Anda di halaman 1dari 9

1a.

Penjelasan:

Ilmu pengetahuan modern, mengacu pada pengertian scientia, secara sederhana


berdasarkan objek kajiannya dapat dibedakan menjadi ilmu alamiah (seperti biologi),
ilmu formal (matematika), ilmu sosial (seperti sosiologi), dan humaniora (seperti sejarah
dan sastra). Objek kajian humaniora seperti sastra merupakan sesuatu yang sarat nilai.
Metode ilmu empiris tidak akan bisa diterapkan pada objek seperti ini. Jika dipaksakan,
maka akan menggusur nilai-nilai yang sangat melekat pada sastra. Gejala perasaan
dan pernyataan yang berkaitan dengan emosi tidak bisa dijadikan objek penelitian
empiris.Tetapi ilmu hukum juga tidak sama dengan ilmu humaniora seperti sejarah dan
sastra. Jika studi humaniora digunakan, hukum hanya akan dibahas dalam kaitannya
dengan etika dan moralitas. Keadilan, yang merupakan tujuan dan prinsip hukum
(ranah filsafat hukum), memang masuk dalam ranah etika dan moralitas. Tapi tentang
dogmatika dan teori hukum tidak akan tersentuh oleh ilmu humaniora. Sampai di sini
sudah jelas bahwa ilmu hukum tidak termasuk dalam ilmu empiris (alamiah-formal-
sosial) dan humaniora.
Pada intinya, metode empiris tidak menyentuh sisi nilai dalam hukum sedangkan
humaniora tak menyentuh sisi praktisnya. Sedangkan ilmu hukum melihat hukum dalam
segala aspeknya. Oleh karena itulah ilmu hukum disebut bersifat sui generis (latin; sui:
sendiri; generis: jenis), yang artinya jenis tersendiri yang tidak dapat dikelompokkan ke
dalam ilmu lainnya.

1b.

Menurut pendapat saya hukum adalah termasuk ilmu alas an saya karena secara
terminologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang
suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan.
Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas.
Sedangkan Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan lain sebagainya); cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan. Hukum termasuk dalam ilmu karena disusun menurut sistem dan metode.
Hukum pada awalnya orang-orang umum mulai mempelajari hukum secara metodis
dan sistematis.Berfikir secara metodis berarti menggunakan metode yang tepat sesuai
dengan objek yang dipikirkan, sedangkan apabila kita berfikir secara sistematis berarti
memisahkan dan menggabungkan pengertian-pengertian sesuai dengan tempat
pengertian-pengertian tersebut dalam suatu sistem rasional. Di dalam keilmuan berfikir
nyata dalam kedua sifat yakni metodis dan sistematis. Dengan demikian ilmu hukum
dipandang memiliki karakter keilmuan yang khas.

2a

Norma sosial adalah norma-norma yang ada di masyarakat dan ada berbagai macam
bentuk dari norma tersebut. Norma tersebut tergantung dari dua macam aspek hidup
manusia yaitu aspek hidup pribadi dan aspek hidup antar pribadi. Tatanan sosial yang
ada pada masyarakat terwujud berkat pedoman-pedoman yang berlaku karena
beraneka ragamnya norma yang dihayati oleh masayarakat. Selain itu, hal tersebut juga
dikarenakan hukum perundang-undangan yang tidak dapat mengatur semua segi
kehidupan manusia. Terbentuknya norma hukum berasal dari norma-norma sosial
tersebut dan ada yang karena kebutuhan hidup manusia yang memerlukan aturan-
aturan hukum. Proses berubahnya norma sosial menjadi norma hukum dimulai dengan
diperlukannya sebuah pedoman untuk tercapainya tujuan hidup bersama. Dalam
konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup bersama yang ingin
dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar manusia. Untuk mencapai
tujuan bersama itu dibutuhkan suatu pedoman yang mengatur bagaimana manusia
dapat berperilaku pantas dan semestinya dalam masyarakat.
Proses perubahan ini juga dapat dikaitkan dengan manusia sebagai makhluk budaya.
Sebagai makhluk budaya, manusia diberikan kemampuan berpikir untuk menjalain
kehidupannya. Manusia juga membutuhkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan ini tidak dapat dilakukan serta merta begitu saja.
Dalam memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan suatu aturan-aturan atau pedoman
sebagai suatu norma.
Dalam penerapan norma-norma yang telah disepakati bersama, apabila terjadi
pelanggaran atas suatu norma sosial maka akan ada sanksi sosial. Jika norma sosial
diberlakukan dengan paksaan suatu sanksi maka norma tersebut menjadi norma
hukum. Perbedaan norma hukum dan norma sosial adalah norma hukum dapat
menerapkan penggunaan kekuatan yang ada pada masyarakat yang terorganisasi
untuk menghindari atau menghukum pelanggaran terhadap norma sosial.
Hukum mempunyai pengertian yang beraneka ragam, dari segi macam, aspek dan
ruang lingkup yang luas cakupannya. Kebanyakan para hali hukum mengatakan tidak
mungkin membuat suatu definisi tentang apa sebenarnya hukum itu. Tujuan dari hukum
itu sendiri sesuai dengan definisi hukum yang beraneka, maka menurut para ahli hukum
mempunyai pendapat yang berbeda pula. Menurut pendapat yang mengacu pada teori
etis (etische theorie), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori
ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya Ethica
Nicomecha dan Rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang
suci, yaitu memberi kepada setiap sesuatu yang ia berhak menerimanya.
Beberapa pendapat ahli hukum kemudian lebih melengkapi pendapat bahwa tujuan dari
hukum adalah keadilan semata, melainkan menempatkan hukum untuk mengatur
kehidupan manusia mewujudkan hal-hal yang bermanfaat. Sehingga tujuan hukum
adalah untuk mencapai pergaulan hidup secara damai. Di samping tujuan hukum,
fungsi hukum dalam kehidupan manusia terus berkembang sejalan dengan
perkembangan masyarakat dimana hukum itu berada. Namun secara garis besar,
fungsi hukum dapat dilihat sebagai sarana pengendalian sosial yaitu fungsi hukum yang
menjalankan tugas untuk mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada.
Fungsi hukum lainnya adalah melakukan social engineering, yaitu hukum digunakan
sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan atau rekayasa sosial di dalam
masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa proses perubahan norma sosial menjadi norma hukum
dilakukan karena dibutuhkannya sebuah pedoman untuk mengatur tingkah laku
manusia dapat berperilaku pantas dan semestinya di dalam masyarakat.
Proses perubahan tersebut juga dapat dikaitkan dengan manusia sebagai makhluk
budaya. Manusia membutuhkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi.
Dalam memenuhi kebutuhan ini, diperlukan pedoman agar pemenuhan kebutuhan tidak
serta merta begitu saja sehingga diperlukan aturan-aturan dan norma-norma. Definisi
hukum bergantung dari segi macam, aspek dan ruang lingkup yang luas cakupannya.
Tujuan dari hukum adalah agar terciptanya ketentraman dan kedamaian di masyarakat.
Fungsi hukum adalah sebagai sarana pengendalian sosial untuk mempertahankan pola
ketertiban atau kehidupan yang ada.

2b.
Perbedaan norma hukum dengan norma sosial antara lain :
1. Norma hukum memiliki aturan pasti sedangkan norma sosial tidak tertulis atau secara
lisan
2. Norma hukum sifatnya akan mengikat semua orang sedangkan norma sosial
penegaknya kadang ada kadang tidak ada
3. Seperti halnya hukum yang berlaku norma hukum memiliki penegak yang sesui dengan
aturan yang berlaku
4. Norma hukum diciptakan oleh para pekerja di pemerintahan atau penguasa sedangkan
norma sosial adalah peraturan yang disepakati dalam masyarakat.
5. Sanksi dari norma hukum bersifat berat sedangkan norma sosial akan lebih ringan.

2c.

hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan bahan penting dalam pembaharuan
hukum, termasuk pembaharuan hukum pidana nasional. kehadiran hukum yang hidup
dalam masyarakat tersebut tidak saja hanya dimungkinkan berkontribusi sebagai
sumber hukum yang bersifat negatif, tetapi juga sebagai sumber hukum positif. Artinya,
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut dapat berkontribusi sebagai nilai yang
menghapus atau menegasikan sifat melawan hukumnya perbuatan yang sudah nyata-
nyata diatur dalam undang-undang (sumber hukum yang bersifat negatif), dan selain
itu, dapat juga nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu berkontribusi sebagai sumber
hukum positif, artinya sebagai dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan
dianggap bersifat melawan hokum. Secara konstitusional keberadaan living law juga
tercantum dalam UUD NRI 1945 sebgai berikut :
a. Pasal 18B ayat (2) yang secara eksplisit menegaskan: “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisonalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
b. Selain ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, terdapat pula Pasal 28I ayat (3) UUD
1945 yang juga secara eksplisit memberikan pengakuan terhadap keberadaan
masyarakat adat. Ketentuan Pasal 28I ayat (3) selengkapnya berbunyi: “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”.
c. Selain kedua pasal tersebut di atas, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat
adat juga diberikan oleh ketentuan Pasal 32 (1) dan ayat (2) UUD 1945. Ketentuan
Pasal 32 (1) UUD 1945 menegaskan : “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Sementara ketentuan Pasal
32 ayat (2) UUD 1945 juga memberikan penegasan: “Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.
Dengan demikian keberadaan hukum tdak tertulis sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat masih terus dipertahankan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
3a.

Kebiasaan merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseoran individu maupun


sekelompok orang secara berulang dan terus menerus. Kebiasan dapat dilakukan
tanpa sadara atau dilakukan atas pemikira, hasrat dan perasaan yang bersumber dari
pengalaman yang terjadi di masa lalu. Kabiasaan dapat dilakukan oleh sekelompok
masyarakat tertentu dan berubah menjadi sebuah norma yang berlaku serta memiliki
sebuah sanksi apabila melanggar dari kebiasaan yang dilakukan tersebut.  
Norma adalah seperangkat kebiasaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat yang
berkembang dan diringi dengan ketentuan-ketentuan tertentu serta memiliki sanksi bila
terjadi pelanggaran. Norma dapat dikatakan sebagai peraturan yang tidak tertulis yang
berkembang dan dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus.  
Adapun syarat yang agar sebuah kebiasaan dapat menjadi sebuah norma yaitu:
- Tindakan yang dilakukan secara berulang dan terus menerus dalam waktu yang lama
- Tindakan yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat dan secara turun temurun
- Diakui oleh seluruh anggota masyarakat  
- Memiliki sanksi bila ada anggota masyarakat yang melanggar maupun tidak
melakukan tindakan sesuai dengan kebiasaan masyarakat tersebut.  
Contohnya : berbicara sopan dan bertingkah santun kepada orang yang lebih tua.
Apabila tidak dilakukan maka akan mendapatkan teguran .
3b.

Hukum dalam bentuknya yang tldak tertuiis dapat ditemukan dalam masyarakat, yaitu
berupa nilal-nilai hukum yang hidupdan dianut sebagai pandangan masyarakat
mengenai sesuatu yang dianggapnya pantas dijadikan patokan atau pedoman dalam
memutuskan suatu persoalan maupun sengketa. Adalah suatu ha! yang sangat sering
dan mungkin, dimana seorang hakim harus menerapkan hukum tidak tertulis dalam
putusannya. Perkembangan kehidupan yang telah menggeser dan. mengubah berbagai
sektor-sektor urgen dalam.pola dan tata cara hidup, menuntut adanya penggunaan cara
pandang (perspektif) yuridis yang lain di luar cara pandang dengan hukum tertulis. Di
sinilah, upaya penelaahan secara serius terhadap bagaiamana penerapan hukum tak
tertulis dalam putusan hakim mendapatkan urgenslnya. Proses penggabungan ini,
dilakukan dengan menggunakan metode diaiektika. Penerapan hukum tidak tertulis
dalam .praktek putusan hakim hanya mungkin dllakukan hakirn bilamana ihakim
berpegang teguh pada jiwa ketentuan pada UU No. 48 thun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pelaksahaan perundangan memeriukan penguasaan hakim terhadap
materi kasus yang menjadi sengketa dan kemudian mencari serta meneritukan pasal-
pasal mana di antara hukurti tertulis yang paling mendekati kesesuaian dengan isi
kasusnya, kerhudian mensenyawakan jiwa pasal-pasal dengan asas-asas hukum tidak
tertulis yaiig hidup dalam masyarakat.

4a

Struktur yang yang terlibat dalam pembuatan produk perundang-undangan tersebut


adalah DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Rancangan undang-
undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
4b

Proses pengaturan dan proses pembuatan peraturan perundang-undangan adalah


sebgai berikut :

1. Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)


yang disusun oleh DPR, Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), dan pemerintah untuk
jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU. Lihat
Pasal 16 UU 12/2011 jo. Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU 15/2019
2. RUU dapat berasal dari DPR, presiden, atau DPD. Lihat Pasal 163 ayat (1) UU MD3
3. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali untuk
RUU anggaran pendapatan dan belanja negara, RUU penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (“Perpu”) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau
pencabutan Perpu. Llihat Pasal 43 ayat (3) dan (4) UU 12/2011
4. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan
Legislasi. Lihat Pasal 164  ayat (1)
5. RUU yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan
DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Lihat Pasal 165 UU MD3
6. Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa dengan yang dapat diajukan oleh
presiden yang telah diterangkan di atas. RUU tersebut beserta naskah akademiknya
diajukan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR. Lihat Pasal 166
ayat (1) dan (2) UU MD3
7. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. Lihat Pasal 168 UU
MD3
8. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat
Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Lihat Pasal 169
huruf a UU MD3
9. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan
daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini. Lihat Pasal 170 ayat (1)
UU MD3
10. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi:    Lihat Pasal
171 ayat (1) UU MD3
a)penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD,
dan hasil pembicaraan tingkat
b)pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna;
c)pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan.
11. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil
dengan suara terbanyak. Lihat Pasal 171 ayat (2) UU MD3
12. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden diserahkan
kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan,
ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia. Lihat Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1), (3), dan (4) UU
12/2011
13. Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah
pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut
disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR,
presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar
Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan. Lihat Pasal 71A UU
15/2019

4c.

Masyarakat dapan mengajukan pengujian UU melaui meknisme Sistem pengujian


undang-undang dengan beracara melalui Mahkamah Konstitusi yang dilembagakan
untuk mengontrol kekuasaan pembuat undangundang agar tidak menghasilkan
undang-undang yang melanggar UUD NRI 1945. Adapun pelembagaan pengujian telah
dijamin secara konstitusional dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka lembaga negara yang berwenang menguji


konstitusional atau tidaknya suatu undang-undang adalah Mahkamah Konstitusi (MK).
Kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD 1945 dilakukan sejak dari mengadili
hingga diputus bersifat final. Final artinya tidak ada upaya hukum lainnya terhadap/atas
putusan itu. Dalam perubahan ketiga UUD 1945 sistem ketatanegaraan Indonesia,
secara yuridis-konstitusional memuat pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945.
Pengujian UU tersebut, dilakukan oleh MK yang merupakan institusi baru pelaku
kekuasaan kehakiman diluar MA. Konsep berhukum Indonesia melalui putusan-putusan
MK membuat masyarakat masih ada harapan dalam memperjuangkan keadilan. Pada
kenyataannya MK tidak hanya berani dalam memutus fakta-fakta hukum yang ada
namun lebih jauh daripada itu, MK juga melakukan pembenahan melalui implementasi
putusan MK yang telah bermutasi menjadi pelbagai jenis putusan. MK disini berfungsi
sebagai pelindung hak konstitusional warga negara

Anda mungkin juga menyukai