Anda di halaman 1dari 15

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat diketahui bagaimana tahapan zakat diwajibkan dan Bagaimana ketentuan
yang telah ditetapkan oleh mengenai muzakki dan juga Mustahiq. Menurut Undang-Undang No. 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 1, muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh
orang muslim yang Berkewajiban menunaikan zakat. Zakat diwajibkan atas orang yang telah
memenuhi Syarat-syarat, yaitu: Islam, merdeka, baligh dan berakal sehat, memiliki harta atau
Kekayaan yang cukup nisab, memiliki harta atau kekayaan yang sudah memenuhi Haul, memiliki
harta secara sempurna dan muzakki adalah orang yang Berkecukupan atau kaya.

Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Para fuqaha Menetapkan lima
syarat atas orang yang berhak menerima zakat yaitu: kefakiran Atau kekurangan pemenuhan
kebutuhannya, penerima zakat harus muslim, Penerima zakat bukan berasal dari keturunan Bani
Hasyim, penerima zakat bukan Orang yang lazim diberi nafkah, dan penerima zakat akil dan baligh.
Allah SWT telah menentukan golongan-golongan tertentu yang berhak Menerima zakat, dan bukan
diserahkan kepada pemerintah untuk membagikannya Sesuai kehendaknya. Oleh karena itu, zakat
harus dibagikan kepada golongangolongan yang telah ditentukan yakni seperti dalam surat at-
Taubah ayat 60 yaitu Fakir, miskin, amil zakat, muallaf, riqab, gharim, fi sabilillah dan ibnu sabil.

ZAKAT

A. Pengertian Zakat

Zakat secara etimologi dapat diartikan berkembang dari berkah, seperti dalam ungkapan Berikut:
(tanaman itu berkembang) , (nafkah itu berkah) Dan (Si Fulan banyak kebaikannya) Selain itu zakat
dapat diartikan mensucikan, sebagaimana dalam firman Allah:

‫ْقد َْافَل ح م ْن زهكى‬

“sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),”Maksud ayat di atas yakni membersihkan
dari segala noda zakat juga diartikan memuji Bagaimana dalam firman Allah:

‫ف ال ُت ُّز ْْٓكواَ ْانُف سُك‬

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.”Maksudnya jangan puji diri sendiri.

Zakat disebut demikian karena harta kekayaan yang dizakati akan semakin berkembang Berkat
keluarkan zakatnya dan doa orang yang menerimanya. Zakat juga membersihkan Orang yang
menunaikannya dari dosa dan memujinya, bahkan menjadi saksi atau bukti atas Kesungguhan Iman
orang yang menunaikannya. Adapun menurut istilah syar’i, zakat berarti Sesuatu yang dikeluarkan
atas nama harta atau badan dengan mekanisme tertentu.
B. Hukum Zakat

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan, dan dinyatakan dalam Alquran
secara bersamaan dengan salat sebanyak 82 ayat. Pada masa permulaan Islam di Mekah, kewajiban
zakat ini masih bersifat global dan belum ada ketentuan mengenai jenis Dan kadar (ukuran) hanya
yang wajib dizakati. Hal itu untuk menumbuhkan kepedulian dan Kedermawanan umat Islam. Zakat
baru benar-benar diwajibkan pada tahun 2 Hijriah, namun Ada perbedaan pendapat mengenai
bulannya. Pendapat yang masyhur menurut ahli hadits Adalah pada bulan Syawal tahun tersebut.

C. Dalil Pensyariatan Zakat

Dalil persyarikatan zakat kewajiban zakat ditetapkan berdasarkan dalil Alquran, sunah, dan ijma dalil
yang berasal dari Alquran antara lain firman Allah:

ُ‫ْخذ ِم ْنَاْم واِلِهْم ص د ق ة ُت طِّهُ ُر ْهم ُوت ِّز ْكيِهْم ِب ها‬

“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat,”

Hukum zakat dalam Alquran masih bersifat mujmal (Global), tanpa menjelaskan detail Mengenai
ketentuan orang yang wajib mengeluarkan zakat, berapa yang wajib dizakati, dan Apa saja yang
wajib dizakati. Lalu datanglah sunah yang bertugas Menjelaskan hal tersebut Secara rinci dan
eleboratif. Sementara itu, ijma”mengenai kewajiban zakat sudah ada sejak Zaman putusnya
Rasulullah hingga sekarang tanpa ada mengingkarinya.

D. Hukum Orang Yang Meninggal Zakat

Zakat merupakan kewajiban yang telah disepakati oleh umat Islam. Kewajiban zakat telah
Ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah baik secara umum ataupun khusus sehingga telah Diketahui
dengan pasti sebagai bagian dari kewajiban agama. Jika seorang muslim Mengingkari kewajibannya
maka ia sama saja telah mengingkari agama Islam karena agama Islam merupakan satu kesatuan
yang utuh, tidak terpisah antara kewajiban yang satu dengan Kewajiban yang lain. Oleh karena itu,
jika seorang muslim mengingkari kewajiban zakat yang Telah disepakati tersebut,ia dianggap kafir.

Apabila Iya mengingkari zakat yang masih diperselisihkan tentang wajibnya, seperti zakat Harta rikaz
(harta pacar pendam) dan perniagaan, maka ia tidak dianggap kafir. Namun, jika Ia tinggal dalam
wilayah pemerintahan Islam yang mewajibkan zakat, tersebut dan ia Diwajibkan zakat tetapi ia
mengingkarinya dan tidak menjalankan perintah Allah tentang Zakat tersebut, maka ia dianggap kafir
dan boleh diperangi serta diambil hartanya secara Paksa oleh pemerintah. Khalifah Abu Bakar
pernah memerangi orang-orang yang menolak Mengeluarkan zakat, Beliau berkata yang kemudian
terkenal sebagai statemen Abadi, “Demi Allah seandainya mereka tidak memberikan kepadaku
bagian zakat yang dahulu mereka Tunaikan kepada Rasulullah niscaya aku perang yang mereka
karenanya.”

Hadis yang menerangkan Ancaman bagi orang yang meninggalkan kewajiban zakat cukup, Banyak
diantaranya hadis marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan an-nasa’i Dari Abu Hurairah:
“barangsiapa yang diberi harta kekayaan oleh Allah, lalu ia tidak menunaikan Zakatnya, maka harta
tersebut akan ditampilkan kelak di Hari Kiamat sebagai sosok lagi Pemberani berambut botak yang
memiliki dua taring yang akan dikalungkan kepada pemiliknya pada hari kiamat, kemudian ia akan
mengambilnya (sang pemilik) dengan kedua Sisi mulutnya, sambil berkata Akulah hartamu. Akulah
harta terpendam.”

E. Syarat Wajib Zakat

Syarat wajib zakat zakat diwajibkan karena orang muslim Merdeka (bukan budak), yang Memiliki hak
penuh atas harta yang wajib zakat dan telah mencapai nisab.

Oleh karena itu, zakat tidak diwajibkan kepada orang kafir, sebab Ia tidak mungkin Mengeluarkan
zakat sementara ia kafir. Namun Ia tetap akan diazab di akhir sebab Ia juga Sebenarnya dituntut
untuk melaksanakan syariat Islam.

Sedangkan bagi orang yang murtad, hartanya ditangguhkan. Jika ia kembali kepada Agama Islam,
maka ia wajib mengeluarkan zakat. Jika ia telah mengeluarkan zakat ketika ia Masih dalam kondisi
murtad maka zakat tersebut dikembalikan kepadanya, dan jika ia Meninggal dunia dalam keadaan
murtad maka hartanya menjadi milik negara dan disimpan Di kas negara ( bait al-mal ) .

Syarat utama dari semua jenis zakat adalah beragama Islam. Adapun syarat Status Kepemilikan
harta secara penuh (utuh) tidak termasuk di dalamnya serta mengubah seperti Pepohonan di
lembah atau Sungai. Sedangkan harta yang diwakafkan kepada janin (bayi) Dalam kandungan tidak
termasuk harta milik secara penuh (utuh), karena tidak dapat Dipastikan Apakah ia lahir dalam
keadaan hidup atau tidak. Status kepemilikan harta Disyaratkan secara jelas dan pasti, dengan
demikian harta yang diwakafkan kepada orangorang kafir dan masjid tidak wajib zakat, karena tidak
ada kejelasan dan kepastian status Kepemilikannya. Lain halnya harta yang diwakafkan kepada
seseorang atau kelompok tertentu yang benar-benar paham tentang zakat, dalam hal ini diwajibkan
zakat.

A. Pengertian Puasa
Dari segi bahasa, puasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kaff) dari sesuatu. Misalnya,
Dikatakan “shama ‘anil-kalam”, artinya menahan dari berbicara. Allah SWT berfirman sebagai
Pemberitahuan tentang kisah Maryam:

٢ ‫ص ٗوما فَل ْۡن أ ُْكل م ْ ۡٱلي ْۡو م إ ن سٗ ي ا‬


ۡ ‫إ ِيِّن ن ذ ۡ ْر ُت ل ِّل ْ ۡرح م ْ ْ ن‬.

“Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah...”(Q.S. Maryam :
26)

Maksutnya, diam dan menahan diri dari berbicara. Orang Arab lazim mengatakan, “shama An-
nahar”, maksutnya perjalanan matahari berhenti pada batas pertengahan siang.

Adapun menurut syarak (syara’), puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang Membatalkannya
dengan niat yang dilakukan oleh orang bersangkutan pada siang hari, mulai Terbit fajar sampai
terbenam matahari.

Dengan kata lain, puasa menurut istilah adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang Berupa dua
macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta menahan diri dari Segala sesuatu agar
tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu dilakukan pada Waktu yang telah ditentukan,
yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari, oleh Orang tertentu yang berhak
melakukannya, yaitu orang Muslim, berakal, tidak sedang haid, Dan tidak sedang nifas. Puasa harus
dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk Mewujudkan perbuatan itu secara pasti,
tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah membedakan Antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang
telah menjadi kebiasaan.

B. Rukun Puasa Dan Syarat Puasa

1.Rukun puasa

Ialah menahan diri dari dua macam syahwat, yakni syahwat perut dan syahwat kemaluan.
Maksudnya, menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya. Dalam buku Fiqh Islam
disebutkan ada 2 rukun puasa, yaitu:

a.Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang dimaksud dengan malam
puasa ialah malam yang sebelumnya. Sabda Rasulullah SAW :

“Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar terbit, maka tiada Puasa
baginya.” (Riwayat lima Orang Ahli Hadis)

Kecuali puasa sunat, boleh berniat pada siang hari, asal sebelum zawal (matahari condong ke Barat).

b. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.

a. Syarat Wajib Puasa


1) Baligh

Puasa tidak diwajibkan atas anak kecil. Akan tetapi, puasa yang dilakukan oleh anak kecil yang
Mumayiz, hukumannya sah, seperti halnya sholat. Wali anak tersebut, menurut mazhab Syafi’i,
Hanafi, dan hanbali, wajib menyuruhnya berpuasa ketika dia telah berpuasa tujuh Tahun. Dan jika
anak kecil itu tidak mau berpuasa, walinya wajib memukulnya ketika di atelah Berusia sepuluh
tahun. Hal itu dimaksudkan agar dia menjadi terbiasa dengan puasa, seperti Halnya sholat. Kecuali,
terkadang seseorang mampu melakukan sholat, tetapi belum tentu Mampu berpuasa.

Sabda Rasulullah SAW :

“Tiga orang terlepas dari hukum (a) orang yang sedang tidur hingga ia bangun, (b) ornag gila Sampai
ia sembuh, (c) kanak-kanan sampai ia balig.” (Riwayat Abu Dawud dan Nasai)

2) Berakal

Puasa tidak wajib dilakukan oleh orang gila, orang pingsan dan orang-orang mabuk, karena Mereka
tidak dikenai khithab taklifiy; mereka tidak berhak berpuasa.

Pendapat ini dipahami dari Hadis Nabi SAW berikut:

Pena diangkat dari tiga orang; dari anak kecil sampai dia dewasa, dari orang gila sampai dia Sadar,
dan dari orang tidur sampai dia terjaga. Orang yang akalnya (ingatannya) hilang tidak dikenai
kewajiban berpuasa. Dengan Demikian, Puasa yang Dilakukan oleh orang gila, orang pingsan, dan
orang mabuk tidak sah. Sebab, mereka tidak Berkemungkinan untuk melakukan niat.

3.Mampu (Sehat) dan Berada di Tempat Tinggal (Iqamah)

Puasa tidak diwajibkan atas orang sakit. Walaupun demikian mereka wajib mengqadhanya.
Kewajiban Mengqadha puasa bagi keduanya ini telah disepakati oleh para ulama. Tetapi jika
keduanya Ternyata berpuasa, puasanya dipandang sah. Dalilnya ialah ayat berikut:

‫د‬

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang Sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak Hari yang
ditinggalkan itu pada harihari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat Menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan Seorang miskin. Barangsiapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah: 184)

b. Syarat Sah Puasa

1)Islam. Orang yang bukan Islam tidak sah puasa.

2)Mumayiz (dapat membedakan yang baik denganmembayar) puasa yang tertinggal itu secukupnya.
Dari Aisyah. Ia berkata, “kami disuruh oleh RasulullahSAW mengqada puasa dan tidak disuruhnya
mengqada Salat,” (Riwayat Bukhari) Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya.

C. Macam-Macam Puasa
Puasa banyak macamnya; puasa-wajib, puasa sunah (tathawwu), puasa yang diharamkan, Dan puasa
yang dimakruhkan.

1.Puasa-Wajib

Puasa jenis ini terdiri dari tiga macam :

a.Puasa yang diwajibkan karena waktu tertentu, yakni puasa pada bulan ramadan,

b.Puasa yang diwajibkan karena suatu sebab (‘illat), yakni puasa kafarat, dan

c.Puasa yang diwajibkan karena seseorang mewajibkan puasa kepada dirinya sendiri, yakni puasa
nazar.

2.Puasa-Haram

Puasa jenis ini ialah sebagai berikut :

a.Puasa sunnah (nafilah) seorang perempuan yang dilakukan tanpa izin suaminya. Kecuali, Jika
Suaminya Tidak memerlukannya. Misalnya, ketika suaminya Sedang bepergian, sedang melakukan
ihram haji atau umrah, atau sedang melakukan itikaf.

Puasa ini diharamkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan dalam kitab Ash-Shahihain Berikut:

“Seorang perempuan tidak dihalalkan berpuasa ketika Suaminya hadir di sampingnya, kecuali
dengan izinnya.”

Lagipula, faktor yang menyebabkan Pengharaman puasa ini ialah karena memenuhi hak suami
merupakan kewajiban, yang tidak Boleh diabaikan karena ada perbuatan sunnah. Seorang
perempuan yang berpuasa tanpa izin Suaminya, maka puasanya maka puasanya dipandang sah,
sekalipun diharamkan; seperti Halnya seorang yang salat di tempat hasil gasab. Suami perempuan
tersebut berhak Menyuruhnya membatalkan puasa, demi memenuhi hak dan kebutuhannya. Puasa
jenis ini, Menurut mazhab Hanafi, hukumnya makruh tanzihiy.

b.Puasa pada hari yang diragukan (yaumus-sakk). Yakni, puasa pada hari ketiga puluh bulan Syakban,
ketika orang-orang meragukan bahwa hari itu termasuk bulan Ramadan. Para Fukaha mempunyai
beberap ungkapan yang hampir sama mengenai batasan antara bulan Syakban dan Ramadan.
Namun mereka berbeda pendapat dalam penetapan hukumnya. Walaupun demikian, mereka
bersepakat bahwa puasa tersebut tidak makruh. Bahkan, Mereka membolehkan puasa itu dilakukan
jika bertepatan dengan kebiasaan melakukan Puasa sunah, misalnya puasa sunah hari Senin dan hari
Kamis.

Dengan demikian, puasa yang dilakukan sehari atau dua hari sebelum Ramadan, hukumnya Makruh.
Kecuali, jika sebelumya seseorang telah terbiasa melakukan puasa sunah. Alasan Pemakruhan puasa
ini, karena khawatir puasa itu dianggapp sebagai tambahan untuk bulan Ramadan. Puasasunah yang
dilakukan tanpa ada keraguan, hukumnya tidak makruh. Oleh Karena itu, seseorang tidak boleh
berpuasa pada hari syak, kecuali puasa sunah. Menurut Mazhab Maliki yang masyhur, puasa syak
terjadi pada tanggal 30 Syakban ketika langit pada Malam itu (tanggal tiga puluh) dalam keadaan
mendung, sehingga hilal tidak bisa terlihat. Jika Langit cerah, hari syak tidak ada. Dengan demikian,
jika pada saat itu hilal tidak terlihat, berarti Sudah pasti bahwa hari esoknya masih termasuk bulan
Syakban. Pendapat ini sama dengan Pendapat mazhab Hanafi.
Disebut juga hari syak jika hilal disaksikan oleh seseorang yang kesaksiannya tidak diterima, Seperti
hamba sahaya, perempuan, atau orang fasik.

c.Puasa pada hari raya dan hari-hari Tasyrik.

Menurut mazhab Hanafi, puasa yang dilakukan pada harihari tersebut hukumnya makruh Tahrimiy,
sedangkan menurut mazhab yang lainnya haram, serta tidak sah menurut mazhab Yang lain baik
puasa tersebut merupakanpuasa wajib maupun puasa sunah. Seseorang Dianggap melakukan
maksiat jika sengaja berpuasa pada hari-hari tersebut. Puasa-wajib yang Dilakukan di dalamnya
dipandang tidak membebaskannya dari kewajiban; yakni berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah berikut:

“Rasulullah SAW melarang puasa pada dua hari. Yaitu, pada hari Raya Fitri dan hari Raya Adha.”

d.Puasa wanita yang sedang haid atau nifas hukumnya haram dan tidak sah.

e.Puasa yang dilakukan oleh seorang yang khawatir akan keselamatan dirinya jika dia berpuasa,
hukumnya haram.

3.Puasa Makruh, Puasa jenis ini seperti puasa dhar, puasa yang dikhususkan pada hari Jumat Saja
atau hari Sabtu saja, puasa pada hari yang diragukan (syak) dan menurut Jumhur puasa Sehari atau
dua hari sebelum Ramadan. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, puasa sehari atau Dua hari sebelum
Ramadan, hukumnya haram.

Adapun puasa yang termasuk kategori makruh tanzihiy adalah puasa pada hari Asyura yang
Dilakukan tanpa didahului oleh hari sebelumnya (9 Muharram) atau diikuti oleh hari Sesudahnya (11
Muharram). Puasa lain yang termasuk kategori ini ialah puasa pada hari Jum’at yang ifradi (tanpa
melakukan puasa pada hari-hari yang lainnya), hari Sabtu, hari Nairuz (hari terakhir pada musim
bunga), dan hari Mahrajan (hari terakhir pada musim gugur).

4.Puasa Tathawwu’ atau Puasa Sunnah

Tathawwu’ artinya mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan amal ibadah yang Tidak
diwajibkan. Istilah ini diambil dari ayat berikut.

“...maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari Yang lain...”

Ayat ini hanya mewajibkan jumlah pengqadhaan. Ia tidak mewajibkan pengqadhaan secara Tatabu’.

Mazhab Zhahiri dan Hasan Bashri menjadikan tatabu’ sebagai syarat. Dalil mereka adalah Ucapan
Aisyah yang menyatakan bahwa ayat ini (Q.S. Al Baqarah:184) pada mulanya berbunyi “fa’iddatun
min ayyamin ukhar mutataabi’at” kemudian kata “mutataabi’at” dihapuskan.

3. Kafarat

Hal yang mewajibkan kafarat ialah pembatalan puasa Ramadan secara khusus, yaitu Dilakukan
secara sengaja dan atas kehendak sendiri. Hal ini menyebabkan kafarat diwajibkan, Karena tindakan
tersebut merusak kesucian puasa tanpa ada uzur yang membolehkan Pembatalan puasa.

Kafarat tidak diwajibkan atas orang yang mencium istrinya, wanita haid, wanita nifas, orang Gila,
atau orang pingsan. Karena, hal-hal tersebut bukan terjadi atas kehendak mereka.
Demikian juga, kafarat tidak diwajibkan atas orang sakit, musafir, orang yang sangat merasa Lapar
dan haus, serta wanita hamil, sebab mereka memiliki uzur. Begitu pula, kafarat tidak Diwajibkan atas
seorang murtad. Alasannya, karena dia merusak kesucian puasa secaraKhusus. Penyebab yang paling
penting adalah persetubuhan. Hal ini disepakati olehsemua Ulama.

Kafarat hanya diwajibkan kepada orang yang membatalkan puasanya pada bulan Ramadan. Dalil
pewajiban kafarat ialah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia mengatakan bahwa
seseorang datang kepada Nabi SAW seraya berkata, “Aku Celaka wahai Rasulullah.” Beliau bertanya :
“Apa yang mencelakakanmu?” Dia menjawab: “Aku menyetubuhi istriku pada bulan Ramadan.”
Beliau bertanya : ”Apakah kamu bisa Memerdekakan hamba sahaya?” Dia menjawab : “Tidak.”
Beliau bertanya lagi : “Apakah kamu Sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab :
“Tidak.” Beliau bertanya lagi : “Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam
puluhorang miskin?” Dia Menjawab : “Tidak.” Abu Hurairah menceritakan lagi bahwa kemudian Nabi
SAW duduk. Setelah itu, kepada beliau didatangkan sekeranjang kurma. Beliau bersabda :
“Bersedekahlah Dengan ini.” Orang tadi bertanya : “Apakah ini akan diberikan kepada orang yang
lebih fakir Dari kami? Tidak satu pun keluarga yang berada di antara perbatasan daerah (labah) kami
Yang membutuhkan (makanan ini) daripada kami.” Nabi SAW tertawa hingga beberapa Gerahamnya
terlihat. Beliau bersabda, “Pergilah, dan berikan makanan ini kepada Keluargamu.”

Jenis kafarat puasa ada tiga, yaitu :

1) memerdekakan hamba sahaya,

2) berpuasa selama

(3) memberi makan enam puluh orang miskin.

4. Fidyah

Hukum fidyah adalah wajib. Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an

Berikut :
ْ ‫و ع ل ٱلِّذ ْي ن ي‬
‫طُيقُون ه ُۥف ْۡدي ة طع‬
‫اُم مۡ س كي ٖن‬

“…Dan wajib bagi orang-orang yang berta menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu) memberi makan satu orang Miskin…(Q.S. Al Baqarah : 184)

H. Faedah Puasa

Ibadah puasa itu mengandung beberapa hikmah, di antaranya sebagai Berikut :

1. Tanda terima kasih pada Allah karena semua ibadah mengandung arti terima kasih kepada
Allah atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya, dan tidak ternilai harganya.
Firman Allah SWT :
َۗٓ
‫وإ ن ت ُع ُّْدوْ ا نِعْۡ م ت ٱل ْ ّل ْ ل ْ ت ۡ ُْح ُصوها َ ْ ِّإن ْ ٱ ْْۡۡلن س ْ ْ ن لَظ ْلُوم َكفاَّر‬

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (Q.S. Ibrahim :
34)
2.Didikan kepercayaan. Seseorang yang telah sanggup menahan makan dan minum dari harta Yang
halal kepunyaannya sendiri, karena ingat perintah Allah, sudah tentu ia tidak akan Meninggalkan
segala perintah Allah, dan tidak akan berani melanggar segala larangan-Nya.

3.Didikan perasaan belas kasihan terhadap fakir-miskin karena seseorang yang telah merasa Sakit
dan pedihnya perut keroncongan. Hal itu akan dapat mengukur kesedihan dan Kesusahan orang
yang sepanjang masa merasakanngilunya perut yang kelaparan karena Ketiadaan. Dengan demikian,
akan timbul perasaan belas kasihan dan suka menolong fakir Miskin.

4.Guna menjaga kesehatan.

5.Guna menenangkan nafsu amarah dan meruntuhkan kekuatannya yang tersalurkan dalam Anggota
tubuh, seperti mata, lidah, telinga, dan kemaluan.

Pengertian sholat

Shalat menurut arti bahasa adalah doa, sedangkan menurut terminologi syara’adalah Sekumpulan
ucapan dan perbuatan yang di awali dengan takbir dan di akhiri dengan salam.

Ia disebut shalat karena ia menghubungkan seoroang hamba kepada penciptanya, dan Shalat
meruapakan manifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah . Dari sini Maka , shalat
dapat menadi media permohonan pertolongan dalam menyingkirkan segala Bentuk kesulitan yang di
temui manusia dalam perjalanan hidupnya sebagaimana firman Allah

ُ‫َّصل‬ ِْْ ‫ا ْس تِعيُنوْ ا بِا ُ ل‬


َ ‫َّصي ُوا ل‬
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong mu ( QS.Al-Baqarah (2): 153 )

Hukum Shalat

Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dan harus dilaksanakan berdasarkan Ketetapan
al-qur’an, sunnah, dan ijma.

ِ‫َّصلوة َكا ن ْت عَىل ْالُ ْمِؤ ِم ْنر ن ي ِٰكت با َّ ْم ُو ْقو تا‬


ٰ ‫اَّن ال‬

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yangBeriman .
( Q.S. An-Nisa (3):103 )

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya Nabi bersabda pada Mu’adz ketika beliau mengutus Nya
ke Yaman, “ Sesungguhnya kau akan mendatangi kauhm ahlulkitab, maka dakwahilah mereka
agarbersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya akan ada Rasul utusan Allah. Jika
mereka menaatimu dalam hal tersebut, maka beritahulah mereka bahawa Allah telah mewajibkan
kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. “

WAKTU –WAKTU SHALAT

Waktu merupakan penyebab zhair diwajibkan shalat, sementara penyebab hakikinya adalah
perintah Atau ketetapan dari Allah. Penetapan kewajiban (al-ijab) disandarkan kepada allah ,
sedangkan Kewajiban (al-wujud) disandarkanpada perbuatan hamba , yaitu shalat. Allah
berfirman :”DirikanlahDari sesudah matahari tergelincir ,” (Q.S.Al-Isra : 78) yaitu bergesernya
matahari dari tengah tengah Bumi setelah pertengahan siang , Allah juga berfirman : “Dan dirikanlah
shalat itu pada kedua tepi Siang (pagi dan petang ) dan pada bahagiaan pemula dari pada malam “
( QS.Hud :14 ) .

1. Waktu Zhuhur

Menurut ijma, permulaan waktu Zuhur adalah ketika matahari tergeser dari posisinya di Tengah-
tengah langit berdasarkan penglihatan mata. Sementara akhir waktu shalat zuhur Dipersengketakan,
Apakah ia turut bersama dengan maksud awal waktu Ashar atau tidak ?

Namun pendapat yang rajih (diunggulkan) menurut Kami adalah waktu Zuhur berakhir seiring
Dengan masuknya awal waktu shalat Ashar dengan rentang waktu yang kira-kira cukup untuk
Menjalankan shalat 4 rakaat. Ini berarti akhir waktu shalat zuhur berkelindan dengan waktu Awal
waktu shalat asar dengan ukuran kira-kira cukup untuk shalat 4 rakaat.

Ini adalah pendapat Imam Malik pendapat mayoritas ulama atau jumhur yang menyatakan
Ketiadaan istirahat antara waktu shalat zuhur dan Ashar dapat dibantah dengan hadis narasi
Abdullah bin Amru bahwa Nabi besabda :

‫ض‬
‫طولِه ما َ ْلم ي ْح نُ ِضاْل ع‬ ْ ُّ‫وْ ق ُت ال‬
ِ ‫ظ ِه ِرإ ذا زاَل ِت ال َّ ْشم ُس َوكا ن ِظ ُّل الَّ ُر ِجل َ ُك‬
“Waktu Zhuhur dimulai saat matahari tergelincir ke barat (waktu zawal) hingga bayangan Seseorang
sama dengan tingginya dan selama belum masuk waktu ‘Ashar.”

Adanya yang mengatakan bahwa kedua hadis ini dapat digabungkan dengan mengasumsikan Bahwa
hadis Abdullah bin Amru menerangkan waktu Ashar merujuk pada ujaran: “selama waktu Ashar
belum tiba”. Kami tidak menentang sintesa demikian, akan tetapi kami hanya menyatakan adanya
isytitak (pertautan) antara keduanya sebagaimana yang sangat jelas dinyatakan dalam hadis narasi
Ibnu Abbas.

2. Waktu Ashar

Permulaannya adalah ketika ukuran bayangan sesuatu sama panjang dengan ukuran aslinya setelah
tergelincirnya matahari. ini adalah yang disepakati para ulama, sebagaimana dalam Hadis Jibril di
atas. Adapun akhir waktu Ashar adalah tenggelamnya matahari berdasarkan

Hadis narasi Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda :

‫م ْنَْأد ر ك رْ ك ع ة ِم ن ْال ع ْ ِض ْقب أَل ْن ْت ُغر ب ال َّ ْشم ُس ف ْق َدْأد ر ك ْال ع ْ ض‬

“Barangsiapa yang mendapati satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum matahari tenggelam maka ia telah
mendapatkan shalat ‘Ashar”.

Kalangan yang berpegang pada hadis Jibril yang menyatakan bahwa batas akhir waktu shalat ashar
adalah ketika bayangan segala sesuatu dua kali panjang aslinya, kemudian menyatakan bahwa waktu
Ashar adalah di antara kedua waktu tersebut, dapat dijawab sebagai berikut.yang dimaksud dari
hadis yang bukanlah mencakup waktu terpaksa dan waktu jawaz (boleh). akan tetapi, hadits Jibril
harus dimaknai sebagai waktu yang tidak makruh. sehingga setelah waktu tersebut hingga magrib
adalah waktu makruh untuk shalat ashar. Tidak diragukan lagi Bahwa pemaduan dua hadis lebih
utama sebagaimana yang dikatakan kalangan ahli Ushul Fiqih.

3. Waktu Magrib

Waktu maghrib masuk ditandai dengan tenggelamnya matahari. hal ini telah disepakati oleh seluruh
ulama, merujuk pada hadis Jibril di atas dan hadis Salamah bin al-akwa’ bahwasa nabi shalat magrib
ketika matahari tenggelam dan menghilang oleh hijab.

4.. Waktu Isya

Waktu Isya dimulai sejak hilangnya Mega merah berdasarkan hadits Jibril di atas, sementara akhir
waktunya adalah sepertiga malam yang pertama, merujuk pada hadis Jibril di atas.

Ada juga yang mengatakan akhir waktunya adalah pertengahan malam berdasarkan Penuturan
Anas: nabi mengakhirinya shalat Isya hingga pertengahan malam, Kemudian beliau Shalat, lalu
bersabda,” orang-orang telah shalat dan tidur, sementara kalian Tengah menjalani Shalat yang kalian
tunggu-tunggu, dan berdasarkan riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi Bersabda,” Andai tidak
memberatkan umatku, niscaya aku memerintahkan kepada mereka Agar mengakhirkan Isya hingga
sepertiga malam atau pertengahannya”.

Simpul kata, keempat waktu shalat yang telah disebutkan di atas masing-masing membentuk Hingga
masuknya waktu shalat lain, merujuk pada hadis riwayat Abu Qatadah dari Nabi:” Tiada kelalaian
atau (dosa) dalam tidur, akan tetapi kelalaian (dosa) adalah ketika seseorang Tidak menjalankan
suatu shalat hingga datang waktu salat berikutnya.” Yang dimaksud Allah Dalam hadis ini adalah
dosa, dan ini sejalan dengan apa yang yang sudah maklum bahwa Melaksanakan shalat tepat waktu
tanpa mengakhirinya hingga akhir waktunya adalah afdhal.

Akan tetapi ini hanya terbatas pada 4 shalat wajib saja selain subuh, karena waktu subuh yang Akan
kita Terangkan di bawah ini dimulai dari munculnya Fajar selama matahari belum terbit,Merujuk
pada sabda Nabi:

‫لوع ْال ف ِْجر‬


ِ ُ‫و وْ ق ُت صال ِة ال ُّصْ بِح ِم ْن ُط‬
“Waktu shalat Shubuh adalah mulai terbit fajar (shodiq).”

5. Waktu Shubuh

Dimulai dari terbitnya fajar,(hal ini telah disepakati para ulama) dan berakhir dengan Terbitnya
matahari, sebagaimana hadis narasi ibnu umat yang telah disebutkan di atas “Waktu shalat subuh
adalah dari terbit fajar selama matahari belum terbit “.

RUKUN – RUKUN SHALAT

Kata arkan adalah bentuk plural dari kata rukn, menurut arti bahasa berarti sisi yang kuat, merujuk
pada firman Allah dalam menceritakan nabi Luth :

‫ٰا ِو ْْٓيِ ٰالُرْ ٍكن ِش ْدي د‬


“atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Sedanglan menurut
terminologi rukn berarti sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang lain dan bkeabsahannya
tergantung pada sesuatu tesebut .

Rukun shalat dapat diringkas sebagai berikut .

1. Niat
Niat menurut arti bahasa adalah ketetapan hati, sedangkan menurut terminologi syara’, niat
Berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu dibarengi dengan pekerjaannya, kecuali
Puasa. Ia tidak disyaratkan membayangkan niat dengan pekerjaannya, karena hal itu
Menimbulkan kesulitan, mengingat keharusan mengawasi fajar cukup memberatkan bagi
Orang berpuasa.

2. Takbiratul Ihram

Takbiratul Ihram, yakni mengucap Allah Akbar. Allah berfirman :

‫و رَّب ك فَ ِّْكي‬

“dan agungkanlah Tuhanmu”

Para ualama aepakat bahwa maksud takbir dalam ayat di atas adalah takbiratul ihram< Karena
kalimat perintah menunukkan arti wajib sementara yang lain tidak wajib.

Huruf alif dan lam pada kata at-takbir berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah Lazim,dan
kelaziman tersebut adalah takdir yang dinukil secara turun-temurun dari kaum salaf Dari Nabi,
bahawasanya beliau sellau mengucapkannya dalam tiap shalat dan tidak Mengucapkan yang lain
sama sekali.

3. Berdiri

Yang dimaksud berdiri dalam ayat di atas adalah Berdiri dalam shalat, Imran bin Husain Menuturkan:
Aku menderita bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi mengenai shalat. Beliau Menjawab,
“shalatlah dengan berdiri jika tidak mampu shalatlah sambil duduk jika tidak Mampu juga maka
dengan berbaring” An-Nasa’i menambahkan: “jika tidak mampu juga, Maka (shalatlah) sambil
terlentang. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai Dengan kesanggupannya”.

Adapun dalam shalat Sunnah, boleh dilakukan dengan berdiri maupun duduk, namun berdiri Bagi
yang mampu lebih utama karena pahala shalat seorang dengan duduk setengah pahala Saat orang
yang sambil berdiri.

Nabi memiliki kekhususan melakukan shalat fardu sambil duduk meskipun tanpa udzur, dan Shalat
sunnah Nabi dengan duduk tanpa udzur pahalanya sama dengan shalat sunah yang Beliau lakukan
sambil berdiri, merujuk pada penuturan Ibnu Amru :ia bercerita: Aku pernah Mendapat cerita bahwa
Rasulullah bersabda: “Shalat seseorang sambil duduk setengah Pahala shalat (sambil berdiri)” aku
pun lantas mendatangi beliau dan mendapati beliau Sedang shalat sambil duduk, maka aku Letakkan
tanganku kepala beliau. Beliau pun berkata,“Ada apa denganmu, Hai Abdullah bin Amru” aku jawab
“aku mendapat cerita bahwa anda,Wahai Rasulullah, katanya pernah bersabda” shalat seseorang
sambil duduk setengah(Pahala) shalat (sambil berdiri)” tetapi anda sendiri malah shalat sambil
duduk”. Beliau Menjawab “Benar. Namun aku tidak seperti salah seorang dari kalian.”

4. Membaca Surat Al-Fatihah

Membaca surah al-fatihah adalah fardhu bagi mushalli selain ma’mum dalam tiap rakaat, Baik shalat
fardhu maupun sunnah, sebagaimana yang dikatakan Jabir: “ Barangsiapa shalat Satu rakaat tanpa
membaca Umm Al-quran (Al-fatihah), maka ia belum shalat kecuali jika ia Berada di belakang Imam”

Membaca surat al-fatihah diwajibkan bagi orang yang mampu membacanya, merujuk hadis Narasi
Ubadah bin Ash-Shamit bahwasanya nabi bersabda :

َّ‫ ِحة ْالِك تا ِب‬f‫ب فاِت‬


ِ ‫ل ص الة ِل م ْن َْلم يْق رْ أ‬
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Surat al-Fatihah.”

Yang yang dimaksud dengan shalat dalam hadis di atas adalah shalat yang disyariatkan, dan Bentuk
nafi (kata peniadaan) dalam hadis ditunjukkan pada keabsahan dan kecukupan shalat, Bukan
kesempurnaan salat sebab peniadaan keduanya mengharuskan peniadaan Kesempurnaan dan
Bukan sebaliknya

Pembacaan surat Alfatihah disyaratkan Bang harus benar terdengar, dan yang paling utama Adalah
terdapat didengar oleh dirinya sendiri jika ia tidak berposisi sebagai Imam.

Adapun bagi yang tidak mampu, seperti orang yang tidak dapat membaca dan bisu, maka ia Tidak
wajib membacanya, melainkan cukup berdiri dan diam saja, dan disunahkan berdzikir Dan mengikuti
orang yang bacaannya bagus. Sedangkan orang yang mampu membaca dengan Baik satu ayat atau
beberapa ayat al-fatihah atau selain dari al-fatihah, maka ia boleh Mengulang-ulang bacaannya
tersebut. Jika ia memang tidak mampu membaca alquran Dengan baik sama sekali, maka ia cukup
mengucapkan takbir, membaca tahlil, dan membaca Tasbih, sebagaimana hadits narasi Rifa’ah bin
Rafi bahwasanya Rasulullah pernah bersabda Pada orang yang buruk shalatnya,” jika kau memiliki
hafalan Al-quran, maka bacalah.

5. Ruku

Menurut bahasa ruku’ berarti membungkuk dan miring secara mutlak, sedangkan menurut
Terminologi syara’, ruku’ berarti membukukan punggung dan kepala semuanya dalam
shalat.Hukumnya fardhu dalam tiap shalat. Hal ini ditunjukkan oleh Alquran, sunnah, dan ijma’. Allah
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu sujudlah kamu.” (QS.Al-Hajj (22) : 77)

6. Sujud

Sujud menurut etimologi bahasa berarti tunduk, sujud terlaksana dengan menempelkan dahi Atau
hidung ke tanah atau pada suatu yang menempel di tanah, dengan syarat sesuatu itu Harus tetap,
seperti tikar dan Sajadah. Sedangkan kesempurnaannya sujud adalah dengan Meletakkan Kedua
telapak tangan, kedua lutut, Kedua telapak kaki, kening, dan hidung di Tempat sujud. Hal ini merujuk
pada hadis narasi Abbas bin Abdul Muthalib bahwasanya nabi Bersabda:
Hadis ini memang berbentuk khabar (pemberitahuan) , tetapi yang dimaksud adalah perintah
Sehingga maknanya “Makah sujudlah tujuh anggota tubuh bersamanya “.

7. I’tidal

Secara bahasa i’tidal bermakna menjadikan sesuatu lurus dan tegak. ([1]) Dan secara Istilah
Iktidal merupakan bentuk gerakan bangkit dari ruku’ dan sujud dengan tegak dan lurus.

8. Bangkit dari Sujud

Bangkit Dari Sujud Menuju Rakaát Berikutnya

Penjelasan : Ketika hendak bangkit menuju rakaat berikutnya disunahkan seseorang untuk Duduk
istirahat dan ketika bangkit dari duduk maka disunnahkan untuk bertumpu dengan Kedua tangannya
ke tanah.

9. Duduk di Antara Dua Sujud

Duduk diantara dua sujud merupakan rukun salat yang wajib dilakukan oleh orang yang Sedang
melakukan salat. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist Rasulullah SAW yang Artinya: “Lama
Nabi rukuk, sujud, bangun dari rukuk dan duduk di antara dua sujud hampir Sama.” (HR Bukhari).

10. Thuma’ninah dalam Setiap Ruku’nya

Bangkit dari ruku’ tercapai dengan cara keluar dari posisi rukuu’. I’tidal adalah rukun yang
Berdiri sendiri untuk memisah diantara rukun-rukun yang lain. Bangkit Dari Sujud tercapai
Dengan cara keluar dari posisi sujud. Duduk diantara dua sujud adalah rukun tersendiri yang
Terbatas pada antara sujud pertama dan kedua. Adapun tuma’ninah ada di semua rukun
Shalat, dan dapat diraih dengan menetapkan anggota tubuh beberapa saat, melebihi
rentang Waktu yang digunakan untuk meraih tujuan dari i’tidal atau tegak lurus dan
membungkuk.

11. Duduk Akhir

Duduk di akhir yang dimaksud, yaitu duduk akhir salat Meskipun tidak didahului oleh duduk Pertama
seperti salat yang 2 rakaat, duduk akhir merupakan salah satu fardu salat menurut Kesepakatan
ulama ( ijma )Karena tanpa adanya duduk akhir, tidak dapat dibayangkan adanya Tasyahhud dan
salam.

12. Tasyahhud Akhir

Dalil kefardhuan tasyahhud adalah bahwa Nabi selalu melakukannya dan terus-menerus
Membiasakannya. Ibnu Mas’ud berkata: Sebelum difardukannya tasyahhud, kami biasa Membaca
dalam shalat: Assalamu’ala Allah Assalamu’ala Jibril wa Mikail.Rasullah lalu Bersabda: “Jangan
ucapkan demikian sebab Allah adalah sang maha salah mendamai akan Tetapi Ucapkanlah at-tahiya
wa ash-shalawat wa ath-thayyibat.
13. Salam

Mengucapkan salam untuk keluar dari shalat merupakan salah satu rukun shalat, alasan Lain, karena
Nabi membiasakan keluar dari shalat dengan mengucapkan salam. Salam harus diucapkan dengan
menggunakan huruf alif dan lam dan harus dengan Bentuk jamak / plural.Dua kali salam adalah
adalah yang paling serasi dari nabi dalam shalat Fardhu. Sedangkan dalam shalat sunnah, shalat
jenazah, sujud tilawah dan sujud syukur Yang di fardhukan anda adalah sekali salam.

14. Tertib Rukun – Rukunnya

Arti mushallil (orang yang shalat) harus mendahulukan berdiri daripada rukuk’.-rukuk’ Daripada
I’tidal dan i’tidal daripada sujud, sebagaimana yang diterangkan dalam hadis orang Yang buruk
shalatnya dan ini merupakan petunjuk dari Rasulullah Dalam melaksanakan dan Menjalankan shalat.

Anda mungkin juga menyukai