Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH MAPERCA

POLITIK HUKUM KEAMANAN MARITIM NASIONAL

Disusun oleh :

DAVID MAHARYA ARDYANTARA

1
A. PENDAHULUAN
Perjalanan sejarah Armada Nusantara menunjukkan bahwa Indonesia
pada masa lalu menjadi pusat perekonomian dan jalur konektivitas maritim
dunia 1. Geoffrey Till dalam karyan monumentalnya Seapower: A Guide for
the Twenty-first Century. menuliskan konsep kajian keamanan maritim abad
ke 21 terutama berfokus pada strategi maritim. Till memberikan titik berat
kepada lima karakteristik dasar maritim yakni: laut sebagai sumber daya, laut
sebagai media transportasi dan pertukaran, laut sebagai media informasi , laut
sebagai media dominasi, dan laut sebagai wilayah kedaulatan. 2 Misalnya
masalah seputar kawasan Laut Natuna Utara, kawasan Ambalat, dan
Kawasan Celah Timor sebagai kasus yang menggabungkan kelima sudut
pandang secara strategis dan integratif. 3
Wilayah maritim Indonesia secara geostrategis terletak di
persimpangan jalur utama SLOC dan SLOT antara Samudra Pasifik dan
Samudra India serta Benua Asia dan Benua Australia, yang merupakan jalur
utama antarnegara dalam ekonomi dan perdagangan. 4 Ini berarti Indonesia
berfungsi sebagai the global supply chain system dengan posisi geostrategis
tersebut. 5 Sehingga Indonesia menjadi pusat dalam jalur perdagangan dan
pelayaran duinia yang membutuhkan lembaga negara yang khusus menangani
keamanan dan keselamatan dalam pelayaran serta dikuatkan oleh perundang-
0undangan.
Posisi strategis dan kekayaan laut Indonesia tersebut merupakan aset yang
berharga bagi bangsa Indonesia. Pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut
Indonesia, baik laut teritorial maupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dapat

1Harjo Susmoro, The Spearhead of Sea Power, Pandiva Buku, Yogyakarta 2019. Hal.19
2 Geoffrey Till, Seapower: A Guide for the Twenty-first Century, Routledge, 2013. Hal.113
3 John B.Hattendorf, Naval War College Review., 2014. Vol 67.No.4 Article 10.
3 John B.Hattendorf, Naval War College Review., 2014. Vol 67.No.4 Article 10.
4
BPPK Kemlu. 2015. "Diplomasi Poros Maritim: Ekonomi Kelautan dalam Perspektif Politik Luar
Negeri".
5
Bernard Kent Sondakh. Pengamanan Wilayah Laut Indonesia. Jurnal Hukum Internasional. Fakultas
Hukum Indonesia. Jakarta.2014 Hal 39-48

2
berkontribusi besar terhadap pengembangan kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Meskipun demikian, modalitas tersebut belum dimanfaatkan
secara optimal. Sektor perikanan baru menyumbang 2,46% dari PDB
Nasional. Selain itu, hanya sekitar 1 0% dari potensi min yak nasional yang
saat ini telah dieksplorasi dan dimanfaatkan. Padahal, perairan Indonesia
menyimpan 70% potensi minyak nasional. 6
Visi Poros Maritim Dunia dinyatakan melalui prioritas kebijakan
pembangunan jangka panjang nasional yang memuat program pembangunan
dan arah kebijakan strategis kelautan nasional. Strategi maritim Indonesia
dilaksanakan melalui tiga dimensi, yaitu: (i) dimensi kedaulatan
(sovereignty); (ii) dimensi keamanan (security); dan (iii) dimensi
7
kesejahteraan (prosperity). Dimensi ini merupakan hal yang saling
terintegrasi berbasis Wawasan Nusantara8 yang memandang Indonesia
sebagai stau kesatuan politik sosisla ekonomi budaya pertahanan dan
keamanan

Persepsi keamanan maritim meliputi ruang lingkup yang kompleks dan


saling terintegrasi.9 Terlepas adanya dua kepentingan laut yang saling
mengikat, yaitu kepentingan nasional dan kepentingan internasional.
Pertama, laut bebas dari ancaman kekerasan yaitu ancaman menggunakan
kekuatan bersenjata yang terorganisasi dan dinilai mempunyai kemampuan
untuk menggangu dan membahayakan kedaulatan negara, baik berupa
ancaman militer, pembajakan, perompakan, sabotase objek vital maupun aksi
teror. Kedua, laut bebas dari navigasi yang ditimbulkan oleh kondisi geografi

6
Marsetio, Mengembalikan Kejayaan Maritim, Jurnal Universitas Pertahanan, Jakarta
2018. hal. 30
7
Rujito Dibyo Asmoro, Peran Indonesia dalam Menjaga Stabilitas guna Mewujudkan
Indonesia sebagai Negara Poros Maritim Dunia. Jurnal Kajian Lemhannas RI.Jakarta Edisi
36, 2018. Hal 87-103
8

Hasyim Djalal. 2000. Masa Depan Indonesia Sebagai Negara Kesatuan Ditinjau Dari Segi
Hukum Laut dan Kelautan. Pustaka Sinar Harapan Jakarta hal. 90
9

Said,Budiman, 2016, Redefinisi Keamanan Maritim, Dokumen Keamanan Nasional,


Kepentingan Nasional dan Strategi Nasional, Lemhannas I hal 63

3
dan hidrogafi. Ketiga, laut bebas dari ancaman terdadap sumber daya laut
berupa pencemaran dan perusakan ekosistem. Keempat, laut bebas dari
ancaman pelanggaran hukum seperti illegal logging, illegal fishing, dan
lainnya. 10 Seiring dengan arah kebijakan pembangunan Indonesia saat ini,
dimana kelautan menjadi faktor yang sangat penting dalam mendukung
pembangunan khususnya dari sektor ekonomi, maka kini sudah saatnya bagi
bangsa Indonesia untuk mengubah paradigmanya dari “Land Based Socio-
Economic” menjadi “Marine Based Socio-Economic”. 11
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 mengenai Rencana Pembangunan
Nasional Jangka Panjang Tahun 2005-2025 , didalamnya mengatur bahwa
sumber daya maritim belum dieksplorasi secara optimal karena beberapa
hal, antara lain: (1) penetapan batas maritime yang belum ditetapkan; (2)
konflik internal dalam penggunaan wilayah maritim; (3) penegakan
keamanan dan keselamatan di kawasan pmaritim yang masih belum stabil (4)
egosentris daerah yang menyebabkan pemahaman yang berbeda dalam
pemanfaatan potensi maritim; (5) minimnya pengetahuan dan prasarana
untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya maritim (6)
Minimnya hasil penelitian dan publikasi serta sosialisasi teknologi tepat guna
dalam pemanfaatan potensi kemaritiman.
Fungsi pelaksanaan keamanan maritim harus difokuskan secara
sinergis dan integratiibawah satu koordinasi lembaga sipil yakni Bakamla
Pertimbangan yang diambil adalah mekanisme sinergis yang terintegrasi
antara pengawasan lalu lintas laut, manusia dan barang di sejumlah pintu
masuk pelabuhan laut.
Pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko
Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014, mendirikan
Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang sebelumnya bernama Badan

10
Shanti Dwi Kartika, Keamanan Maritim dari Aspek Regulasi dan Penegakan Hukum, Jurnal Negara
Hukum, Vol 5 No,2 2014 hal 103-115
11
Kementerian Kelautan dan Perikanan,2018, Laut Masa Depan Bangsa, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta

4
Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Bakorkamla, yang awalnya hanya
menjalankan fungsi sebagai pengawas ditataulang pada tanggal 8 Desember
2014 menjadi Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla) dengan wewenang
yang lebih luas sampai dengan kewenangan untuk menindak segala bentuk
pelanggaran di laut. Hal ini menimbulkan pro dan kontra, karena persoalan
utama yang terjadi adalah kurangnya koordinasi antar lembaga, bukan
membuat lembaga baru. Lembaga yang sudah ada memang dijalankan sesuai
tupoksi masing-masing dan ini mengindikasikan peran spesifik dari masing-
masing lembaga (spesialisasi). Peran spesialiasi inilah yang harus diperkuat
melalui fungsi koordinasi dari Bakamla. 12
Gubernur Lemhannas RI Agus Widjojo dalam salah satu fokus
perhatiannya perihal keamanan maritim menyatakan bahwa pertahanan
maritim adalah murni tanggung jawab TNI Angkatan Laut. Sedangkan
keamanan maritim yang merupakan fungsi penegakan hukum di wilayah
maritim nasional harus dilaksanakan secara sinergi bersama dengan lembaga
sipil terkait.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud
MD menyebutkan bahwa banyaknya produk hukum terkait keamanan laut 13
tersebut justru bisa menjadi faktor yang menghambat dalam program
keamanan laut, terutama dari sisi kerumitan peraturan yang justru bisa
memunculkan celah-celah bagi pelanggaran hokum dan kedaulatan wilayah
maritim Indonesia.
Alasan pemilihan judul tulisan ini untuk mendapatakan peran
kolaboratif Bakalmla selkaku koordinator kemananan maritim nasional yang
Tentunya konfigurasi ini harus berbasis pada Wawasan Nusantara. Sudah
terbukti timbulnya car memandang egosentris masing-masing lembaga terkait
kemananan maritim menimbulkan celah/legal gap menyebabkan
terganggunya stabilitas kedaulatan Negara Kesatuan republik Indonesia.

12
Christian Bueger.2015."What is Maritime Security?". Marine Policy, Vol. 53 2015 (159-164).
13
David Maharya Ardyantara, Reposisi Kewenangan Antar Lembaga Negara Dalam Pengaturan Terkait
Pertahanan Keamanan Kemaritiman Nasional , Jurnal USM Law Review Vol 3 No 2, Juli 2020

5
Keamanan kawasan maritim nasional mencakup seluruh wilayah baik di
permukaan maupun di kolom air serta dasar laut. Sehingga peran Bakamla
selaku koordinator lembaga sipil sangat berpengaruh terhadap kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangkaian sidang-sidang BPUPKI bulan Mei – Juni 1945, telah
dibahas masalah wilayah Negara Indonesia merdeka yang lebih populer
disebut tanah air atau juga “tumpah darah” Indonesia. Dalam sidang-sidang
ini yang patut dicatat adalah pendapat :
1.Dr. Supomo, SH dan Muh. Yamin, SH pada tanggal 31 Mei 1945 serta Ir.
Sukarno tanggal 1 Juni 1945. - Supomo mennyatakan : “Tentang syarat
mutlak lain-lainya, pertama tentang daerah, saya mufakat dengan pendapat
yang menga-takan : pada dasarnya Indonesia yang harus meliputi batas
Hindia Belanda…” -
2,Muh Yamin menghendaki : “….. bahwa Nusantara terang meliputi
Sumatera, Jawa-Madura, Sunda Kecil, Borneo, Selebes, Maluku-Ambon, dan
semenanjung Malaya, Timor dan Papua. ….Daerah kedaulatan negara
Republik Indonesia ialah daerah yang delapan yang menjadi wilayah pusaka
bangsa Indonesia”. -
3.Sukarno pribadi dalam pidatonya : “ ….. Orang dan tempat tidak dapat
dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah
kakinya. … Tempat itu yaitu tanah-air. Tanah-air itu adalah satu kesatuan.
Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat
peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana “kesatuan-ke-satuan” disitu.
Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat dunia, ia dapat menunjukkan bahwa
kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. ….”
Yang disepakati sebagai wilayah negara Indonesia adalah bekas
wilayah Hindia Belanda. Namun demikian dalam rancangan UUD maupun
dalam keputusan PPKI tentang UUD 1945, ketentuan tentang mana wilayah
negara Indonesia itu tidak dicantumkan. Hal ini dijelaskan oleh ketua PPKI—
Ir. Sukarno—bahwa : dalam UUD yang modern, daerah (= wilayah) tidak

6
perlu masuk dalam UUD (Setneg RI, tt : 347). Berdasarkan penjelasan dari
Ketua PPKI tersebut, jelaslah bahwa wilayah atau tanah air atau tumpah darah
Indonesia meliputi batas bekas Wilayah Hindia Belanda. Untuk menjamin
pelestarian kedaulatan, serta melindungi unsur wilayah dan kepentingan
nasional dibutuhkan ketegasan tentang batas wilayah. Ketegasan batas
wilayah tidak saja untuk mempertahankan wilayah tetapi juga untuk
menegaskan hak bangsa dan negara dalam pergaulan internasional. Wujud
geomorfologi Indonesia berdasarkan Pancasila—dalam arti persatuan dan
kesatuan—menuntut suatu konsep kewilayahan yang memandang
daratan/pulau, lautan serta udara angkasa diatasnya, sebagai satu kesatuan
wilayah. Dari dasar inilah laut bukan lagi sebagai alat pemisah wilayah.
Dalam menentukan batas wilayah negara, Pemerintah RI meng-acu pada
Aturan peralihan UUD 45, pasal II—“Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undangundang dasar ini”—yang memberlakukan undang-undang
sebelumnya. Pemerintah Hindia Belanda telah menge-luarkan peraturan
perundang-undangan wilayah dan termuat dalam Ordomantie tahun 1939
yang diundangkan pada 26 Agustus 1939 yang dimuat dalam Staatblad No.
422 tahun 1939, tentang “Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonantie”.
Berdasarkan ketentuan ordonansi ini, penentuan lebar laut wilayah

sepanjang 3 mil laut dengan cara penarikan garis pangkal berdasar garis air

pasang surut, yang dikenal pula mengikuti contour pulau/darat. Ketentuan

demikian itu mempunyai konsekwensi bahwa secara hipotetis setiap pulau

yang merupakan bagian wilayah negara Republik Indonesia mempunyai laut

teritorial sendiri-sendiri. Sedangkan disisi luar atau sisi laut (outer limits) dari

tiap-tiap laut teritorial dijumpai laut bebas. Jarak antara satu pulau dengan

pulau lain yang menjadi bagian wilayah negara Republik Indonesia “dipi-

7
sahkan” oleh adanya kantong-kantong laut yang berstatus sebagai laut bebas

yang berada diluar yuridiksi nasional kita. Dengan demikian dalam kantong-

kantong laut nasional tidak berlaku hukum nasional. Berdasar itulah pada

tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan pengumuman Pemerintah Republik

Indonesia tentang wilayah perairan Negara Republik Indonesia yang dikenal

sebagai “Deklarasi Juanda”—Ir. Juanda pada periode itu sebagai Perdana

Menteri Republik Indo-nesia—yang pada hakekatnya melakukan perubahan

terhadap ketentuan ordonansi pada lembaran negara (staatblad) no. 422 tahun

1939 sebagai berikut :

1. Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi didasarkan pada garis pasang

surut (low water line), tetapi didasarkan pada sistem pe-narikan garis lurus

(straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik

ujung yang terluar dari pada pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk

kedalam wilayah negara Republik Indonesia (= point to point theory).

2. Penentuan lebar laut wilayah dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut. Deklarasi

Juanda pada hakikatnya adalah menerapkan asas archipelago atau asas

nusantara. Didalam deklarasi ini terkandung kepentingan dan tujuan bangsa

Indonesia ialah keutuhan wilayah negara di lautan. Deklarasi ini selanjutnya

diakomodasikan dalam rangkaian peraturan perundang-undangan, sebagai

berikut : 1. Undang-undang no. 4 PRP tahun 1960 tentang perairan Indonesia.

Dalam UU ini diberikan penjelasan dan kejelasan tentang : a. alasan atau

argumentasi perlunya meninjau kembali peraturan tentang penentuan batas

8
laut wilayah. b. Makna dan pengertian : perairan Indonesia, laut wilayah

Indonesia, perairan pedalaman Indonesia.

2. Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1960 tentang lalu-lintas laut damai

perairan Indonesia. Peraturan ini menentukan aturan-aturan, antara lain

tentang : lalu lintas laut damai kendaraan air asing di perairan pedalaman,

pengertian dan makna lalu lintas damai kendaraan asing, bentuk dan luas

kedaulatan wilayah Nusantara sejak “Deklarasi Juanda 1957”

Hakikat dari wawasan nusantara adalah kesatuan bangsa dan keutuhan

wilayah Indonesia. Cara pandang bangsa Indonesia tersebut mencakup :

1. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik

2. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi

3. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya

4. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Pertahanan

Keamanan.

Masing-masing cakupan arti dari Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai

Satu Kesatuan Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan Keamanan

(POLEKSOSBUDHANKAM) tersebut tercantum dalam GBHN. GBHN

terakhir yang memuat rumusan mengenai Wawasan Nusantara adalah GBHN

1998 yaitu dalam Ketetapan MPR No. II \ MPR \ 1998. Pada GBHN 1999

sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR No. IV \ MPR \ 1999 tidak lagi

ditemukan rumusan mengenai Wawasan Nusantara.

9
Pada masa sekarang ini, dengan tidak adanya lagi GBHN, rumusan

Wawasan Nusantara menjadi tidak ada. Meski demikian sebagai konsepsi

ketatanegaraan Republik Indonesia, wilayah Indonesia yang berciri nusantara

kiranya tetap dipertahankan terrutama dalam menerapkana sistem keamanan

maritim Nusantara. Hal ini tertuang dalam Pasal 25A UUD 1945 Amandemen

IV yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah

Negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

dan hak-haknya ditetapkan 25 dangan Undang-Undang”. Undang-Undang

yang mengatur hal ini adalah UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996 tentang

Perairan Indonesia.

Alasan pemilihan judul tulisan ini untuk memahami konfigurasi


kemananan maritim nasional yang dikoordinatori oleh Bakamla deang
berbasiskan Wawasan Nusantara. Tentunya konfigurasi keamanan iniharus
saling mendukung atau saing terintegrasi karena cara pandang wawasan
nusantara adalah memandang wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan.
SEhingga paradigma yang dipakai dalam penulisan ini adalah participatory
diman setiap lembaga negar harus saling bekerjasama menyatukan visi dan
misinya untuk mengajaga keamananan maritim Indonesia Sudah terbukti
timbulnya egosentris kelembagaan menimbulakn celah yang merupakan
pemicu kerawanana dalam pelaksanaan keamanan maritim nasional sehingga
mengganggu stabilitas pelaksanaan ekonomi nasional, yang apabila berlarut-
larut sangat berbahaya bagi kedaulatan Negara Kesatuan republik Indonesia.
Keamanan kawasan maritim nasional berbasis wawasan nusaantara
memandang seluruh wilayah msritim baik di permukaan maupun di kolom air
serta dasar laut sebsgsi satu kesatuan. Sehingga penunjukan Bakamla selaku
koordinator lembaga sipil sangat berpengaruh terhadap kedaulatan Negara

10
Kesatuan Republik Indonesia untuk menga harmonisme ritme instrumentasi
kemanan maritim tetap terjaga.
Kebaharuan penulisan ini adalah membahas politik hukum keamanan
maritim nasional yang laksanakan oleh Bakamla selaku koordinator
keamanan maritim nasional dengan Sistem Keamanan Maritim Nasional
berbasiskan Wawasan Nusantara
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut , maka perumusan masalah dalam
artikel ini adalah
1. Mengapa Badan Keamanan Laut (Bakamla) menjadi koordinator lembaga
sipil negara dalam menjaga keamanan lmaritim nasional?
2. Bagaimana kendala Bakamla dalam menjalankan peran sebagai
koordinator lembaga sipil negara dalam menjaga keamanan maritim
nasional?
3, Bagaimana konfigurasi sistem keamanan maritim nasional berbasis
Wawasan Nusantara ?
C. METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian

1. Metode pendekatan

Soerjono Soekanto berpendapat : “Metode merupakan proses, prinsipprinsip

dan tata cara memecahkan suatu masalah”. Tidak hanya itu, beliau juga

menambahkan bahwa metode merupakan cara kerja atau tata cara untuk

memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahauan yang

bersangkutan.14

14
Soekanto,Soerjono Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,
Jakarta,2006 hlm 35

11
Berdsarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka metode pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini Pendekatan yuridis normatif,

Pendekatan yang akan dikaji anatar lain pendekatan peraturan perundanga-

undangann (statute approach) b pendekatan kasus (case approach) c.

Pendekatan historis( hixtorical approach) d pendekatan komparatif(

comparative approach) e. Pendekatan konseptual (conseptual approach). 15

Kajian terkait paradigma participatory yang dipakai sebagai worldie untuk

melihat peran kolaboratif Bakamla sebagai koordinator kemananan maritim

bersama lembaga negara terkait lainnya.

Metode pendekatan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah yuridis

normatif dalam pengertian bahwa penelitian ini berdasarkan atas analisis

terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan serta

Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 Tentang Bakamla sebagai

turunannya. Kemudian dideskripsikan dalam uraian yang bersifat deskriptif-

analitis. Deskriptif-analitis dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/ melukiskan keadaan

subjek/ objek penelitian, menemukan fakta-fakta secara menyeluruh, dan

mengkaji secara sistematis pengaturan nasional . Dengan spesifikasi

deskriptif-analitis ini, penelitian ini bermaksud menggambarkan/ melukiskan

Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 Tentang Badan Keamanan Laut

yang menjadi dasar hukum mengenai Bakamla yang bertugas sebagai penjaga

15
Peter Mahmud Marzuki,2014, penelitian Hukum, prenadamedia Group, Jakarta
hlm 133

12
keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia serta

menggambarkan/ melukiskan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008

Tentang Pelayaran yang menjadi dasar hukum mengenai Kesatuan Penjaga

Laut dan Pantai/ KPLP yang juga memiliki tugas yang sama dan ada terlebih

dahulu. Spesifikasi deskriptif-analitis ini didukung dengan adanya data

sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan

kepustakaan. Data sekunder tersebut terdiri dari Bahan hukum primer,

sekunder, dan tersier. Data sekunder tersebut secara rinci dijelaskan dibawah

ini, diantaranya adalah:

A. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri

dari : 1. Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 Tentang Badan

Keamanan Laut; 2. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 Tentang

Badan koordinasi Keamanan Laut; 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1996 Tentang Perairan Indonesia; 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2014 Tentang Kelautan; 5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008

Tentang Pelayaran;

B. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan yang terdiri dari kepustakaan

dan literatur-literatur yang berhubungan dengan kewenangan Bakamla dalam

menjalankan pelaksanaan pengamanan di wilayah perairan Indonesia.

13
B. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier meliputi bahanbahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder yang berhubungan dengan materi penulisan hukum. Bahan

hukum tersier dapat berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

kamus hukum, ensiklopedia, maupun dari link internet yang terpercaya.

Dari metode pendekatan, spesifikasi penelitian, serta metode

pengumpulan data dapat disimpulkan bahwa dalam jurnal ini

menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian kualitatif (qualitative

research) adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-

penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-

prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya

2. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dengan mempergunakan metoda kualitatif

dilakukan dengan studi kepustakaan guna memperoleh bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan,

buku-buku, artikel dan jurnal-jurnal yang berhubungan dengan objek

penelitian. Selain studi kepustakaan, pengumpulan data ini dilengkapi dengan

metode wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab dengan nara sumber yang

berkompeten perihal obyek permasalahan dalam penelitian ini guna

memperoleh dan mendukung data sekunder. Metode wawancara yang

digunakan adalah menggunakan metode wawancara terpimpin, yaitu

14
digunakan pedoman daftar pertanyaan yang telah disusun berkaitan dengan

masalah yang diteliti.

Wawancara dalam penelitian kualitatif adalah merupakan pembuktian

terhadap informasi yang telah diperoleh dari informan. 16 Teknik yang

dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam, yang

merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian.

Wawancara dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka dengan

mengajukan pertanyaan yang telah disiapkan, dan memberikan pertanyaan

lagi, ketika informan memberikan jawaban. Tanya semua kepada informan,

untuk memenuhi kebutuhan data yang diperlukan bahan yang memberikan

informasi tyang dibutuhkan.

2.1.Paradigma

Dalam maknanya yang luas partadigma adalah suatu perkakas mental (mental

tool) bwrupa kerangka pemikiran (framework of thought)diaman kajian

ontologis/filsafati, epistemologis /teorits, metodologis/ilmiah yang

diterapkan secara stratal, koneksional, dan integral sebagai sebauh

worldview17 Ontologi menggambarkan filsafat hukum ataui hakikat hukum ,

kemudian epistemologi menggambarkan18 Teori hukum yang dipergunakan

untuk mengupas peran Bakamla sebagai koordinator kemanan maritim dan

16
Awasilah,Chaedar, 2011.Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar merancang dan
Melakukan Penelitian Kualitatif.. Jakarta, Pustaka Jaya. hal 53
17
Erlyn Indarti, Komparasi Berbagai Aliran Hukum dan Ekonomi, Suatu Kajian
Filsafat Hukum, Jurnal Masalah-Masalah Hukum Jilid 37 No,2,Juni 2008, hlm.93
18
Erlyn Indarti, , Bridging The Gaps : A Paradigmatic being into Philosophy of Law,
October 2016, Diponegoro Law Review, Volume 01 Number 01. Hlm. 6

15
metodologi adalah Ilmu hukum yang mmembahas masalah kemanannan

maritim. Paradigma merepresentasikan suatu sistem kerangka pemikiran

(frameworks of thought) atau set beliefdasar tertentu yang berkenaan dengan

prinsip-prinsip utama atau pertama yang mengikutkan penganut atau

penggunanya pada world view tdalam rangka memahami keamanan maritim

(realitas), relasi antar unsur-unsur dlam keamanan maritim, berikut segala

permasalahan dan pemecahannya.

Menurut Guba & Lincoln (1994)19, paradigma mempunyai tiga pengertian

mendasar yaitu:

1.Paradigma tersusun atau terbangun dari jaringan premis yaitu pernyataan

dari mana suatu kesimpulan dapat diambil secara logis, ontologis,

epistimologis dan metodologis.

2. Suatu kumpulan/set/sistem ‘beliefe’ dasar yang berkenaan dengan prinsip-

prinsip utama dan atau pertama yang memandu Tindakan (action) para

penganutnya.

3.Me-represesntasi-kan suatu world view yang men-definisi-kan - bagi

penganutnya -sifat dan ciri ‘dunia’ dan rentang hubungan yang mungkin

antara mereka dengan dunia dimaksud berikut dengan bagian-

bagiannyBerdasarkan pada konteks dan pengertian paradigma tersebut diatas

Guba dan Lincoln memberikan 5 (lima) paradigma utama yakni positivism,

19
Yvonna S LIncoln dan Egon G Guba, 1994, Paradigm as Worldview California
Sage. hlm 87

16
postpositivism, critical theory dan constructivism serta

participatory.20Kelimanya dibedakan satu samna lain melalui respon

terhadap 3 (tiga) pertanyaan mendasar yang meliputi pertanyaan ontologis

epistemologis dan metodologis.

Dengan demikian untuk menelaah suatu artikel dengan memakai paradigma

,maka kita harus menghubungkan dengan set basic beliefe atas paradigma

yang dipakai; Dimana sebagai salah satu paradigma, participatory juga

mempunyai set basic believe yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1.Ontologi, (bagaimanakah bentuk dan sifat dari realitas yang ada dan,

karenanya, apakah yang dapat diketahui dari hal ini?); Dalam hal ini adalah

Realita partisipatif – realita subjektif – objektif, diciptakan Bersama oleh

pikiran dan alam pikiran / kosmos tertentu, sehingga dalam hal ini antara

subyektifitas dan obyektifitas mempunyai posisi yang seimbang;

2.Epistemologi (bagaimanakah sifat hubungan antara peneliti dan yang

diteliti dan apa yang dapat diketahui tentang hal ini?), yaitu subyektifitas

kritis dalam transaksi partisipatoris dengan kosmos; epistimologi

eksperiensial, proporsional, dan pengetahuan praktis yang diperluas; temuan-

temuan yang dihasilkan bersama;

3.Metodologi (bagaimanakah peneliti dapat menemukan segala hal yang

diyakini dapat diketahui seperti telah disebutkan diatas?); yaitu dengan

partisipasi politis dalam penelitian aksi kolaboratif; keutamaan hal-hal yang

20
Erlyn Indarti, 2010, Opcit hlm 18

17
praktis; penggunaan Bahasa yang didasarkan pada konteks pengalaman

bersama (membumi).

Sedangkan mengenai issue praktis yang terkait dengan paradigma

participatory adalah sebagai berikut:

Sifat ilmu pengetahuan adalah epistimologi yang diperluas; keutamaan

pengetahuan praktis; subyektifitas kritis; pengetahuan nyata;

Akumulasi ilmu pengetahuan adalah di dalam komunitas penelitian yang

melebur dengan komunitas praktik; Kriteria kebaikan atau kualitas;

Nilai; Etika; adalah kesesuaian antara pengetahuan ekseperiensial,

presentasional, proporsisional, dan praktis; mengarah pada aksi untuk

mengubah dunia demi mengabdi perkembangan manusia suara primer

muncul melalui aksi refleksif-diri yang sadar, suara-suara sekunder dalam

menjelaskan teori, narasi, Gerakan, lagu, tarian, dan bentuk-bentuk

presentasional yang lain;

Ontologi dalam paradigma participatory adalah realisme partisipatif dimana

hukum disini dipandnag sebagai realitas subjektif-objektif yang diupayakan

secara bersama (partisipatif) oleh pikiran dan kosmos yang ada.

Epistemologi dalam paradigma participatory adalah subyektivitas kritis

dalam transaksi partisipatorisdengan kosmos dimana penelaah dan hukum

terkait dalam sebuah epistemologi pengetahuan ekpriensial , proposisional,

dan praktis yang diperluas.

18
Sedangkan metodologi dalam paradigma participatory adalah tisipasi politis

dimana pengutamaan yang praktis, penggunaan bahasa yang membumi dan

temuan diupayakan bersama

Metode atau praktikdalam paradigma participatory adalah aksi kolaboratif

dalam hal ini Bakamla bersama lembaga-lembaga negara terkait keamanan

maritim dalam konteks ekperiensial yang dibagi bersama.

D. PEMBAHASAN

1. Bakamla sebagai Koordinator Lembaga Sipil Negara dalam Menjaga


Keamanan Maritim Nasional
Lingkungan strategis maritim Indonesia dewasa ini telah terlihat
adanya pemisahan antara penegakan kedaulatan dan penegakan hukum.
Konteks penegakan kedaulatan dilaksanakan oleh militer yakni TNI AL
sedangkan untuk penegakan hukum dilaksanakan oleh Lembaga sipil yakni
Bakamla. Hal tersebut adalah penerjemahan dari Undang-undang Nomor 4
tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 204 tentang
Kelautan. Dalam pasal 14 UU Kelautan disebutkan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan Pengelolaan
Kelautan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan
dan pengusahaan Sumber Daya Kelautan dengan menggunakan prinsip
ekonomi biru.

19
Terdapat lima lembaga negara dalam tabel 1 yang benar-benar

langsung berkaitan dengan pertahanan dan keamanan maritim di perairan

Indonesia yang terdiri dari : 21

a. TNI AL (Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang TNI)

b. Badan Keamanan Laut (Undang-undang Nomor 32 tahun 2014 tentang

Kelautan)

c. Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Kepolisian RI)

d. KPLP (Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran)

e. Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan (Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan

No Lembaga Perairan Perairan Laut ZEE Zona Landas

Pedalaman Kepulaua Teritori I Tambaha Kontine

n al n n

1 TNI AL ˅ ˅ ˅ ˅

2 Bakamla ˅ ˅ ˅

3 KPLP ˅ ˅ ˅

4 PSDKP ˅ ˅ ˅ ˅

5 Bea ˅ ˅ ˅

Cukai

Sumber : Data diolah

Tabel 1. Wilayah Kewenangan Operasi Lembaga Kemaritiman

21
Cribb,R. Indonesia as an Archipekago : Managing Islands, Managing the Seas. Institute of Southeast
Asian Studioes, Singapore.2009. Hal. 127

20
Ambiguitas dan kerancuan dalam penerapan pertahanan dan

ketahanan maritim, dikotomi sipil-militer dan ego sektoral kelembagaan

melahirkan kebijakan yang tumpang tindih terhadap pengamanan wilayah

maritim nasional. Wilayah maritim Indonesia menyimpan potensi yang

sangat besar sehingga melibatkan banyak lembaga negara yang diberikan

wewenang terutama trerkait pertahanan keamanan maritim dimana

pengaturannya tersebar dalam beberapa peraturan perundangundangan.

Undang-undang yang diberlakukan dalam yurisdiksi maritim nasional

tersebut, antara lain :

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia

b.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia(UU ZEE)

c.Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United

NationsConvention of the Law of the Sea 1982

d. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (UU

Perairan)

e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia(UU Polri)

f. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (UU

Pertahanan)

g.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana

telahdiubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

21
Perubahan atasUndang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

(UU Perikanan)

h. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004tentang Tentara Nasional

Indonesia(UUTNI);

i. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995tentang Kepabeanan sebagaimana

telahdiubah dengan Undang-Undang Nomor17 Tahun 2006 tentang

Perubahan atasUndang-Undang Nomor 10 Tahun 1995tentang

Kepabeanan (UU Pabean)

j. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995tentang Cukai sebagaimana telah

diubahdengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun2007 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentangCukai (UU Cukai); n.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007tentang Rencana Pembangunan

JangkaPanjang Nasional Tahun 2005-2025(RPJPN 2005-2025)

k. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008tentang Pelayaran (UU Pelayaran);

l. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011tentang Keimigrasian (UU Migrasi)

m. Undang-Undang Noor 32 Tahun 2014 tengang Kelautan (UU Kelautan)

Pada awalnya dibentuk adalah Bakorkamla (Badan Koordinasi

Keamanan Laut) yang telah berubah menjadi Bakamla setelah disyahkannya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan. Perubahan

tersebut bukan hanya merupakan perubahan nama saja, namun juga disertai

dengan perubahan dasar hukum yang pastinya akan disertai dengan

perubahan dalam menjalankan pengaturan dari Bakorkamla (sekarang

menjadi Bakamla). Perubahan tersebut dilakukan karena Bakorkamla dinilai

22
kurang efektif dan sangat lemah dalam menjalankan penegakan hukum di laut

terutama terhadap keamanan maritim nasional. Sebelum memiliki Peraturan

Presiden sebagai dasar hukum, Bakorkamla pada awalnya telah dibentuk

tahun 1972 melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertahanan dan

Keamanan (Menhankam)/ Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab), Menteri

Perhubungan (Menhub), Menteri Keuangan (Menkeu), Menteri Kehakiman

(Menkeh), Jaksa Agung (Jakgung), Nomor : KEP/B/45/XII/1972;

SK/901/M/1972; KEP.779/MK/III/12/1972; J.S.8/72/1; KEP-

085/J.A/12/1972 Tentang Pembentukan Badan koordinasi Keamanan di Laut

dan Komando Pelaksana Operasi Bersama Keamanan di Laut. Karena

pembentukan Bakorkamla hanya sekedar dengan SKB, maka pada tahun

1996 bakorkamla diperkuat dengan suatu Undang-Undang. Undang-Undang

tersebut adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan

Indonesia. Perubahan yang terjadi dari Bakorkamla menjadi Bakamla bukan

hanya mengenai nama serta dasar hukunya saja, perubahan tersebut

diantaranya adalah :

1. Kedudukan

Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 Tentang

Bakorkamla mengatur mengenai kedudukan dari Bakorkamla yang

awalnya merupakan lembaga nonstruktutal (lembaga independen)

berubah menjadi lembaga nonkementerian yang tertuang dalam Pasal

1 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 Tentang Bakamla. 2.

Tugas

23
Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 Tentang

Bakorkamla mengatur mengenai tugas dari Bakorkamla yang awalnya

hanya untuk mengkoordinasi penyusunan kebijakan dan kegiatan

operasi keamanan laut. Dalam Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun

2014 Tentang Bakamla menunjukkan telah terjadinya perubahan pada

tugas dari instansi ini, tugas dari Bakamla yaitu melakukan patroli

keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah

yurisdiksi Indonesia.

3. Fungsi Setelah disyahkannya UndangUndang Nomor 32 Tahun

2014 Tentang Kelautan, fungsi menjadi semakin luas. Fungsi dari

Bakorkamla tertuang dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 81

Taun 2005 Tentang Bakorkamla. Perluasan fungsi dari Bakorkamla

menjadi Bakamla yang paling terlihat adalah penyelenggaraan Sistem

Peringatan Dini (Early Warning System) yang sanagt dibutuhkan

Negara Indonesia yang secara geografis dan klimatologis merupakan

wilayah yang rawan akan bencana (alam). Fungsi dari Bakamla

tertuang dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014

Tentang Bakamla.

4. Kewenangan

Dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 Tentang

Bakorkamla sama sekali tidak menyebutkan kewenangan dari

Bakorkamla. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun

2014 Tentang Kelautan dan Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun

24
2014 Tentang Bakamla menyebutkan secara jelas mengenai

kewenangan dari Bakamla.

Kewenangan dari Bakamla tertuang dalam Pasal 4 Peraturan Presiden

E. Susunan Organisasi Dalam Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 81

Tahun 2005 Tentang Bakorkamla yang menyebutkan mengenai

susunan organisasi dari Bakorkamla yang terdiri atas :

Menkopolhukam sebagai ketua, serta ke 12 instansi pemangku

kepentingan (stakeholders) sebagai anggota. Ke 12 pemangku

kepentingan terdiri dari Menteri Luar Negeri (Menlu), Menteri Dalam

Negeri (Mendagri), (Menteri Pertahanan (Menhan), (Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Menteri Keuangan

(Menkeu), Menteri Perhubungan (Menhub), Kementerian Kelautan

dan Perikanan (KKP), Kejaksaan Agung Republik Indonesia

(Kejagung RI), Panglima Tentara Nasional Indonesia (Panglima

TNI), Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri),

Kepala Badan Intelejen Negara (Kepala BIN), dan Kepala Staf

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (KASAL). Susunan

organisasi yang seper dijelaskan sebelumnya dikenal dengan Multy

Agency Single Task. Multy Agency Single Task memiliki banyak

kelemahan yaitu dapat membuat pengeluaran yang tidak sedikit pada

anggaran Negara serta akan menyebabkan tumpang tindih

kewenangan (overlapping) apabila ke 12 instansi pemangku

kepentingan masih mementingkan ego sektoral atas Undnag-

25
Undangnya masing-masing. Setelah disyahkannya Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, susunan organisasi tersebut

pun berubah. Susunan organisasi dari Bakamla yang tertuang dalam

Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun2014 Tentang Bakamla

terdiri atas Kepala, Sekretariat Utama, Deputi Bidang Kebijakan dan

Strategi, Deputi Bidang Operasi dan Latihan, serta Deputi Bidang

Informasi, Hukum, dan Kerjasama. Susunan organisasi dari Bakamla

sudah tidak menerapkan lagi Multy Agency Single Task, melainkan

sudah menerapkan Single Agency Multy Taks. Hal ini dikarenakan

Bakamla sebagai pemegang komando dari ke 12 instansi pemangku

kepentingan, tidak hanya itu Bakamla pun ikut terjun selain

melakukan komando untuk mencapai satu tujuan yang sama.

Perubahan dari Bakorkamla menjadi Bakamla merupakan bentuk

keseriusan Indonesia dalam mewujudkan poros maritim dunia serta

keselamatan dan keamanan laut yang terjamin. Bakamla Terlihat

dalam perubahan tersebut bahwa Bakamla merupakan pemegang

komando, sehingga dapat menggarahkan ke 12 instansi pemangku

kepentingan untuk mencapai tujuan bersama. Tambah pula, Bakamla

juga sebagai pengatur anggaran dari ke 12 instansi pemangku

kepentingan, sehingga dapat dipastikan dengan adanya Bakamla

maka dapat menghemat anggaran Negara sampai 50%. Tidak hanya

itu, Bakamla juga sudah menerapkan Sistem Peringatan Dini (SPD)

yang sangat dibutuhkan oleh Negara Indonesia yang secara geografis

26
dan klimatologis berpotensi menimbulkan bencana (alam). Penerapan

SPD inilah yang meyebabkan Bakamla dinobatkan sebagai Coast

Guard.Pemerintah lewat UU No 32 tahun 2014 bermaksud

menjadikan Bakamla sebagai single agency multy tasking (SAMT).

Regulasi dalam pertahanan dan keamanan maritim Nasional terdapat

24 aturan perundangan yang tidak bisa dilaksanakan dibawah satu

jalur komando karena kedudukannya setingkat. Pemerintah

mengamanatkan Bakamla menjadi single task multi agency, maka

selayaknya diamanatkan dalam suatu perundang-undangan tersendiri.

Bakamla diposisikan sebagai sebagai satu-satunya koordinator

kelembagaan sipil menjalankan fungsi kolaboratif bersama lembaga-

lembaga sipil negara dalam keamanan maritim dan bersinergi peran

dengan TNI AL.

2. KendalaBakamla Dalam menjalankan peran Sebagai Koordinator


Lembaga Sipil Negara Dalam Menjaga Keamanan Maritim Nasional
Bakamla secara perbandingan internasional dengan negara-negara
dikawasan yang telah memiliki Coast Guard antara lain: US Coast Guard,
Malaysia Coast Guard (APMM), Singapore Police Coast Guard, Philiphine
Coast Guard dan Vietnam Coast Guard. Coast Guard masing-masing negara
ini melaksanakan tugas penjagaan kemaritiman mulai dari wilayah
teritorialnya sampai dengan landas kontinen dan menjalankan fungsi
pengamanan maritim nasional. 22

22
Yukiko, M. 2009. Global’s maritime coast guard: the state and private involvement.
London. Routledge Curzon..

27
Namun apabila merujuk kata Costguard maka timbullah kendala
dimanaMenyebutkan kata Coast Guard, Inonesia sendiri telah memiliki
KPLP jauh sebelum adanya Bakamla yang juga telah dinobatkan sebagai
Coast Guard. Perlu diketahui sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, KPLP sebenarnya sudah ada sejak tahun
1942 dan secara Internasional sudah dikenal sebagai satu-satunya lembaga di
Indonesia yang bertugas sebagai penegak hukum dalam hal penjagaan
keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia, khususnya di
bidang pelayaran. KPLP secara Internasional sudah dikenal dengan Indonesia
Sea and Coast Guard (ISCG). Dengan adanya dua instansi yang berperan
sebagai Coast Guard, tidak menutup kemungkinan akan adanya benturan/
gesekan kepentingan dari ke dua instansi tersebut. Terlepas dari kemungkinan
akan adanya benturan/ gesekan tersebut, alangkah baiknya kita mengetahui
mengenai sedikit penguraian dari Bakamla serta KPLP. Penguraian tersebut
diantaranya adalah :
A. Kedudukan

1. Bakamla Dalam Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014

Tentang Bakamla menyebutkan bahwa Bakamla merupakan Lembaga Non

Kementerian/ LPNK .

2. KPLP Dalam Pasal 276 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang

Pelayaran menyebutkan bahwa KPLP merupakan lembaga non structural

(lembaga independen).

B. Tugas

1. Bakamla

28
Dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 Tentang Bakamla

menyebutkan bahwa Bakamla mempunyai tugas melakukan patroli

keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah

yurisdiksi Indonesia

2. KPLP

Dalam Pasal 276 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang

Pelayaran menyebutkan bahwa KPLP memiliki enam tugas yang lebih luas

dibandingkan Bakamla. Keunggulan yang terlihat pada KPLP bahwa tugas

KPLP mencangkup penanganan pencemaran laut, eksplorasi serta eksploitasi

bawah laut, melakukan sarana bantuan navigasi-pelayaran, hingga

mendukung kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.

C. Fungsi

1. Bakamla

Dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 Tentang Bakamla

menyebutkan bahwa Bakamla memiliki tujuh fungsi yang lebih luas

dibandingkan KPLP, terlebih Bakamla lebih diuntungkan karena sudah

menyelenggarakan Sistem Peringatan Dini (SPD). SPD inilah yang

menyebabkan Bakamla dinobatkan sebagai Coast Guard oleh Indonesia.

2. KPLP

29
Dalam Padal 276 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang

Pelayaran menyebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya

keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan

penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai.

D. Kewenangan

1. Bakamla Dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014

Tentang Bakamla menyebutkan bahwa Bakamla memiliki tiga kewenangan

yang dijalankan secara terintegrasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando

dan kendali. Hal inilah yang dapat menguntungkan dalam mencapai satu

tujuan serta menghemat anggaran Negara hingga 50%. Karena sebagai

pemegang komando, Bakamla juga mengatur anggaran dari instansi

pemangku kepentingan.

2. KPLP

Dalam Pasal 277 UndangUndang nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

menyebutkan bahwa KPLP memiliki empat kewenangan yang dijalankan

dengan disertai dengan kewenangan melakukan penyidikan. Hal inilah yang

dapat memaksimalkan dalam menertibkan keamanan dan keselamatan dilaut.

Karena sebagai lembaga penyidik, KPLP lebih diuntungkan dalam hal

menindak pelaku tindak pidana tanpa takut terjadinya pengguguran oleh

hakim apabila dilakukannya praperadilan. Setelah mengetahui sedikit

mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan dari Bakamla serta

30
KPLP, maka dapat dilihat mengenai kelebihan serta kelemahan dari kedua

instansi tersebut, diantaranya adalah :

A. Kelemahan

1. Bakamla

a. Tidak disebutkan secara jelas mengenai kategori dari keselamatan dan

keamanan.

b. Bakamla tidak memiliki peran sebagai penyidik. Sehingga apabila

tersangka melakukan praperadilan, akan sangat mungkin kasus yang

ditangani Bakamla akan digugurkan hakim.

2. KPLP

a. Cakupan kewenangannya tidak disebutkan secara jelas

b. Belum menerapkan sistem peringatan dini/ sistem deteksi dini (Early

Warning System) dalam menyelenggarakan keamanan dan keselamatan

pelayaran

B. Kelebihan

1. Bakamla

a. Kewenangannya mencangkup wilayah perairan Indonesia dan wilayah

yurisdiksi Indonesia

31
b. Sudah menerapkan sistem peringatan dini/ sistem deteksi dini (Early

Warning System) dalam menyelenggarakan keamanan dan keselamatan di

wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

2. KPLP

a. Keselamatan dan keamanan disebutkan secara jelas yaitu meliputi bidang

pelayaran.

b. KPLP memiliki peran sebagai penyidik. Sehingga apabila tersangka

melakukan praperadilan, kecil kemungkinan kasus yang ditangani KPLP

akan digugurkan hakim. Sebenarnya lebih banyak kekurangan dari Bakamla

jika dibandingkan dengan KPLP yang diatur sesuai dengan dasar hukumnya

masing-masing, diantaranya adalah :

A. Amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tidak terjalankan, karena

Bakamla bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menkopolhukam.

Padahal, pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Pasal 60, Bakamla

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden

melalui Menteri yang mengoordinasikannya. Sedangkan, Menteri

perhubungan telah menjalankan amanat UndangUndang Nomor 17 Tahun

2008. Karena KPLP bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis

operasional dilaksanakan oleh Menteri.

B. Tugas dari Bakamla tidak sampai mencakup eksplorasi dan eksploitasi

kekayaan laut. Sedangkan, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008

32
yang mengatur mengenai KPLP juga memiliki tugas pengawasan dan

penertiban kegiatan salvage (pertolongan terhadap kapal), pekerjaan bawah

air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut yang sesuai Pasal 276 ayat

(1) huruf d.

C. Kewenangan dari Bakamla bukan sebagai penyidik, sehingga hanya dapat

menyerahkan kapal tersangka ke instansi terkait (Pasal 63 ayat (1) huruf b).

Sedangkan, dalam Pasal 278 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2008 menjelaskan KPLP dapat melakukan penyidikan. Kewenangan

mengenai penyidik inilah yang menyebabkan KPLP lebih diunggulkan

sebagai coast guard dari pada Bakamla. D. Dalam Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2014 maupun Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tidak

menjelaskan mengenai amanat untuk melengkapi Bakamla dengan kapal,

sehingga apabila Bakamla memiliki kapal sendiri maka akan dianggap illegal.

Berbeda dengan KPLP yang dalam Pasal 279 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2008 yang berisi : “Dalam rangka melaksanakan tugasnya

penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 didukung

oleh prasarana berupa pangkalan armada penjaga laut dan pantai yang

berlokasi di seluruh wilayah Indonesia, dan dapat menggunakan kapal dan

pesawat udara yang berstatus sebagai kapal Negara atau pesawat udara

Negara”.

Indonesia belum menjadi negara maritim sepenuhnya karena belum


dapat memanfaatkan dan mengelola potensi kemaritiman secara optimal.
Dengan masih menganut konsep Land based socio development daripada

33
marine based socio develpoment. Masalah-masalah yang terjadi di dalam
bidnag maritim bwlum menjadi issue nasional. Meskipun potensi dalam
bidang kemaritiman sangat menjanjikan bagi kemakmuran bangsa.
Masalhnya adalah menyangkut keamanan maritim nasional karena yangaktor
negara maupu perorangan mampu membaca hal tersebut (State/non state
actor). Se hinggaKendala yang paling utama adalah maritim belum menjadi
arus utama dalam pembangunan nasional, pemerintah lebih
mengarusutamkan pembangunan daratan (land-based oriented). Hal ini
menurut penulis menjadi dasar negara untuk mendorong Bakamla
mengambil langkah strategi keamanan berbasis wawasan nusantara dalam
menjaga keamanan maritim nasional. Jangan sampai oknum penguasa atau
bahkan negara sendiri memiliki interpretasi tersendiri untuk menerjemahkan
strategi keamanan maritim nasional sesuai dengan kepentingannya. 23
Hasil analisa menunjukkan kewenangan lembaga sipil berdasarkan
amanat UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan UU No. 6 tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia, Perpres 178 /2014 dan UU No. 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan menunjukkan bahwa di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah
Bakamla. Termasuk didalamnya wilayah pengusahaan perikanan Indonesia
yang terdiri atas laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman Indonesia, serta ZEEI.
Pembentukan Bakamla dalam Pasal 59 UU Nomor 32/2014 dikuatkan
denga Perpres 178/2014 mengamanatkan pembentukan koordinator dalam
menjaga keamanan, konektivitas pelayaran dan keselamatan maritim
nasional.
Pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi kejadian penerobosan
wilayah maritim seperti Laut Natuna Utara memerlukan format startegi dan
prosedur operasi yang sesuai dengan ekonomi biru yang dijalankan. Bakamla
perlu mendapatkan otoritas untuk melakuakn tindakan persuasif mendekati

23
Kandar, Memanfaatkan Konflik di Laut Tiongkok Selatan guna Meningkatkan Stabilitas Keamanan
Nasional, Jurnal Kajian Lemhannas RI, Edisi 36. Desember 2018. Hal 54-68

34
kapal asing dengan harapan akan keluar dari wilayah Indonesia. Sehingga
gesekan-gesekan ekstrem ytang diharapkan terjadi oleh para penerobos dapat
dihindari, yang diframing untuk mendapatkan simpati luar negeri dan
mengandung muatan yang menguntungkan negara asing tersebut. Tentunya
akan sangat merugikan bagi negara Indonesia dan tidak sesuai dengan
ekonomi biru yang dilaksanakan.
Hal yang perlu diperhatan oleh pemerintah adalah dalam UU Kelautan
Pasal 62-63 menerangkan bahwa kewenangan laut berada dalam satu
komando dan kendali Bakamla. Namun dalam pertahanan dan keamanan
maritim terdapat 24 aturan perundangan yang tidak bisa dilaksanakan
dibawah satu jalur komando karena kedudukannya setingkat. Apabila
Bakamla dipaksakan oleh pemerintah menjadi single task multi agency, maka
selayaknya diamanatkan dalam suatu perundang-undangan tersendiri.
Indonesia sampai dengan saat ini masih perlu lebih fokus dalam
menindaklanjuti urgensi tata kelola kemaanan maritim. Persoalan ini menurut
penulis dapat ditelusuri melalui implementasi dari teori Friedman yakni
sustansi hukum, struktur kelembagaan, dan kultur. Kerangka hukum
berfungsi untuk menyediakan seperangkat regulasi tentang pertahanan
keamanan maritim. Kemudian sumberdaya yang meliputi kapabilitas dan
sistem pembagian wilayah, personel dan pelatihan yang terintegrasi..
Sedangkan aspek kelembagaan meliputi sinergitas dan koordinasi antar
lembaga negara terkait pertahanan keamanan maritim serta pelibatan sistem
informasi. Mengandalkan undang-undang untuk membangun budaya maritim
nasional yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum
sangat sesuai dalam tata kelola pertahanan keamanan maritim nasional..
Kerangka substansi hukum sangat berperan besar dalam
menerjemahkan legitimasi lembaga sipil terkait pertahanan keamanan
maritim nasional. Indonesia dewasa ini hanya memiliki peraturan
perundangan yang benar-benar berkaitan dengan maritim ysitu UU Nomor 32
Tahun 2014 tentang Kelautan. Peraturan perundangan ini secara spesifik

35
menggarisbawahi pentingnya menciptakan sistem pertahanan maritim, dan
kewajiban aktivitas dalam keselamatan pelayaran. Namun belum secara
spesifik menyatakan suatu sistem perlindungan wilayah maritim nasional
yang mengintegrasikan lembaga-lembaga terkait dengan pembagian fungsi
dan peran yang jelas. Tulisan ini menyatakan sangat pentingnya membuat
strategi keamanan biru sebagai dasar pelaksanaan untuk memperjelas
langkah-langkah konkrit dalam pengelolaan keamnanan maritim di
Indonesia. Sehingga dapat menjadikan sinergisitas antar lembaga dalam
pelaksanaan pertahahan keamanan maritim.
Wilayah maritim yang diakui secara yuridis sebagai wilayah
kedaulatan negara Indonesia mempunyai konsekuensi bahwa negara
Indonesia berdaulat sepenuhnya untuk mendiami dan mengelola wilayah
tersebut. Sesuai dengan pernyataan Jean Bodin dalam teori kedaulatan bahwa
kedaulatan negara muncul bersamaan dengan berdirinya suatu negara.
Kedaulatan Negara merupakan kedaulatan yang berasal dari negara itu
sendiri. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang
berlaku terhadap seluruh wilayah dan segenap rakyat dalam negara tersebut.24
Kedaulatan negara menjadi hak dasar dan hak tertinggi, baik secara alamiah,
de jure maupun de facto. Kedaulatan bagi Indonesia menjadi tujuan dan
kerangka untuk mencapai cita-cita nasional dalam Pereambule Undang-
Undang Dasar 1945.
Dalam artikel ini kondisi geografis inilah menjadi titik awal pemikiran
dalam merumuskan Bakamla sebagai lembaga sipil koordinator keamanan
maritim nasional. Bersamaan dengan hal tersebut diharapkan Bakamla dapat
memiliki pemahaman yang bulat dan utuh tentang bagaimana posisi
sebenarnya dalam penyelenggaraan keamanan maritim Indonesia. Selain
kondisi geografis, upaya identifikasi ancaman keamanan maritim di
Indonesia menjadi salah satu unsur utama. Sesuai yang dinyatakan oleh Cribb

24
Hadjon,Philipus. Tentang Wewenang, Yuridika, Universitas Airlangga. Nomor 5&6 XII September-
Desember 1999.

36
(2009) menyatakan bahwa secara garis besar ancaman-ancaman keamanan
maritim di Indonesia dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu (i) kejahatan
yang memanfaatkan laut sebagai obyek (seperti IUU fishing, illegal waste
dumping,danillegal poaching), dan (ii) kejahatan yang memanfaatkan laut
sebagai sarana(seperti penyelundupan manusia dan perdagangan orang serta
pembajakan dan perampokan bersenjata di laut).
Indonesia sampai saat ini belum layak disebut sebagai negara karena
belum dapat memanfaatkan dan mengelola potensi kemaritiman secara
optimal. Menurut Penulis, pemerintah dalam RPJPN maritim belum menjadi
arus utama dalam pembangunan nasional, pemerintah lebih
mengarusutamakan pembangunan daratan (land-based oriented).25 Hal ini
menurut penulis menjadi dasar untuk penyusunan reposisi kewenangan dalam
pertahanan dan keamanan maritim nasional. Hal ini sesuai dengan gambaran
masalah pertahanan maritim di Indonesia, sebagaimana diungkapkan
Laksdya TNI Dr. Desi Albert Mamahit, M.Sc., ada empat hal yaitu
kecenderungan keamanan laut, disparitas pembangunan kelautan, regulasi
dan kelembagaan, serta infrastruktur pertahanan dan keamanan. Terkait
dengan masalah kecenderung keamanan laut, hingga saat ini masih marak
terjadi aktivitas pencurian ikan (illegal fishing) dan sumber daya alam lainnya
yang dapat mengancam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Selain
masalah pencurian sumber daya alam, juga diperparah dengan masih
terdapatnya sejumlah kekerasan di laut berupa pembajakan, perompakan, dan
sabotase.
Makalah ini memetakan peran Bakamla selaku koordinator lembaga
sipil dalam keamanan maritim nasional berdasarkan pembagian tugas sipil.
Bakamla menjadi single agency yang mengkoordinasikan lembaga-lembaga
sipil baik KKP, Kemenhub, Bea Cukai dan POLRI. Kewenangan atribusi
kelembagaan untuk menegakan keamann maritim nasional Bakamla sesuai

25
Efendi,Yusuf, Wawasan Maritim Mengapa Belum Bergema?, Jalasena edisi 3, tahun
III/2013

37
dengan materi muatan yang diatur dalam undang-undang. Sesuai dengan teori
kewenangan yang disampaikan oleh Philipus M Hadjon bahwa atribusi dapat
dinyatakan juga sebagai suatu mekanisme untuk mendapatkan wewenang
dalam pemerintahan.26 Dengan demikian jelas bahwa kewenangan yang
diperoleh melalui atribusi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah
merupakan kewenangan asli, disebabkan kewenangan tersebut didapatkan
langsung dari konstitusi atau perundangan. Melakukan pengkategorian
perundang-undangan mengenai kemaritiman menjadi dua, yaitu pertama,
undang-undang yang bersifat umum, seperti UU Pertahanan; dan kedua,
undang-undang yang seluruhnya mengatur laut, seperti UU Kelautan, UU
Perairan, UU ZEE; UU Perikanan, UU Pelayaran. Pengkategorian tersebut
menjadi kesannya adalah dipaksakan menjadi dasar kewenangan Bakamla
sebagai koordinator dari lembaga-lembaga terkait pertahanan keamanan
maritim. Pemerintah Indonesia perlu membuat Undung-undang Keamanan
Maritim untuk menegaskan posisi kewenangan Bakamla sekaligus
memberikan arah bagi konfigurasi keamanan maritim nasional.
Bakamla secara kewilayahan menangani keamanan konektivitas jalur
kemaritiman dengan jangkauan wilayah mulai dari Perairan Indonesia (12
Nm), sampai mencapai wilayah Perairan Zona Ekslusif Indonesia, Landas
Kontinen (200-350 Nm). Bahkan harus didorong perannya sampai dengan
wilayah delimitasi. Bakamla sebagai penengah atas klaim tumpang tindih
perbedaan garis batas Landas Kontinen dan ZEE.
Bakamla selaku penanggung jawab keamanan maritim nasional dalam
operasionalnya masih berdasarkan 27 :
(1) Pengaturan Tata Ruang Laut yang tercantum dalam UU Nomor 17 tahun
1985 tentang ratifikasi UNCLOS 1982, dimana kewenangan dibedakan

26
David Maharya Ardyantara, Blue Secure Strategy : Indonesian Maritime Security Agency
(Bakamla) in Maintain Security and Safety in the Indonesian Territorial. Annals of The
Romanian Society for Cell Biology 2020 25(2), 1762–1767
27
Octavian,A. Sosiologi Maritim : Rezim Pengelolaan Maritim Indonesia .Jurnal Kajian Lemhanas RI
Ed. 14 tahun 2012 Hal 63-84

38
berdasar tata ruang laut mulai dari Perairan Pedalaman, Perairan
Kepulauan,Laut Teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landas Kontinen
(2) Berdasarkan Lembaga Militer dan Lembaga sipil, dimana lembaga militer
menjadi kewenangan TNI AL dan lembaga sipil dibawah Bakamla selaku
Single Agency Multi Task / SAMT / Koordinator Tunggal

3. Konfigurasi Sistem Keamanan Maritim Nasional Yang Berbasis


Wawasan Nusantara
Secara konsepsional, wawasan nusantara (Wawasan) merupakan

wawasan nasionalnya bangsa Indonesia. Perumusan wawasan nasional

bangsa Indonesia yang selanjutnya disebut Wawasan Nusantara, itu

merupakan salah satu konsepsi politik dalam ketatanegaraan Republik

Indonesia. Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasionalnya bangsa

Indonesia dibangun atas pandangan geopolitik bangsa. Pandangan bangsa

Indonesia didasarkan pada konstelasi lingkungan tempat tinggalnya yang

menghasilkan konsepsi Wawasan Nusantara.jadi Wawasan Nusantara

merupakan penerapan dari teori geopolitik bangsa Indonesia.

Kelangsungan hidup bangsa dan negara yang bermartabat dengan

mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Pemahaman dan pelaksanaan

wawasan nusantara yang lebih baik dalam ranah kehidupan pribadi maupun

kolektif serta dalam wilayah publik sangat menentukan kelangsungan hidup

bangsa dan negara. Dibutuhkan kesadaran warga negara dan penyelanggara

negara yang memadai didalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab.

Di tengah tekanan berbagai masalah yang menghimpit bangsa. Hal ini

39
merupakan bagian integral yang menjamin eksitensi bangsa dan negara dalam

mewujudkan cita-cita nasional sekaligus manifestasi cita-cita leluhur kita,

dengan tetap menghargai kebhinekaan itu sebagai anugerah Tuhan dan aset

bangsa.

Secara filosofis peran Wawasan Nusantara sebagai basis keamanan

maritim nasional adalah sebagai sebagai pedoman, motivasi, dorongan, serta

rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan,

dan perbuatan bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah maupun

bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara.

Wawasan Nusantara adalah pandangan geopolitik Indonesia dalam

mengartikan tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang me-liputi seluruh

wilayah dan segenap kekuatan negara. Dgan demikian perweujudan cara

pandang satu kesatuan ini mengesampingkan atau membuang jauh-jauh

egosentris kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan keamanan

maritim nasional. Mengingat bentuk dan letak geografis Indonesia yang

merupakan suatu wilayah lautan dengan pulau-pulau di dalamnya dan

mempunyai letak equatorial beserta segala sifat dan corak khasnya, maka

implementasi nyata dari Wawasan Nusantara yang menjadi kepentingan-

kepentingan keamanan negara harus ditegakkan. Realisasi penghayatan dan

pengi-ian Wawasan Nusantara disatu pihak menjamin keamanan wilayah

maritim nasional dan melindungi sumber-sumber kekayaan alam beserta

penye-larasannya, sedangkan dilain pihak dapat menunjukkan kedaulatan

40
negara Republik Indonesia. Untuk dapat memenuhi tuntutan itu dalam

perkembangan dunia, maka seluruh potensi pertahanan keamanan negara

haruslah sedini mungkin ditata dan diatur menjadi suatu kekuatan yang utuh

dan menyeluruh. Kesatuan Pertahanan dan Keamanan negara mengandung

arti bahwa ancaman terhadap sebagian wilayah manapun pada hakekatnya

merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara

Sebagai faktor eksistensi suatu negara wilayah nasional perlu ditentukan

batas-batasnya agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga. Oleh

karena itu 20 pada umumnya batas-batas wilayah suatu negara dirumuskan

dalam konstitusi negara (baik tertulis maupun tidak tertulis). Namun UUD’45

tidak memuat secara jelas ketentuan wilayah negara Republik Indonesia, baik

dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya menyebut wilayah/daerah

yaitu : 1. Pada Pembukaan UUD’45, alinea IV disebutkan “…..seluruh

tumpah darah Indonesia…..” 2. Pasal 18, UUD’45 : “Pembagian daerah

Indonesia atas daerah besar dan kecil ……………”

Konfigurasi keamanan maritim dalam era Pemrintahan Jokowi

menunjukkan hegemoni negara yang yang menganut doktrin milik bersama,

sentralistik, dan pluralisme yang termaktub sejak lama dalam Wawasan

Nusantara yang asli pemikiran nasioanal dan anehnya yang sangat menjadi

kendala dan menimbulkan legal gap utama menurut penulis seperti telah

terlupakan dalam berbagai regulasi mengenai kemaritman/kelautan. Sejak

era Jokowi dengan misi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia

41
memiliki kewenangan yang sangat besar dalam pengelolaan potensi maritim..

Seiring dengan dengan hal tersebut car memandang wilayah Indonesia

sebagai satu kesatuan mewnjadi terdistorsi oleh semangat investasi maupun

ekonomi yang berujung dengan gangguan-gangguan yang membahayakan

kedaulatan seperti banyaknya drone tanpa awak di perairan Indonesia ynag

mmetakan nodul-dodul mineral bawah laut terdalam, banyaknya negra asing

dengan kedok riset yang memetakan potensi perikanan laut Indonesia

tersebut, dalam poin ini keamanan maritim sangat diandalkan dapat berperan

besar dalam menjaga kedaulatan Indonesia di wilayah maritim.

Namun disisi lain, sistem keamanan maritim nasional sulit untuk

diwujudkan tanpa adanya kerja sama partisipatif , kolaboratif dan sinergi

antara negara dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya, dengan menggunakan

pendekatan hukum normatif, penulis mengkaji sinergitas hubungan

operasional keamanan maritim antar lembaga sipil negara dengan rakyat

dalam sistem keamanan maritim nasional. Sistem keamanan maritim nasional

tersebut meliputi pengelolaan sumber daya perikanan pada era otonomi

daerah meliputi bidang perikanan tangkap, bidang perikanan budidaya,

bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, serta di bidang

transportasi maritim.

Memahami ancaman keamanan maritim Indonesia dan membangun

profesionalitas Bakamla sebagai koordinator sistem keamanan maritim

nasional sangat diperlukan untuk menjamin berlangsungnya keamanan dalam

konteks poros maritim dunia. Indonesia yang luas wilayahnya didominasi

42
oleh laut, membutuhkan partisipasi dan sinergi antar lembaga bersama rakyat

sebagai perwujudan kekuatan keamnanan yang terpadu dan handal. Agus

Widjojo menyatakan bahwa tantangan pembangunan kemaritiman Indonesia

adalah untuk memahami ancaman yang ada, terutamanya adalah tantangan

dalam negeri sendiri. Di tengah situasi geopolitik kawasan yang sedang

bergejolak, Indonesia harus mampu mengkoordinasi dan menjembatani

segala gejolak keamanan maritim yang timbul di dalam wilayah perairan

nasional. 28 Bakamla harus mampu membangkitkan partisipasi aktif terutama

dari masyarakat serta berkoordinasi dengan lembaga-lembaga sipil terkait

keamanan maritim. Kerja sama tersebut akan membangkitkanan cara berpikir

maritime-oriented dan bertindak strategis sesuai postur ekonomi politik dan

kepentingan kemaritiman nasional. Indonesia harus bisa memposisikan diri

dan memainkan peran sebagai maritime power di dalam negeri sendiri.

Laksamana TNI Siwi Sukma Adji mengungkapkan untuk


membangun postur keamanan maritim tersebut penting untuk menciptakan
menciptakan Sistem Keamanan Maritim Laut yang dikoordinir oleh Bakamla
yang profesional dan modern. Profesional artinya adalah Bakamla dilatih,
dididik, dilengkapi, dan diperhatikan kesejahteraannya. Sedangkan modern
artinya dilengkapi dengan teknologi yang mampu menghadapi ancaman
keamanan terkini dan memiliki 4 karakter kekuatan angkatan laut yakni
ready, flexible,mobile dan sustained). Partisipasi aktif antara Bakamla beserta
lembaga-lembaga sipil lain beserta seluruh masyarakat akan menciptakan
sistem keamanan maritim semesta seperti yang terkonsepkan dalam
sishankamrata. Postur keamanan maritim diperlukan untuk menghadapi

28
Siwi Sukma Aji, Mengawal Poros Maritim Dunia, Amazon Publishing, Jakarta. 2020

43
segala ancaman, termasuk menjaga kedaulatan dan kekayaan alam, menjaga
keselamatan pelayaran dan keamanan maritim di wilayah yurisdiksi nasional;
serta dampak internasional yang ditimbulkan adalah terpeliharanya situasi
damai di wilayah Samudera Hindia dan Pasifik.
Pengaturan keamanan maritim dalam pengelolaan sektor kemaritiman
sanngat penting dilakukan dalam upaya mendukung Indonesia menjadi poros
maritime dunia. Titik berat yang harus didorong adalah tentang perekonomian
biru dalam penyelenggaraan pengelolaan hasil laut yang berkelanjutan.
Sistem Keamanan Maritim Nasional diharapkan akan dapat memecahkan
permasalahan tersebut, antara lain dengan mencegah eksplorasi kekayaan laut
melalui pemetaan ilegal drone bawah air yang dilakukan berkedok penelitian,
eksploitasi kekayaan laut seperti penambangan pasir alut, pengeboman
karang, serta mengeliminir inefisiensi biaya logistik dengan waktu tempuh
yang lama akibat pemeriksaan oleh berbagai institusi sehingga menyebabkan
tingginya biaya angkut pulang pergi dari kawasan Indonesia Timur ke
kawasan Indonesia Barat dan masih rendahnya kesadaran memanfaatkan jalur
tol laut menjadi tantangan dalam pelaksanaan Sistem Keamanan Maritim
Nasional.

C. KESIMPULAN

1. Srcara yuridis Bakamla adalah ujung tombak kemanan maritim Indonesia.


Bakamla merupakan satu-satunya lembaga sipil seperti tertuang dalam
Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2014 tentang Kelautan.
2. Indonesia sebagai negara hukum dan sebagai negara kepulauan, dalam
pembentukan politik hukum dalam era Presiden Joko Widodo sepenuhnya
berorientasi pada kemaritiman. Knedala-kendala yang timbul seiring dengan
penunjukan Bakamla sebagai koordinator tunggal dalam keamanan maritim
menimbulkan legal gap dalam penegakan keamaanan laut INdonesia.
Paradigma participatory dipakai penulis sebagai perangkat mental untuk
membuka worldview keamanan mariti sekaligus menjadi solusi tumpang

44
tindihnya lembaga negara terkait kemananan maritim dengan
mengedepankan kolaboratif dan sinergitas yang berbasiskan Wawasan
Nusantara
3. Pengaturan keamanan maritim kedepan adlaha pengeloalaan sektor
kemaritiman dalam satu ruang lingkup Wawsan Nusantara yang memanadang
Indoneisia sebagi satu kesatuan. Jangan sampai maritim Indonesia hanya
dinilai sebagai suatu nilai ekonomi (blue economy) saja. Karena akan
menimbulkan potensi gangguan kedaulatan NKRI>
SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, guna mewujudkan kepastian hukum dalam
pelaksanaan sistem keamanan maritim nasional, Penulis menyarankan agar
pemerintah dan legislatif duduk bersama untuk membahas RUU Keamanan
Maritim. Hal ini perlu dilakukan mengingat masih belum adanya sinergi
partisipatif yang optimal di seluruh wilayah perairan Indonesia terkait
pengamanan maritim.

DAFTAR PUSTAKA

Agung,Darma Menata Keamanan Maritim Untuk Mnegakkan Kedaulatan


Maritim Indonesia,, Kompas Gramedia, Jakarta

Buntoro, Kresno. "Konsep "Bagi-Beban" dalam Keamanan Maritim di


Nusantara Indonesia",
http://pusjianmarseskoal.tnial.mil.id/Publication/Joumal.aspxdiakses
17 Desember 2021

Buzan, Barry, Ole Waever dan Jaap de Wilde. 1998. Security: A New
Framework for Analysis. Boulder: Lynne Rienner Publication.

Chaedar,Awasilah 2011.Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar merancang dan


Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta, Pustaka Jaya.

Cribb,R. Indonesia as an Archipelago : Managing Islands, Managing the Seas.


Institute of Southeast Asian Studioes, Singapore.2009

45
Indarti,Erlyn, Diskresi dan Paradigma : Sebuah Telaah Filsafat Hukum,
Pidato Pengukuhan disampaikan pada upacara pengukuhan Guru
Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2010,
Semarang,

Indarti,Erlyn, Bridging The Gaps: A Paradigmatic Insight Into Phylosophy of


Law, October 2016, Diponegoro Law Review, Volume 01 Number 01.

Lawrence M. Friedman.. American Law. New York: W.W. Norton &


Company.1984

SK.Wahyono, Indonesia Negara Maritim, Penerbit Teraju, 2009

Alfred Thayer Mahan, The Influence of Sea Power Upon History:1660-1783,


Dover Publicatios Inc. New York 1987

Susmoro,Harjo. The Spearhead of Sea Power, Pandiva Buku, Yogyakarta


2019.

Siwi Sukma Aji, Mengawal Poros Maritim Dunia, Amazon Publishing,


Jakarta. 2020

Geoffrey Till, 2013. Seapower: A Guide for the Twenty-first Century,


Routledge

Widjojo,Agus.Transformasi TNI dari Pejuang Kemerdekaan menuju Tentara


Profesional dalam Demokrasi: Pergulatan TNI Mengukuhkan
Kepribadian dan Jati Diri. Penerbit Kartika. Jakarta. 2014.

Jurnal
Ardyantara,DM Reposisi Kewenangan Antar Lembaga Negara Dalam
Pengaturan Terkait Pertahanan Keamanan Kemaritiman Nasional ,
Jurnal USM Law Review Vol 3 No 2, Juli 2020

Ardyantara,DM. Blue Secure Strategy : Indonesian Maritime Security


Agency (Bakamla) in Maintain Security and Safety in the Indonesian
Territorial. Annals of The Romanian Society for Cell Biology 2020 25(2),
1762–1767

Bueger,Cristian.2015."What is Maritime Security?". Marine Policy, Elsevier


B.V. UK.Vol. 53 2015

Djalal.Hasyim. 2000. Masa Depan Indonesia Sebagai Negara Kesatuan


Ditinjau Dari Segi Hukum Laut dan Kelautan. Pustaka Sinar Harapan Jakarta

46
Efendi,Yusuf, Wawasan Maritim Mengapa Belum Bergema?, Jalasena edisi
3, tahun III/2013

Hadjon,Philipus. Tentang Wewenang, Yuridika, Universitas Airlangga.


Nomor 5&6 XII September-Desember 1999.

Junef Muhar, Implementasi Poros Maritim Dalam Perspektif Kebijakan,


Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Badan Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan HAM. Jakarta Vol. 19 No. 3, September
2019

Kandar, Memanfaatkan Konflik di Laut Tiongkok Selatan guna


Meningkatkan Stabilitas Keamanan Nasional, Jurnal Kajian
Lemhannas RI, Edisi 36. Desember 2018

Kartika, Shanti Dwi, Keamanan Maritim dari Aspek Regulasi Dan Penegakan
Hukum, Jurnal Negarfa Hukum,Universitas Hasanuddin Vol 5 No.
2.2014

Kuncoro, “Membangun Kekuatan Nasional Dengan Mewujudkan Visi Poros


Maritim Dunia”, Jurnal Pertahanan, Volume 5 Nomor 2, 2015.

Marsetio, Mengembalikan Kejayaan Maritim, Jurnal Universitas Pertahanan,


Jakarta 2018

Octavian,A. Sosiologi Maritim : Rezim Pengelolaan Maritim Indonesia


.Jurnal Kajian Lemhanas RI Ed. 14 tahun 2012. Jakarta

Rujito Dibyo Asmoro, Peran Indonesia dalam Menjaga Stabilitas guna


Mewujudkan Indonesia sebagai Negara Poros Maritim Dunia, ” Jurnal
Kajian Lemhannas RI, Edisi 36, Desember 2018 Jakarta

Said,Budiman, 2016. Redefinisi Keamanan, Dokumen Keamanan Nasional,


Kepentingan Nasional dan Strategi Nasional, Depjianstranas
Lemhannas RI.

Simela Victor Muhamad, Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia, ” Jurnal


Hukum Hubungan Internasional, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Vol. VI, No. 21, November 2014

Sondakh, Bernard Kent. Pengamanan Wilayah Laut Indonesia,Jurnal Hukum


Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004

47
Yusuf, Efendi. Wawasan Maritim Mengapa Belum Bergema?, Jurnal
Jalasena edisi 3, tahun III/2013.Universitas Karimun,Kepri.

Undang-Undang
UUD NRI 1945
UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
UU No 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982
UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 Tentang Badan Keamanan Laut
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Kebijakan Kelautan
Indonesia
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2015 Tentang Kebijakan Umum
Pertahanan Negara Tahun 2015-2019

48

Anda mungkin juga menyukai