Maslahah mursalah adalah pengertian maslahat secara umum, yaitu yang dapat
menarik manfaat dan menolak mudarat, serta yang direalisasikan oleh syariat Islam
dalam bentuk umum. Nash-nash pokok ajaran Islam telah menetapkan kewajiban
memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek
kehidupan. Pembuat syara' (Allah swt dan Rasul-Nya) tidak menentukan bentuk-bentuk
dan macam-macam maslahat, sehingga maslahat seperti ini disebut dengan mursalah,
yaitu mutlak tidak terbatas Syari'at Islam berorientasi pada kemanfaatan dan
menitikberatkan keserasian hukum untuk memajukan kemaslahatan Premis dasarnya
adalah bahwa hukum harus melayani kepentingan masyarakat. Kemaslahatan atau
kepentingan itu dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu :
1b.
Syarat wajib zakat adalah berada dalam kekuasaan penuh (milik) orang yang
membayar zakat atau muzakki. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha
terkait maksud dari syarat ini. Perbedaan tersebut terletak pada apakah kepemilikan
di tangan, kepemilikan pengelolaan, atau kepemilikan asli.
Syarat ini juga dikelaskan oleh Muhammad Jawad Mughniyah dalam buku Fiqih
Lima Mazhab. Maksud dari milik penuh sebagaimana dijelaskan para ulama mazhab
adalah orang yang mempunyai harta itu menguasai sepenuhnya terhadap harta
bendanya dan dapat mengeluarkan sepenuhnya sesuai kehendaknya.
Para ulama menyatakan, harta yang hilang dan harta yang dirampas dari pemiliknya
tidak wajib dizakati sekalipun tetap menjadi miliknya.
7. Mencapai haul
Haul adalah batasan waktu satu tahun hijriyah atau 12 (dua belas) bulan qomariyah
kepemilikan harta yang wajib dikeluarkan zakat. Sebagaimana sabda Rasulullah,
"Tidak ada kewajiban zakat pada harta sampai genap satu tahun."
Genapnya satu tahun merupakan syarat untuk zakat selain tanaman dan buah-
buahan. Adapun mengenai kedua barang tersebut, zakat wajib ditunaikan ketika
telah berbuah dan aman dari kerusakan jika mencapai batas yang bisa dimanfaatkan
8. Tidak ada utang
Mazhab Hanafiyah mensyaratkan orang yang membayar zakat tidak memiliki utang.
Ia mengatakan, utang menghalangi kewajiban zakat, baik itu zakat, pajak bumi,
maupun utang jaminan.
Sementara itu, mazhab Syafi'iyah tidak mensyaratkannya. Orang yang memiliki
utang tetap berkewajiban membayar zakat.
9. Lebih dari kebutuhan pokok
Syarat wajib zakat lainnya adalah memiliki kelebihan kebutuhan pokok. Ibnu Malik
menafsirkan kebutuhan pokok dalam hal ini seperti nafkah, tempat tinggal, alat
perang, pakaian, atau diperkirakan seperti utang.
Pada zakat fitrah, orang yang akan mengeluarkan zakat haruslah memiliki kelebihan
kebutuhan pokok untuk malam dan hari raya Idul Fitri. Mereka juga hidup pada saat
bulan Ramadan.
2b.
Analia dari kasus tersebut bahwa Mr. Y wajib mengeluarkan zakat alasannya :
1. Merdeka
zakat hanya wajib atas tuannya yakni Mr X. Sebab, dialah pemilik harta
hambanya. Dalam hal ini, zakat hanya wajib pada kepemilikan yang sempurna
yakni Mr X.
2. Islam
Syarat wajib zakat fitrah dan zakat mal selanjutnya adalah Islam. Berdasarkan
ijma' ulama, tidak ada kewajiban zakat atas orang kafir. Sebab, zakat merupakan
ibadah yang menyucikan.
Berbeda dengan ulama mazhab Syafi'iyah yang mewajibkan orang murtad
membayar zakat hartanya sebelum tia murtad. Artinya, zakat ini tetap
menjadi kewajibannya ketika dia masih Islam.
3. Baligh-akal
Mr X sufah termasuk baligh-akal sebagai syarat wajib zakat. Oleh karenanya,
sudah menkadi kewajiban bagi Mr. X untuk mengeluarkan zakat.
4. Kondisi harta
Melihat pada kondisi harta Mr X jelas adalah berkelimpahan harta. Harta Kondisi
Serta harta tersebut masuk dalam harta yang disyaratkan berkembang karena Mr
X adalah seorang manajer yang memiliki hak untu kenaikan gaji dan meerimabonus
serta promosi jabatan.
Mr X berada dalam kekuasaan penuh (milik) orang yang membayar zakat atau
muzakki. Syarat ini juga dikelaskan oleh Muhammad Jawad Mughniyah dalam buku
Fiqih Lima Mazhab. Maksud dari milik penuh sebagaimana dijelaskan para ulama
mazhab bahwa Mr X yang mempunyai harta tersebut menguasai sepenuhnya
terhadap harta bendanya dan dapat mengeluarkan sepenuhnya sesuai
kehendaknya.
7. Mencapai haul
Mr Xsudah memasuki batasan waktu satu tahun hijriyah atau 12 (dua belas) bulan
qomariyah atas kepemilikan harta yang wajib dikeluarkan zakat. Sebagaimana
sabda Rasulullah, "Tidak ada kewajiban zakat pada harta sampai genap satu tahun."
Genapnya satu tahun merupakan syarat untuk zakat selain tanaman dan buah-
buahan. Adapun mengenai kedua barang tersebut, zakat wajib ditunaikan ketika
telah berbuah dan aman dari kerusakan jika mencapai batas yang bisa dimanfaatkan
3a.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah yang mungkin terjadi antara bank syariah,
nasabah, dan pemangku kepentingan (stakeholders) adalah hal yang harus
diperhatikan.Seperti bisnis lainnya, sengketa di perbankan syariah juga tidak dapat
dihindarkan. Oleh karena perbankan syariah didasarkan pada prinsip syariah (syariah
based), maka mekanisme penyelesaian sengketanya juga harus berdasarkan syariah
(in compliance with shariah).
Di Indonesia, pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah
adalah Pengadilan Agama. Semenjak tahun 2006, dengan diamendemennya UU No. 7
Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, kewenangan
Peradilan Agama diperluas. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah,
Pengadilan Agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa di bidang ekonomi syariah [Pasal 49 ayat [i] UU No. 3 Tahun 2006]. Dalam
penjelasannya, yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah ‘perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: (a)
bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syari’ah; (c) asuransi syariah; (d) reasuransi
syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah;
(j) dana pensiunan lembaga keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.”
Berangkat dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama
berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan tersebut tidak
hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang ekonomi syariah
lainnya. Kemudian, kewenangan Pengadilan Agama diperkuat kembali dalam Pasal 55
[1] UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama. Namun, Pasal 55 [2] UU ini memberi peluang kepada para pihak
yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Pengadilan Agama
apabila disepakati bersama dalam isi akad. Sengketa tersebut bisa diselesaikan melalui
musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau
lembaga arbitrase lain dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme penyelesaian sengketa
alternatif di luar pengadilan seperti musyawarah, mediasi, dan arbitrase syariah
merupakan langkah yang tepat dan layak untuk diapresasi. Akan tetapi, masalah
muncul ketika Pengadilan Negeri juga diberikan kewenangan yang sama dalam
menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Terjadi dualisme penyelesaian sengketa
dan ketidakpastian hukum serta tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan
suatu perkara yang sama oleh dua lembaga peradilan yang berbeda. Padahal,
kewenangan ini jelas merupakan kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur
dalam Pasal 49 (i) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
3b
Analisi kasus Mr X dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah antara laian :
a. Penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat
Penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat ini merupakan jalur paling
awal yang dilalui oleh pihak yang bersengkatan yakni Mr X sebelum akhirnya masuk
pada jalur hukum atau pengadilan. Berikut ini langkah-langkah dalam penyelesaian
sengketa melalui jalur musyawarah mufakat, yaitu:
(1) mengembalikan pada butir-butir akad yang telah ada sebelumnya
(2) para pihak yakni nasabah dan bank kembali duduk bersama dan fokus kepada
masalah yang dipersengketakan
(3) mengedepankan musyawarah dan kekeluargaan, hal ini sangat dianjurkan untuk
menyelesaikan sengketa;
(4) tercapainya perdamaian antara pihak yang bersengketa.yariah.
Penyelesaian sengketa awal iniyang paling sesuai untuk Mr X adalah melalui islah
ataupun musyawarah tadi. Jika para pihak memilih cara islah, maka mereka mencoba
terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah di antara mereka dengan mengadakan
pertemuan antara kedua belah pihak. Hasil pertemuan tersebut dituangkan dalam
bentuk tertulis dan jika pertemuan tersebut gagal untuk mencapai kesepakatan, maka
penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan bantuan dari seseorang atau lembaga
sebagai mediator. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator
tersebut dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak
yang terkait. Apabila usaha perdamaian seperti yang telah disebutkan di atas itu juga
tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis
mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.Tidak
seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai
sengketa yang terjadi tapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka
dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution.
2. Penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa
(alternative dispute resolution).
Mr X dapat memilih empat lembaga dan cara dalam penyelesaian perkara perdata
perbankan. Pertama, melalui jalur lembaga pengaduan nasabah. Lembaga pengaduan
nasabah disebutkan dalam pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/ PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah, pengaduan didefinisikan sebagi ungkapan
ketidakpuasan nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada
nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank. Kemudian menurut pasal
2 PBI No. 7/7/PBI/2005 bank diwajibkan menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur
tertulis tentang penerimaan pengaduan, penanganan dan penyelesaian pengaduan
serta pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan. Prosedur penyelesaian
sengketa melaui lembaga pengaduan nasabah yang berada dalam internal bank yang
bersangkutan berdasarkan ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dalam
Surat Edaran Bank Indoensia (SEBI) No.7/4/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005 antara
lain, sebagai berikut: (1) kewajiban bank untuk menyelesaikan pengaduan mencakup
kewajiban menyelesaikan pengaduan yang diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh
nasabah dan atau perwakilan nasabah termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga,
badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut; (2) setiap
nasabah, termasuk walk in costumer memiliki hak untuk mengajukan pengaduan; dan
(3) pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh perwakilan nasabah yang bertindak
untuk dan atas nama nasabah berdasarkan surat kuasa dari nasabah. Dalam pasal 10
PBI No. 7/7/PBI/2005 disebutkan bahwa bank wajib menyelesaikan pengaduan paling
lambat 20 hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan tertulis, kecuali terdapat
kondisi tertentu yang menyebabkan bank dapat memperpanjang jangka waktu, yaitu:
(1) kantor bank yang menerima pengaduan tidak sama dengan kantor bank tempat
terjadinya permasalahan yang diadukan dan terdapat kendala komunikasi diantara
kedua kantor Bank tersebut; (2) transaksi keuangan yang diadukan oleh nasabah atau
perwakilan nasabah memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen dokumen bank;
dan (3) terdapat hal hal lain yang berada di luar kendali bank, seperti adanya
keterlibatan pihak ketiga di luar bank dalam transaksi keuangan yang dilakukan
nasabah.
3 Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah
Nasional)
Mr X dapat memilih jalur penyelesaian melalui Basyarnas sebagai lembaga permanen
yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan
terjadi sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri,
keuangan, jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank
Muamalat Indonesia dan Bank perkreditan Rakyat Syariah. Lembaga Arbitrase Syariah
merupakan penyelesaian sengketa secara syariah antara kedua belah pihak di jalur
pengendalian untuk mencapai kesepakatan masalah ketika upaya mufakat tidak
tercapai. Disamping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat
hukum, yaitu pendapat yang mengikat adanya suatu persoalan tetentu yang berkenaan
dengan pelaksanaan perjanjian atas permintaan para pihak yang mengadakan
perjanjian untuk deselesaikan. Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan
perselihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara
tersebut. Hakim harus memperhatian rujukan yang berasal dari arbiter yang
sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbanganuntuk
menghindari lamanya proses penyelesaian.
Adapun prosedur berperkara di Badan Arbitrase Syariah Nasional yaitu: (a) Setiap
pihak dapat menyerahkan penyelesaian sengeketa dengan cara mengadakan
perjanjian (pactum de compromitendo) atau persetujuan bersama; (b) Arbitase syariah
menangani perkara yang timbul akibat hubungan perdagangan, industri, keuangan jasa,
dan lain lain, dan tidak menangani perselisihan sesuai pasal 616 RV yaitu perselisihan
hibah, wasiat, nafkah, perceraian antara suami dan isteri serta sengketa sengketa lain
yang tidak dilakukan perdamaian; (c) Basyarnas memilih arbiter baik dalam bentuk
tunggal atau majelis, setelah persyaratan adminstrasi dan klausul arbitrase dianggap
sudah mencukupi. Arbiter melakukan proses peradilan berdasarkan asas “Demi
keadilan dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” setiap penetapan dan
keputusan dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” diikuti dengan “Demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; (d) Keputusan arbiter berdasarkan
suara terbanyak seandainya arbiter lebih dari satu orang, sekiranya suara terbanyak
tidak tercapai maka ketua arbiter bisa mengambil dan menjatuhkan keputusan sendiri,
dan bersifat final dan binding; (e) Pelaksanaan keputusan harus meminta persetujuan
pelaksaan dari Pengadilan Negeri yang tentunya tidak mendapat persetujuan dari pihak
yang kalah, sehingga Pengadilan Negeri kembali memeriksa perkara maka terjadilah
proses dua kali pemeriksaan, hal ini tidak dibenarkan dan menjadi kelemahan
berperkara di Basyarnas.
4a.