenal sebagai pakar maritim berpengaruh di
Amerika Serikat pada paruh terakhir abad ke-19. Dalam bukunya yang
berjudul The Influence of Sea Power Upon History, ia menjelaskan secara
komprehensif mengenai hal-hal yang diperlukan oleh sebuah negara untuk
menjadi kekuatan maritim dunia. Teori-teori yang dipaparkan Mahan lebih
lanjut menjadi dasar strategi maritim negara-negara besar untuk mencapai
bentuk sebagai negara maritim yang ideal. Persebaran pemikiran tersebut
sempat menimbulkan kegelisahan bagi Mahan sendiri bahwa hal tersebut
akan memicu negara-negara dunia menjadi ekspansif. Kekhawatiran
tersebut tidak berlebihan apabila merujuk pada fakta bahwa telah meletus
Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945).
Dalam karyanya Mahan menjelaskan bahwa untuk membentuk dan
mengembangkan kekuatan laut, sedikitnya terdapat enam karakter yang
harus dimiliki oleh sebuah negara. Enam karakter tersebut antara lain
kedudukan geografis, bangun muka bumi yang meliputi bentuk tanah dan
pantai, luas wilayah, jumlah penduduk yang turun ke laut, karakter nasional
(penduduk), serta karakter pemerintah, termasuk lembaga-lembaga
nasional. Untuk menjelaskan implementasi enam karakter tersebut, Mahan
melakukan perbandingan antar negara yang memiliki kekuatan maritim di
Eropa Barat seperti Inggris, Belanda dan Prancis.
Karakter pertama adalah letak geografis. Pembahasan mengenai
letak geografis ditekankan pada, pertama, letak suatu negara yang
berhadapan banyak lautan dengan komunikasi antara bagian-bagiannya
yang berjalan secara baik, sehingga musuh akan sulit untuk
menaklukkannya, kedua, letak suatu negara berupa kepulauan yang
berada di depan suatu benua atau daratan sehingga membentengi
daratannya.
Karakter kedua adalah bangun muka bumi, yakni tanah dan pantai.
Tata letak suatu negara dalam bentuk atau wujudnya yang merupakan
negara kepulauan dengan pantai-pantai yang mudah dicapai dari
pedalaman pulau-pulaunya, menjadikan penduduk negara tersebut dapat
berhubungan dengan dunia luar secara lancar. Dalam hal ini, pelabuhan-
pelabuhan alam yang dimiliki negara bersangkutan berfungsi serba
menguntungkan, baik bagi perdagangan, maupun angkatan lautnya.
Karakter ketiga adalah luas wilayah. Pemikiran Mahan mengenai
karakter ketiga ini adalah hubungan antara panjangnya garis pantai dengan
sulit-mudahnya wilayah negara tersebut dipertahankan di masa perang.
Jika dilihat secara cermat, masing-masing wilayah memiliki titik-titik yang
penting yang menentukan kekuatan ataupun kelemahannya secara militer.
Garis pantai yang panjang umumnya berkecenderungan membutuhkan
pertahanan yang lebih sulit dibandingkan dengan garis pantai yang lebih
pendek.

15
Mulya, Lillyana. (2013). Postur Maritim Indonesia: Pengukuran Melalui Teori Mahan. Jurnal
Lembaran Sejarah No. 2 (10), Oktober 2013.
11

Karakter keempat adalah jumlah penduduk. Penduduk dalam


konteks pemikiran Mahan lebih mengacu pada jumlah atau kuantitas.
Semakin besar jumlah penduduk, maka potensi penduduk yang akan
menjadi aramada militer atau tentara di darat dan lautan juga akan semakin
besar. Namun demikian, jumlah penduduk yang besar harus diimbangi
dengan kualitas yang baik, sehingga dapat menjadikan negara yang
bersangkutan memiliki kekuatan yang besar karena tentara yang direkrut
memiliki kompetensi dan loyalitas yang baik.
Karakter kelima adalah karakter nasional atau karakter penduduk.
faktor-faktor seperti kecintaan terhadap tanah air dan bangsa, kebanggaan
atas kebesaran sejarah masa lampau, akan sangat menentukan kuat
lemahnya suatu negara. Negara-negara yang penduduknya memiliki
kecintaan yang tinggi terhadap tanah airnya dan memiliki kebanggaan atas
kebesaran sejarah masa lampau merupakan kekuatan yang dapat
mendorongnya untuk menjadi negara maju dan besar.
Karakter terakhir adalah karakter pemerintah, termasuk lembaga-
lembaga nasional yang dimiliki. Aspek ini akan sangat terkait dengan
kebijakan internal pemerintah suatu negara, pemanfaatan kepadatan
penduduk, dan sikap terhadap negara tetangga. Negara yang memiliki
pemerintahan yang kuat dan kebijaksanaan yang tegas akan lebih dapat
memanfaatkan kepadatan penduduknya untuk menjadi kekuatan yang
menjadikannya berkembang ke arah kemajuan.
Kekuatan laut dan strategi angkatan laut menurut Mahan sangat
bergantung pada aspek fisik atau geografis semisal kedudukan insular atau
kontinental suatu bangsa dan politik nasional yang bersangkutan dengan
masalah angkatan laut, palayaran niaga, dan pangkalan-pangkalan di luar
wilayah. Mahan sendiri lebih memaknai kekuatan laut sebagai kekuatan
atau pengangkutan di laut (sea transportation power) yang sangat vital bagi
terselenggaranya garis perhubungan di antara pasukan dengan sumber
perbekalannya (connection between home front and battle front).
Hal tersebut merupakan satu-satunya unsur paling penting dalam
strategi, baik politik, maupun militer. Inti dari doktrin strategi yang
diutarakan oleh Mahan adalah „keharusan untuk menguasai lautan‟ yang
dapat dicapai dengan mengusahakan konsentrasi kelautan yang sanggup
mengusir dan membinasakan semua kapal-kapal angkatan laut dan
armada niaga musuh dari lautan sedemikian rupa sehingga dapat dicapai
apa yang disebut dengan „keunggulan di laut‟ atau sea supremacy. Untuk
mewujudkannya, dibutuhkan angkatan laut yang mampu menguasai garis
perhubungan laut yang merupakan syarat mutlak untuk konsentrasi
kekuatan.
c. Kerangka Konseptual (Conceptual Framework)
1) Kekuatan Maritim (Maritime Power or Sea Power)
Terminologi kekuatan maritim pada dasarnya terdiri dari dua
subsistem yang meliputi kekuatan laut dan kekuatan angkatan laut.
Keduanya bersifat komplemen atau saling melengkapi satu dengan
lainnya dalam membangun kekuatan maritim. Nilai pokok kekuatan
laut bagi suatu negara adalah sejauh mana kemungkinan negara
dapat menggunakan dan memanfaatkan laut secara efektif untuk
kepentingan negaranya. Pemikiran ini mengandung pengertian luas,
12

termasuk di dalamnya aktivitas perdagangan, pelayan, industri


maritim dan pemanfaatan sumber daya laut, serta potensi-potensi
strategik lainnya yang dimiliki secara maksimal. Sedangkan
kekuatan angkatan laut diperlukan untuk melakukan perlindungan
dan pengamanan. Namun demikian, dalam praktiknya kedua istilah
tersebut sering digunakan secara bergantian untuk menjelaskan
maksud yang sama, yakni sumber daya laut dan seluruh potensi
strategik yang dimilikinya.16
Selain pandangan di atas, pandangan lainnya menyatakan
bahwa kekuatan laut tidak hanya terbatas pada kekuatan angkatan
laut (naval power) saja, tapi juga seluruh komponen kekuatan
maritim nasional yang memiliki arti lebih luas terkait dengan kontrol
terhadap perdagangan dan perekonomian internasional melalui laut,
penggunaan dan kontrol terhadap sumber daya laut, penggunaan
kekuatan angkatan laut dan perekonomian maritim sebagai
instrumen diplomasi, penangkalan dan pengaruh politik pada masa
damai, serta pengoperasian angkatan laut pada masa perang.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara barkarakteristik maritim,
kekuatan laut merupakan hal yang sangat penting sebagai modal
dalam membangun dan mendayagunakan kekuatan maritim
nasional. Indonesia sendiri memfokuskan pembangunan kekuatan
maritim pada tiga hal, yakni sumber daya manusia, sumber daya
alam, serta kebijakan publik.17
2) Keamanan Maritim (Maritime Security)
Harus dimafhumi bahwa definisi mengenai keamanan maritim
yang dipaparkan oleh berbagai pihak masih belum solid, termasuk
juga dalam hal perumusan ruang lingkupnya. Walaupun demikian, di
tengah perbedaan pendapat tersebut, tetap penting untuk
merumuskan pemaknaan terhadap keamanan maritim mengingat hal
tersebut dapat menjadi pijakan dalam perumusan kebijakan
keamanan maritim di sebuah negara, utamanya dalam korelasinya
terhadap strategi menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan
nasional. Dalam persepsi militer pada umumnya, permasalahan
keamanan maritim difokuskan pada masalah keamanan nasional
dalam upaya melindungi keutuhan wilayah negara dari serangan
bersenjata atau penggunaan jenis kekuatan lainnya, serta
membantu membuat proyeksi kepentingan negara terhadap negara-
negara lainnya.
Dalam perspektif pertahanan negara, keamanan maritim
mencakupi hal-hal lainnya yang lebih luas dalam merespons
berbagai ancaman di bidang maritim. Sebagai contoh, konsep
operasi keamanan maritim dari Angkatan Laut Amerika Serikat
menyebutkan bahwa sasaran dari operasi keamanan maritim

16
Soebijanto, Slamet. Kekuatan Maritim Sebagai Salah Satu Pilihan Pembangunan Ketahanan
Nasional Bangsa. Jurnal Ketahanan Nasional No. IX(2), Agustus 2004. Diakses di
https://jurnal.ugm.ac.id/jkn/article/view/22150/14784, pada 1 Maret 2020, pukul 15.59 WIB.
17
Anugerah, Prima Tegar. (2017). Sea Power, Security, and Good Order at Sea. Diakses di
https://www.researchgate.net/publication/325069679_Sea_Power_Security_Good_Order_at_Sea/li
nk/5af49273a6fdcc0c030af447/download, pada 1 Maret 2020, pukul 16.11 WIB.
13

mereka meliputi perlindungan kebebasan bernavigasi dari kapal-


kapal dagang mereka, melindungi sumber daya laut, melindungi
wilayah maritim dari ancaman negara tertentu, melindungi wilayah
maritim dari kejahatan transnasional.
Christian Bueger menyatakan bahwa keamanan maritim
sedikitnya mengandung empat konsep keamanan, yakni kekuatan
laut atau kekuatan angkatan laut (sea power), keselamatan laut
(marine safety), ekonomi laut dalam (blue economy), serta
keamanan manusia (human security). Kekuatan laut merujuk pada
peran angkatan laut dalam melidungi keberlangsungan negara, serta
melindungi jalur transportasi laut bagi perdagangan dan peningkatan
ekonomi. Keselamatan laut merujuk pada keselamatan kapal dan
instalasi laut yang bertujuan untuk melindungi lingkungan laut dan
para profesional yang bekerja di laut.
Merujuk pada beragam definisi yang diuraikan, secara garis
besar dapat disimpulkan bahwa ada empat bidang keamanan
maritim, yakni: (1) bidang keamanan maritim yang terkait dengan
kedaulatan negara (domain militer), (2) bidang keamanan maritim
yang menyangkut penegakan hukum di laut (domain para penegak
hukum multisektor), (3) bidang keamanan maritim yang menyangkut
keselamatan pelayaran (domain badan pemerintah yang mengawasi
transportasi dan pelayaran laut), serta (4) bidang keamanan maritim
yang menyangkut penjagaan dan kelestarian lingkungan laut
(domain instansi pemerintah yang mengampu tugas khusus).18
3) Kepentingan Nasional (National Interest).
Pemenuhan kepentingan nasional merupakan upaya untuk
dapat mempertahankan dan mengembangkan kehidupan suatu
negara dalam interaksi dengan negara-negara lain. Merupakan
salah satu konsep yang dikenal luas dan selalu digunakan para ahli
dalam menganalisis hubungan internasional. Kepentingan nasional
juga menjadi konsep dalam menentukan kebijakan politik luar negeri
dan kebijakan pertahanan, serta kebijakan-kebijakan lainnya.19
4) Kedaulatan (Sovereignty).
Secara etimologi kedaulatan berasal dari bahasa Latin, yakni
„superanus‟ yang berarti teratas. C.F. Strong menyatakan bahwa
kedaulatan berarti superioritas yang dalam konteks kenegaraan
mengisyaratkan adanya kekuasaan untuk membuat hukum.
Kedaulatan juga didefinisikan sebagai otoritas tertinggi yang tidak
tunduk pada otoritas lainnya. Kedaulatan terbagi menjadi dua, yakni
kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar. Dalam konteks ke luar,
kedaulatan bermakna kekuasaan sebuah negara untuk menentukan
sikap dan nasibnya sendiri terlepas dari intervensi negara lain.20
5) Ketahanan Nasional (National Resilience).
18
Anwar, Syaiful. (2016). Membangun Keamanan Maritim Indonesia Dalam Analisa Kepentingan,
Ancaman, dan Kekuatan Laut. Jurnal Pertahanan Desember 2016 No. 3(6).
19
Bahan Ajar Bidang Studi Kewaspadaan Nasional Tahun 2020 Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia (Lemhannas RI). Halaman. 39.
20
“Pengertian Kedaulatan Rakyat”, diakses di http://eprints.umm.ac.id/40138/3/BAB%20II.pdf, pada
1 Maret 2020, pukul 17.00 WIB.
14

Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamis suatu


bangsa, meliputi semua aspek kehidupan untuk tetap jaya, di tengah
keteraturan dan perubahan yang selalu ada. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa secara konseptual bahwa Tannas suatu bangsa
dilatarbelakangi oleh: (1) kekuatan apa yang ada pada suatu bangsa
dan negara, sehingga ia mampu mempertahankan kelangsungan
hidupnya, (2) kekuatan apa yang harus dimiliki oleh suatu bangsa
dan negara, sehingga ia selalu mampu mempertahankan
kelangsungan hidupnya, meskipun mengalami berbagai gangguan,
hambatan dan ancaman, baik dari dalam, maupun dari luar, (3)
ketahanan (kemampuan) suatu bangsa untuk tetap jaya,
mengandung makna keteraturan (regular) dan stabilitas, yang di
dalamnya terkandung potensi untuk terjadinya perubahan (the
stability idea of changes).21
6) Kewaspadaan Nasional (National Vigilance).
Kewaspadaan nasional secara sederhana didefinisikan
sebagai suatu sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme yang
dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggung jawab, serta perhatian
seorang warga negara terhadap kelangsungan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaranya dari suatu potensi
ancaman. Kewaspadaan nasional dimaknai sebagai suatu kualitas
kesiapan dan kesiagaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk
mampu mendeteksi, mengantisipasi sejak dini dan melakukan aksi
pencegahan berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).22

9. Landasan Yuridis Kebijakan Maritim


Landasan yuridis di bidang maritim berkaitan erat dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai laut dan segala aktivitas yang
terhubung dengan laut. Hal ini dikarenakan aspek kelautan Indonesia menyimpan
potensi yang sangat besar sehingga melibatkan banyak pemangku kepentingan
(stakeholders). Beberapa regulasi yang terkait dengan keamanan maritim adalah
sebagai berikut:
a. UU No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia. UU ZEE memberikan kewenangan untuk menegakkan hukum
dan kedaulatan negara kepada TNI AL. Pasal 13 UU ZEE menentukan
bahwa dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, yurisdiksi, hak-hak lain,
dan kewajiban-kewajiban berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU ZEE, aparat penegak
hukum Republik Indonesia yang berwenang dapat mengambil tindakan
penegakan hukum sesuai dengan KUHAP. UU ZEE ini juga menentukan
bahwa aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di ZEE Indonesia
adalah perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata

21
Usman, Wan Prof. (2003). Daya Tahan Bangsa. Jakarta: Program Studi Pengkajian Ketahanan
Nasional Universitas Indonesia.
22
Bahan Ajar Bidang Studi Kewaspadaan Nasional Tahun 2020 Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia (Lemhannas RI). Halaman. 103.
15

Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU


ZEE.23
b. UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan the United Nations
Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. UU ini mengatur
semua aspek hukum laut yang telah ditetapkan dalam UNCLOS 1982
termasuk penegakan hukumnya, tetapi tidak menyebutkan instansi yang
berwenang sebagai penegak hukum. Namun demikian, Pasal 224
UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa pelaksanaan pemaksaan penaatan di
laut adalah pejabat-pejabat, kapal perang, pesawat udara militer atau kapal
laut lainnya atau pesawat udara yang mempunyai tanda jelas dan dapat
dikenal yang berada dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk
melakukan tindakan-tindakan itu. Ini berarti bahwa secara tersirat UNCLOS
menentukan instansi yang paling berwenang di laut adalah angkatan
bersenjata dari suatu negara.24
c. UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. UU
Pertahanan Negara menentukan bahwa pertahanan negara disusun
dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara
kepulauan, sehingga sistem pertahanan Indonesia harus mengarah dan
memperhatikan konfigurasi wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan.
Selain itu, undang-undang ini juga menentukan bahwa TNI dan POLRI
berperan sebagai sistem utama pertahanan negara yang salah satu tugas
pokoknya menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, serta
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari ancaman
dan gangguan terhadap bangsa dan negara.25
d. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. UU Pelayaran
menetapkan bahwa syahbandar bertanggung jawab terhadap fungsi
keselamatan dan keamanan pelayaran dan melaksanakan tugas sebagai
PPNS yang berkoordinasi dan di bawah pengawasan penyidik POLRI
sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 207, dan Pasal 282
UU Pelayaran, sea and coast guard bertanggung jawab terhadap
terlaksananya fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-
undangan di laut dan pantai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 276 dan
Pasal 277, serta TNI AL melaksanakan kewenangan penegakan hukum
pada perairan ZEE sebagaimana diatur dalam Pasal 340 UU Pelayaran.26
e. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan. Salah satu pertimbangan dari ditetapkannya
regulasi ini adalah bahwa perairan yang berada dalam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta
laut lepas mengandung sumber daya ikan yang potensial dan sebagai
lahan pembudidayaan ikan merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa
23
UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Diakses di
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/1983/uu5-1983.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul 18.17
WIB.
24
UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Diakses di
https://pih.kemlu.go.id/files/UU_NO_17_TH_1985.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul 18.21 WIB.
25
UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Diakses di
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/44421/uu-no-3-tahun-2002, pada 1 Maret 2002, pukul
18.28 WIB.
26
UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Diakses di
https://pih.kemlu.go.id/files/uu_17_tahun_2008.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul 18.32 WIB.
16

yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia yang memiliki falsafah hidup


Pancasila dan UUDN RI Tahun 1945, dengan memperhatikan daya dukung
yang ada dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.27
f. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil.
Salah satu dasar pertimbangan dari dirumuskannya UU ini adalah bahwa
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber
daya alam yang tinggi dan sangat penting bagi pengembangan sosial,
ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Oleh
sebab itu, diperlukan pengelolaan secara berkelanjutan dan berwawasan
global dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, serta
tata nilai organisasi yang berdasarkan norma hukum nasional.28
g. UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. UU ini sangat penting
karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan
potensi dan kekayaan alam yang berlimpah yang memiliki makna penting
bagi bangsa Indonesia sebagai ruang hidup (lebensraum) dan ruang juang,
serta media pemersatu yang menghubungkan pulau-pulau dalam satu
kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan
keamanan dalam satu ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Keberadaan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
menggantikan dan mencabut UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.29
h. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan
Kelautan Indonesia.30 Peraturan tentang Kebijakan kelautan Indonesia
atau Indonesia Ocean Policy merupakan langkah yang tepat pada
pemerintah untuk membangun Negara maritim yang nantinya dapat
dijabarkan strategi maupun program-program turunannya.

10. Fakta Empirik Keamanan Maritim Indonesia


Data Rujukan Kelautan Nasional yang diluncurkan pada tanggal 10 April
2018 oleh Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal),
Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman sebagai fasilitator, menginformasikan data sebagai berikut: luas
wilayah kelautan, terdiri dari perairan pedalaman dan perairan kepulauan seluas
3.110.000 km2, serta laut teritorial seluas 290.000 km2. Luas wilayah berdaulat,
terdiri dari zona tambahan seluas 270.000 km2, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
seluas 3.000.000 km2, serta landas kontinen seluas 2.800.000 km 2. Luas perairan
27
UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Diakses di http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/undang-undang-nomor-45-tahun-2009-
tentang-perikanan.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul 18.41 WIB.
28
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil. Diakses di
https://www.brwa.or.id/assets/image/regulasi/1429617839.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul 18.13
WIB.
29
UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Diakses di https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-
32-2014-kelautan, pada 1 Maret 2020, pukul 18.07 WIB.
30
Perpres no. 16 tahun 2017 tentang kebijakan kelautan Indonesia. Diakses dari
http://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/perpres/2017/PERPRES_16_Tahun_2017.pdf, pada 14 Juli
2020, pukul 18.07 WIB.
17

Indonesia seluas 6.400.000 km2. Luas daratan Indonesia seluas 1.900.000 km 2.


Luas NKRI (darat dan perairan) seluas 8.300.000 km2. Panjang garis pantai
sepanjang 108.000 km dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 17.504
pulau.31
Meskipun atribut geografis sebagai negara maritim tersebut memberikan
keuntungan potensial bagi Indonesia, namun tidak dimungkiri juga terdapat
potensi ancaman dari maraknya kejahatan transnasional di lautan. Menurut data
yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP RI), kejahatan
illegal fishing yang terjadi pada awal sampai dengan pertengahan tahun 2019
berjumlah sekitar 38 kasus. KKP berhasil menangkap 38 kapal ikan ilegal, dengan
rincian 15 kapal ikan asing (KIA) Vietnam, 13 KIA Malaysia, dan 10 KIA Indonesia.
Jumlah tersebut menambah total tangkapan ikan ilegal yang dilakukan oleh KKP
sepanjang 2014-2019 dengan jumlah 582 kapal.
Lain halnya dengan penyelundupan narkoba, menurut Badan Narkotika
Nasional (BNN) Republik Indonesia, jalur laut adalah jalur paling rawan
penyelundupan narkoba. Hal tersebut didukung oleh data yang mengungkapkan
bahwa 90% dari total kasus terjadi melalui jalur tersebut.32 Kasus yang terjadi
pada akhir tahun 2019, pihak terkait yaitu Polri, BNN dan Bea Cukai,
menggagalkan penyelundupan narkoba dengan modus penjemputan dari kapal ke
kapal (ship to ship) yang dibawa masuk dari Malaysia menggunakan sampan
motor menuju Sumatera Utara dengan barang bukti sabu-sabu seberat 37 Kg.33
Terkait dengan perompakan di laut, penelitian dan hasil riset oleh peneliti
luar negeri pada tahun 2008 mengemukakan bahwa perairan di sekitar kepulauan
Indonesia memiliki peringkat di antara yang paling rentan bajak laut di dunia. 34
Sedangkan data yang dikeluarkan oleh International Maritime Bureau (IMB)
dilaporkan bahwa kasus pembajakan dan perompakan bersenjata terhadap kapal
dari tahun 2015 sampai dengan kuartal pertama 2019 khususnya di wilayah Asia
Tenggara dengan keterangan sebagai berikut:35

Rekap data pembajakan dan perompakan bersenjata terhadap kapal di


wilayah Asia Tenggara
Negara/Tahun 2015 2016 2017 2018 2019
Indonesia 21 4 7 9 3
Selat Malaka 1 - - - -
Malaysia 3 - 1 1 -
Filipina 2 2 9 2 1
Singapura 2 - - - -
Thailand 1 - - - -
31
Susmoro, Harjo. 2019. The Spearhead of Sea Power. Yogyakarta: Pandiva Buku.
32
“BNN Sebut 90 Persen Penyelundupan Narkoba Lewat Jalur Laut”, diakses di
https://www.liputan6.com/news/read/3662296/bnn-sebut-90-persen-penyelundupan-narkoba-
lewat-jalur-laut, pada 1 Maret 2020, pukul 22.35 WIB.
33
”Bea Cukai dan Bareskrim Ringkus Penyelundup 37 Kg Sabu-Sabu”, diakses di
https://mediaindonesia.com/read/detail/277100-bea-cukai-dan-bareskrim-ringkus-penyelundup-
37-kg-sabu-sabu, pada 1 Maret 2020, pukul 22.40 WIB.
34
“Perairan Indonesia Paling Rawan Bajak Laut”, diakses di
http://samudranesia.id/perairan-indonesia-paling-rawan-bajak-laut/, pada 1 Maret 2020, pukul
22.45 WIB.
35
“Piracy And Armed Robbery Against Ships”, diakses di https://www.icc-
ccs.org/reports/2019Q1_IMB_PiracyReport.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul 22.36 WIB.
18

TNI Angkatan Laut sebagai salah satu institusi yang mempunyai


kewenangan penegakan hukum di laut, pada kurun waktu dua tahun terakhir ini,
dalam penindakannya juga telah berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara
sebesar Rp.1.780.817.672.515,- pada Tahun 2018, dan Rp.2.891.280.133.275,-
pada Tahun 2019.36
Rekap data penegakan hukum di laut Tahun 2018 dan 2019
Jml Jml Jml
Jml Jml Jml
Tahun Kapal Kapal Kapal
Kapal Kapal di Kapal
Penindakan lanjut diproses diputus
diperiksa adhoc bebas
layar hukum PN
2018 2.842 2.422 420 242 112 61
2019 4.484 4.079 405 245 128 32

Pelanggaran wilayah maritim yang dilakukan oleh negara lain tercatat juga
mengalami peningkatan pada tahun 2019. Rekap data pelanggaran wilayah laut
pada Tahun 2018, pelanggaran Kapal terjadi 15 kasus oleh negara : Malaysia (3),
Vietnam (5), Singapura (2), Tiongkok (3) dan Kanada (2), adapun pelanggaran
Pesawat Udara/Heli, 3 kasus oleh negara : Tiongkok (2) dan Kanada (1).
Sedangkan pada tahun 2019, pelanggaran kapal terjadi 21 kasus yang dilakukan
oleh kapal-kapal dari negara : Malaysia (4), Vietrnam (9), Amerika (1), Singapura
(4) dan Tingkok (3), sedangkan pelanggaran Pesawat Udara/Heli, terjadi 108
kasus oleh negara : Amerika (4), Singapura (96), Tiongkok (2), Australia (2),
Cayman Island (1), Kanada (1), Filipina (1) dan Maldives (1).37

11. Lingkungan Strategis


a. Lingkungan Global
Pada tataran global, komitmen Indonesia dalam menguatkan
keamanan maritim ditopang oleh posisi strategis Indonesia sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan anggota Organisasi
Maritim Internasional (International Maritime Organization). Dalam konteks
keanggotaan di DK PBB, Indonesia bisa memberikan warna baru pada
corak pelaksanaan tugas di DK PBB yang selama ini sangat „heavy‟ pada
aspek keamanan tradisional (militer), menjadi bergeser pada keamanan
non-tradisional, khususnya keamanan maritim. Sedangkan dalam konteks
keanggotaan di IMO, Indonesia bisa menginisiasi penguatan kemitraan
global antar negara dan antar kawasan berbasis keamanan maritim,
misalnya latihan militer gabungan antar negara dalam pengamanan wilayah
laut, pertukaran informasi intelijen di bidang maritim, alih teknologi maritim
dari negara maju ke negara berkembang, hingga penguatan perdagangan
bilateral dalam hal industri strategis di bidang maritim.
b. Lingkungan Regional
Pandangan tentang keamanan maritim pada tataran regional tak
bisa dipisahkan dengan keanggotaan Indonesia di ASEAN sebagai basis
kerja sama antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Salah satu
komitmen negara-negara anggota ASEAN adalah mewujudkan komunitas

36
Sopsal pada Rakorops TNI, 13-14 Februari 2020.
37
Ibid.
19

masyarakat politik dan keamanan ASEAN pada 2020 sebagai satu dari tiga
pilar dalam Visi ASEAN 2020. Poin penting yang perlu digarisbawahi dari
komitmen pembentukan komunitas politik dan keamanan ASEAN tersebut
adalah upaya untuk mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang aman dan
damai, terbebas dari segala ancaman, khususnya ancaman dari pihak luar
kawasan. Bentuk konkret dari komitmen tersebut dapat dilihat pada
bagaimana Indonesia, Malaysia, dan Singapura saling bersinergi dan
menguatkan koordinasi dalam hal pengamanan Selat Malaka yang bernilai
strategis bagi ketiga negara.
c. Lingkungan Nasional
Ketahanan nasional terdiri atas dua gatra secara garis besar, yakni
gatra statis dan gatra dinamis. Gatra statis terdiri atas 3 aspek (Trigatra),
yakni geografis, demografis, serta sumber kekayaan alam. Sedangkan
gatra dinamis terdiri atas 5 aspek (Pancagatra), yakni ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan keamanan. Kedelapan aspek
tersebut meskipun berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling mempengaruhi
satu sama lain dalam menopang ketahanan nasional Indonesia.
Persoalan keamanan maritim tentu saja sangat terkait dengan
dimensi ketahanan nasional. Dari sisi gatra statis, keamanan maritim akan
terkait dengan aspek geografis dan sumber kekayaan alam. Secara
geografis, penguasaan atas wilayah perairan yang sangat luas akan
memberikan keuntungan strategis bagi Indonesia dalam bentuk padatnya
lalu lintas kapal-kapal niaga di tanah air yang akan menggerakkan
perdagangan internasional antara Indonesia dengan negara-negara
lainnya. Namun di sisi lain, penguasaan wilayah perairan yang luas namun
belum mumpuni dalam hal pengamanan akan berdampak pada maraknya
kejahatan transnasional di wilayah tersebut.
Dari sisi sumber kekayaan alam, penguasaan wilayah perairan yang
luas yang di dalamnya terkandung sumber kekayaan yang besar apabila
dapat dioptimalkan pemanfaatannya maka akan berdampak positif bagi
penguatan ketahanan ekonomi masyarakat dan negara. Sebaliknya, sisi
negatif dari penguasaan sumber kekayaan alam yang besar adalah dapat
mengundang aktor-aktor eksternal, baik negara, maupun non-negara, untuk
datang dan mengambil kekayaan alam tersebut dengan segala cara
(imperialisme gaya baru). Keterkaitan dengan dimensi statis secara
langsung menempatkan permasalahan keamanan maritim bersinggungan
dengan aspek dinamis, khususnya aspek politik, ekonomi, dan pertahanan
keamanan.
Dari ketiga aspek dinamis tersebut, yang perlu mendapatkan sorotan
lebih adalah pada aspek politik dan pertahanan keamanan. Kedua aspek ini
saling bertaut satu sama lain. Titik singgungnya terletak pada persepsi
masyarakat selama ini bahwa keamanan maritim identik dengan wilayah
tugas dan tanggung jawab TNI dalam mengamankan wilayah perairan.
Persepsi ini tentu saja kurang tepat mengingat dalam doktrin sistem
pertahanan keamanan rakyat semesta, yang bertanggung jawab terhadap
keutuhan wilayah dan kedaulatan negara adalah segenap bangsa
Indonesia tanpa kecuali. Oleh sebab itu, dibutuhkan political will dari
pemerintah untuk mengkoordinasikan semua kementerian dan lembaga
20

terkait, tidak hanya TNI saja, dalam penguatan kesadaran dan kapasitas
keamanan maritim nasional.
21

BAB III
PEMBAHASAN

12. Umum
Pembahasan mengenai menegakkan kedaulatan negara mencakup
berbagai aspek, dimana keamanan maritim menjadi salah satu aspek yang
penting. Untuk mewujudkan wilayah maritim yang aman, tidak terlepas dari peran
aktif seluruh komponen bangsa. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk
menguatkan keamanan maritim, akan tetapi kenyataannya belum berjalan sesuai
harapan, ini terlihat di dalam data yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
dimana masih terjadi pelanggaran dan gangguan keamanan di wilayah maritim.
Berbagai ancaman tersebut harus diinventarisir, dipetakan dan direspons secara
masif, terstruktur dan sistematis, agar tidak menimbulkan implikasi negatif
terhadap kedaulatan negara. Melihat dari kondisi tersebut, maka perlu
dilaksanakan pendekatan yang lebih efektif untuk menguatkan keamanan maritim.
Secara garis besar, penguatan keamanan maritim akan membahas dua
aspek penting. Pertama, komitmen nasional sebagai negara maritim yang solid
dan terintegrasi ke seluruh komponen bangsa Indonesia, dimana komitmen
tersebut dijadikan sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak bangsa
Indonesia. Kedua, meningkatkan kemampuan bangsa Indonesia didalam
mengamankan wilayah maritim. Aspek pertama lebih bersifat intangible (tak
terlihat), sedangkan aspek kedua bersifat tangible (fisik). Agar kedua aspek
tersebut dapat berjalan dengan baik dan mencapai objektifnya, maka dibutuhkan
soliditas antar para pemangku kepentingan, termasuk juga peran serta
masyarakat yang diharapkan terlibat aktif dalam mendukung kebijakan-kebijakan
pemerintah di bidang keamanan maritim. Oleh karenanya di dalam bab ini akan
dijelaskan lebih mendalam mengenai upaya menguatkan keamanan maritim untuk
menegakkan kedaulatan NKRI.

13. Komitmen Nasional sebagai Negara Maritim


Secara filosofis, komitmen nasional di sini merujuk pada pemahaman dan
kesadaran dari segenap komponen bangsa, baik warga negara maupun
pemerintah, bahwa sumber kekayaan alam maritim yang begitu besar harus bisa
diberdayakan, dimanfaatkan, serta dipelihara secara optimal untuk mendorong
tercapainya tujuan pembangunan nasional. Salah satu kendala terbesar bagi
bangsa dan negara Indonesia dalam menjaga keamanan maritimnya adalah
masih belum mengakarnya komitmen nasional sebagai bangsa dan negara
maritim. Selain di satu sisi, rakyat belum memahami secara benar tentang konsep
negara maritim, di sisi lainnya, komponen-komponen pemerintah juga belum
cukup optimal dalam merefleksikan konsep negara maritim.
Kurang kuatnya komitmen tersebut harus disikapi dengan serius, karena
akan berakibat: Pertama, masyarakat tidak mendapatkan pemahaman yang
komprehensif tentang kebijakan nasional di bidang maritim. Kedua, dalam
penyusunan kebijakan yang bersifat teknis dalam pengelolaan penduduk, sumber
daya alam dan geografis tidak berpedoman kepada konsep negara maritim dan
kekuatan maritim. Ketiga, pengelolaan gatra kehidupan nasional
(ipoleksosbudhankam) yang dilakukan pemerintah tidak terintegrasi dengan
konsep negara maritim dan kekuatan maritim. Secara lebih luas, rendahnya
22

komitmen tersebut juga akan mempengaruhi upaya penguatan keamanan maritim


di wilayah yurisdiksi nasional.
Dalam konteks penguatan komitmen ini, penting bagi pemerintah untuk
menerapkan prinsip open mind, open heart, dan open will (Teori U dari C. Otto
Scharmer) dalam tata kelola aspek maritim nasional. Hal ini secara konkret dapat
diwujudkan melalui sikap dan tindakan dengan melihat secara langsung situasi
dan kondisi yang terjadi, melakukan pemetaan masalah secara langsung di
lapangan, berdialog dengan pemerintah lokal dan masyarakat untuk menyerap
aspirasi, saran, dan masukan mengenai kendala-kendala yang ada. Pemerintah
juga harus terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat jikalau kebijakan yang
ada selama ini belum cukup komprehensif dalam mencapai objektif yang
ditetapkan.
Selain itu, pemerintah juga seyogianya menyadari bahwa untuk menjadi
negara berkekuatan maritim, tidak cukup memiliki sumber kekayaan alam saja
seperti wilayah perairan yang luas dengan segala kekayaan maritim yang ada di
dalamnya. Untuk menjadi negara berkekuatan maritim, dibutuhkan komitmen
nasional sebagai bangsa dan negara maritim yang dapat dipupuk melalui
kebijakan-kebijakan nasional di segala aspek kehidupan, baik gatra statis maupun
dinamis, yang mengadopsi prinsip-prinsip negara maritim. Inilah yang akan
menopang keamanan maritim Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori AT Mahan,
yakni dibutuhkannya penguatan kapasitas kelembagaan negara dan komitmen
pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, maka untuk meningkatkan komitmen
nasional sebagai negara maritim, dapat dilakukan antara lain:
a. Kebijakan Nasional di Bidang Maritim dijabarkan secara
menyeluruh ke segenap lapisan masyarakat
Pemerintah Indonesia sangat menyadari bahwa aspek maritim
merupakan aspek vital dan menjadi jati diri bangsa Indonesia. Pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan yang diatur secara khusus dalam
regulasi nasional, yakni: UU No. 5/1983 tentang ZEE Indonesia, UU No.
17/1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982, UU No. 3/2002 tentang
Hanneg, UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU No. 45/2009 tentang
Perubahan Atas UU No. 31/2004 tentang Perikanan, UU No/1/2014 tentang
Perubahan Atas UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Terkecil, serta UU No. 32/2014 tentang Kelautan.
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, komitmen nasional
untuk menjadi tidak sekedar negara maritim, tapi juga sebagai negara
berkekuatan maritim (maritime power) dipertegas melalui kebijakan Poros
Maritim Dunia. Kebijakan ini secara eksplisit menunjukkan penekanan
komitmen Indonesia pada pembangunan sektor kelautan. Substansi
penting dalam gagasan ini adalah mengajak segenap komponen bangsa
untuk mengenali kembali jati dirinya sebagai bangsa bahari/bangsa
maritim. Secara garis besar gagasan ini hendak mengajak masyarakat,
termasuk juga pemerintah sendiri, untuk selalu open mind, open heart, dan
open will dalam menyikapi atribut nasional sebagai bangsa maritim.
Gagasan ini hendak menggugah pikiran dan hati masyarakat agar bangga
sebagai bangsa maritim dan berkomitmen untuk memberdayakan segala
potensi maritim yang dimiliki bagi terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional.
Gagasan ini juga hendak menggugah kesadaran segenap masyarakat
23

bahwa eksistensi lautan bukan berlaku sebagai pemisah, melainkan


pemersatu pulau-pulau besar dan kecil yang terdapat di wilayah nusantara,
seperti halnya yang termaktub dalam Deklarasi Djuanda.38
Kebijakan poros maritim dunia muncul dengan berpijak pada dua
asumsi dasar. Pertama, bahwa politik luar negeri harus sesuai dan relevan
dengan karakter suatu negara secara geografis, atau sesuai dengan latar
belakang historis serta didukung oleh paradigma geopolitik dan
geostrategisnya. Dalam konteks ini, kebijakan tersebut memiliki keterkaitan
sejarah dengan Deklarasi Djuanda, konsep Wawasan Nusantara, serta
UNCLOS 1982 yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.39 Kedua, penetapan
kebijakan poros maritim dunia harus dapat menjadikannya sebagai sumber
kekuatan negara dalam merespons pergeseran sistem internasional dan
kekuatan global. Kebijakan ini lebih lanjut diintroduksi oleh Presiden Joko
Widodo ke dunia internasional pada Indonesia Summit di Beijing dan
Pelabuhan Nanjing, 8-12 November 2014, serta KTT ASEAN di Naypyidaw,
Myanmar, pada 13 November 2014.
Kebijakan tersebut menunjukkan atensi besar pemerintah mengenai
urgensi pengelolaan aspek maritim nasional. Atensi tersebut tak hanya
direalisasikan dalam bentuk pengaturan dan pengelolaan sektor-sektor
penting di bidang maritim, tapi juga diformulasikan dalam sebuah agenda
besar untuk menjadikan Indonesia baik sebagai negara dengan atribut
nasional maritim, maupun Indonesia sebagai negara yang berkekuatan
maritim di panggung internasional. Berbagai kebijakan tersebut tentu saja
tidak berhenti pada tahap penetapan dalam sebuah regulasi atau
perundang-undangan nasional, tapi membutuhkan sosialisasi secara
kontinyu dan tepat sasaran agar isi atau substansi, serta objektif dari
kebijakan tersebut dapat dipahami oleh semua pihak, terutama mereka
yang dijadikan sebagai sasaran kebijakan atau target group. Jika substansi
dan objektif dari kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipahami dan
diimplementasikan dengan baik, upaya untuk memperkuat komitmen
nasional sebagai negara maritim akan mudah untuk dicapai.
Pemerintah harus benar-benar memastikan bahwa kebijakan di
bidang maritim yang sudah ditetapkan selama ini dapat dijabarkan dengan
baik. Setiap institusi dalam menjabarkan kebijakan nasional di bidang
maritim dapat menggunakan Teori U C. Otto Scharmer sebagai acuan.
Pada tahap co-initiating, ditentukan prioritas yang ingin dicapai,
mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari seluruh pihak terkait dan
menerima masukan dari semua pihak. Prinsip “open mind” sangat penting
untuk dapat menerima lebih banyak informasi dalam proses pembuatan
kebijakan. Selanjutnya pada tahap co-sensing, pada tahap ini para
pemimpin di insitusi harus turun ke bawah untuk mendapatkan input lebih
lengkap dari para pelaku kebijakan di lapangan. Selain untuk mendapat
masukan yang lebih lengkap juga agar para pemimpin merasakan langsung
bagaimana kehidupan keseharian para pelaku kebijakan di bawahnya serta
permasalahan apa saja yang dihadapi. Berikutnya tahap presencing,

38
Nainggolan, Poltak Partogi Dkk. (2015). Agenda Poros Maritim Dunia dan Perubahan
Lingkungan Strategis. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika. Halaman. xvi.
39
Mengenai UNCLOS, dapat dilihat di United Nations Convention on the Law of the Sea. Jakarta:
Dewan Kelautan Indonesia, 2010.
24

dimana pada tahap ini para pemimpin institusi mulai menyatukan apa yang
telah dirasakan, didengar dan dilihatnya. Salah satu belief yang penting
pada tahap ini adalah diharapkan tumbuhnya kesadaran bahwa adanya
kesamaan dan kesetaraan antara pemimpin dan anak buah dalam
mencapai tujuan organisasi, sehingga diharapkan penjabaran kebijakan
maritim yang akan dibuat dapat menguntungkan semua pihak. Berikutnya
tahap co-creating, dimana para pemimpin institusi membuat program
secara detail sebagai implementasi kebijakan maritim sesuai bidangnya.
Selain itu, pemerintah dituntut untuk melakukan perubahan melalui
inovasi dan pola kepemimpinan yang lebih efektif agar kebijakan-kebijakan
tentang kemaritiman yang dihasilkan dapat tersosialisasikan dengan baik
ke masyarakat. Prinsip ini selaras dengan Teori U mengenai pentingnya
manajemen perubahan dalam tata kelola dan operasionalisasi sebuah
organisasi, terlebih lagi negara merupakan sebuah entitas yang tak
sederhana, ada aspek politik, serta sosial budaya yang kompleks di
dalamnya. Ada dua hal yang harus dipastikan oleh pemerintah, yaitu pihak
yang melaksanakan proses sosialisasi kebijakan, serta pihak yang
menerima sosialisasi.
Kedua hal tersebut sangat penting untuk dikondisikan terlebih dahulu
karena output sosialisasi berkorelasi positif dengan eksistensi kedua hal
tersebut. Sebagai contoh, UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Banyak
pihak yang menjadi pemangku kepentingan (stakeholders) di sektor
pelayaran tanah air seperti penyedia jasa angkutan laut, angkutan sungai
dan danau, angkutan penyeberangan, serta penyedia jasa pelabuhan dan
terminal, baik yang berstatus sebagai badan usaha milik pemerintah
(BUMN dan BUMD), maupun dari pihak swasta. Secara spesifik, pihak-
pihak tersebut meliputi PT. Pelindo Persero, PT. Pelni Persero, PT. ASDP
Indonesia Ferry, dan masih banyak lagi. Pihak-pihak tersebutlah yang
menjalankan peran sosialisasi kebijakan pemerintah. Sosialisasi yang
dimaksudkan di sini mencakupi semisal hak dan kewajiban mereka sebagai
penyelenggara kegiatan di bidang pelayaran. Sedangkan yang pihak yang
disosialisasikan adalah mereka yang berstatus sebagai penerima manfaat
dari para pemangku kepentingan tersebut.
Dari contoh regulasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa efektivitas
pencapaian objektif sebuah regulasi di bidang maritim, khususnya dalam
ikhtiar mewujudkan penguatan komitmen nasional segenap komponen
bangsa sebagai sebuah negara maritim, akan sangat ditentukan oleh
kapasitas para pemangku kepentingan yang diatur dalam masing-masing
regulasi. Akan sulit mewujudkan komitmen nasional yang kuat sebagai
bangsa maritim apabila bangsa Indonesia tidak memahami tugas dan
tanggung jawab para pemangku kepentingan di sektor pelayaran dalam
menyelenggarakan jasa pengangkutan yang prima.
b. Konsep Negara Maritim dan Kekuatan Maritim sebagai pedoman
penyusunan Kebijakan Nasional di Bidang Geografi, Demografi, dan
Pengelolaan SKA
Negara maritim dan negara berkekuatan maritim (maritime power)
merupakan dua konsep yang berbeda. Konsep pertama merujuk pada
atribut nasional suatu negara yang mana kepemilikan wilayah perairan
beserta segala SKA yang terkandung di dalamnya merupakan suatu hal
25

yang bersifat taken for granted (anugerah/pemberian). Sedangkan istilah


kedua merujuk kepada upaya-upaya yang dilakukan oleh sebuah negara
maritim untuk mengoptimalkan pemanfaatan atas wilayah maritim yang
dimiliki melalui pembangunan kekuatan angkatan laut, serta pemberdayaan
seluruh komponen maritim nasional yang dimiliki.40
Seperti yang dijelaskan AT Mahan, untuk menjadi sebuah negara
yang berkapasitas maritim (maritime power state), ada beberapa faktor
atau kriteria yang mutlak harus dipenuhi. Salah satu faktor paling penting
dalam teori tersebut adalah karakter pemerintah yang mewujud dalam cara
pandang dan kebijakan yang diambil dalam menyikapi permasalahan
nasional yang dihadapi. Secara spesifik, dalam konteks menumbuhkan
kesadaran dan komitmen nasional sebagai negara maritim, prinsip negara
maritim harus diadopsi dalam kebijakan pemerintah yang bersifat legal
formal dalam setiap bidang kehidupan terkait. 41 Secara praktik, pemikiran
Mahan tersebut dapat diadopsi sebagai kebijakan nasional di beberapa
sektor strategis, seperti bidang pengelolaan wilayah (geografi), pengelolaan
penduduk (demografi), serta pengelolaan sumber kekayaan alam.
Dalam studi ketahanan nasional, ketiga bidang tersebut disebut
sebagai gatra yang bersifat statis (Trigatra). Adopsi kedua konsep tersebut
sangatlah vital dalam menguatkan keamanan maritim dikarenakan sumber
AGHT keamanan maritim nasional sebagian besar bersumber dari ketiga
gatra tersebut. Sebagai contoh, maraknya kejahatan transnasional yang
terjadi di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari besarnya wilayah
perairan yang harus diamankan, sedangkan di sisi lain terdapat
keterbatasan dalam hal aparat negara yang menjalankan fungsi
pengamanan, serta regulasi nasional yang belum komprehensif dari sisi
substansi dan penegakan hukumnya.
Dengan kondisi sedemikian, fakta yang dirilis oleh KKP bahwa
banyak kapal ikan asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan
Indonesia selama periode 2014-2019, sedikitnya 582 kapal ikan ilegal,
merupakan sebuah situasi yang tidak terlalu mengherankan. Di sisi lain,
fakta empirik yang menunjukkan lemahnya pengelolaan aspek demografis
dalam konteks keamanan maritim tercermin dari maraknya penyelundupan
narkoba ke wilayah Indonesia dengan menyasar generasi muda. Menurut
data yang dirilis oleh BNN, 90 persen dari total penyelundupan narkoba
terjadi melalui jalur laut yang minim pengawasan.42 Fakta menjadi bahan
evaluasi untuk membenahi kebijakan pengelolaan wilayah, penduduk, dan
sumber kekayaan alam dengan menggunakan pendekatan negara maritim
dan negara berkekuatan maritim. Pemerintah Indonesia sejatinya sudah
memberikan atensi yang cukup dalam pengelolaan ketiga aspek tersebut.
Pada aspek geografi misalnya, atensi pemerintah yang menunjukkan

40
Soebijanto, Slamet. Kekuatan Maritim Sebagai Salah Satu Pilihan Pembangunan Ketahanan
Nasional Bangsa. Jurnal Ketahanan Nasional No. IX(2), Agustus 2004. Diakses di
https://jurnal.ugm.ac.id/jkn/article/view/22150/14784, pada 1 Maret 2020, pukul 15.59 WIB.
41
Mulya, Lillyana. (2013). Postur Maritim Indonesia: Pengukuran Melalui Teori Mahan. Jurnal
Lembaran Sejarah No. 2 (10), Oktober 2013.
42
“BNN Sebut 90 Persen Penyelundupan Narkoba Lewat Jalur Laut”, diakses di
https://www.liputan6.com/news/read/3662296/bnn-sebut-90-persen-penyelundupan-narkoba-
lewat-jalur-laut, pada 1 Maret 2020, pukul 22.35 WIB.
26

komitmen untuk menjalankan prinsip negara maritim tercermin dalam


berbagai regulasi atau peraturan perundang-undangan dimana regulasi di
bidang pengamanan dan pengelolaan wilayah tersebut secara tidak
langsung juga beririsan dengan aspek pengelolaan sumber kekayaan alam
dan kependudukan.
Di bidang demografi, atensi yang diberikan oleh pemerintah untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat tidak harus selalu bersifat
kependudukan secara langsung, tapi lebih diarahkan pada bagaimana
aspek pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat bisa
terpenuhi. Ada banyak peraturan perundang-undangan di bidang ini seperti
UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan,
UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 11/2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, UU No. 24/2011 tentang BPJS, dan masih banyak
lagi. Merujuk pada nomenklaturnya, secara jelas pemerintah berkomitmen
dan konsisten untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan pelayanan
prima di bidang kesehatan, ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial, serta
jaminan nasional.
Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
eksistensi regulasi-regulasi yang berada pada konteks geografi, demografi,
dan sumber kekayaan alam tersebut berkorelasi positif dengan upaya untuk
meneguhkan komitmen nasional bangsa Indonesia sebagai negara maritim
atau negara berkekuatan maritim?, dan apakah regulasi-regulasi tersebut
telah berhasil menopang upaya penguatan keamanan maritim nasional?.
Jawaban dari pertanyaan ini dapat dilihat dari potret keamanan maritim
Indonesia hari ini. Masih banyaknya penangkapan ikan secara liar di
wilayah perairan Indonesia yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, ini
menunjukkan bahwa komitmen nasional bangsa Indonesia untuk menjaga
kedaulatan wilayah belum cukup solid.
Merujuk pada fakta tersebut di atas, dapat ditarik sebuah
pemahaman bahwa meskipun pemerintah Indonesia telah memiliki
berbagai regulasi kemaritiman yang menyasar pengelolaan aspek geografi,
demografi, dan sumber kekayaan alam, namun hal tersebut belum mampu
secara optimal dalam membentuk komitmen sebagai bangsa maritim,
terlebih lagi dalam mewujudkan keamanan maritim. Untuk mereduksi
kekurangan tersebut, tahap co-envolving (berkembang bersama) dalam
Teori U, C. Otto Scharmer dapat dijadikan pedoman dengan cara:
pertama, regulasi yang disusun harus diimplementasikan secara konsisten
di semua lini lapisan masyarakat, kedua, dibutuhkan pengawasan secara
bersama dan evaluasi hasil terhadap regulasi yang telah ditetapkan, ketiga,
sebuah regulasi perlu dikawal dengan penegakan hukum (law enforcement)
agar objektif yang ditetapkan dapat dicapai secara optimal, keempat,
berbagai bentuk hambatan dalam hal implementasi seharusnya dikonversi
sebagai output dalam menyusun perubahan (revisi atau pergantian)
terhadap regulasi, kelima, dalam konteks upaya mewujudkan keamanan
maritim yang tangguh melalui penguatan komitmen nasional sebagai
negara maritim, regulasi-regulasi yang dimiliki seyogianya bersifat
interkoneksi atau terhubung satu sama lain, tidak berdiri secara sendiri-
sendiri atau terpisah.
27

Berbagai kelemahan yang telah diindentifikasi di atas perlu disikapi


oleh pemerintah dengan langkah-langkah yang cepat dan tepat. Kebijakan-
kebijakan yang sudah diambil, terlebih lagi sudah dituangkan dalam
regulasi yang bersifat mengikat harus dilaksanakan secara konsisten,
dimonitoring dan dievaluasi dampaknya, ditopang oleh penegakan hukum
yang kuat, serta dimungkinkan untuk direvisi atau diganti apabila dalam
implementasinya ditemukan banyak kelemahan dan kekurangan. Selain itu,
dibutuhkan sebuah paradigma baru, yakni meletakkan semua regulasi
tersebut dalam bingkai konsep negara maritim. Segenap kementerian dan
lembaga yang dibebani tanggung jawab untuk melaksanakan berbagai UU
tersebut, seperti TNI, Polri, Bakamla, Kemenko Maritim, KKP, Kemenhan,
Kemenhub, dan lainnya, seyogianya memiliki cara pandang dan visi yang
sama, saling bersinergi dan bekerja sama dalam menjalankan amanat UU.
Paradigma baru dalam meneguhkan prinsip negara maritim akan lebih
berdampak signifikan apabila diwujudkan dalam sebuah regulasi yang
mengatur aspek kemaritiman secara menyeluruh dan komprehensif dalam
bentuk UU Kemaritiman. Inilah langkah yang perlu digagas lebih jauh oleh
pemerintah Indonesia.
c. Konsep Negara Maritim dan Kekuatan Maritim sebagai pedoman
penyusunan Kebijakan Nasional di Bidang Ideologi, Politik, Ekonomi,
Sosial Budaya, dan Pertahanan Keamanan
Konsepsi negara maritim dan keamanan maritim berhubungan erat
dengan ketahanan nasional. Konsep-konsep tersebut memiliki keterkaitan
dan saling menopang satu sama lain. Untuk membentuk komitmen nasional
yang kuat sebagai bangsa maritim, diperlukan adopsi prinsip dan perspektif
negara maritim tersebut ke dalam kebijakan-kebijakan di berbagai sektor.
Hal ini merupakan pengejawantahan pemikiran geopolitik dan geostrategi
dari AT Mahan dalam Teori Kekuatan Laut mengenai pentingnya faktor
kepemimpinan nasional dan kelembagaan sebuah negara dalam
merespons AGHT yang dihadapi. Selain gatra statis, dalam studi
ketahanan nasional juga dikenal gatra yang bersifat dinamis, yang meliputi
aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan
keamanan. Kelima aspek tersebut merupakan aspek kehidupan nasional
yang menyangkut pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dengan ikatan-ikatan, aturan-aturan, dan norma-
norma tertentu.43 Upaya untuk menopang keamanan maritim melalui
penguatan komitmen nasional sebagai bangsa maritim akan terwujud
apabila prinsip dan perspektif negara maritim diadopsi dari kelima aspek
tersebut.
Pertama Aspek Ideologi. Pembahasan mengenai ideologi tidak
terlepas dari pembahasan mengenai Pancasila sebagai sebagai landasan
idiil bernegara, sumber dari segala sumber hukum, serta landasan dalam
rangka menyelenggarakan pembangunan nasional.44 Oleh karena itu,

43
Tim Pokja Geostrategi dan Ketahanan Nasional. (2020). Bahan Ajar Bidang Gestrategi dan
Ketahanan Nasional. Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas
RI). Halaman. 68
44
Tim Pokja Empat Konsensus Dasar Bangsa Sub Bidang Pancasila. (2020). Bahan Ajar Sub
Bidang Pancasila. Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI).
Halaman. 69
28

setiap perumusan kebijakan nasional atau proses pembangunan yang


dijalankan oleh pemerintah harus dijiwai atau menempatkan Pancasila
sebagai ruh di dalamnya.
Dewasa ini pemerintah sangat memandang penting upaya
pengembangan dan internalisasi ideologi Pancasila ke segenap komponen
bangsa. Berbagai lembaga negara dibentuk dan ditunjuk untuk
menjalankan tugas pokok dan fungsi tersebut seperti MPR RI melalui
program sosialisasi empat pilar yang secara rutin dilakukan oleh
anggotanya, pemantapan nilai-nilai kebangsaan oleh Lemhannas RI,
pengajaran mengenai Pancasila di berbagai jenjang pendidikan oleh
Kemendikbud RI, hingga pembentukan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) yang memiliki tugas dan fungsi membantu presiden
dalam hal merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi
Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian
pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. 45
Kebijakan pembinaan ideologi Pancasila yang dijalankan oleh
pemerintah sudah cukup komprehensif, hanya saja dalam konteks
interelasinya dengan upaya penguatan komitmen sebagai negara maritim
bisa dikatakan belum optimal. Ada beberapa hal yang melatarbelakanginya.
Pertama, cakupan Pancasila sangat luas meliputi aspek ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan dan kesatuan, musyawarah mufakat, hingga
keadilan. Aspek tersebut akan menjadi sangat banyak apabila dijabarkan
nilai-nilai yang dikandung oleh masing-masing aspek. Oleh sebab itu,
dalam konteks penguatan kesadaran dan komitmen sebagai bangsa
maritim, dibutuhkan penekanan dari pemerintah agar prinsip negara
maritim bisa diaktualisasikan secara konseptual dan kontekstual, paralel
dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing institusi
yang menjalankan. Sebagai contoh, sosialisasi Pancasila yang dijalankan
oleh MPR RI, seyogianya memuat segmentasi khusus semisal sosialisasi
Pancasila dalam kerangka negara maritim. Bisa juga kelompok sasaran
dalam sosialisasi tersebut adalah pemangku kepentingan di bidang maritim
seperti pelaku usaha pelayaran dan transportasi maritim, nelayan, hingga
masyarakat pesisir dan pulau-pulau terkecil.
BPIP dan Kemenko Maritim dapat berkolaborasi untuk menggagas
sebuah program yang dapat meningkatkan kesadaran dan kebanggaan
sebagai bangsa maritim. Program ini akan lebih spesifik dalam menyasar
tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian, hal ini akan berkaitan
dengan permasalahan kedua, yakni narasi yang harus disusun secara
sistematis untuk disosialisasikan ke segenap lapisan masyarakat. Narasi
yang disampaikan kepada masyarakat sifatnya harus holistik sehingga
menggugah animo, kesadaran dan kebanggaan masyarakat sebagai
bangsa bahari. Titik temunya terletak pada sila ketiga, yakni persatuan
Indonesia, yang kemudian dijabarkan secara konseptual dalam konsep
wawasan nusantara. Konsep inilah yang harusnya dijadikan sebagai narasi
utama dalam setiap kebijakan pembinaan ideologi Pancasila yang
dijalankan oleh pemerintah.

45
Tugas Pokok dan Fungsi BPIP. Diakses di https://bpip.go.id/, pada 3 April 2020, pukul 20.10
WIB.
29

Kedua adalah Aspek Politik. Aspek politik sangat erat kaitannya


dengan visi-misi dan program kerja pemerintah. Politik di sini tidak hanya
bersifat domestik, tapi memiliki interelasi dengan lingkungan strategis yang
lebih besar, yakni regional dan global. Pada masa pemerintahan Presiden
Joko Widodo, setidaknya ada dua gebrakan besar di bidang politik yang
berdimensi kemaritiman. Pertama, pembentukan Kemenko Bidang Maritim
berdasarkan Perpres No. 10/2015 tentang Kemenko Maritim. Kementerian
ini menjalankan fungsi dalam hal koordinasi, sinkronisasi, dan
pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di
bidang kemaritiman.46 Pembentukan kementerian khusus ini, menunjukkan
arah baru perubahan cara pandang atau perspektif pemangku kekuasaan
bahwa sudah saatnya aspek kemaritiman diarusutamakan (mainstreaming
maritime sector). Kedua, adalah kebijakan poros maritim dunia yang
sebelumnya dikenal sebagai jargon kampanye Joko Widodo pada saat
Pilpres 2014. Setelah terpilih sebagai presiden, poros maritim dunia
akhirnya dikampanyekan sebagai kebijakan pemerintahan dengan
menjadikan sektor maritim sebagai pendulum, panduan, penentu, serta
tujuan pembangunan kabinet kerja. Dapat dikatakan bahwa pencapaian
Nawacita pada masa 2014-2019 terkait erat dengan implementasi
pentingnya sektor maritim bagi Indonesia untuk mencapai tujuan nasional,
baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.47
Kebijakan poros maritim dunia pada dasarnya tidak hanya berada
pada tataran kebijakan politik saja, tapi juga berada pada tataran ekonomi
(aspek ketiga). Di sinilah poin penting yang menegaskan bahwa kebijakan
ini berperan sangat vital bagi pengembangan aspek kemaritiman tanah air
karena menyasar bidang-bidang pokok yang menyentuh hajat hidup orang
banyak. Sebagai sebuah konsep yang dijabarkan secara luas, poros
maritim dunia mencakup permasalahan penting seperti pengembangan
infrastruktur pelabuhan, optimalisasi keuntungan dari kehadiran kapal-kapal
dan fasilitas asing di berbagai pelabuhan di Indonesia, serta konektivitas
wilayah melalui jalur transportasi laut yang bebas hambatan. Secara
sederhana, hal ini dapat digambarkan sebagai adanya keterkaitan fasilitas
dan aktor negara dan non-negara, lokal dan nasional dengan asing, serta
bagaimana aktor-aktor tersebut berinteraksi dan bekerjasama.
Dari kedua pemikiran di bidang politik dan ekonomi tersebut,
kebijakan poros maritim dunia masih membutuhkan pembenahan, baik dari
sisi implementasi, monitoring dan evaluasi, kepemimpinan dan koordinasi.
Agar kebijakan ini dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan karakter
kepemimpinan yang kuat, baik di level pusat, maupun daerah.
Kepemimpinan juga erat kaitannya dengan visi. Sebagai contoh, pada
tahun 2019 pemerintah menargetkan jumlah masyarakat yang
mengkonsumsi ikan sebanyak 49-50 kilogram per kapita, namun target ini
masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan negara lain yang telah
menaikkan targetnya menjadi 70-80 kilogram per kapita. Bahkan Jepang

46
Perpres No. 10/2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Diakses di
https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/174381/Perpres%20Nomor%2010%20Tahun%202015.pdf,
pada 3 April 2020, pukul 20.42 WIB.
47
Nainggolan, Poltak Partogi. (2015). Kebijakan Poros Maritim Dunia Joko Widodo dan Implikasi
Internasionalnya. Jurnal Politica Volume 6(2). Agustus 2015. Halaman. 169.
30

sudah menargetkan 100 kilogram per kapita. Sedangkan persoalan


koordinasi bisa ditemukan pada operasional birokrasi. Sebagai contoh,
percepatan Perpres Industri Perikanan. Agar peraturan tersebut dapat
berjalan dengan baik, maka berbagai instansi yang terlibat seperti
Kemendag, Kemenperin, serta KKP harus duduk bersama untuk menyisir
beberapa regulasi yang tumpang tindih.
Dalam konteks penguatan komitmen nasional sebagai negara
maritim dan untuk menopang keamanan maritim nasional, maka
implementasi kebijakan ini harus terus-menerus diperkuat, terutama dalam
hal monitoring dan evaluasinya sehingga apabila ditemukan kendala, dapat
segera dijalankan tindakan korektifnya. Selain itu, sebagai sebuah strategi
jangka panjang untuk memperkuat aspek kemaritiman Indonesia (grand
strategy), kebijakan poros maritim dunia semestinya ditempatkan sebagai
modalitas diplomasi bagi negara Indonesia. Kebijakan ini merupakan
instrumen diplomasi yang unik karena selama ini dicitrakan sebagai negara
yang taat pada hukum internasional. Ketaatan pada hukum internasional ini
akan menjadi faktor penopang bagi Indonesia dalam mengakumulasi
keuntungan dari posisi strategisnya secara geografis sebagai jalur
pelayaran internasional. Selain itu, dalam konteks keamanan maritim,
kebijakan poros maritim dunia dapat menjadi daya tangkal di bidang
kemaritiman.
Aspek keempat, Sosial dan Budaya. Sedikit banyak kebijakan pada
aspek ini bersinggungan dengan kebijakan pemerintah di bidang demografi.
Agar tidak tumpang-tindih, maka adopsi nilai-nilai kemaritiman pada aspek
ini lebih tepat apabila diarahkan pada aspek penegakan hukum berbasis
kemaritiman. Salah satu tantangan dalam mewujudkan kebijakan poros
maritim dunia adalah melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap
berbagai pelanggaran kedaulatan di wilayah maritim Indonesia.
Penegakan hukum secara tegas memiliki signifikansi penting dan
memberikan pesan bermakna ganda, baik bagi publik domestik, maupun
masyarakat internasional. Bagi publik domestik, sikap tersebut
menunjukkan ketegasan dan komitmen kuat pemerintah dalam menjaga
kedaulatan wilayah. Kebijakan ini juga memberikan garansi kepada
masyarakat Indonesia, bahwa hak mereka atas kekayaan alam Indonesia
akan dilindungi dan tidak akan dirampas oleh bangsa lain. Sikap tegas
pemerintah Indonesia yang menghalau kapal-kapal tradisional nelayan
Tiongkok yang mencuri ikan di perairan Natuna Utara juga layak
diapresiasi. Bagi masyarakat internasional, kebijakan pembakaran dan
penenggelaman kapal ilegal menunjukkan bahwa Indonesia memang
ramah dan terbuka dalam urusan diplomatik, tapi keras dalam penegakan
hukum terhadap para pelaku kejahatan. Namun demikian, diperlukan
perbaikan dalam kebijakan ini, utamanya guna mendukung penguatan
komitmen nasional sebagai bangsa maritim. Perlunya komitmen
kepemimpinan yang berkelanjutan dari para pemimpin. Dampak positif dari
kebijakan yang tegas terhadap para pelaku ilegal di wilayah maritim harus
terus dipertahankan karena akan menguatkan kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah dan juga akan membangun respek masyarakat
internasional terhadap Indonesia yang dengan persisten menjaga
kedaulatan teritorialnya.
31

Selain kebijakan penegakan hukum, model kebijakan lainnya yang


sangat krusial pada aspek sosial budaya adalah penanaman pemahaman
konsep Wawasan Nusantara kepada masyarakat. Lima fungsi utama
Wawasan Nusantara adalah: menumbuhkan semangat kebangsaan
bangsa Indonesia, menanamkan kecintaan pada tanah air sehingga rela
berkorban untuk membelanya, menumbuhkan kesadaran dan pemahaman
mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara, mengembangkan
kehidupan bersama yang plural berdasarkan persatuan dan kesatuan, dan
mengembangkan keberadaan masyarakat madani sebagai pengembangan
kekuasaan pemerintahan.48
Mengingat arti penting Wawasan Nusantara dalam upaya untuk
memperkuat komitmen nasional sebagai bangsa dan negara maritim, maka
diseminasi pengetahuan, pemahaman, dan implementasi Wawasan
Nusantara mutlak dilakukan. Fungsi ini sebaiknya dibebankan kepada para
pemangku kebijakan di bidang maritim, yakni Kemenko Maritim dan
beberapa kementerian yang berada di bawah koordinasinya dengan
membuat program percepatan pembangunan daerah maritim yang
pemberdayaan potensi keunggulan komparatif dan kompetitif daerah agar
tidak terjadi urbanisasi. Selain itu, perlu juga digagas program transmigrasi
penduduk dari daerah-daerah padat ke daerah-daerah maritim, baik pesisir
maupun pulau-pulau terpencil yang minim jumlah penduduknya. Tentunya
kebijakan ini harus ditopang dengan insentif atau stimulus fiskal yang
menarik bagi masyarakat yang bersedia untuk mengikuti programnya.
Terakhir, aspek Pertahanan dan Keamanan. Atensi pemerintah di
bidang pertahanan dan keamanan tertuang dalam UU No. 3/2002 tentang
Hanneg. Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap
bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara. Pelaksana fungsi pertahanan negara sebagaimana dimaksud
dalam regulasi tersebut terdiri atas TNI sebagai komponen utama,
didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. 49 Dalam
konteks keamanan wilayah laut, yang diberikan tanggung jawab untuk
melakukan pengamanan adalah TNI AL. Dalam Pasal 9 UU No. 34/2004
tentang TNI disebutkan TNI AL bertugas: melaksanakan tugas TNI matra
laut di bidang pertahanan, menegakkan hukum dan menjaga keamanan di
wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional
dan hukum internasional yang telah diratifikasi, melaksanakan tugas
diplomasi angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar
negeri yang ditetapkan pemerintah, melaksanakan tugas TNI dalam
pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut, dan melaksanakan
pemberdayaan wilayah pertahanan laut.50

48
Tim Pokja Geopolitik dan Wawasan Nusantara. (2020). Bahan Ajar Bidang Studi Geopolitik dan
Wawasan Nusantara. Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas
RI). Halaman. 161-171.
49
“UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara”, diakses di http://buk.um.ac.id/wp-
content/uploads/2016/05/Undang-Undang-Nomor-3-Tahun-2002.pdf, pada 5 April 2020, pukul
14.18 WIB.
50
“Tugas TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Sesuai UU No. 34/2004
tentang TNI”, diakses di https://tni.mil.id/view-4980-tugas-tni-angkatan-darat-angkatan-laut-dan-
32

Merujuk pada tugas dan tanggung jawab tersebut, dapatlah


dikatakan bahwa aspek pertahanan dan keamanan memiliki relevansi
paling erat dalam memperteguh komitmen nasional sebagai negara
maritim, terlebih lagi dalam menopang keamanan maritim nasional.
Pemerintah secara komprehensif meletakkan tanggung jawab
pengamanan, penegakan hukum, diplomasi, hingga pemberdayaan wilayah
maritim kepada TNI AL. Meskipun demikian, untuk mewujudkan keamanan
maritim yang komprehensif, maka sinergi dan kolaborasi antara TNI AL
dengan matra lainnya mutlak dilakukan mengingat wilayah laut adalah satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari wilayah darat dan udara. Demikian
juga kontribusi masyarakat dalam konteks sistem pertahanan keamanan
rakyat semesta.
Kebijakan poros maritim dunia secara tidak langsung telah
menggeser paradigma sistem pertahanan negara, dari sebelumnya yang
bersifat land oriented, menjadi sea oriented. Kebijakan ini tentu saja
berimplikasi positif terhadap pembangunan postur kekuatan TNI dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya. TNI berkomitmen untuk terus
meningkatkan kemampuan dalam rangka mendefinisikan kebijakan
tersebut. Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto, dalam rapat kerja di DPR
RI pada akhir 2019 menyampaikan, untuk mengatasi berbagai kelemahan
dan menyikapi tantangan yang ada, program TNI telah dicanangkan dalam
rencana kerja TNI 2020, yaitu: pembangunan postur TNI yang meliputi
pembangunan kekuatan, pembinaan kemampuan, gelar kekuatan,
pemenuhan alat utama sistem persenjataan dengan mengacu pada
Renstra III 2020-2024, penguatan sarana dan prasarana perbatasan,
pulau-pulau terluar dan daerah rawan, melanjutkan pembangunan
kekuatan TNI di Pulau Natuna, Pulau Yamdena/Selaru, pembangunan
barak standby force dan sarpras Koopssus TNI, serta melaksanakan
pembangunan Sarpras Kogabwilhan I, II, dan III.51 Merujuk pada
pernyataan tersebut, secara garis besar (grand strategy), aspek-aspek
yang harus diperkuat pada TNI dalam konteks keamanan maritim meliputi
tiga hal, yakni peningkatan anggaran pertahanan, modernisasi alutsista,
serta peningkatan kapasitas dan kesejahteraan prajurit TNI itu sendiri.

14. Kemampuan Pengamanan Wilayah Maritim


Kemampuan pengamanan yang dimaksud adalah, bagaimana bangsa
Indonesia memiliki kemampuan untuk mengorganisir seluruh potensi yang dimiliki
untuk dapat diberdayakan dalam rangka mengamankan wilayah maritim. Dalam
konteks penegakan kedaulatan, kemampuan pengamanan yang baik sangat
terkait erat dengan peran aktif dan pelibatan seluruh komponen bangsa. Seperti
yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa wilayah maritim saat ini masih belum
bisa dikatakan aman, hal ini dikarenakan belum optimalnya kemampuan yang
dimiliki bangsa Indonesia dalam mengamankan wilayah maritim.

angkatan-udara-sesuai-undang-undang-no-34-tahun-2004.html, pada 5 April 2019, pukul 15.20


WIB.
51
“TNI Prioritaskan Peningkatan Kekuatan Pertahanan Pada 2020”, diakses di
https://nasional.republika.co.id/berita/q0jxja430/tni-prioritaskan-peningkatan-kekuatan-
pertahanan-pada-2020, pada 5 April 2020, pukul 15.47 WIB.
33

Belum optimalnya kemampuan tersebut harus ditangani dengan sungguh-


sungguh, karena sangat mungkin dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain:
Pertama, cita-cita untuk mewujudkan kekuatan maritim yang modern menjadi sulit
dicapai. Kedua, pemanfaatan konstelasi geografis sebagai satu kesatuan yang
utuh dalam konsep pengamanan wilayah maritim sulit dicapai dan hanya akan
menjadi konsep yang tidak bisa dilaksanakan. Ketiga, pada tataran operasional,
sinergisitas dan kolaborasi dalam penyelenggaraan pengamanan wilayah maritim
oleh seluruh pemangku kepentingan akan menemui banyak kendala dan
hambatan.
Prinsip open mind, open heart, dan open will (Teori U dari C. Otto
Scharmer) dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya meningkatkan kapasitas
pengamanan wilayah maritim. Pemerintah beserta komponen terkait secara
komprehensif harus melaksanakan inventarisasi secara mendalam terhadap
persoalan prinsip yang terjadi, mengumpulkan keterangan, saran dan masukan
dari semua pihak terkait dan membuka pintu dialog dengan berbagai pihak.
Semua itu harus dilakukan dengan mengesampingkan ego sektoral dan
mengedepankan semangat kebersamaan untuk membangun kemampuan
pengamanan wilayah maritim yang lebih baik.
Konsep pembangunan kekuatan maritim juga relevan dengan Teori
Kekuatan Laut, dimana Mahan berpandangan bahwa terdapat hubungan antara
kekuatan penguasaan laut dengan pengembangan aspek ekonomi suatu negara
yang tercipta melalui adanya kemajuan ekonomi, perdagangan, serta kekuasaan.
Dalam pandangan Mahan, laut merupakan jalan raya yang bebas hambatan untuk
dilalui berbagai aktivitas. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, suatu
negara harus meningkatkan penguasaannya terhadap laut dan ditopang dengan
kepemilikan armada laut yang kuat.
Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk meningkatkan kemampuan
pengamanan wilayah maritim, dapat dilakukan dengan:
a. Pembangunan kekuatan maritim modern.
Kekuatan maritim yang modern akan memberikan keuntungan ganda
bagi bangsa Indonesia, selain akan meningkatkan kemampuan dalam
mengamankan wilayah maritim, juga akan meningkatkan daya tangkal yang
sangat efektif di kawasan. Di tengah semakin kerasnya persaingan
penguasaan kawasan oleh negara-negara besar, yang sebagian besar
dilakukan lewat jalur laut, maka seharusnya tuntutan untuk memiliki
kekuatan maritim yang modern bagi bangsa Indonesia, adalah sebuah
keniscayaan yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena hanya dengan
kekuatan nyata yang besar, maka keamanan dan kedaulatan di wilayah
maritim dapat dijaga.
Untuk memiliki kekuatan maritim yang modern diperlukan tekad dan
komitmen yang kuat dari seluruh komponen bangsa, karena selain cita-cita
tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar, juga proses
pembangunannya yang cukup panjang, terutama untuk pengadaan
alutsista. Oleh karena itu, rancangan modernisasi kekuatan maritim harus
adaptif dan mampu melihat jauh ke depan agar dapat bertahan sampai
beberapa atau bahkan puluhan tahun yang akan datang. Hal pertama yang
harus diperhatikan adalah bagaimana memodernisasi alutsista beserta
fasilitas pendukungnya, karena alutsista merupakan komponen fisik yang
sangat dibutuhkan dalam pengamanan wilayah maritim. Eksistensi alutsista
34

pada masa damai berfungsi dalam menciptakan efek penggentar


(detterence effect), sedangkan pada masa konflik atau perang berperan
sebagai alat utama untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Sampai dengan akhir Tahun 2019, prosentase capaian fisik Minimum
Essential Force (MEF) aspek alutsista TNI mencapai 63,19% dari 75,54%
target MEF Renstra II (2015-2019), dimana termasuk di dalamnya alutsista
yang bisa digunakan sebagai kekuatan utama maupun cadangan dalam
pengamanan wilayah maritim, seperti alutsista TNI AD (Meriam, Roket,
Rudal dan Pesawat), TNI AL (Kapal atas air, Kapal selam dan Pesawat)
dan TNI AU (Pesawat, Radar, Rudal dan PSU).52 Selain TNI, institusi yang
mempunyai kewenangan di laut juga mengoperasionalkan sejumlah kapal
dengan berbagai kelas/tipe : Bakamla 40, KPLP 378, Polair 113, Ditjen Bea
Cukai 182 dan PSDKP 27.53 Akan tetapi yang perlu menjadi perhatian
adalah, bahwa jumlah alutsista dan kapal-kapal tersebut belum tentu
berbanding lurus dengan terjaminnya keamanan di wilayah maritim
Indonesia yang begitu luas. Selain sebagian sudah berusia tua dan
jumlahnya yang belum ideal, juga diperlukan komando, sarana kendali dan
koordinasi yang baik sehingga dapat mensinergikan seluruh institusi
tersebut. Meskipun belum ideal, pemerintah setidaknya sudah berupaya
untuk menguatkan kapasitas terkait dengan pengamanan wilayah maritim,
salah satunya, pada Tahun 2020, untuk kepentingan pertahanan Indonesia,
pemerintah menganggarkan sebesar 131 triliun rupiah. Angka tersebut
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, namun belum mencapai
1% dari PDB sebagai batas ideal minimum sebuah anggaran pertahanan.
Peningkatan anggaran tahun ini lebih banyak dialokasikan untuk belanja
pegawai, bukan modernisasi alutsista.54
Jika dikaitkan dengan luasnya wilayah maritim Indonesia,
kompleksnya potensi AGHT dan pesatnya kemajuan teknologi saat ini,
maka upaya memodernisasi potensi kekuatan maritim tersebut masih akan
menghadapi tantangan yang berat. Belum mumpuninya penguasaan
teknologi yang menyebabkan ketergantungan terhadap alutsista buatan
luar negeri menjadi salah satu penyebab ketertinggalan dari negara-negara
maju. Teori U dapat dijadikan sebagai pedoman pemerintah untuk mencari
dan menemukan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan ini. Mulai
dari penyiapan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan tekhnogi
kemaritiman, penguatan kapasitas industri strategis dalam negeri,
memajukan lembaga-lembaga riset, dan menyiapkan pembiayaan. Menurut
Teori Kekuatan Laut, bahwa untuk membentuk negara maritim yang ideal
(negara maritim dan negara berkapasitas maritim), terdapat enam aspek
mendasar yang harus dipenuhi, yaitu aspek geografis, bentuk pantai, luas
wilayah, karakter pemerintah dan lembaga-lembaga nasional. Mahan
menjelaskan bahwa untuk mewujudkan supremasi di lautan, dibutuhkan
52
Kemenhan RI, Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan. (7 Oktober 2019). Data Pencapaian
Minimum Essential Force (MEF) Aspek Fisik Bidang Alutsista.
53
Armada Kapal Patroli Laut, “Sea and Coast Guard” Indonesia, diakses di
https://jurnalmaritim.com/armada-sea-and-coast-guard-indonesia/, pada 8 April 2020, pukul 22.20
WIB.
54
“Anggaran Pertahanan Kecil, Indonesia Sulit Modernisasi Alutsista Nasional”, diakses di
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/12/12200321/anggaran-pertahanan-kecil-indonesia-
sulit-modernisasi-alutista-nasional, pada 9 April 2020, pukul 21.10 WIB.
35

angkatan laut yang mampu menguasai garis perhubungan laut yang


merupakan syarat mutlak untuk konsentrasi kekuatan. Inti dari doktrin
strategi tersebut adalah „keharusan untuk menguasai lautan‟ yang dapat
dicapai dengan mengusahakan konsentrasi kelautan yang sanggup
mengusir dan membinasakan semua kapal-kapal angkatan laut dan
armada niaga musuh dari lautan.55
Merujuk pemahaman teori di atas, selain kebutuhan alutsista yang
modern, hal terpenting selanjutnya dalam rangka mewujudkan kekuatan
maritim yang modern adalah adanya sebuah konsep pertahanan maritim
yang baik, dimana konsep tersebut sebagai implementasi dari strategi
pertahanan maritim yang meliputi penangkalan (deterrence) dan
pengendalian laut (sea control).
Pertama, Penangkalan, penangkalan pada prinsipnya adalah
penggunaan kekuatan pertahanan maritim yang ditujukan untuk
melemahkan niat bakal musuh atau bakal lawan yang akan mengancam
kepentingan nasional Indonesia melalui media wilayah maritim. Strategi
penangkalan saat ini, mensyaratkan kekuatan pertahanan yang memiliki
kemampuan tinggi yang bertumpu kepada kekuatan militer yang handal
dan modern, serta adanya kebijakan pemerintah yang tegas dan akuntabel
sebagai landasan operasionalnya. Kuatnya kedua faktor penangkalan
tersebut (kemampuan dan kebijakan), diharapkan dapat mereduksi potensi
ancaman berdimensi maritim yang mungkin timbul. Untuk mewujudkan
strategi ini maka kekuatan pertahanan harus dibangun agar memiliki
keunggulan dari bakal musuh atau lawan, baik dari sisi penguasaan
teknologi kemaritiman, daya serang, maupun kemampuan mobilitas yang
tinggi. Selain itu, kemampuan pertahanan tersebut dioperasionalkan
dengan dilakukan penggelaran operasi sesuai skala prioritas sebagai wujud
kehadiran negara di seluruh wilayah maritim.
Kedua, pengendalian laut. Pengendalian laut merupakan sebuah
upaya selain untuk memberikan jaminan bahwa wilayah laut akan selalu
digunakan untuk mendukung kepentingan nasional, juga untuk mencegah
penggunaaan laut oleh lawan dalam usaha memenuhi kepentingannya.
Pada tataran operasional, pengendalian laut dapat dilaksanakan secara
ofensif maupun secara defensif dengan berpedoman kepada doktrin
operasi yang dimiliki TNI. Kemampuan pengendalian laut harus terus
dikembangkan dan diintegrasikan seiring dengan perkembangan kemajuan
teknologi dan alutsista yang dimiliki TNI, seperti: peningkatan kemampuan
rudal dari darat ke laut, peningkatan kemampuan pertahanan pantai
terintegrasi, peningkatan kemampuan peperangan laut, peningkatan
kemampuan pesawat udara, peningkatan kapabilitas intelijen maritim,
peningkatan kemampuan pengintaian dan pengawasan wilayah maritim,
dan kemampuan dukungan logistik terpusat maupun wilayah.

55
Mulya, Lillyana. (2013). Postur Maritim Indonesia: Pengukuran Melalui Teori Mahan. Jurnal
Lembaran Sejarah No. 2 (10), Oktober 2013.
36

b. Menjadikan pulau-pulau terdepan, terluar, dan terpencil sebagai


keuntungan geografis dengan memanfaatkannya sebagai garda
terdepan di dalam konsep pengamanan wilayah maritim.
Pemanfaatan keunggulan komparatif negara yang diperoleh dari
keanekaragaman potensi sumber kekayaan alam maritim, dapat terlaksana
dengan baik apabila wilayah maritim aman. Dalam upaya untuk
mengamankan wilayah maritim tersebut, diperlukan konsep yang baik,
dimana kondisi geografis menjadi hal utama yang harus diperhatikan,
mengingat sebagai negara kepulauan, konstelasi geografis Indonesia yang
terdiri dari ribuan pulau yang tersebar pada wilayah yang sangat luas,
tanpa konsep yang baik, maka jaminan keamanan wilayah maritim akan
sulit dicapai. Perlu kolaborasi antara pendekatan keamanan yang
memanfaatkan konstelasi geografis yang ada, dengan pendekatan
kesejahteraan khususnya bagi penduduk yang berada di pulau-pulau
terdepan atau terluar serta terpencil.
Pengelolaan pulau-pulau terdepan atau terluar sesuai Perpres No.
78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar ditujukan
untuk, (1) menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional,
pertahanan negara dan bangsa, serta menciptakan stabilitas kawasan, (2)
memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang
berkelanjutan, (3) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan
kesejahteraan. Selain yang dinyatakan dalam Perpres tersebut, urgensi
pengembangan pulau-pulau terdepan atau terluar adalah untuk menjamin
kehidupan yang berkelanjutan bagi segenap bangsa Indonesia pada
umumnya, serta kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat.56
Pemanfaatan pulau-pulau terluar untuk kepentingan strategis belum
optimal, hal ini dapat tercermin dari gelar kekuatan TNI di pulau-pulau
terluar saat ini yang belum dapat mendukung pelaksanaan pengamanan di
ALKI I, II dan III serta daerah perbatasan. Kondisi demikian mengandung
kerawanan tinggi terhadap sistem pertahanan nasional kita karena
seharusnya pulau-pulau terdepan dan daerah pinggiran Indonesia menjadi
yang pertama dalam mendeteksi, dan bila perlu menanggulangi apabila
apabila ada gugus tugas negara lain yang melewati ALKI dengan maksud-
maksud tidak bersahabat.57
Saat ini TNI telah mengambil langkah dengan membentuk Satuan
TNI Terintegrasi (STT) di beberapa pulau-pulau terluar dan daerah yang
bersifat strategis. Sesuai dengan Keputusan Panglima TNI Nomor
Kep/1312/XII/2018 tanggal 10 Desember 2018 tentang Pembangunan
Prioritas Pulau Terluar Tertentu dan Daerah Yang Bersifat Strategis. STT
merupakan satuan TNI yang berfungsi sebagai satuan penangkal utama di
perbatasan sekaligus sebagai Pangkalan Aju Operasi TNI. STT beroperasi
secara gabungan untuk mencapai tujuan strategis dan tujuan taktis dalam
sebuah operasi militer, baik Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi
Militer Selain Perang (OMSP). STT harus mampu menghadapi ancaman

56
“Kajian Pualu Terdepan/Terluar”, diakses di
https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/695/jbptunikompp-gdl-riskahelma-34707-9-unikom_r-i.pdf, pada
11 Mei 2020, pukul 01.00 WIB.
57
Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1312/XII/2018 tanggal 10 Desember 2018 tentang
Pembangunan Prioritas Pulau Terluar Tertentu dan Daerah Yang Bersifat Strategis. Halaman 5.
37

yang datang dan dapat pula bertindak sebagai satuan pemukul terdepan
yang memiliki kemampuan bertempur dan bertahan secara mandiri.
Adapun tugasnya antara lain mencegah pelanggaran wilayah yang
memasuki wilayah Indonesia pada saat perang dan damai.58 Dari lima
lokasi yang direncanakan sebagai basis STT, baru terealisasi STT di Pulau
Natuna (Kepulauan Riau). Sementara yang berlokasi di Pulau Yamdena
dan Pulau Selar (Maluku), Kabupaten Merauke (Papua), Pulau Morotai
(Maluku Utara) dan Pulau Biak (Papua), masih dalam proses perencanaan.
Perencanaan pembangunan STT dimulai pada Tahun 2016 dan
direncanakan selesai pada Tahun 2028.59 Rentang waktu yang panjang
tersebut untuk memenuhi semua kebutuhan seperti ketersediaan dan
penyiapan personel pengawak organisasi, reposisi maupun pengadaan
alutsista, pembangunan fasilitas, sarana perkantoran dan messing,
pembangunan fasilitas radar sebagai sarana deteksi dini, pengadaan piranti
lunak untuk kepentingan operasi, pembangunan sarana pendukung seperti
lapangan terbang, rumah sakit, fasilitas perbaikan, fasilitas logistik sampai
dengan penyiapan jalur distribusi logistik dan sebagainya. Diperlukan juga
mekanisme kerjasama, koordinasi dan operasional dengan pemerintah
daerah serta institusi-institusi terkait lainnya, serta yang tidak kalah
pentingnya adalah penyiapan anggaran oleh pemerintah.
Menurut Teori Kekuatan Laut, karakter geografis merupakan faktor
penentu yang harus ditangani dalam upaya mengembangkan kekuatan
maritim. Sejalan dengan hal tersebut, maka konsep penguasaan pulau-
pulau dan daerah strategis menjadi penting dalam rangka mengamankan
wilayah maritim. Oleh karenanya, konsep TNI di atas, meskipun belum
menjangkau seluruh pulau strategis, upaya tersebut harus diapresiasi dan
didukung, agar konsep pertahanan keamanan yang memanfaatkan pulau-
pulau strategis dapat terwujud. Dalam konteks pendekatan keamanan,
perencanaan pembangunan sistem pertahanan negara yang dirancang TNI
saat ini, tidak hanya didasarkan kepada arah datangnya ancaman saja,
akan tetapi harus terkait erat dan terkoordinasi dengan program-program
pemerintah yang ada, seperti kebijakan pembangunan nasional, program
pembangunan dari daerah pinggiran, program nawacita, program tol laut
dan sebagainya, sehingga sistem pertahanan yang mengacu kepada
konstelasi geografis berjalan dengan sinkron dan terkoordinir.
Masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pulau-pulau terluar atau
terdepan pada dasarnya dapat memainkan peran sebagai penjaga
kedaulatan negara. Namun demikian, harapan tersebut terasa terlalu ideal
apabila melihat tingkat kesejahteraan mereka. Peralatan nelayan yang
masih tradisional serta kesulitan untuk mendapatkan BBM mengakibatkan
aktivitas melaut dan menangkap ikan tidak optimal. Belum adanya
transportasi umum yang memadai untuk menghubungkan tempat tinggal
mereka dengan lingkungan luar menjadikan mereka terisolasi, Hal ini
ditambah dengan minimnya jaringan komunikasi sehingga menyebabkan
mereka tidak terlalu update dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang
dapat menunjang kehidupan mereka. Permasalahan menjadi semakin
kompleks apabila melihat tingkat kesejahteraan penduduk di pulau-pulau
58
Ibid. Halaman 15.
59
Ibid. Halaman 14.
38

yang sudah berpenghuni yang masih berada di bawah garis kemiskinan.60


Dengan kondisi sedemikian, sangat sulit untuk menjadikan mereka sebagai
benteng terdepan pertahanan negara yang menunjang keamanan maritim
nasional.
Penerapan solusi untuk mengurai kompleksnya persoalan di atas,
dapat memperhatikan Teori U, dimana upaya pemerataan dan peningkatan
kesejahteraan penduduk di pulau-pulau tersebut harus dilakukan melalui
proses transformasi yang komprehensif dan menyeluruh. Proses
transformasi harus dilakukan secara transparan agar kebijakan yang
diambil dapat diimplementasikan dengan relevan sesuai dengan kebutuhan
penduduk dan karakteristik daerah. Proses being dan re-engineering dalam
upaya mendorong terwujudnya peningkatan kesejahteraan memerlukan
sinergi yang baik antar pemangku kepentingan. Perlu dirumuskan strategi
dan kebijakan yang integratif mengingat kompleksnya permasalahan
penduduk di pulau-pulau terpencil dan luasnya bentang wilayah. Parameter
peningkatan kesejahteraan harus disesuaikan dengan karakteristik daerah.
Sinergi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta institusi-
institusi terkait di daerah harus ditingkatkan agar pelaksanaan kebijakan
pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dapat terlaksana dengan
baik. Masyarakat lokal harus dilibatkan berperan aktif mulai dari tahap awal
perencanaan sampai dengan pelaksanaan pembangunan, sekaligus
sebagai sarana kontrol terhadap implementasi kebijakan.
Dalam konteks menjadikan pulau-pulau terdepan atau terluar
sebagai benteng pertahanan negara, beberapa langkah teknis dan strategis
yang dapat dilakukan antara lain: Pertama, pembangunan sarana dan
prasarana pendidikan, kesehatan, keuangan, transportasi, perairan,
penerangan, telekomunikasi, dan perdagangan. Sederhananya, sarana dan
prasarana tersebut harus mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Pembangunan sarana dan prasarana tersebut tidak bisa dilakukan secara
parsial karena antara satu dan lainnya saling terhubung dan menunjang.
Kedua, kebijakan transmigrasi berbasis kepada pendekatan maritim.
Penduduk di wilayah-wilayah padat di pulau Jawa yang hidup di bawah
garis kemiskinan atau tidak memiliki pekerjaan dapat diikutsertakan pada
program transmigrasi. Mereka yang bersedia ikut program akan dibantu
dipenuhi kebutuhan dasarnya dan dibimbing untuk mengembangkan
keahlian dan kemampuan dalam bekerja di sektor maritim. Secara garis
besar, kebijakan ini ditujukan untuk mengubah wilayah yang tidak bertuan
menjadi wilayah yang berpenghuni. Jika sebuah wilayah sudah ada
penduduknya, maka akan menjadi modal sosial yang besar bagi
pengembangan wilayah tersebut di kemudian hari.
Ketiga, merujuk pada Teori Kekuatan Laut dari AT Mahan, bahwa
sebuah negara dapat menjadi negara berkekuatan maritim apabila ada
komitmen kelembagaan dari pemerintah untuk mewujudkannya.
Pemerintah saat ini sudah mengambil dua terobosan penting, yaitu melalui
pembentukan Kemenko Maritim dan pembentukan Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) pada 2008. Kedua lembaga ini merupakan
60
“Permasalahan Perbatasan di Sekitar Pulau-Pulau Kecil Terluar”, diakses di
http://www.tabloiddiplomasi.org/permasalahan-perbatasan-di-sekitar-pulau-pulau-kecil-terluar/,
pada 11 Mei 2020, pukul 01.44 WIB.
39

wujud komitmen pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara


maritim. Namun demikian, eksistensi kelembagaan saja tidak cukup.
Pemerintah masih harus menjamin adanya sinergi antara para pemangku
kepentingan, baik antar lembaga pemerintah maupun dengan masyarakat
serta menyiapkan anggaran, mengingat pengembangan pulau-pulau
terdepan atau terluar membutuhkan dana yang besar dan waktu yang
lama. Untuk pengelolaan dan pemanfaatan, pemerintah dapat bekerjasama
dengan sektor swasta dengan tetap memperhatikan aspek pertahanan dan
keamanan, kelestarian lingkungan, dan kepentingan nasional.

15. Penegakan Hak Berdaulat di Wilayah ZEE Indonesia


Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia merupakan wilayah laut yang
memiliki potensi kekayaan terbesar bagi Indonesia. Menimbang pentingnya
potensi-potensi sumber kekayaan di laut ini, pemerintah telah mengeluarkan
berbagai jenis produk hukum untuk mengatur, melindungi, dan melakukan
penegakan hukum di wilayah ZEE yaitu dengan menetapkan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Berkaitan dengan
ketentuan dalam ZEE, terdapat ketentuan tentang hak berdaulat (souvereign right)
sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Hukum Laut yaitu UNCLOS
(United`Nations Convention On The Law Of The Sea) 1982 yang menyatakan
bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat yaitu hak istimewa untuk
mengeskplorasi, mengeksploitasi dan konservasi sumber daya alam lautnya.
Hal inipun telah di atur dalam ketentuan ZEE Indonesia, sebagaimana yang
terdapat pada Pasal 2 UU No. 5 tahun 1983, yang menetapkan bahwa ZEE
Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia
sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang
perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya
dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut
wilayah. Selanjutnya pada Pasal 4 dinyatakan bahwa Hak berdaulat untuk
keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber
kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati. Berkaitan dengan hak berdaulat
tersebut hendaknya dapat digunakan secara optimal dalam rangka memanfaatkan
sekaligus melindungi sumber daya laut dan terhindar dari pencurian ikan dari
kapal-kapal asing. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini sumber daya laut
Indonesia di ZEE seringkali diambil secara ilegal oleh kapal negara lain, maka
dengan mengoptimalkan hak berdaulat tersebut, Indonesia dapat memanfaatkan
dan menikmati sumber daya laut untuk kesejahteraan masyarakat secara lebih
optimal.
a. Meningkatkan Sinergi dan Kolaborasi Pengelolaan Keamanan
Wilayah Maritim
Salah satu permasalahan mendasar Indonesia sebagai sebuah
bangsa yang dianugerahi sumber daya maritim yang begitu besar adalah
belum solidnya para pemangku kebijakan pengelolaan sektor maritim,
khususnya dalam konteks pelaksanaan pengamanan wilayah maritim.
Pengamanan wilayah maritim dibutuhkan pendekatan yang multi dimensi
serta soliditas dan sinergi para pemangku kepentingan. Saat ini ada 13 K/L
sebagai penegak hukum di laut. Dari 13 lembaga tersebut, 6 K/L sudah
40

memiliki armada/kapal sebagai alat penegakan hukum di laut dengan cara


melaksanakan patroli di laut, yakni TNI AL, POLRI (Ditpolair), Kemenhub
(Dirjen Hubla), KKP (Dirjen PSDKP), Kemenkeu (Dirjen Bea Cukai). 7
lembaga penegak hukum dilaut yang tidak memiliki armada/kapal patroli
antara lain Kemenpar, Kemenkes, Kementerian Lingkungan Hidup,
Kemenhut, Kementerian ESDM, BNN, dan Pemda, dengan 17 aturan
perundang-undangan yang berbeda.61
Lembaga-lembaga tersebut mempunyai landasan hukum sendiri
yang isinya hampir bersinggungan. Meski bersinggungan, dalam
menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum, aktivitas mereka belum
terintegrasi sehingga pengamanan dan penegakkan hukum belum berjalan
maksimal. Pada awal tahun 2020, pemerintah menyiapkan omnibus law
keamanan laut. Menko Polhukam, Mahfud MD, mengatakan, pemerintah
sedang menyiapkan rancangan omnibus law tentang keamanan laut,
karena sekarang ini ada 17 UU yang mengatur secara berbeda, yang
memberi kewenangan berbeda sehingga penanganan di laut itu proses-
proses investasi, perdagangan, bongkar muat lama sekali. Dari ke-17 UU
tersebut, pemerintah ingin menyatukan bagian-bagian yang serupa agar
menjadi satu pintu saja.62
Konsep omnibus law untuk menyederhanakan urusan keamanan
laut dengan memperkuat posisi Bakamla tersebut bukannya tanpa kendala,
karena banyak diskusi yang mempertanyakan keefektifan dari ide tersebut.
Pengamat kemaritiman Soleman B Ponto mengatakan bahwa tidak ada
tumpang tindih dengan sejumlah aturan yang mengatur tentang keamanan
di laut. UU tentang Wilayah Negara sudah sejalan dengan UNCLOS 1982,
yakni membagi wilayah laut menjadi dua, wilayah laut yurisdiksi dan
wilayah perairan Indonesia. UU TNI mengatur bahwa pengamanan wilayah
laut yurisdiksi merupakan wewenang TNI, dalam hal ini TNI AL, sedangkan
pengamanan di wilayah perairan Indonesia dilakukan oleh Polri, yakni oleh
Polair. Kewenangan Bakamla yang berada pada dua wilayah sekaligus,
yakni wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi justru akan bertabrakan
dengan wewenang TNI dan Polri yang sudah diatur oleh UU.63
Terlepas dari pro dan kontra yang mengemuka, pemikiran omnibus
law tersebut harus diapresiasi positif, karena muara dari pemikiran tersebut
adalah untuk mengoptimalkan pengelolaan wilayah maritim, tanpa
mengurangi kewenangan institusi yang sudah ada saat ini. Pemerintah
harus dengan terbuka untuk menerima semua masukan dan saran dari
61
Eka Martiana Wulansari, “Penegakan Hukum di Laut dengan Sistem Single Agency Multy
Tasks”, diakses di
https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PENEGAKAN%20HUKUM%20DI%20LAUT%20DEN
GAN%20SISTEM%20SINGLE%20AGENCY%20MULTY%20TASKS.pdf, pada 15 Mei 2020, pukul
20.30 WIB.
62
Deti Mega Purnamasari, “Alasan Pemerintah Siapkan Omnibus Law tentang Keamanan Laut”,
diakses di
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/23/22444151/alasan-pemerintah-siapkan-omnibus-law-
tentang-keamanan-laut, pada 15 Mei 2020, pukul 21.45 WIB.
63
Aries Wijaksena, “Pembentukan Omnibus Law Keamanan Laut Dipertanyakan”, diakses di
https://mediaindonesia.com/read/detail/294624-pembentukan-omnibus-law-keamanan-laut-
dipertanyakan, pada 15 Mei 2020, pukul 20.15 WIB.
41

masyarakat, sehingga dapat ditemukan solusi terbaik dalam konteks


keamanan maritim ini. Hal tersebut sejalan dengan perspektif teori U, di
mana langkah pemerintah ini merupakan ikhtiar untuk mengkolaborasi dan
mensinergikan keunggulan kompetensi masing-masing sektor dalam
kerangka kerja sama tim yang kuat. Masing-masing K/L mengampu
tugasnya masing-masing namun tetap memiliki orientasi yang sama yaitu
untuk mewujudkan wilayah maritim yang aman. Semua lembaga negara
bergerak dengan tupoksinya masing-masing, namun seirama dalam
mewujudkan visi sebagai bangsa maritim yang besar.
Pengamanan wilayah maritim akan terlaksana secara optimal
apabila seluruh institusi pemerintah yang memiliki kewenangan di laut
selalu bersinergi dan berkolaborasi dengan baik dalam menghadapi semua
permasalahan yang timbul di wilayah maritim. Diharapkan sinergi dan
kolaborasi dalam penanganan keamanan wilayah maritim akan dapat
terwujud dan diiringi dengan keterpaduan dalam metode dan mekanisme
pengawasan wilayah maritim. Dengan meningkatnya sinergi dari seluruh
stakeholder akan meningkatkan kekuatan sistem pertahanan negara di laut.
Kerja sama dan kepercayaan akan menghasilkan pola komunikasi yang
bersifat sinergi.
Dengan demikian, diharapkan segala bentuk penyelenggaraan
operasi pengamanan di laut dapat dilaksanakan secara lintas sektoral
antar institusi penegak hukum di laut sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi dengan melibatkan institusi-institusi yang berkepentingan
terhadap permasalahan yang sedang terjadi tersebut. Sehingga
kemungkinan terjadinya benturan dan miskoordinasi dalam kegiatan
pengamanan laut dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Setiap
institusi harus memiliki rasa saling percaya satu sama lainnya, sehingga
tujuan bersama yang ingin dicapai yaitu mewujudkan lingkungan laut dan
maritim yang aman akan dapat terealisasi.
Dengan sinergi dan kolaborasi yang baik, institusi-institusi
pemerintah dalam mewujudkan pengamanan wilayah maritim yang
komprehensif diharapkan akan mampu mengefektifkan dan mengefisienkan
proses penegakan hukum dan penegakan kedaulatan di laut. Oleh karena
itu diperlukan pemahaman peran, tugas dan fungsi masing-masing sektor
dengan mengesampingkan ego sektoral demi kepentingan yang lebih besar
yaitu kepentingan bangsa dan negara.
Sinergi dan kolaborasi yang diharapkan antara lain: (1) Adanya
payung hukum untuk mengakomodir kepentingan semua institusi, dengan
aturan hukum yang jelas, akan memperkuat legitimasi di dalam proses
penegakan hukum di laut. Sehingga polemik terjadinya tumpang tindih
kewenangan di laut dapat diselesaikan. (2) Terselenggaranya pengamanan
wilayah maritim yang terpadu, dengan terjalinnya sinergi antar institusi
pada tataran operasional akan terjalin kerjasama yang, sehingga tumpang
tindih pelaksanaan tugas pada saat operasi dapat dieliminir. Keterpaduan
tersebut meliputi adanya kesatuan komando dan pengendalian, adanya
interoperability peralatan, dan adanya prosedur yang disepakati bersama.
(3) Mengemukanya semangat kebersamaan serta terkikisnya ego sektoral.
Hal ini menjadi sangat penting agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di wilayah maritim. Perbedaan
42

yang ada, kelebihan dan kekurangan yang dimiliki setiap institusi tersebut,
harus dijadikan sebagai peluang untuk saling mengisi dan melengkapi,
dalam menyelesaikan pesoalan di wilayah maritim.
b. Meningkatkan Kapasitas Perekonomian dan Kesejahteraan
Masyarakat di Wilayah Hak Berdaulat
Selain penguatan kapasitas militer dalam melakukan pengamanan
terhadap wilayah yang menjadi hak berdaulat Indonesia dalam konteks
pendekatan keamanan, strategi lainnya yang dapat ditempuh oleh
pemerintah adalah melalui pendekatan kesejahteraan melalui penguatan
kapasitas perekonomian dari masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah
tersebut. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa hanya masyarakat yang
terpenuhi kebutuhan dasarnya (sandang, pangan, papan, pendidikan, dan
kesehatan) dengan baik yang dapat dijadikan sebagai benteng terdepan
NKRI dalam menghadapi segala macam ancaman, gangguan, hambatan,
dan tantangan (AGHT) yang dapat menggerus kedaulatan dan hak
berdaulat Indonesia. Masyarakat tersebut secara otomatis akan menjadi
filter utama terhadap segala macam AGHT karena mereka memiliki
keterikatan yang kuat dengan NKRI di mana secara ekonomis mereka
sangat tergantung pada ketersediaan sumber kekayaan alam di wilayah
mereka bermukim sebagai mata pencaharian utama dan sumber kehidupan
mereka.
Kasus masuknya kapal-kapal penangkap ilegal Tiongkok di perairan
Natuna Utara pada akhir Desember 2019 menjadi bukti sahih betapa
pemerintah belum melakukan penguatan pada aspek kesejahteraan secara
memadai. Luasnya wilayah perairan Natuna Utara dan besarnya sumber
daya perikanan di wilayah tersebut tidak berbanding lurus dengan kapasitas
masyarakat dalam menjalankan profesi sehari-harinya sebagai nelayan.
Para nelayan di wilayah tersebut masih terkendala oleh minimnya jumlah
perahu motor yuang mereka miliki untuk melaut, pasokan bahan bakar
minyak untuk menghidupkan perahu motor, alat tangkap yang masih
bersifat tradisional sehingga menyebabkan hasil tangkapan kurang
maksimal. Pada tataran lebih lanjut, keterbatasan mereka semakin
kompleks ketika fasilitas listrik belum memadai dan belum tersedianya
storage untuk menyimpan hasil tangkapan mereka sebelum dipasarkan dan
diperjualbelikan untuk menopang biaya hidup.
Menyikapi situasi dan kondisi ini, pemerintah dipandang perlu untuk
mengambil langkah-langkah penguatan kapasitas perekonomian dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Ada banyak kebijakan
yang bisa digagas, dalam konteks Natuna Utara misalnya, pemerintah
dapat melakukan penguatan industri perikanan guna meningkatkan taraf
hidup masyarakat setempat. Penguatan industri perikanan dengan
mengoptimalkan keberadaan Sentra Kelautan dan Perikanan yang telah
dilengkapi dengan berbagai fasilitas perikanan di Selat Lampa Natuna
misalnya, merupakan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan persoalan
ekonomi di wilayah tersebut. Penguatan juga dapat dilakukan dengan
dioptimalkannya armada kapal ikan asal Natuna yang berjumlah 811 unit
kapal di atas 30 GT, serta kapal-kapal ikan berukuran kecil. Dalam rangka
penguatan industri perikanan di wilayah Natuna, sempat muncul ide untuk
memobilisasi kapal-kapal ikan dari Pantura Jawa untuk beroperasi di
43

Natuna Utara, hanya saja ide ini kurang relevan karena berbagai kendala
teknis terkait.64
Penguatan kapasitas perekonomian dan kesejahteraan masyarakat
di wilayah hak berdaulat tentu tidak bisa dilakukan secara beragam.
Dengan kata lain, diperluakan pendekatan customize dengan menilik
kapasitas masing-masing wilayah dan kesiapan masyarakatnya. Gagasan
lainnya yang dapat dimunculkan untuk memperkuat perekonomian
masyarakat sekitar adalah dengan menjadikan wilayah hak berdaulat
sebagai destinasi pariwisata bahari atau laboratorium alam untuk studi
tentang kemaritiman atau perikanan. Gagasan ini sejatinya bersifat lanjutan
karena untuk menopang ide ini, pemerintah pusat maupun daerah harus
berkolaborasi secara sinergis dan intens dalam menyipakan infrastruktur
dasarnya, seperti listrik, air bersih, termasuk sarana transportasi dan
komunikasi. Dalam konteks Natuna misalnya, akan sangat sulit untuk
memancing animo para wisatawan untuk berkunjung apabila aksesibilitas
dari darat, laut, maupun udara ke wilayah tersebut belum diakomodasi
dengan baik.
Ide menjadikan wilayah hak berdaulat sebagai destinasi pariwisata
bahari atau laboratorium terbuka untuk studi maritim pada dasarnya dapat
menjadi trickle-down effect yang dapat memperkuat pembangunan
kesejahteraan masyarakat di semua lini. Dalam mengeksekusi gagasan-
gagasan besar, pemerintah setempat dituntut untuk berfikir kreatif dan peka
terhadap segala kebutuhan yang ada. Menjadikan wilayah hak berdaulat
semisal Natuna Utara sebagai laboratorium alam untuk studi kemaritiman,
mau tidak mau membuat pemerintah setempat harus membangun fasilitas
pendidikan yang memadai, semacam mempertimbangkan pembentukan
sekolah khusus kemaritiman untuk mencetak nelayan-nelayan yang tidak
hanya terampil, tapi juga terdidik baik secara wawasan maupun
penggunaan teknologi untuk optimalisasi pengelolaan sumber daya laut
dan perikanan ke depan. Inilah yang dapat menjadi modalitas sosial budaya
yang sangat berharga bagi penguatan aspek perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.
Pemunculan ide-ide kreatif baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah dalam menguatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat yang bermukim dan bermatapencaharian di wilayah hak
berdaulat sejatinya selaras dengan teori kekuatan maritim yang dicetuskan
oleh Alfred Tayer Mahan, yakni kapasitas penduduk dan kebijakan
pemerintah atau birokrasi sangat berperan penting dalam menghantarkan
sebuah negara sebagai negara berkapasitas maritim, tidak sekedar
berstatus negara maritim secara taken for granted. Perlu adanya animo
yang besar dari masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya, begitupun
strategi brilian yang digagas oleh pemerintah dalam menyikapi kendala dan
permasalahan yang ada. Hal inipun sesuai dengan teori U yang digagas
oleh C. Otto Scharmer mengenai perubahan. Dibutuhkan cara pandang
yang progresif dan terbuka agar permasalahan yang dihadapi dapat
diselesaikan dengan menggunakan cara-cara baru dan tidak terjebak pada
64
“Penguatan Industri Perikanan, Solusi Untuk Natuna”, diakses di
https://www.mongabay.co.id/2020/01/09/penguatan-industri-perikanan-solusi-untuk-natuna/, pada
15 Juli 2020, pukul 05.00 WIB.
44

cara lama yang tidak efektif dan efisien dalam mencapai tujuan.
Pendekatan kesejahteraan merupakan pendekatan yang paling pas dan
saling mendukung dengan pendekatan keamanan yang telah ditempuh oleh
pemerintah.
45

BAB IV
PENUTUP

15. Kesimpulan
Penguatan keamanan maritim untuk menegakkan kedaulatan NKRI telah
dipresentasikan. Visi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
maritim menjadi langkah awal dalam membangun kekuatan maritim dan
mengelola potensi sumberdaya maritim yang dimiliki Negara Indonesia. Sebagai
negara maritim, keamanan wilayah maritim merupakan tuntutan yang harus
terpenuhi agar visi tersebut dapat terlaksana. Namun dalam kenyataannya saat
ini, meskipun sudah dilakukan upaya untuk mengamankan wilayah maritim, akan
tetapi wilayah maritim Indonesia masih belum aman, hal ini ditandai dengan masih
terjadinya pelanggaran kedaulatan, pemanfaatan secara ilegal dan pencurian
sumber daya alam oleh pihak asing. Selain itu pemanfaatan potensi dan sumber
daya yang dimilik Bangsa Indonesia dalam rangka menunjang terlaksananya
pengamanan wilayah maritim juga belum optimal. Oleh karena itu, untuk
mengatasinya diperlukan langkah-langkah untuk menguatkan keamanan maritim
melalui peningkatan komitmen nasional sebagai negara maritim dan peningkatan
kemampuan pengamanan wilayah maritim.
Persoalan pertama yang harus dijawab adalah mengenai upaya agar
komitmen nasional sebagai negara maritim menjadi solid dan terintegrasi ke
seluruh komponen bangsa. Tantangan dari upaya ini adalah: 1) Penjabaran
kebijakan nasional di bidang maritim belum optimal, 2) Konsep negara maritim
dan kekuatan maritim belum dijadikan sebagai pedoman pembuatan kebijakan
teknis, 3) Konsep negara maritim dan kekuatan maritim belum diintegrasikan ke
dalam kebijakan pemerintah dalam mengelola gatra kehidupan nasional. Solusi
yang dapat dilakukan antara lain dengan: 1) Menjabarkan secara masif, terstruktur
dan sistematis terhadap kebijakan nasional di bidang maritim ke segenap lapisan
masyarakat, 2) Konsep negara maritim dijadikan pedoman atau panduan dalam
penyusunan kebijakan di level gatra statis nasional yang meliputi aspek geografi
(pengelolaan wilayah), aspek demografi (pengelolaan sumber daya manusia),
serta sumber kekayaan alam, 3) Konsep negara maritim dijadikan pedoman atau
panduan dalam penyusunan kebijakan di level gatra dinamis nasional yang
meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan
keamanan.
Kedua, mengenai upaya meningkatkan kemampuan pengamanan wilayah
maritim yang sudah ada saat ini. Tantangan dari upaya ini adalah: 1) Kekuatan
maritim yang ada saat ini belum mampu secara optimal mengamankan wilayah
maritim, 2) Kondisi geografis Indonesia belum dimanfaatkan dan dikelola secara
optimal untuk mengamankan wilayah maritim, 3) Pengelolaan keamanan wilayah
maritim belum sinergi dan terkolaborasi dengan baik. Solusi yang dapat dilakukan
antara lain dengan: 1) Membangun kekuatan maritim modern, 2) Menjadikan
pulau-pulau terdepan, terluar, dan terpencil sebagai keuntungan geografis dengan
memanfaatkannya sebagai benteng terdepan di dalam konsep pengamanan
wilayah maritim, 3) Meningkatkan sinergi dan kolaborasi dalam penyelenggaraan
keamanan maritim.
Ketiga, mengenai upaya untuk menegakkan hak berdaulat Indonesia di
wilayah ZEE yang notabene memiliki sumber kekayaan alam yang sangat besar
dan memiliki peran yang sangat potensial dalam menopang perekonomian
46

nasional. Tantangan dari upaya ini adalah: 1) Pengelolaan keamanan wilayah


maritim yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan terkait (stakeholder)
belum sinergis dan kolaboratif, serta 2) Kapasitas perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah sekitar yang belum cukup
memadai untuk diekspektasi sebagai benteng terdepan NKRI dalam menghadapi
segala macam ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) di bidang
keamanan maritim. Solusi yang dapat dilakukan antara lain dengan: 1)
Meningkatkan sinergi dan kolaborasi pengamanan wilayah maritim oleh para
pemangku kepentingan, termasuk dengan mencari solusi atas tumpang tindihnya
peraturan di bidang kemaritiman, serta 2) Meningkatkan kapasitas perekonomian
dan meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat setempat melalui
kebijakan ekonomi yang kreatif dan komprehensif dari masing-masing pemerintah
daerah, bekerja sama dengan pemerintah pusat semisal menjadikan wilayah
tersebut sebagai sentra perikanan, destinasi wisata bahari, atau lokus
laboratorium untuk studi di bidang kemaritiman.
Dengan memperhatikan persoalan-persoalan tersebut serta solusi yang
ditawarkan, diharapkan segala permasalahan yang berkaitan dengan upaya
menguatkan keamanan maritim dapat direalisasikan, sehingga tujuan utama untuk
menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diwujudkan.

16. Rekomendasi
Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, maka dapat disampaikan beberapa
rekomendasi terkait penguatan keamanan maritim untuk menegakkan kedaulatan
NKRI sebagai berikut:
a. Pemerintah perlu membuat kebijakan nasional tentang
pembangunan, pengelolaan dan pemanfaatan tata ruang di darat dan di
udara yang berorientasi kepada konsep negara maritim. Kebijakan yang
beraspek darat dan udara tersebut harus sejalan dan sinkron dengan
kebijakan nasional tentang negara maritim yang sudah ada. Keterpaduan
antar kebijakan tersebut diharapkan akan dapat saling menguatkan, saling
mengisi dan saling menutupi kelemahan-kelemahan yang mungkin terjadi.
b. Pemerintah perlu membentuk Badan Kemaritiman Nasional (BKN)
yang bertugas dan berwenang melakukan pengawasan dan pengendalian
terhadap semua aktivitas yang menggunakan laut sebagai sarana. Badan
tersebut dibentuk sebagai representatif dari seluruh institusi yang memiliki
kewenangan di laut, bukan hanya dalam hal personel dan material saja,
tetapi yang lebih esensial adalah sebagai kendali dan sebagai pusat kontrol
dari semua kegiatan yang dilaksanakan oleh semua institusi di laut serta
terwakilinya semua kepentingan dari semua institusi tersebut. Badan
tersebut dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta infrastruktur yang
memadai sehingga dapat mengawasi, mengendalikan dan bahkan
merencanakan dan melaksanakan tindakan aksi apabila diperlukan dengan
menggunakan jaringan organisatoris yang ada di dalam badan tersebut.
Tujuannya untuk mewujudkan adanya kesatuan komando didalam
pelaksanaan pengamanan wilayah maritim, sehingga diharapkan adanya
kesamaan cara pandang, sikap dan tindakan didalam menyelesaikan
semua persoalan yang terjadi di laut dan di wilayah maritim Indonesia.
c. Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri sebagai leading sector
serta kementerian terkait membuat konsep tentang adanya sebuah
47

organisasi di kawasan ASEAN yang khusus menangani segala bentuk


tindak kejahatan lintas negara dan pelanggaran wilayah yang terjadi di
wilayah maritim di kawasan ASEAN. Konsep tersebut dibawa dan
ditawarkan ke organisasi ASEAN agar dapat diterima oleh seluruh anggota
ASEAN.
d. Pemerintah perlu merekonstruksi ulang pengalokasian anggaran
yang diperlukan oleh lembaga atau institusi yang bergerak di bidang
kemaritiman. Penataan anggaran untuk kepentingan kemaritiman ini harus
dijadikan sebagai salah satu prioritas dalam perencanaan anggaran
pembangunan nasional baik jangka pendek, jangka menengah maupun
jangka panjang.
e. Pemerintah daerah perlu untuk memunculkan ide-ide kreatif, inovatif,
dan progresif dalam meningkatkan kapasitas perekonomian dan
menguatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah maritim Indonesia. Ide-
ide dapat bersifat customize sesuai dengan kapasitas sumber daya yang
tersedia di masing-masing wilayah, serta kesiapan masyarakatnya untuk
mengeksekusi ide yang sudah dituangkan dalam bentuk kebijakan.
48

DAFTAR REFERENSI

Mangindaan Robert, 2011, Indonesia dan Keamanan Maritim :Apa pentingnya?,


Forum Kajian Pertahanan dan Maritim, Jakarta.
Luttz Feldr et al, 2013, Maritime Security-Perspective for A Comprehensive
Approach, ISPWS Strategy Series, Focus on Defense And International
Security April 2013, Jakarta.
“Kinerja Pengawasan KKP Sepanjang Triwulan 1/2019 Tunjukan Capaian Positif”
diunduh dari https://kkp.go.id/djpsdkp/artikel/10030-kinerja-pengawasan-kkp-
sepanjang-triwulan-1-2019-tunjukkan-capaian-positif, diakses pukul 19.30
WIB tanggal 21 Januari 2020.
“BNN Sebut 90 Persen Penyelundupan Narkoba Lewat Jalur Laut”, diakses di
https://www.liputan6.com/news/read/3662296/bnn-sebut-90-persen-
penyelundupan-narkoba-lewat-jalur-laut, pada 1 Maret 2020, pukul 22.35
WIB.
”Bea Cukai dan Bareskrim Ringkus Penyelundup 37 Kg Sabu-Sabu”, diakses di
https://mediaindonesia.com/read/detail/277100-bea-cukai-dan-bareskrim-ringkus-
penyelundup-37-kg-sabu-sabu, pada 1 Maret 2020, pukul 22.40 WIB.
Pengertian Penguatan. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/penguatan,
pada tanggal 14 Juli 2020 pukul 17.03 wib
Dewan Maritim Indonesia. 2003. Laporan Semiloka Kebijakan Nasional Bidang
Kemaritiman.
“Beda Kedaulatan dan Hak Berdaulat di Laut Menurut UNCLOS 1982”, diakses di
http://maritimnews.com/2016/04/beda-kedaulatan-dan-hak-berdaulat-di-laut-
menurut-unclos-1982/, pada 15 Juli 2020, pukul 04.33 WIB.
“Pengertian Kedaulatan Rakyat”, diakses di
http://eprints.umm.ac.id/40138/3/BAB%20II.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul
17.00 WIB.
Pengertian Komitmen. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/penguatan,
pada tanggal 14 Juli 2020 pukul 17.03 WIB.
Scharmer, C . Otto. (2008). Theory U: Leading From the Future as It Emerges.
The Social Technology of Presencing. San Fransisco: Barret-Koehler
Publishers Inc.
Mulya, Lillyana. (2013). Postur Maritim Indonesia: Pengukuran Melalui Teori
Mahan. Jurnal Lembaran Sejarah No. 2 (10), Oktober 2013.
Soebijanto, Slamet. Kekuatan Maritim Sebagai Salah Satu Pilihan Pembangunan
Ketahanan Nasional Bangsa. Jurnal Ketahanan Nasional No. IX(2), Agustus
2004. Diakses di https://jurnal.ugm.ac.id/jkn/article/view/22150/14784, pada 1
Maret 2020, pukul 15.59 WIB.
Anugerah, Prima Tegar. (2017). Sea Power, Security, and Good Order at Sea.
Diakses di
https://www.researchgate.net/publication/325069679_Sea_Power_Security_
Good_Order_at_Sea/link/5af49273a6fdcc0c030af447/download, pada 1
Maret 2020, pukul 16.11 WIB.
Anwar, Syaiful. (2016). Membangun Keamanan Maritim Indonesia Dalam Analisa
Kepentingan, Ancaman, dan Kekuatan Laut. Jurnal Pertahanan Desember
2016 No. 3(6).
Bahan Ajar Bidang Studi Kewaspadaan Nasional Tahun 2020 Lembaga
Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI). Halaman. 39.
49

“Pengertian Kedaulatan Rakyat”, diakses di


http://eprints.umm.ac.id/40138/3/BAB%20II.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul
17.00 WIB.
Usman, Wan Prof. (2003). Daya Tahan Bangsa. Jakarta: Program Studi
Pengkajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia.
Bahan Ajar Bidang Studi Kewaspadaan Nasional Tahun 2020 Lembaga
Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI). Halaman. 103.
UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Diakses
di http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/1983/uu5-1983.pdf, pada 1
Maret 2020, pukul 18.17 WIB.
UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Diakses di
https://pih.kemlu.go.id/files/UU_NO_17_TH_1985.pdf, pada 1 Maret 2020,
pukul 18.21 WIB.
UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Diakses di
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/44421/uu-no-3-tahun-2002, pada 1
Maret 2002, pukul 18.28 WIB.
UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Diakses di
https://pih.kemlu.go.id/files/uu_17_tahun_2008.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul
18.32 WIB.
UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. Diakses di
http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/undang-undang-nomor-45-
tahun-2009-tentang-perikanan.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul 18.41 WIB.
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil. Diakses di
https://www.brwa.or.id/assets/image/regulasi/1429617839.pdf, pada 1 Maret
2020, pukul 18.13 WIB.
UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Diakses di
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-32-2014-kelautan, pada 1 Maret
2020, pukul 18.07 WIB.
Perpres no. 16 tahun 2017 tentang kebijakan kelautan Indonesia. Diakses dari
http://jdih.dephub.go.id/assets/uudocs/perpres/2017/PERPRES_16_Tahun_2
017.pdf, pada 14 Juli 2020, pukul 18.07 WIB.
Susmoro, Harjo. 2019. The Spearhead of Sea Power. Yogyakarta: Pandiva Buku.
“BNN Sebut 90 Persen Penyelundupan Narkoba Lewat Jalur Laut”, diakses di
https://www.liputan6.com/news/read/3662296/bnn-sebut-90-persen-
penyelundupan-narkoba-lewat-jalur-laut, pada 1 Maret 2020, pukul 22.35
WIB.
”Bea Cukai dan Bareskrim Ringkus Penyelundup 37 Kg Sabu-Sabu”, diakses di
https://mediaindonesia.com/read/detail/277100-bea-cukai-dan-bareskrim-ringkus-
penyelundup-37-kg-sabu-sabu, pada 1 Maret 2020, pukul 22.40 WIB.
“Perairan Indonesia Paling Rawan Bajak Laut”, diakses di
http://samudranesia.id/perairan-indonesia-paling-rawan-bajak-laut/, pada 1
Maret 2020, pukul 22.45 WIB.
“Piracy And Armed Robbery Against Ships”, diakses di https://www.icc-
ccs.org/reports/2019Q1_IMB_PiracyReport.pdf, pada 1 Maret 2020, pukul
22.36 WIB.
Sopsal pada Rakorops TNI, 13-14 Februari 2020.
50

Nainggolan, Poltak Partogi Dkk. (2015). Agenda Poros Maritim Dunia dan
Perubahan Lingkungan Strategis. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI dan Azza
Grafika. Halaman. xvi.
Soebijanto, Slamet. Kekuatan Maritim Sebagai Salah Satu Pilihan Pembangunan
Ketahanan Nasional Bangsa. Jurnal Ketahanan Nasional No. IX(2), Agustus
2004. Diakses di https://jurnal.ugm.ac.id/jkn/article/view/22150/14784, pada 1
Maret 2020, pukul 15.59 WIB.
Mulya, Lillyana. (2013). Postur Maritim Indonesia: Pengukuran Melalui Teori
Mahan. Jurnal Lembaran Sejarah No. 2 (10), Oktober 2013.
“BNN Sebut 90 Persen Penyelundupan Narkoba Lewat Jalur Laut”, diakses di
https://www.liputan6.com/news/read/3662296/bnn-sebut-90-persen-
penyelundupan-narkoba-lewat-jalur-laut, pada 1 Maret 2020, pukul 22.35
WIB.
Tim Pokja Geostrategi dan Ketahanan Nasional. (2020). Bahan Ajar Bidang
Gestrategi dan Ketahanan Nasional. Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia (Lemhannas RI). Halaman. 68
Tim Pokja Empat Konsensus Dasar Bangsa Sub Bidang Pancasila. (2020). Bahan
Ajar Sub Bidang Pancasila. Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional Republik
Indonesia (Lemhannas RI). Halaman. 69
Tugas Pokok dan Fungsi BPIP. Diakses di https://bpip.go.id/, pada 3 April 2020,
pukul 20.10 WIB.
Perpres No. 10/2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Diakses di
https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/174381/Perpres%20Nomor%2010%20Tahu
n%202015.pdf, pada 3 April 2020, pukul 20.42 WIB.
Nainggolan, Poltak Partogi. (2015). Kebijakan Poros Maritim Dunia Joko Widodo
dan Implikasi Internasionalnya. Jurnal Politica Volume 6(2). Agustus 2015.
Halaman. 169.
Tim Pokja Geopolitik dan Wawasan Nusantara. (2020). Bahan Ajar Bidang Studi
Geopolitik dan Wawasan Nusantara. Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia (Lemhannas RI). Halaman. 161-171.
“UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara”, diakses di
http://buk.um.ac.id/wp-content/uploads/2016/05/Undang-Undang-Nomor-3-
Tahun-2002.pdf, pada 5 April 2020, pukul 14.18 WIB.
“Tugas TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Sesuai UU No.
34/2004 tentang TNI”, diakses di https://tni.mil.id/view-4980-tugas-tni-
angkatan-darat-angkatan-laut-dan-angkatan-udara-sesuai-undang-undang-
no-34-tahun-2004.html, pada 5 April 2019, pukul 15.20 WIB.
“TNI Prioritaskan Peningkatan Kekuatan Pertahanan Pada 2020”, diakses di
https://nasional.republika.co.id/berita/q0jxja430/tni-prioritaskan-peningkatan-
kekuatan-pertahanan-pada-2020, pada 5 April 2020, pukul 15.47 WIB.
Kemenhan RI, Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan. (7 Oktober 2019). Data
Pencapaian Minimum Essential Force (MEF) Aspek Fisik Bidang Alutsista.
Armada Kapal Patroli Laut, “Sea and Coast Guard” Indonesia, diakses di
https://jurnalmaritim.com/armada-sea-and-coast-guard-indonesia/, pada 8
April 2020, pukul 22.20 WIB.
“Anggaran Pertahanan Kecil, Indonesia Sulit Modernisasi Alutsista Nasional”,
diakses di
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/12/12200321/anggaran-
51

pertahanan-kecil-indonesia-sulit-modernisasi-alutista-nasional, pada 9 April


2020, pukul 21.10 WIB.
Mulya, Lillyana. (2013). Postur Maritim Indonesia: Pengukuran Melalui Teori
Mahan. Jurnal Lembaran Sejarah No. 2 (10), Oktober 2013.
“Kajian Pualu Terdepan/Terluar”, diakses di
https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/695/jbptunikompp-gdl-riskahelma-34707-
9-unikom_r-i.pdf, pada 11 Mei 2020, pukul 01.00 WIB.
Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1312/XII/2018 tanggal 10 Desember 2018
tentang Pembangunan Prioritas Pulau Terluar Tertentu dan Daerah Yang
Bersifat Strategis. Halaman 5.
“Permasalahan Perbatasan di Sekitar Pulau-Pulau Kecil Terluar”, diakses di
http://www.tabloiddiplomasi.org/permasalahan-perbatasan-di-sekitar-pulau-
pulau-kecil-terluar/, pada 11 Mei 2020, pukul 01.44 WIB.
Eka Martiana Wulansari, “Penegakan Hukum di Laut dengan Sistem Single
Agency Multy Tasks”, diakses di
https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/PENEGAKAN%20HUKUM%20
DI%20LAUT%20DENGAN%20SISTEM%20SINGLE%20AGENCY%20MULT
Y%20TASKS.pdf, pada 15 Mei 2020, pukul 20.30 WIB.
Deti Mega Purnamasari, “Alasan Pemerintah Siapkan Omnibus Law tentang
Keamanan Laut”, diakses di
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/23/22444151/alasan-pemerintah-
siapkan-omnibus-law-tentang-keamanan-laut, pada 15 Mei 2020, pukul
21.45 WIB.
Aries Wijaksena, “Pembentukan Omnibus Law Keamanan Laut Dipertanyakan”,
diakses di https://mediaindonesia.com/read/detail/294624-pembentukan-
omnibus-law-keamanan-laut-dipertanyakan, pada 15 Mei 2020, pukul 20.15
WIB.
“Penguatan Industri Perikanan, Solusi Untuk Natuna”, diakses di
https://www.mongabay.co.id/2020/01/09/penguatan-industri-perikanan-
solusi-untuk-natuna/, pada 15 Juli 2020, pukul 05.00 WIB.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai