Anda di halaman 1dari 69

UJIAN TENGAH SMESTER

MAKALAH
HUKUM KEWENANANGAN

DI SUSUN OLE
NAMA : RICARDO. W. GAINAU
NIM : 202091047
KELAS : REGULER II

UNIVERSITAS PATTIMURA PROGRAM STUDI DI LUAR KAMPUS


UTAMA PSDKU ARU PROGRAM STUDY ILMU HUKUM
TAHUN 2022
I. Pengaturan Hukum Perairan Indonesia

Hukum laut Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang wilayah

perairan di indonesia. Indonesia mendeklarasikan wilayah laut

nasionalnya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dari wilayah

darat yang berbentuk pulau-pulau melalui Deklarasi Djuanda pada bulan

Desember tahun 1957. Wilayah laut tersebut terdiri dari laut teritorial

selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan

mengelilingi kepulauan Indonesia, perairan nusantara yang terletak di

antara pulau-pulau, beserta dasar laut yang berada di bawahnya.

Deklarasi Djuanda tersebut tetap mengakui hak-hak internasional seperti

hak lintas damai kapal-kapal asing yang berlayar melalui perairan

Indonesia serta pipa-pipa dan kabel kabel yang telah ada di dasar laut.

Materi deklarasi tersebut kemudian dijadikan materi UU Nomor 4 Prp

Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia

Keberadaan suatu wilayah dengan batas batas tertentu yang jelas

merupakan salah satu syarat berdirinya suatu negara.

Wilayah NKRI terdiri dari wilayah laut yang berada di

bawah kedaulatan negara seluas 3,1 juta km2 , wilayah laut dimana


negara memiliki hak-hak berdaulat seluas 2,7 juta km2 , wilayah darat

seluas 1,9 juta km2 terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil dengan

panjang pantai 81.900 km, serta wilayah udara yang terdapat di atasnya.

Jumlah penduduk yang bermukim secara tersebar tidak merata di pulau-

pulau diperkirakan lebih dari 251 juta jiwa pada tahun 2013. Wilayah

NKRI berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara, yaitu India, Malaysia,

Singapura, Thailand, Vietnam, Pilipina, Palau, Papua New Guinea,

Australia, dan Timor Leste.[1]

Pemerintah berdasarkan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan

yang terkait menguasai, mengelola dan menggunakan wilayah darat, laut

dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berjumlah 251 juta jiwa tersebut.

Kondisi wilayah dengan batas-batas antar negara yang jelas, keberadaan

rakyat dalam jumlah besar yang bermukim dan beraktivitas di wilayah

tersebut, kehadiran pemerintahan negara yang berdaulat, serta pengakuan

negara-negara lain dan masyarakat internasional khususnya melalui

pemberlakuan KHL 1982 yang mengikat secara internasional telah


memperkokoh eksistensi NKRI sebagai negara kepulauan terbesar di

dunia (https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_laut_Indonesia)

II. Pengaturan Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Provinsi

Maluku Oleh Polisi Perairan Dan Udara

Soekanto (1983) menyatakan bahwa Penegakan Hukum adalah adalah

mencakup proses tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

pemeriksaan di sidang pengadilan negeri, upaya hukum dan eksekusi.

Selain itu penegakan hukum juga mengandung arti keseluruhan

kegiatan dari para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum,

keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,

ketertiban dan ketenteraman dan kepastian hukum sesuai dengan

UndangUndang Dasar 1945. Penegakan hukum yang dikaitkan

dengan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan tentunya

berkaitan dengan masalah penegakan hukum pidana. Tujuan

ditetapkannya hukum pidana adalah sebagai salah satu sarana politik

criminal yaitu untuk “perlindungan masyarakat” yang sering pula

dikenal dengan istilah “sosial defence” (Arief, 1998 ). Menurut Arief


(1998), fungsionalisasi hukum pidana diartikan sebagai upaya untuk

membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan

terwujud secara konkret. Istilah fungsionalisasi atau konkretisasi

hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan pengertian hukum

pidana (Arief, 1998 ). Proses penegakan hukum bukan merupakan

tanggung jawab aparatur penegak hukum semata, tetapi merupakan

tanggung jawab masyarakat dalam upaya menghadapi,

menanggulangi berbagai bentuk kejahatan yang merugikan dan

meresahkan masyarakat itu sendiri. Penegakan hukum juga

merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap

dan mengejewantahkannya dalam sikap dan tindakan sebagai

serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan

kedamaian pergaulan hidup. Tegaknya hukum ditandai oleh beberapa

faktor yang saling terkait sangat erat yaitu hukum dan aturannya

sendiri (Soekanto, 1983). Penegakan hukum tidak hanya mencakup

law enforcement tetapi juga peach maintenance. Menurut Friedman

dalam penegakan hukum pidana dipengaruhi oleh 3 aspek penting,


yakni : 1. Legal Structure (struktur hukum), dapat diartikan sebagai

institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses

yang berlangsung didalamnya. Institusi ini dalam sistem yang terdiri

atas kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan

yang menjamin berjalannya proses peradilan pidana. 2. Legal

Substance (substansi hukum), adalah aturan, norma, dan pola perilaku

nyata manusia yang berada di dalam sistem tersebut. 3. Legal Culture

(budaya hukum), sebagai sikap masyarakat terhadap hukum dan

sistem hukum itu sendiri. Sikap masyarakat ini mencakup

kepercayaan , nilai-nilai dan ide-ide, serta harapan mereka tentang

hukum dan sistem hukum. Hal ini karena pada hakikatnya penegakan

hukum merupakan proses penyesuaian antara nilai-nilai, kaidah-

kaidah dan pola prilaku nyata,yang bertujuan untuk mencapai

kedamaian. Oleh karena itu tugas utama penegakan hukum adalah

mencapai keadilan (Pasalbessy, 2018, h. 9). Dari yang dijelaskan

Friedman, di atas maka dapat dijelaskan beberapa faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum yaitu: a. Struktur Hukum Direktorat

Polair Polda Maluku mempunyai wilayah hukum meliputi seluruh


wilayah Provinsi Maluku yang mempunyai 1.340 buah pulau, luas

712.479,65 km2, luas daratan Penegakan Hukum yang Dilakukan oleh

Polair Polda Maluku b berjumlah 8 unit dan c3 berjumlah 9 unit dan

RIB berjumlah 3 unit dengan luar perairan 658.294,69 km2 (92 %),

dan panjang garis pantai 10.662 km. Provinsi Maluku juga

mempunyai banyak sekali pelabuhan tradisional yang tidak terpantau

Polair, hal ini menjadi kendala tersendiri dalam menjaga kedaulatan

NKRI dan mencegah serta menindak segala tindak pidana yang terjadi

di Wilayah Hukum Polair Polda Maluku. Selain jumlah kapal yang

tidak mendukung, dalam prakteknya bisanya terjadi konflik

kewenangan, perlu diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) instansi yang

berwenang dalam penegakan hukum perikanan berdasarkan ketentuan

Pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu instansi

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Tentara Nasional

Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Kepolisian Negara RI. Undang-

undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tersebut tidak

mengatur pembagian kewenangan secara jelas dan tidak pula

mengatur mekanisme kerja yang pasti, sehingga ketiga instansi


tersebut menyatakan instansinya sama-sama berwenang dalam

penegakan hukum perikanan serta tanpa adanya keterpaduan sistem

dalam pelaksanaannya. Hal inilah yang disebut sebagai konflik

kewenangan dalam penegakan hukum perikanan. Dikatakan konflik

kewenangan karena ketiga instansi tersebut sama-sama berwenang

dalam menangani perkara yang sama dan berjalan secara sendiri-

sendiri tanpa adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya,

artinya sama-sama berwenang melakukan penyidikan serta sama-

sama berwenang melakukan pemberkasan BAP dan menyerahkannya

kepada Jaksa Penuntut Umum tanpa adanya pembagian kewenangan

secara jelas serta tanpa adanya mekanisme kerja yang pasti. Perlu

diketahui bahwa konflik kewenangan ini tidak hanya bersifat negatif

melainkan konflik kewenangan bersifat positif (sama-sama

berwenang). Sebagai ilustrasi contoh konflik kewenangan secara

negatif, berdasarkan informasi dari masyarakat pada titik koordinat

tertentu telah terjadi penangkapan ikan secara ilegal (tanpa izin).

Informasi tersebut diinformasikan pada ketiga instansi penegak

hukum perikanan, yaitu instansi DKP, TNI AL dan Kepolisian secara


bersamaan, lalu ketiga instansi tersebut menurunkan armadanya

masing-masing untuk melakukan penangkapan, dan bertemulah ketiga

armada tersebut di tengah-tengah laut, walaupun tidak terjadi

pertengkaran/perkelahian, dengan adanya tindakan sama-sama

menurunkan armada berarti telah terjadi kerugian materi untuk

melakukan tindakan yang sia-sia tidak menentu. Ilustrasi contoh

konflik kewenangan secara positif di antaranya ketiga instansi

tersebut sama-sama berwenang membuat BAP dan menyerahkannya

ke Jaksa Penuntut Umum. Konflik kewenangan seperti ini tidaklah

menguntungkan dan harus dicarikan solusi pemecahannya secara

hukum. Dikaitkan dengan tiga sumber kewenangan, yaitu

Kewenangan Atribusi, Delegasi dan Mandat, maka kewenangan

penegakan hukum perikanan oleh ketiga instansi penegakan Jurnal

Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni ISSN 2579-6348 (Versi

Cetak) Vol. 2, No. 1, April 2018: hlm 44-51 ISSN-L 2579-6356

(Versi Elektronik) 49 hukum perikanan tersebut yang bersumberkan

pada UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka kewenangan

tersebut merupakan Kewenangan Atribusi. Secara hukum ketiga


instansi penegak hukum perikanan tersebut sama-sama berwenang

untuk membuat aturan hukum yang bersifat regulasi dalam

menjalankan kewenangannya untuk menegakkan hukum perikanan.

Sampai saat ini yang paling terdepan dan maju dalam membuat aturan

hukum regulasi dalam rangka menjalankan kewenangan penegakan

hukum perikanan adalah instansi DKP, kita dapat melihat

perkembangan DKP yang jauh lebih maju dibandingkan dengan

instansi TNI AL dan Kepolisian. Banyak aturan hukum regulasi yang

dikeluarkan oleh DKP (Peraturan Lembaga maupun Peraturan

Jabatan) untuk memayungi tindakan hukum dalam penegakan hukum

perikanan oleh instansinya, sebagai contoh dibuatnya aturan hukum

pembentukan Armada Kapal Patroli DKP yang dilengkapi

persenjataan, aturan hukum ketentuanketentuan penangkapan kapal

ikan illegal dan mekanisme penyelesaian pemberkasan BAP, dan lain-

lain yang kesemuanya itu dipayungi oleh aturan hukum regulasi.

Apabila dilihat dari sejarah penegakan hukum perikanan memang

instansi TNI AL sejak UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI, tugas penegakan


hukum perikanan bukanlah tugas pokok TNI AL melainkan tugas

membantu pemerintah dalam penegakan hukum. Tugas pokok TNI

AL dalam UU No. 20 Tahun 1982 tersebut adalah terfokus pada

penegakan keamanan negara dalam hal ini penegakan kedaulatan

negara di laut, artinya tugas pokok TNI AL hanya menangkap musuh,

mengusir musuh yang datang dari dan lewat laut. Baru disadari bahwa

perlunya penambahan tugas pokok TNI AL dalam penegakan hukum

di laut dan baru dipositifkan melalui UU No.34 Tahun 2004 tentang

TNI. Ke depan, apabila tugas penegakan hukum di laut ini tidak

ditangani secara profesional tidak tertutup kemungkinan tugas

penegakan hukum perikanan ini akan menjadi kenangan belaka,

karena tuntutan perkembangan keadaan zaman dan tuntutan

kemampuan penegakan hukum perikanan secara profesional.

Penyelesaian konflik kewenangan ini perlu dilakukan dengan

pendekatan hukum dan bahkan sekalipun telah terbentuk Forum

Koordinasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 73 ayat (3) UU No.

31 Tahun 2004 tentang Perikanan, telah dikeluarkan Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.18/MEN/2005, tanggal 10


Oktober 2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana

Di Bidang Perikanan, belumlah dapat menyelesaikan konflik

kewenangan dalam penegakan hukum perikanan. Untuk itu perlulah

sinergritas dalam melakukan melakukan penegakan hukum di

Wilayah Perairan Provinsi Maluku. b. Legal Substance (substansi

hukum) Polair Polda Maluku mempunyai kewenangan menangani

delapan jenis tidak pidana yaitu: 1) Tindak Pidana yang Diatur dalam

KUHP 2) Tindak Pidana Pencurian Kekayaan Laut 3) Tindak Pidana

Pengangkutan Antar Pulau 4) Pencemaran Laut Penegakan Hukum

yang Dilakukan oleh Polair Polda Maluku Erwin Ubwarin 50 5)

Tindak Pidana kepabeanan 6) Tindak Pidana Narkoba 7) Tindak

Pidana Bidang Pelayaran 8) Tindak Pidana Perdagangan Orang Selain

menjadi melakukan penegakan hukum terhadap delapan jenis tindak

pidana, Polair juga melakukan tugas yaitu : a. Bantuan fasilitas

angkutan kapal. b. Pengamanan objek vital perairan. c. SAR perairan.

c. Legal Culture (budaya hukum) Polair Polda Maluku bisanya

melakukan Binamitra di Wilayah Perairan Maluku dengan

elaksanakan kegiatan bimbingan masyarakat di wilayah perairan


maluku dalam rangka ikut serta secara aktif menciptakan situasi dan

kondisi yang mampu menangkal dan mencegah terjadinya gangguan

keamanan dan ketertiban masyarakat di wilayah perairan. Namun ada

daerah-daerah tertentu yang sulit dilaporkan jika masyarakat

mengetahui tindak pidana, karena jangkauan telekomunikasi yang

masih sulit di Wilayah Maluku

 Analisis Masalah Perairan

1.1. Kebijakan Pemerintah

Indonesia sebagai Negara hukum, termasuk kategori Negara

hukum modern. Konsepsi Negara hukum modern secara

konstitusional dapat dirujuk pada rumusan tujuan Negara

yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan

sosial. Nomrmalisasi tujuan Negara tersebut, khususnya

memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan

sosial antara lain termuat dalam Pasal 33 UUD 1945.


Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hak penguasaan Negara

mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian dan

kegiatan perekonomian yang dikehendaki dalam Negara

Indonesia, tetapi Pasal 33 bukan sebagai sesuatu yang berdiri

sendiri, melainkan berkaitan dengan kesejahteraan sosial.

Berdasarkan pemikiran yang demikian, maka upaya memahami

Pasal 33 tidak terlepas dari dasar pemikiran tentang

kesejahteraan sosial (Bagir Manan, 1995 : 55). Atas dasar itu

pula, sehingga tujuan hak penguasaan Negara atas sumberdaya

alam ialah keadilan sosial dan sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Keterkaitan hak penguasaan Negara dengan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan (dalam Abrar

Saleng, 2004: 17) akan mewujudkan kewajiban Negara :

(1)     Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta

hasil yang di dapat (kekayaan alam), harus secara

nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat;
(2)     Melindungi dan menjamin segala hak-hak

rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air

dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat

dihasilkan secara langsung atau dinikmati oleh rakyat;

(3)     Mencegah segala tindakan dari pihak manapun

yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai

kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam

menikmati kekayaan alam.

Ketiga kewajiban di atas, sebagai jaminan bagi tujuan hak

penguasaan Negara atas sumberdaya alam yang sekaligus

memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu,

Negara hanya melakukan bestuursdaad dan beheersdaad dan

tidak melakukan eigensdaad. Artinya secara a contrario,

apabila hak penguasaan Negara diartikan sebagai eigensdaad

maka tidak ada jaminan bagi pencapaian tujuan hak penguasan

Negara yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Lebih lanjut Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian

dikuasai oleh Negara atau hak penguasaan Negara sebagai

berikut:

(1)     Penguasaan semacam pemilikan oleh Negara.

Artinya Negara melalui pemerintah adalah satu-

satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak,

wewenang atasnya. Termasuk di sini bumi, air dan

kekayaaan yang terkandung di dalamnya.

(2)     Mengatur dan mengawasi penggunaan dan

pemanfaatan;

(3)     Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan

Negara untuk usaha-usaha tertentu.

Apabila konsep Negara kesejahteraan dan fungsi Negara

menurut W. Friedmann dikaitkan dengan konsepsi hak

penguasaan Negara untuk kondisi Indonesia dapat diterima

dengan beberapa kajian kritis sebagai berikut (Abrar Saleng,

2004 : 18-19) :
Pertama, hak penguasaan Negara yang dinyatakan dalam

pasal 33 UUD 1945 memposisikan Negara sebagai

pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi

Negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumberdaya

alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan

bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat

khusus. Karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan

oleh Negara.

Kedua, hak penguasaan Negara dalam pasal 33 UUD

1945, membenarkan Negara untuk mengusahakan

sumberdaya alam yang berkaitan dengan public utilities

dan public service atas dasar pertimbangan : filosofis

(semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama

dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik

(mencegah monopoli dan oligopoly yang merugikan

perekonomian Negara), ekonomi (efisien dan efektifitas)


dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Khusus berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam

pengelolaan sumberdaya laut maka dapat dijelaskan bahwa

paling sedikit terdapat tiga ciri dari kebijakan pengelolaan

sumberdaya laut yang dipraktekkan selama ini, yakni (1)

sentralistik, (2) didasarkan pada dokrin common property dan

(3) mengabaikan pluralism hukum.

Sentralistik kebijakan menyangkut substansi sekaligus proses

pembuatannya. Substansi kebijakan yang sentralistik tercermin

pada kewenangan pengelolaan sumberdaya laut, setidak-

tidaknya hak itu terjadi disektor perikanan. Disektor ini, proses

perizinan maupun pejabat yang berwenang memberikan

hampir seluruhnya berada di tangan pemerintah pusat.

Kalaupun ada pendelegasian kewenangan kepada gubernur, hal


itu semata-mata dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah

pusat di daerah.

Demikian pula proses penetapan kebijakannya, hampir

semuanya melibatkan pemerintah pusat. Indikasinya, kebijakan

pengelolaan sumberdaya alam laut pada umumnya dikemas

dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan

presiden yang dalam proses penetapannya semata-mata

melibatkan aparat pemerintah pusat.

Kebijakan pengelolaan sumberdaya laut yang diasarkan pada

common property sebagai ciri kedua juga mengandung

sejumlah kelemahan. Dengan mendasarkan kebijakan pada

dokrin common property maka laut diposisikan sebagai

sumberdaya milik bersama. Konsekuensinya, laut diperlakukan

laksana harta tak betuan dimana setiap orang leluasa

melakkukan okupasi dan eksploitasi (open access).

Karakteristik seperti ini sangat jelas dalam Undang-Undang

Perikanan dan kebijakan lainnya. Ini pula yang antara lain

melatar belakangi munculnya berbagai konflik dalam


penggunaan sumberdaya terutama antara nelayan tradisonal

dengan perusahaan penangkapan ikan.

Sebagai dasar pembentukan kebijakan pengelolaan laut, dokrin

common property sesungguhnya mempunyai banyak

kelemahan. Francois T Christy (dalam M. Arif Nasution dkk,

2005 : 105) mengungkapkan adanya empat akibat buruk dari

suatu kebijakan pengelolaan sumberdaya laut yang didasarkan

pada dokrin common property yaitu (a) pemborosan

sumberdaya secara fisik, (b) inefisiensi secara ekonomi, (3)

kemiskinan nelayan, dan (4) konflik antara pengguna

sumberdaya.

Sementara pengabaian pluralism hukum, yang merupakan ciri

ketiga dari kebijakan pengelolaan laut selama ini, menjelama

dalam bentuk ketiadaan pengakuan terhadap sistem pengeloaan

sumberdaya laut berdasarkan hukum adat. Padahal secara

faktual sistem pengelolaan semacam itu masih dipraktekkan di

berbagai daerah. Beberap contoh yang dapat dikemukakan,

seperti sistem hak wilayah laut di Maluku atau perikanan


Bagang dan romping di Sulawesi Selatan. Bahkan pada derajat

tertentu, pluralism hukum dalam pengelolaan sumberdaya laut

juga mengisyaratkan bahwa laut dapat menjadi obyek

pemilikan tunggal, sesuatuyang berbeda secara diametal

dengan doktrin common property.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

pengelolaan wilayah pesisir dan perairan pulau-pulau kecil

adalah sebagai berikut :

(1)     Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini menentukan bahwa sasaran

pengelolaan lingkungan hidup adalah (a) tercapainya

keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia

dan lingkungan hidup; (b) terkendalinya pemanfaatan

sumberdaya secara bijaksana, hak dan kewajiban dan peran

masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.


(2)     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Di dalam UUPA diatur mengenai hak menguasai oleh

Negara atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya. Selain itu juga diatur hak

ulayat, hak-hak atas tanah, dan hak atas air.

(3)     Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Undang-Undang nomor 5 Tahun 1990 tersebut lebih

banyak memusatkan perhatian pada pengaturan tentang

kelestarian sumberdaya alam. Konservasi sumberdaya alam

hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan

terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta

keseimbangan ekosistem, sehingga dapat mendukung

upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu

kehidupan manusia.
(4)     Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan Pokok Pertambangan.

Undang-Undang ini terkesan lebih menitik beratkan

perhatian pada eksploitasi dari pada kelestarian

sumberdaya tambang. Di dalam undang-undang ini hanya

terdapat satu pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan

pertambangan.

(5)     Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata

Ruang

Pembentukan Undang-undang Tata Ruang didasarkan pada

asas-asas pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan

secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi,

selaras, seimbang dan berkelanjutan dan asas keterbukaan,

persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Undang-

undang Tata Ruang mengatur tata ruang yang meliputi

darat, laut dan udara, sehingga undang-undang ini sangat


penting dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil

(6)     Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

Menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan disebutkan bahwa semua hutan di

dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan

hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud di atas memberi

wewenang kepada pemerintah untuk :

(a)      Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang

berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;

(b)     Menetapkan status wilayah tertentu sebagai

kawasan hutan atau kawasan hutan atau kawasan hutan

sebagai bukan kawasan hutan;


(c)      Mengatur dan menetapkan hubungan hukum

antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan

hukum mengenai hutan.

Penguasaan hutan Negara tetap memperhatikan hak

masyarakat adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan

diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional.

(7)     Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang

Perikanan.

Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa : “Pemerintah

melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam secara

terpadu dan terarah dengan melestarikan sumberdaya alam

beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat Indonesia”

Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah

menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih

berjalan pada semangat sentralistik. Ruang bagi partisipasi


public dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan

pengelolaan ikan tidak ditemukan dalam undang-undang

Perikanan. Demikian pula perlindungan pada hak

masyarakat adat. Tidak ada satu pasalpun dalam undang-

undang ini yang menyebutkan tentang masyarakat adat dan

hak-haknya atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya

ikan.

(8)     Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang

Perairan.

Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang

perairan, pengaturan air dibatasi pada air yang terdapat di

atas atau di bawah permukaan tanah, dan tidak termasuk ait

yang terdapat di laut.

(9)     Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintah Daerah.

Di dalam undang-undang ini, pemerintah memberikan

kewenangan kepada pemerintah Provinsi dan Pemerintah


Kabupaten/Kota untuk mengelola perairan laut pesisir dan

perairan laut pulau-pulau kecil sampai batas 12 mil.

(10) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang

ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan.

Undang-undang Hankam ini mengatur mengenai

pengamanan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan

yang dilaksanakan dengan konservasi dan diversifikasi

serta didayagunakan bagi kepentingan pertanahan

keamanan Negara.

(11) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang

Keparawitasataan.

Di dalam Undang-undang Keparawisataan diatur

pengusahaan obyek dan daya tarik wisata.

 
 

1.2.  Masyarakat Hukum Adat dan Hak-Haknya.

Menurut Soekanto (1983 : 3), masyarakat hukum adat

merupakan subjek hukum, oleh karena bersifat otonom, yang

kemudian disebut otonomi desa; artinya masyarakat hukum

tersebut menyelenggarakan perbuatan hukum, misalnya

mengambil keputusan yang mengikat warga masyarakat ,

menyelenggarakan peradilan, mengatur penggunaan tanah,

mewarisi dan sebagainya.

Menurut Ter Haar (Riyanto , 2004 : 7), masyarakat hukum adat

adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah

tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan  mempunyai

kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para

anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan

dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam,

dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai

pikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang


telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti

melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

Soepomo (Riyanto, 2004 : 7-8) dalam mendiskripsikan

masyarakat hukun adat/persekutuan hukum adat menyatakan

bahwa persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia dapat

dibagi menjadi dua golongan, menurut dasar susunannya, yaitu

(a) yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogis);

dan (b) yang mendasarkan lingkungan daerah (territorial).

Masyarakat adat merupakan salah satu segmen riil dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara dan memiliki berbagai

kepentingan yakni kepentingan politik, ekonomi, budaya,

hukum, politik, perekonomian, sejarah dan hak atas kehidupan

otonom. Masyarakat adat juga memiliki lingkungan alam dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta kebebasan

untuk mengelola serta memanfaatkan sumberdaya alam secara

arif (Titahelu : 1998)


Salah satu antropolog Indonesia yaitu Koentjaraningrat (1993)

menggunakan istilah masyarakat terasing yaitu masyarakat

yang terisolasi dan memiliki kemampuan terbatas untuk

berkomunikasi dengan masyarakat lain yang lebih maju.

Kelompok masyarakat tersebut bersifat terbelakang serta

tertinggal dalam prsoses mengembangkan kehidupan ekonomi,

politik, sosial budaya dan ideologi.

Soebroto (1999) menggunakan istilah masyarakat adat untuk

menunjukkan kelompok masyarakat itu dengan karakteristik

bersifat otonom yaitu kuasa untuk mengatur sistem

kehidupannya sendiri (hukum, politik, ekonomi) dan bersifat

otonom yaitu suatu kesatuan yang lahir atau dibentuk oleh

masyarakat itu sendiri.

Hasil dari kegiatan Kongres Masyarakat Adat Nusantara

merumuskan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-

komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara

turun temurun di atas wilayah adat yang memiliki kedaulatan

atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang


diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola

keberlangsungan kehidupan masyarakatnya (Rudito, 1999).

Hubungan-hubungan sosial antar anggota persekutuan

masyarakat adat diatur oleh hukum  adat yang mengatur

hubungan-hubungan hukum (hak dan kewajiban) antara orang

atau organisasi dalam suatu persekutuan adat dengan sumber-

sumber alam diwilayah mereka.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dari hukum adat

akan muncul konsepsi tentang hak adat. Pada dasarnya hak

adat dapat dikatakan sebagai hak masyarakat adat untuk

menguasai, memiliki, memanfaatkan dan mengelola

sumberdaya alam dalam wilayahnya. Dalam konsep hak

tenurial adat, subyek hukum yang berhak mengelola dan

memanfaatkan sumber-sumber alam hanyalah anggota

masyarakat adat setempat, yang bukan anggota masyarakat

adat setempat tidak memiliki  hak apapun, kecuali atas izin

masyarakat adat yang bersangkutan, sebab inti dari hak adat


adalah kedaulatan masyarakat adat setempat atas wilayah

mereka.

Identifikasi tentang masyarakat adat bukan saja berkaitan pada

konsep-konsep yuridis tentang apa yang disebut sebagai

masyarakat adat dan dimanakah kedudukannya, tetapi pada

dasarnya juga mengarah pada suatu tuntutan pengakuan dari

masyarakat adat atas hak-hak mereka yang berhubungan

dengan kedudukannya sebagai masyarakat adat. Tuntutan

pengakuan dari masyarakat adat atas hak-hak mereka

berpegang pada dua hal yaitu :

·      Kedudukannya sebagai komunitas masyarakat adat;

·      Berakar pada susunan asli dan pertumbuhan masyarakat

itu sendiri.

Pengakuan atas  eksistensi atau keberadaan masyarakat adat

sangat beragam satu dengan lainnya. Demikian pula bentuk

pengakuan terhadap  eksistensi atau keberadaan masyarakat

adat oleh pemerintah daerah yang berbeda. Selain kebijakan


yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat, terdapat

pula kesepakatan-kesepakatan internasional yang sebagian

telah diratifikasi ke dalam kebijakan-kebijakan perundang-

undangan Republik Indonesia dan juga wacana-wacana

masyarakat di tingkat nasional misalnya antara lain  tentang

sistem  penguasaan tanah.

Hukum adat sebenarnya mengakui bahwa penguasaan suatu

wilayah petuanan negeri ditandai dengan aktivitas atau

kegiatan-kegiatan dari warga atau anak negeri tersebut,

misalnya dengan kegiatan berkebun, berburu untuk mencari

hasil hutan dan sebagainya ( Ter Haar ) Semua ini merupakan

bukti bahwa warga atau anak negeri dari negeri tersebut telah

berulang kali mengusahakan tempat atau wilayah tersebut,

sehingga secara nyata (de facto)  mereka menguasai wilayah

tersebut. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah

apakah secara hukum (de yure) hal itu dapat diterima.

Berkaitan dengan masalah hukum ini sebenarnya harus

dibarengi atau diikuti dengan pengakuan baik lisan maupun


tertulis bahwa wilayah tersebut memang milik warga atau

milik negeri tersebut. Hal itu dapat kita lihat dari kesepakatan-

kesepakatan antar warga atau negeri-negeri tertentu, yang

ditaati oleh mereka baik secara individu (pribadi) maupun

warga masyarakat negeri secara keseluruhan.

Patut diakui bahwa penguasaan baik de facto maupun  de

yure seperti disebutkan di atas kadang-kadang tidak di akui

juga oleh penguasa negara, sehingga melahirkan konflik atau

pertentangan. Negara hadir dengan berbagai bentuk peraturan

perundang-undangan yang cenderung merugikan warganya

sendiri. Padahal negara seharusnya mengakui dan melindungi

hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber-sumber 

(Sumber-sumber Agraria meliputi tanah atau bumi dan barang-

barang atau benda-benda yang terkandung didalamnya

termasuk dalam wilayah perairan maupun udara ) agraria yang

mereka miliki.

Selama ini ada kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat adat

ialah batas-batas wilayah yang kurang jelas, siapa pemegang


hak atas wilayah tersebut, objek apa saja yang ada di atas tanah

tersebut dan jenis hak apa saja yang melekat pada bidang tanah

itu  dan sebagainya. Kondisi inilah yang membuat masyarakat

adat mempunyai kemampuan tawar-menawar (bargaining

power) yang agak lemah,  menghadapi pihak-pihak tertentu, 

katakanlah pemerintah dan pengusaha yang mendapat izin dari

pemerintah karena  mempunyai kekuasaan dan uang.

Masyarakat yang mengakui keberadaannya sebagai masyarakat

adat, tidak dapat diterima begitu saja,  tetapi harus

memperlihatkan identitas,  kriteria dan aktivitas tertentu yang

mencerminkan nilai-nilai dan norma sebagai suatu masyarakat

adat.

Pengelolaan atas sumberdaya laut pada hakikatnya berjalan

beriringan dengan pengelolaan atas sumberdaya yang ada di

darat. Jadi, sumber daya di darat maupun sumberdaya di laut

adalah merupakan milik masyarakat adat. Dikatakan sebagai

suatu milik dari masyarakat berarti adanya hak dari masyarakat

itu diatas suatu wilayah tertentu yang cukup luas. Hak tersebut
bukan merupakan hak yang disebut bersifat hukum privat

ataupun bersifat hukum public, tetapi merupakan sekumpulan

hak dan kewajiban dari (a) masyarakat atau keluarga anggota

masyarakat adat; (b) masyarakat adat secara bersama-sama,

dan (c) orang lain bukan anggota masyarakat adat tetapi

memperoleh ijin memakai atau menggunakan tanah dengan

memenuhi syaratr-syarat tertentu sebelumnya, yakni membayar

sesuatu (recognitie).

Apa yang dikemukakan terakhir ini menunjukkan bahwa

masyarakat adat yang menempati peisisr laut, memiliki

wilayah petuanan atau wilayah ulayat yang dapat berada di

darat maupun di pesisir laut.

Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan perairan pada

pulau-pulau kecil, maka hukum adat dan hukum kebiasaan

yang ada di dalam masyarakat yang memukimi pesisir dan

pulau-pulau kecil, merupakan salah satu akses yang diperlukan

untuk menjamin ketersediaan sumber-sumber daya alam

setempat, dan juga untuk melindungi sumberdaya tersebut


terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi berupa

degradasi, atau eksploitasi berlebihan.  Negara seringkali tidak

dapat melakukan pengawasan jauh sampai ke dalam lingkup

dimana usaha-usaha berskala kecil, menengah maupun besar

beroperasi di wilayah pesisir dan laut atau pulau-pulau kecil

yang jauh dari pusat-pusat pemerintahan. Sebaliknya, tempat-

tempat usaha tersebut banyak berada disekitar bahkan

ditengah-tengah masyarakat yang memukimi pesisir maupun

pulau-pulau kecil.

2. Kewenangan dan Hak

2.1.  Hak Menguasai Negara.

Konsep dasar hak menguasai  oleh Negara di Indonesia termuat

dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang

berbunyi  “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”.


Dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut tampak bahwa

menurut konsep UUD 1945, hubungan antara Negara dengan

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

adalah hubungan penguasaan. Artinya, bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya itu dikuasai oleh Negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Apa yang dimaksud dengan “dikuasai” oleh Negara, dalam

UUD 1945 tidak ada penjelasan.

Penjelasan otentik tentang pengertian bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalmnya (disebut sumber daya alam)

dikuasai Negara, termuat dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Pasal 2 UUPA yang merupakan pelaksanaan Pasal 33 UUD

1945, menjelaskan pengertian hak menguasai sumberdaya alam

oleh Negara sebagai berikut :

(1)     Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-

Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam

pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan


alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan

tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat;

(2)     Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat (1)

pasal ini memberi wewenang untuk :

o  Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan

ruang angkasa tersebut

o  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan

hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang

angkasa;

o  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan

hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan

hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3)     Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari

Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk


mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti

kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam

masyarakatr dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,

berdaulat, adil dan makmur.

(4)     Hak menguasai dari Negara tersebut di atas

pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah

swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar

diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan

Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 2 UUPA tersebut, maka menurut konsep

UUPA, pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti

“dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada

Negara untuk mengatur 3 hal yaitu :

o   Mengatur dan menyelenggatakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaan;


o   Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai

atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;

o   Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum antara orang-

orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

ruang angkasa.

Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai

sumber daya alam oleh Negara tersebut semata-mata “bersifat

public”, yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi)

dan bukan wewenang untuk menguasai secara fisik dan dan

menggunakan sebagaimana wewenang hak yang “bersifat

pribadi” (Muhammad Bakri, 2007 : 5). Selanjutnya esensi

istilah “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”  sebagai

konsekuensi dari kata-kata “dikuasai oleh Negara” dan

“dipergunakan”. Meskipun kedua kata mempunyai arti yang

berbeda, tetapi memiliki maksud dan tujuan yang sama dan

saling berkaitan. Sebab “dipergunakan” merupakan tujuan dari

kata “dikuasai”, sehingga keduanya mempunyai hubungan


sebab akibat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kata

“dipergunakan” sebagai akibat adanya “penguasaan negara”.

(H. Abrar Saleng, 2004 : 37).

Kedua aspek kaidah tersebut tidak dapat dipsahkan satu sama

lain, keduanya merupakan satu kesatuan sistematik, hak

penguasaan Negara merupakan intrumen (bersifat

instrumental), sedangkan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat merupakan tujuan   (objectives).

Istilah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan

kelanjutan atau normatifisasi dari beberapa istilah dalam alinea

ke IV Pembukaan UUD 1945 seperti “… memajukan

kesejahteraan umum, … perdamaian abadi dan keadilan sosial,

… serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia….” Mengenai kata rakyat, selain berhubungan

dengan kata kemakmuran dan keadilan sosial, juga

berhubungan dengan faham kedaulatan dan lembaga

perwakilan seperti : Dewan Perwakilan Rakyat. Selain

hubungan-hubungan tersebut di atas, rakyat juga dapat


dilahami dalam tiga kemungkinan (Jimly Asshiddiqie, 1994 :

63-64) :

(a)      Rakyat sebagai individu atau bersifat individual

(perorangan). Sebagai individu rakyat adalah otonom

yang memiliki khak dan kewajiban yang dirinci dalam

konstitusi suatu Negara.

(b)     Rakyat sebagai golongan-golongan atau kelas.

Rakyat dalam faham kedaulatan, bukanlah rakyat

sebagai individu-individu melainkan rakyat sebagai

keseluruhan yang meliputi berbagai golongan-

golongan dalam masyarakat.

(c)      Rakyat yang mengabaikan dikotomi baik

berdasarkan individual maupun golongan-golongan.

Ketiga golongan hubungan tersebut, oleh Soepomo (dalam

Muhammad Yamin, 1971 : 112-113) disebutkan sebagai teori

yang mendasari aliran-aliran pikiran kenegaraan, yaitu aliran


perorangan (individualisme), aliran teori golongan yang

komunistik dan aliran teori integralistik yang bersifat totaliter.

Sejalan demgan pengertian-pengertian di atas, Philipus Hadjon

(1987 : 1) menyebutkan cakupan pengertian rakyat : Pertama,

menganfung hakikat subordinasi yang diperintyah sebagai

lawan dari pemerintah; Kedua, secara limitative dan enunsiatif

membedakan hak dan kewajiban masing-masing subjek

hukum. Pengertian rakyat di dalam UUD 1945 sebagai subjek

mengandung makna subordonasi terhadap yang memerintah.

Bahkan antara rakyat dan pemerintah merupakan suatu totalitas

sebagaimana dikemukakan Soepomo dapat dimengerti secara

politis tetapi tidak dalam pengertian yuridis.

Makna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam perspektif

hukum adalah adanya jaminan hukum atas hak-hak sosial

ekonomi rakyat, sehingga dapat hidup layak sebagai

warganegara.

 
2.2.  Kewenangan Pemerintah Pusat

Republik Indonesia adalah Negara kesatuan yang disertai

sistem desentralisasi susunan organisasi RI terdiri dari dua

susunan utama yaitu susunan organisasi Negara tingkat pusat

dan tingkat daerah.

Susunan organisasi negara tingkat pusat, mencerminkan

seluruh cabang-cabang pemerintah dan fungsi kenegaraan pada

umumnya. Susunan organisasi tingkat daerah terbatas pada

susunan penyelenggaraan pemerintah (eksekutif) dan unsur-

unsur pengaturan (regulen) dalam rangka menyelenggarakan

pemerintahan.

Konsekuensi sistem desntralisasi, tidak semua urusan

pemerintahan diselenggarakan sendiri oleh pemerintah pusat.

Berbagai urusan pemerintahan dapat diserahkan akan

dilaksanakan atas bantuan satuan-satuan pemerintah yang lebih

rendah dalam bentuk otonomi atau tugas pembantuan

(medebewind).
Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah menjadi

urusan rumah tangga daerah. Dan terhadap urusan pemerintah

yang diserahkan itu, daerah mempunyai kebebasan (vrijheid)

untuk mengatur dan mengurus sendiri dengan pengawasan dari

pemerintah pusat atau satuan pemerintah yang lebih tinggi

tingkatnya dari daerah yang bersangkutan.

Pemberian kewenangan kepada daerah dilandasi kepada asas

desentralisasi, maka akan memberi implikasi berupa

penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup kewenangan

semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan sebagaimana

termuat dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 yaitu :

a.    politik luar negeri;

b.    pertahanan;

c.    keamanan;

d.   yustisi;
e.    moneter dan fiskal nasional; dan

f.     agama.

Berkaitan dengan bidang kelautan kewenangan Pemerintah

meliputi (Kuntoro, 2002 : 8) :

a.    penetapan kebijakan dan pengaturan eksploitasi,

konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

alam perairan di wilayah laut diluar perairan 12 mil,

termasuk perairan nusantara dan dasar laut serta ZEE

dan landas kontinen.

b.    Penetapan kebijaksanaan dan pengaturan

pengeloaan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal

tenggelam di luar perairan laut 12 mil.

c.    Penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas

maritime yang meliputi batas-batas daerah otonom di

laut dan batas-batas ketentuan hukum laut

internasional.
d.   Penetapan standar pengelolaan pesisir pantai dan

pulau-pulau kecil.

e.    Penegakan hukum diwilayah laut diluar 12 mil dan

didalam perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik

serta berhubungan dengan internasional.

Keleluasan otonomi mencakup juga kewenangan yang utuh

dalam penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan, pengendalian dan evaluasi berbagai kegiatan

pembangunan di daerah. Dalam pembangunan kawasan pesisir

dan pantai suatu provinsi merupakan suatu sub sistem dalam

pembangunan nasional. Hal ini berarti bahwa pembangunan

kawasan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

dan sekaligus menyatu dengan pembangunan nasional, yang

penyelenggaraannya mengacu kepada kaedah hukum

penuntun, dan merupakan pembangunan dari dan untuk

masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama

dengan pemerintah, dalam seluruh aspek kehidupan

masyarakat secara terencana, bertahap dan berkesinambungan,


sesuai dengan kondisi, potensi dan aspirasi masyarakat yang

tumbuh dan berkembang di kawasan atau wilayah tersebut.

2.3. Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota.

Dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 32 Tahun

2004 maka pelimpahan kewenangan pemerintahan diserahkan

kepada daerah. Dalam Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun

2004 tersebut, dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah

menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua

urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah

yang ditetapkan dalam undang-undang ini.  Sejalan dengan

prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata

dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu

prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan

dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban

yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup


dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung

jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus

benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian

otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah

termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan

bagian utama dari tujuan nasional.

Khusus berkaitan dengan kewenangan pengelolaan wilayah

laut, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana

diatur dalam pasal 18 ayat (1) s.d. ayat (4) :

(1)       Daerah yang memilkiki wilayah laut diberikan

kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.

(2)       Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan

sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau didasar laut

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(3)       Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya

di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi :

a.    eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan

kekayaan laut;

b.    pengaturan administrasi;

c.    pengaturan tata ruang;

d.   penegakan hukum terhadap peraturan yang

dikeluarkan oleh daerah atau yang melimpahkan

kewenangannya oleh pemerintah;

e.    ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan

f.     ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara.

(4)     Kewenangan untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling

jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai kea rah
laut lepas dan/atau kea rah perairan kepulauan untuk

provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan

provinsi untuk kabupaten kota.

Dengan demikian pemerintah daerah mempunyai peranan

yang sangat penting dalam pemanfaatan semua potensi

yang ada demi mengisi pembangunan nasional pada

umumnya dan khususnya pembangunan daerah kearah

kesejahteraan rakyat terhadap bverbagai potensi

sumberdaya kelautan yang dimilikinya. Terutama bagi

masyarakat (adat) yang mendiami wilayah pesisir.

Perhatian Pemerintah maupun pemerintah daerah terhadap

wilayah pesisir yang rentan mengalami kerusakan akibat

aktivitas orang dalam memanfaatkan sumberdaya atau akibat

bencana alam pada satu sisi dan pada sisi yang lain yaitu

akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat

parsial/sektoral di wilayah pesisir serta dampak kegiatan lain di

hulu wilayah pesisir yang didukung oleh peraturan perundang-


undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan sumber

daya pesisir.

Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi

pada eksploitasi sumber daya pesisir tanpa memperhatikan

kelestarian sumber daya. Sementara itu kesadaran nilai

strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan,

terpadu dan berbasis masyarakat relative kurang. Selain itu

kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam

pengelolaan sumber daya pesisir, serta terbatasnya ruang untuk

partisipasi masyarakat teritama masyarakat (adat) pesisir dalam

pengelolaan sumber daya kelautan.

2.4.   Hak Ulayat Masyarakat Adat Atas Pesisir dan Laut

Hak ulayat laut merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa

Inggris, sea tenure. Sudo (1983) yang mengutip Laundgaarde,

mengatakan bahwa istilah sea tenure mengacu kepada

seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang muncul


dalam hubungannya dengan kepemilikan wilayah laut. Sea

tenure adalah suatu sistem, dimana beberapa orang atau

kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut, mengatur tingkat

eksploitasi terhadap wilayah tersebut, yang berarti juga

melindunginya dari eksploitasi yang berlebihan (over

exploitation).

Melengkapi batasan Sudo, seorang ilmuan lain yaitu Akimichi

Tomoya (1991) mengatakan bahwa hak-hak kepemilikan

(property rights) mempunyai konotasi sebagai memiliki (to

own), memasuki (to access) dan memanfaatkan (to use). Baik

konotasi memiliki, memasuki maupun memanfaatkan tidak

hanya mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground),

tetapi juga mengacu pada teknik-teknik penangkapan, peralatan

yang digunakan (teknologi) atau bahkan sumberdaya yang

ditangkap dan dikumpulkan.

Dengan demikian maka secara teoritis dapat dikatakan bahwa

yang dimaksud dengan hak adat kelautan (hak ulayat laut)

adalah seperangkat aturan atau praktek pengelolaan atau


manajemen wilayah laut dan sumber daya di dalamnya

berdasarkan adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat

pesisir pada desa (negeri-negeri untuk Maluku Tengah).

Perangkat aturan atau hak adat kelautan (hak ulayat laut) ini

menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis

sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi

sumberdaya yang diperbolehkan yang ada dalam suatu wilayah

laut.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa hak ulayat laut

mengacu pada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik

yang muncul dalam institusi pemilikan bersama. Istilah

pemilikan bersama disini merujuk pada pembagian hak-hak

penguasaan bersama di dalam pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya tertentu. Konsep milik jika diterapkan pada

sumberdaya mengandung arti sebagai suatu kelembagaan

sosial primer yang memiliki susunan dan fungsi untuk

mengatur sumberdaya yang lebih didasarkan pada kebiasaan,

larangan-larangan dan kekeluargaan. Oleh karena itu institusi


atau kepranataan dalam sistem kepemilikan atau penguasaan

sumberdaya bersama tidak dapat dilepaskan dari adanya sosial

order yang memiliki kekuatan mengikat bagi setiap individu

anggota suatu komunitas.

Aturan-aturan yang terbentuk dalam sistem penguasaan

bersama itu pada dasarnya merupakan suatu kesadaran kolektif

(collective consciousness). Dalam hal ini kesadaran kolektif itu

mempunyai dua sifat pokok (Wahyono dkk, 2000 : 8 –

9). Pertama, mengandung pengertian bahwa kesadaran kolektif

dari suatu komunitas atau kelompok sosial sesungguhnya

berada di luar ke-diri-an dari setiap individu anggota

masyarakat. Jadi kesadaran kolektif itu tidak tergantung

keberadaannya pada eksistensi dari setiap individu, melainkan

sebaliknya, yaitu selalu diwariskan atau disosialisasikan dari

suatu nenerasi ke generasi berikutnya. Sifat yang kedua,

kesadaran kolektif mengandung suatu kekuatan psikis yang

memaksa individu-individu anggota kelompok untuk

menyesuaikan diri terhadapnya.


Berdasarkan pada gambaran sebagaimana dikemukakan di atas

maka dapat dikatakan bahwa fungsi hak ulayat laut dalam

suatu komunitas dapat dilihat dari seberapa jauh institusi hak

ulayat laut itu memberikan kestabilan struktur sosial suatu

komunitas tersebut. Tentang hak ini Brown (Zerner, 1993 : 76)

“……define the sosial function of sosially standardized

mode of activity or of thought, as its relation to the sosial

structure to the existence and continuity of which it makes

some contribution”

Melihat uraian diatas, pengertian fungsi pada hak ulayat laut

adalah menunjuk pada suatu proses hubungan sosial yang

dinamis dalam suatu sistem sosial atau struktur masyarakat

tempat hak ulayat laut itu dipraktekkan. Berkaitan dengan ini

Robert K Merton (Zerner, 1993 : 106) mengemukakan bahwa

dalam melakukan analisis fungsional pada suatu kepranataan

sosial sebaiknya lebih ditekankan pada permasalahan yang

konkret, yaitu bagaimana mekanisme sosial sebuah lembaga

kepranataan sosial itu berlangsung, seperti antara lain


pembagian peran, penyekatan kelembagaan, susunan nilai-

nilai, pembagian kerja dan praktek-praktek ritual.

Merton membedakan fungsi kedalam dua hal, yaitu fungsi

manifest dan fungsi laten. Menurut Merton sesuatu memiliki

fungsi manifest   apabila :

“…… those objective consequences contributing to the

adjustment or adation of the sistem which are intended

and recognized by participant in the sistem “(dalam

Zerner, 1993 : 105).

        Adapun fungsi laten berkaitan dengan : …. those which

are neither nor recognized. Apabila dikaitkan dengan hak

ulayat laut, maka fungsi manifest menunjuk pada pengertian

berbagai konsekuensi praktek hak ulayat laut yang disadari

oleh setiap anggota masyarakat dalam rangka menjaga

keutuhan masyarakat atau integrasi sosial, sedangkan berbagai

konsekuensi dari praktek hak ulayat laut yang tidak didasari

merupakan fungsi laten dari hak ulayat laut tersebut.


Dalam kaitan ini, Johanes memberikan contoh fungsi-fungsi

yang terdapat dalam hak ulayat laut sebagai berikut:

“Costumary marine tenurecan play a number of valuable

roles and contempory fisheries management. It can : (1)

provide cultural sanctioned rules for allocating marine

resources acquitable, apprehending and punishing

trangressord and adjudicating disputes (usually without

resource to government, thereby greatly reducing

administrative cost); (2) function as a from of

conservation measure by limiting entry to a fishery and

providing the owners with an incentive ti regukate their

own harvest; and (3) facilitate more flexible adjustments

to changing biological or socio economic conditions

affecting the fishery than do government regulation”

Suatu bahasan mengenai hak ulayat laut dalam bentuk yang

lebih dinamis lahir dari pertanyaan pokok, yaitu mengapa hak

ulayat laut dipraktekkan oleh suatu masyarakat dan factor-

faktor apa yang mempengaruhinya. Belum ada suatu teori yang


mampu menjawab secara tuntas pertanyaan ini. Akan tetapi

cukup banyak hipotetis yang berusaha menjawab pertanyaan

ini dengan acuan kasus-kasus tertentu. Ini berarti ada banyak

variabel yang mengarah ada atau tidaknya aturan dan praktek

hak ulayat laut pada suatu masyarakat. Meskipun demikian,

suatu hal yang merupakan kunci mengenai hal ini adalah

anggapan bahwa laut merupakan suatu sumberdaya yang

bernilai.

Banyak hal yang kemudian mengarah pada anggapan bahwa

sumberdaya laut bernilai tinggi atau sebaliknya. Pertama,

misalnya tingkat kepentingan laut. Kedua, laut juga bisa

dikatakan bernilai jika memiliki sumberdaya, dan kondisi

ekologisnya sedemikian rupa sehingga orang mudah

mengeksploitasinya. Dalam hal yang terakhir ini, tentu

berhubungan pula dengan mudah atau tidaknya proses

distribusi berjalan, atau dengan kata lain ada atau tidaknya

pasar. Kondisi pasar itu sendiri sedikit banyak dipengaruhi oleh


masyarakat lain, sehingga kemungkinan intensitas terjadinya

proses tukar menukar semakin besar.

Satu variabel yang berbeda dengan variabel-variabel di atas

adalah sistem kepercayaan. Pada sistem

kepercayaan masyarakat tertentu, laut mungkin dianggap

sebagai sumber kehidupannya. Dengan latar belakang

kepercayaan ini, maka perlakuan masyarakat terhadap laut

berbeda, termasuk masalah yang berhubungan dengan

berkembang atau tidaknya hak penguasaan laut tersebut.

Selanjutnya, apabila variabel-variabel di atas diidentifikasikan

dalam upaya mencari jawaban mengapa hak ulayat laut

dipraktekkan oleh suatu masyarakat, maka jawaban atas

variabel-variabel apa yang mempengaruhi berlangsungnya hak

ulayat laut, lebih banyak terikat pada suatu variabel kunci yaitu

konflik (Pollnac : 1984). Hal ini disebabkan oleh karena

konflik merupakan suatu potensi yang cukup kuat atas

berubahnya hak ulayat laut. Dalam hal ini perubahan-

perubahan yang terjadi sangat bervariasi, dari mulai perubahan


isi aturan maupun praktek hak ulayat laut sampai pada

perubahan yang menyangkut semakin menguat atau

melemahnya praktek pelaksanaan aturan hak ulayat laut

tersebut.

2.5.  Hak Ulayat  dan Hak Penguasaan Negara.

Hak ulayat tidak sama dengan hak penguasaan Negara yang

bersumber dari konstitusi Negara. Hak ulayat yang diakui dan

disebut dalam Pasal 3 UUPA. Pengakuan eksistensi hak ulayat

adalah wajar, karena hak ulayat berserta masyarakat hukum

adat telah ada sebelum terbentuknya UUD 1945 yang memuat

konsep hak penguasaan Negara. UUPA sendiri tidak

memberikan penjelasan tentang pengertian hak ulayat itu,

kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat

adalah beschikkingsrecht dalam kepustakaan hukum adat.

Maria S.W. Sumardjono (dalam Abrar Saleng, 2004 : 51)

mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang


timbul secara spontan di wilayah tertentu dengan rasa

solidaritas yang besar di antara anggotanya dan memandang

yang bukan anggota sebagai orang luar, menggunakan

wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat

dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya, pemanfaatan oleh

orang luar harus dengan izin dan pemberian imbalan tertentu

berupa recognisi.

Dengan demikian hak ulayat menunjukkan adanya hubungan

hukum antara masyarakat hukum adat (subjek hak) dan sumber

daya alam serta wilayah tertentu (objek hak). Hak ulayat berisi

wewenang-wewenang yang menyatakan hubungan hukum

antara masyarakat hukum adat dengan sumber-sumber

alam/wilayahnya adalah hubungan penguasaan, bukan

hubungan pemilikan. Hubungan hukum itu disebut ulayatnya

yang bersal dari bahasa Minang yang berarti “wilayahnya”

(Boedi Harsono, 1975 : 83).

Berdasarkan pengertian dan pandangan teoritis di atas, maka

terdapat indikasi adanya hubungan persamaan dan perbedaan


antara hak ulayat dengan hak penguasaan Negara yaitu  (Abrar

Saleng, 2004 : 52) :

(a)      Subjeknya, bagi hak ulayat adalah masyarakat

hukum, bukan perorangan, sedangkan bagi hak menguasai

Negara adalah Negara.

(b)     Objeknya, bagi hak ulayat adalah tanah, air dan

sumber-sumber alam (tertentu) dalam wilayahnya,

sedangkan hak menguasai Negara lebih luas, sebab selain

semua potensi sumberdaya alam yang ada dalam wilayah

Negara Indonesia, juga cabang produksi yang penting bagi

Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

(c)      Isinya, bagi hak ulayat adalah rangkaian wewenang

dan kewajiban yang meliputi : pengaturan, pemberian cara

penggunaan sumberdaya alam dan pemeliharaannya,

sedangkan bagi hak menguasai Negara adalah sejumlah

wewenang dan kewajiban public yang meliputi :

pengaturan, pengutrusan serta pengawasan penggunaan dan


pemanfaatan segenap potensi sumberdaya alam dan

cabang-cabang produksi untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

(d)     Pelaksana, bagi hak ulayat adalah Kepala

Persekutuan Hukum atau kepala adat, sedangkan bagi hak

penguasaan Negara adalah pemerintah Republik Indonesia.

Berdasarkan perbedaan di atas, maka hak ulayat dapat

dipersamakan dengan hak bangsa dan wewenang kepala

persekutuan hukum adat dipersamakan dengan hak penguasaan

Negara. Ruang lingkup hak ulayat lebih sempit dan terbatas,

sementara hak penguasaan Negara ruang lingkupnya nasional

dan meliputi semua sumberdaya alam yang terdapat dalam

tanah air Indonesia.

C.Eksistensi dan Keberlakuan Hukum Adat Dalam Pengelolaan

Sumberdaya Alam.
Hukum adat maupun hak faktual atau mungkin disebut juga sebagai

hukum lokal, terhadap hal-hal tersebut yakni hak-hak masyarakat

adat dalam hubungannya dengan pribadi, kelompok masyarakat

lainnya yang memanfaatkan alam lingkungan disekitarnya, pemilikan

tanah adat, pesisir dan laut, hutan mangrove , jual beli hasil pertanian,

perkebunan maupun perikanan yang mengikuti hukum pasar. Khusus

untuk pengelolaan pesisir dan perairan kepulauan, hukum adat

maupun hukum faktual  telah diakomodasi dalam peraturan daerah

provinsi dan juga peraturan daerah kabupaten. Dijumpai bahwa

banyak pulau yang sangat kecil sudah dihuni oleh penduduk sejak

leluhurnya dan dipandang sebagai miliknya. Hal ini menjadi

persoalan ketika pemerintah seringkali pengeluarkan pendapat bahwa

pulau-pulau kecil tidak dapat dimiliki oleh perorangan (Titahelu,

2003 : 4).

Dimaksudkan dengan hak faktual adalah hak yang berlaku dalam

masyarakat lokal yang bukan berasal dari hukum adat. Hak ini adalah

jenis hak yang tidak dapat diidentifikasi di dalam jenis-jenis hak yang

dikenal dalam literatur hukum adat. Hak ini adalah hak yang batu
timbul dalam kehidupan masyarakat. Contohnya adalah hak

masyarakat untuk menanam rumput laut di pesisir pulau tertentu.

Menanam rumput laut tidak dikenal dalam hukum adat mereka. Hak

ini adalah hak baru, begitu pula hak atas perairan disekitar rumpon,

hak atas perairan disekitar keramba, hak atas perairan disekitar

bagan. Antara masyarakat adat dengan pemerintah sering terjadi

konflik, dan semakin dekat kepentingan berbagai pihak saling

berhubungan, semakin tinggi konflik di atara para pihak. Sebaliknya

semakin sedikit kepentingan saling berhubungan, semakin kecil

konflik yang timbul. Konflik antara masyarakat berhadapan dengan

investor asing atau domistik yang didukung pemerintah seperti kasus

penangkapan ikan Napoleon di kawasan terumbu karang Metimarang

dan Wekenau (sekitar pulau Luang Maluku Tenggara Barat). Konflik

yang berhubungan dengan masalah lingkungan. Konflik antara

masyarakat adat Haruku dengan PT Aneka Tambang di wilayah

petuanannya yang di sasi.

Apa yang dikemukakan di atas mencerminkan hubungan yang kuat

dengan aspek sosiologis yang dikedepankan yakni adanya simbol


atau lambang interaksi yang sistematis, terstruktur dan masih berlaku

sampai saat ini. Hal ini menampakkan adanya norma atau kaedah

tetap yang selain menjaga keteraturan atau ketertiban di lingkungan

mereka sendiri, adalah juga digunakan unruk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari (Roberth Souhaly,  2006 : 74).

Peran hukum positif yang akan dibicarakan masih dalam lingkungan

preskripsi yang ada di dalam sistem hukum. Artinya peran itu adalah

menempatkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

sebagai kaedah yang member peluang, yang melandasi dua hal yaitu

(1) keharusan tindakan pemerintah, maupun (2) kebolehan perbuatan

masyarakat secara riil untuk melakukan tindakan perlindungan hak

kepada masyarakat adat dan sekaligus member peluang bergerak atau

peluang bagi masyarakat adat untuk menjalankan apa yang menjadi

bagian dari haknya. Prinsip ini sebenarnya merupakan prinsip yang

dikembangkan dengan bertolak dari penerapan tujuan-tujuan untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat.

Menurut Souhaly (2006 : 76), hak-hak masyarakat atas sumberdaya

alam disekitarnya yang terlahir berdasarkan hukum adat merupakan


suatu sistem tersendiri sejak leluhur (ancestral roots) yang memiliki

efek praktis dan oleh karena itu memerlukan perlindungan hukum.

Katakanlah perlindungan hukum riil terhadap hak-hak yang ada (the

existing rights of indigenous people), perlu ditetapkan dan dijalankan

secara administrative.

D.Penutup

Kebijakan pemerintah dalam pengaturan dan pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil  masih  bersifat sentralistik dan

mengabaikan kepentingan masyarakat adat. Selain itu sistem

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditinjau dari aspek

hukum masih tumpang tindih atau bersifat  kondradiktif. Terkait

dengan wewenang antara pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah dan   masyarakat adat sistem hukum di Indonesia masih tetap

mengatur dan mengakui eksistensi masyarakat hukum namun dalam

implementasi belum memberikan perlindungan secara optimal.

Anda mungkin juga menyukai