Anda di halaman 1dari 32

Menu

Legal Opinion
HAK ASASI MASYARAKAT UNTUK MENDAPATKAN KEADILAN DI PENGADILAN PERIKANAN
24/02/2013 2 Comments
HAK ASASI MASYARAKAT UNTUK MENDAPATKAN KEADILAN DI PENGADILAN PERIKANAN

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian


Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km yang merupakan tiga per empat dari
keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi
garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di
dunia. Selain peran geopolitik, wilayah laut kita juga memiliki peran geokonomi yang sangat penting dan
strategis bagi kejayaan dan kemakmuran bangsa Indonesia.[1] Sebagai negara kepulauan dan maritim
terbesar di dunia, Indonesia diberkahi Tuhan YME dengan kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-
ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove,
rumputlaut, dan produk-produk bioteknologi); sumberdaya alam yang takterbarukan (seperti minyak dan
gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan sepertipasang-
surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan
kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.[2]

Dengan ditetapkannya konvensi PBB tentang hukum laut Internasional 1982, wilayah 2 laut Indonesia yang
dapat dimanfaatkan diperkirakan mencapai 7.9 juta km  terdiri dari 1.8 juta km  daratan, 3.2 juta km  laut
teritorial dan 2.9 juta km  perairan ZEE. Wilayah perairan 6.1 juta km  tersebut adalah 77% dari seluruh
luas Indonesia, dengan kata lain luas laut  Indonesia adalah tiga kali luas daratannya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta
kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk
kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan
guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap
memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan
pembangunan perikanan nasional.

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona
ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar
internasional yang berlaku.[3]

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional,
terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan
taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha
di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya
ikan.[4]
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan
pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi
perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian
lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin
efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan
berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan
kelestarian yang berkelanjutan.

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu
ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang
perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka
menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan,
sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian
hukum merupakaan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang ini lebih memberikan
kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang
mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur
secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak
pidana di bidang perikanan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri
sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan
yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan
hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil. Untuk menjamin
kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang
pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam Undang-Undang ini rumusan mengenai
hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.[5]

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang
perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di
lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta
Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka
pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, baru melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat
2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku.[6] Pengadilan perikanan tersebut
bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang
dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua)
orang hakim ad hoc.

Rumusan Masalah
Berdasarkan alas an diatas, maka rumusan masalah yang saya buat adalah :

Apa landasan Hukum peran dan fungsi peradilan perikanan dalam system kekuasaan kehakiman di
Indonesia.
Bagaimana pelaksanaan peran dan fungsi peradilan perikanan dalam system kekuasaan kehakiman di
Indonesia.
Bagaimana Hak masyarakat untuk mendapatkan Keadilam di Pengadilan Perikanan di Indonesia?
Metode Penelitian
Untuk menjawab beberapa rumusan masalah yang saya utarakan, maka saya menggunakan metode
penelitian yuridis sosiologis, yakni metode berdasarkan studi terhadap peraturan perundang-undangan
yang sesuai dengan pembahasan, dengan tidak menghilangkan studi terhadap kejadian-kejadian atau
gejala-gejala yang terjadi di lapangan berdasarkan pengamatan saya selama ini.

Sedangkan metode teknik analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, yakni mengkaji dari yang
bersifat umum dianalisa untuk kemudian menghasilkan hal-hal yang bersifat khusus.

Metode penelitian hukum pada umumnya membagi penelitian atas dua kelompok besar, yaitu metode
penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif
diartikan sebagai sebuah metode penelitian atas aturan-aturan perundangan baik ditinjau dari sudat
hirarki perundang-undangn (vertikal), maupun hubungan harmoni perundang-undangan (horizontal).
Penelitian hukum empiris adalah sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum
dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya hukum di
masyarakat.

Kedua model penelitian hukum tersebut perlu saat ini umum difahami oleh para penstudi hukum di
Indonesia khususnya. Pemikiran dua model penelitian hukum tersebut tampaknya saat ini perlu dilakukan
pemikiran ulang (rethinking) atasnya. Pemikiran hukum empiris perlu kita fikirkan secara mendalam
tentang hakikat model penelitian ini. Pemikiran empiris pada hakikatnya adalah penelitian yang melihat
keadaan secara nyata, hal ini berawal dari sebuah filsafat positivisme yang melihat sesuatu adalah benar
jika dapat dibuktikan nyata adanya (positif).

Pemikiran filsafat positivisme merupakan bentuk perkembangan akal manusia, yang menurut Auguste
Comte (1798-1857) merupakan perkembangan ketiga dari perkembangan akal manusia. Ia menyatakan
bahwa perkembangan akal manusia berkembang dalam tiga tahap pemikiran: tahap teologi, tahap
metafisik, serta tahapan riil atau positif. Dalam tahap teologi, manusia mencari kebenaran atas berbagai
fenomena yang ada di sekelilingnya, mulai tahap politeisme (keyakinan atas dewa-dewa) hingga
monoteisme (keyakinan atas Tuhan yang Maha Esa). Tahap kedua adalah tahap metafisik, dimana manusia
mulai menyandarkan kepada kemampuan analis dan logika abstral dan menolak kebenaran atas kekuatan
magis. Hal ini muncul pada masa Renaissance. Kebenaran logika abstrak mulai ditinggalkan oleh manusia
ketika manusia mulai mencari sesuatu yang bersifat positif, nyata, riil, serta rasional. Tahap inilah yang
disebut sebagai tahapan positif yang melahirkan pemikiran positivisme. Pemikiran Comte tersebut
mendukung faham empirisme yang sangat menjunjung nilai-nilai kepastian. Sosiologi menurut Comte
adalah bentuk nyata ilmu yang nyata atau positif, selain matematika, astronomi, fisika, kimia, dan biologi.
Pemikiran filsafat positivisme Comte tersebut mempengaruhi perkembangan ilmu hukum yang melahirkan
konsep positivisme hukum.

Pemikiran filsafat positivisme menolak segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara nyata atau
empirik atau konkrit dan positif adanya. Sesuatu yang bersifat abstrak, tidak nyata, tidak positif, seperti
moral, keadilan adalah tertolak. Moral dan keadilan bukanlah hal yang nyata, keduanya tidak dapat diukur,
tidak memiliki standar yang jelas, oleh karena itulah moral dan keadilan sulit diterima secara nyata, positif,
juga empiris. Mengingat yang benar adalah sesuatu yang bersifat konkrit, positif, terstandar, empirik, dan
dapat diukur dengan jelas, maka hukum juga harus memiliki standar yang jelas, baku, empiris (nyata) dan
positif tentu saja, dalam hal ini kesemua itu dipenuhi oleh hadirnya Undang-undang. Nyata undang-
undang itu ada, masalah adil atau tidak, itu bukanlah urusan hukum, karena keadilan tidak dapat diukur,
keadilan di satu sisi akan memunculkan keadilan di sisi yang lain, lalu manakah yang dirasakan paling adil?
Sangat-sangat tidak jelas! Yang jelas yaitu yang konkrit dan positif dalam hal ini adalah Undang-undang,
sebuah pemikiran hukum yang sangat normatif-positivis!

Konsep berfikir hukum yang ada saat ini kemudian menjadi salah kaprah ketika kemudian para penstudi
hukum kemudian melakukan klasifikasi atas dua model penelitian hukum, yaitu model normatif-positivis,
serta model empiris-sosiologis. Dimana keduanya secara sadar atau tidak masing-masing melakukan
klaim-klaim kebenaran atas metodologi hukum. Perang pemikiranpun terjadi, masing-masing kubu merasa
paling benar. Penstudi hukum legal positivis menolak ide pendekatan empiris-soiologis atas hukum,
demikian pula sebaliknya.

Berdasarkan pemikiran Auguste Comte di atas, maka jika kita mengklasifikasikan pemikiran hukum
termasuk metodologi hukum atas hukum empiris dan normatif, maka sesungguhnya keduanya adalah
sama. Struktur bangunan pemikiran hukum keduanya sebangun, karena berasal dari sebuah pemikiran
filsafat yang sama yaitu filsafat positivisme yang mendukung faham empirisme! Klaim atas kebenaran
aliran pemikiran hukum oleh pemikiran hukum normatif-positivis berbenturan dengan pemikiran hukum
empiris-sosiologis tampaknya perlu kita renungkan ulang, karena keduanya berasal dari induk yang sama.
Kesalahan fikir metodologis atas hukum tersebut sudah selayaknya menjadi renungan kita bersama.

BAB II

Landasan Teori

Konsep Hukum Perikanan


Aparat penegak hukum di bidang perikanan adalah pejabat Polri, perwira TNI AL, dan Pengawas Perikanan.
Pengawas Perikanan harus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di bidang perikanan dan diangkat oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.[7]

Kewenangan Pengawas Perikanan hampir sama dengan kewenangan aparat penegak hukum lainnya
diantaranya adalah berwenang menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga
atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke
pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut. Pengawas Perikanan juga berwenang melakukan
tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri, melawan, membahayakan
keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan, serta mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam melaksanakan tugasnya, Pengawas Perikanan dapat dilengkapi dengan kapal pengawas perikanan,
senjata api, dan/atau alat pengaman diri. Berdasarkan amanat Undang Undang Perikanan tersebut,
Kementerian Kelautan & Perikanan saat ini telah memiliki lebih dari 20 kapal pengawas perikanan
dan 50an speedboat pengawasan yang tersebar di beberapa satker pengawasan di daerah. Sepak terjang
tim patrol pengawasan perikanan sudah sering terdengar, termasuk penangkapan kapal nelayan Malaysia
yang mencuri ikan di wilayah ZEE perairan Indonesia beberapa waktu yang lalu. Kasus penangkapan
nelayan Malaysia ini cukup heroik mengingat Pengawas Perikanan dihalau oleh 3 helikopter Malaysia yang
berusaha membebaskan nelayan mereka, namun para petugas tetap menggiring kapal nelayan Malaysia
tersebut.[8]

Kewenangan Pengawas Perikanan memang mencakup wilayah ZEE sebagaimana tercantum pada UU
45/2009 Pasal 73 ayat 2 yang menyebutkan bahwa selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di
ZEE Indonesia. Bahkan petugas Polri pun tidak memiliki kewenangan penyidikan di wilayah ZEE.

Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di


bidang perikanan yang meliputi 10 bidang, yaitu kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan &
perbenihan, pengolahan & distribusi keluar masuk ikan, mutu hasil perikanan, distribusi keluar masuk
obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan manusia, plasma nutfah, penelitian dan
pengembangan perikanan, dan ikan hasil rekayasa genetik.[9]

Sebelum dikeluarkannya UU 31/2004 Tentang Perikanan, penamaan yang sering digunakan adalah
Kawasan Konservasi Laut atau disingkat KKL. KKL yang dikembangkan oleh pemerintah daerah biasa di
sebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Ada juga kawasan konservasi yang luasannya lebih kecil
dan berada pada level desa yang disebut Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Sejak dikeluarkan PP No 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (KSDI), yang merupakan turunan
dari UU 31/2004 tentang Perikanan, nomenklatur resmi yang digunakan adalah Kawasan Konservasi
Perairan yang disingkat KKP. Namun demikian, terdapat istilah lain yang juga bisa digunakan sebagai
nomenklatur kawasan konservasi laut sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) No 17
Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir & Pulau Pulau Kecil. Berdasarkan Permen
ini, kategori kawasan konservasi laut terdiri atas Kawasan Konservasi Pesisir & Pulau Pulau Kecil
(KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP), dan Sempadan Pantai.
[10]

Jika dirinci lebih detail, KKP3K terdiri dari Suaka Pesisir, Suaka Pulau Kecil, Taman Pesisir, dan Taman Pulau
Kecil. KKM terdiri dari Perlindungan Adat Maritim dan Perlindungan Budaya Maritim. KKP terdiri dari
Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.

Dalam bidang hukum dan perundangan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah melakukan
terobosan di bidang hukum dan perundangan yaitu dengan disahkannya UU No. 31/2004 tentang
Perikanan oleh Presiden RI, Megawati Soekarnoputri pada tanggal 6 Oktober 2004 lalu. UU No. 31/2004
merupakan penyempurnaan dari UU No.9/1985 tentang Perikanan yang dipandang belum menampung
semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan
hukum serta perkembangan teknologi.[11]

Lahirnya UU No. 31/2004 tentang Perikanan juga merupakan inisiatif dari DPR-RI untuk melahirkan suatu
perubahan landasan hukum di bidang Perikanan. Disamping itu UU No. 31/2004 ini merupakan salah satu
solusi strategis agar sektor perikanan mampu berperan lebih besar dalam mewujudkan perekonomian
yang tangguh dan mampu mensejahterakan rakyat dan dipandang sangat perlu disosialisasikan baik untuk
kepentingan internal DKP maupun masyarakat perikanan lainnya. Penerapan UU No. 31/2004 tentang
Perikanan ini akan ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah yang akan disusun DKP.

Semangat Pembentukan Pengadilan Perikanan


Disamping adanya hakim karier dan ad hoc, dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan tersebut dijelaskan
bahwa putusan hakim harus sudah dijatuhkan dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal penerimaan
perkara, dan putusan perkara tersebut dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran terdakwa. Untuk
kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan berwenang menetapkan penahanan selama 20
hari, dan dapat diperpanjang selama 10 hari lagi apabila diperlukan.

Apabila ada orang yang melakukan penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya diancam dihukum pidana penjara
paling lama 6 tahun dan denda sebesar 1,2 miliar.[12]

Demikian juga bagi nakhoda, ahli penangkap ikan dan Anak Buah Kapal yang melakukan hal seperti
tersebut diatas diancam dihukum pidana penjara selama 10 tahun dan denda paling banyak 1,2 miliar.
Sedangkan bagi pemilik kapal, pemilik perusahaan dan operator kapal akan diancam hukuman 10 tahun
penjara dan dengan denda yang lebih besar yaitu 2 miliar.

Disamping itu ditegaskan pula bagi orang yang memiliki maupun menggunakan alat tangkap yang tidak
sesuai dengan yang ditetapkan diancam hukuman penjara 5 tahun dengan dengan sebesar 2 miliar. Dan
bagi yang melakukan pencemaran dan membahayakan baik itu lingkungan sumberdaya ikan maupun
kesehatan manusia akan diancam hukuman penjara 6-10 tahun dengan denda 1,5 – 2 miliar.

Dalam UU No. 31/2004 pula dicantumkan tentang diaturnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam
UU 31/2004 tentang Perikanan, dimana yang dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan tidak saja
mereka yang merupakan pelaku langsung di lapangan tetapi juga pihak korporasi yang berada di belakang
mereka.

Kembali pada pokok pebicaraan kita mengenai pembentukan Pengadilan Perikanan, ide pembentukan
lembaga-lembaga peradilan khusus seperti halnya PP ini, pada dasarnya dialndasi oleh semangat untuk
mengatasi krisis “ketidakberdayaan” lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai
persoalan hukum. Proses hukum yang ada dinilai jauh dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Alasan
yang tak kalah penting adalah dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, serta  semakin kompleksnya
persoalan-persoalan hukum, terutama di bidang-bidang yang sangat spesifik seperti korupsi, lingkungan
hidup, tata niaga, pajak, profesi kedokteran, perikanan, dll, dibutuhkan suatu lembaga peradilan yang lebih
profesional yang didukung oleh SDM yang benar-benar menguasi persoalan-persoalan khusus tersebut.

Dasar-dasar pertimbangan di atas berlaku pula pada di bidang perikanan. Penanganan kasus-kasus
perikanan selama ini dinilai tidak berjalan secara optimal. Kita bisa melihat bagaimana instansi-instansi
yang terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan tidak berjalan secara sinergis, bahkan
cenderung berebut dan bersaing sesuai dengan kepentingannya masing-masing.[13] Lihat saja misalnya
kasus pelepasan 6 kapal ikan Thailand berikut 250 anak buah kapal (ABK)-nya di Pontianak setahun yang
lalu, padahal jelas-jelas kapal asing tersebut tertangkap sedang menangkap ikan secara ilegal di perairan
Indonesia. Alasannya pun tidak masuk akal, karena pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan makan
mereka serta dikhawatir kan ABK yang ditahan menularkan penyakit HIV/AIDS (Harian Kompas, 19
Februari 2003). Persoalan tersebut semakin diperburuk dengan banyaknya putusan-putusan pengadilan
yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Contohnya   putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara  yang
menyidangkan kasus pencurian ikan oleh 2 kapal ikan Thailand. Kedua kapal ilegal itu hanya didenda
masing-masing Rp 10 juta serta Rp 15 juta per unit, sedangkan kapal yang disita dilepaskan lagi (Harian
Kompas, 1 Oktober 2003). Kasus serupa terjadi di Pengadilan Negeri Gresik, dimana kasus pencurian ikan
oleh kapal asing hanya di divonis bebas dan dikenai biaya perkara Rp. 1.000,-.

Di samping Kasus-kasus di atas, sebenarnya masih banyak kasus lain yang dapat kita lihat di media-media
masa. Hal ini menunjukan kepada kita betapa penanganan terhadap kasus-kasus perikanan di Indonesia
sangat memperihatinkan. Padahal akibat lumpuhnya penegakan hukum di bidang perikanan ini telah
mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Kerugian akibat pencurian ikan di perairan Indonesia
diperkirakan berkisar 1 juta sampai 1,5 juta ton per tahun, atau setara dengan dua miliar dollar AS sampai
empat miliar dollar AS (Rokhmin Dahuri:2003). Kerugian tersebut belum termasuk kerusakan biota laut
sebagai akibat dari penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau dan berbagai alat tangkap
berteknologi canggih lainnya. Berangkat dari kenyataan itulah, kemudian banyak kalangan mulai
menyuarakan perlunya dibentuk Pengadilan Perikanan.[14]

Kompetensi Pengadilan Perikanan


Kemampuan pengadilan perikanan sebagai terobosan hukum menarik untuk kita renungkan, khususnya
ditinjau dari tiga aspek berikut: pertama, saat ini dunia peradilan kita sedang menjalani proses
pembaruan, khususnya  berkenaan dengan perbaikan kinerja dan manajemen lembaga peradilan yang
sudah ada. Menariknya, di tengah kuatnya arus pembaruan tersebut, rencana beberapa kalangan untuk
membentuk pengadilan-pengadilan khusus juga terus berjalan, seperti rencana pembentukan Pengadilan
Lingkungan, Pengadilan Korupsi, Pengadilan Pencuri Kayu, Pengadilan Perindustrian, Pengadilan Profesi
Kedokteran, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Perikanan (selanjutnya disingkat PP). Dua
pengadilan terakhir ini bahkan telah mempunyai dasar hukum yaitu UU No. 31/2004 tentang Perikanan
dan UU No. 2/2004 tentang Penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial.[15]

Kedua, lahirnya UU No. 31 Tahun 2004 tentang  Perikanan yang di dalamnya mengamanatkan dibentuknya
PP saat ini sedang gencar-gencarnya mendapat sorotan publik. Tak kurang Ketua Mahkamah Agung sendiri
telah dibuat kaget dengan ”lolosnya” ketentuan dalam UU tersebut, yang konon pembahasannya tidak
melibatkan pihak Mahkamah Agung (Hukumonline, 18 Oktober 2004). Kritik tajam juga dilontarkan Prof Dr
Indriyanto Seno Adji. Bagi Indriayanto, pembentukan peradilan khusus semacam ini dinilainya hanya akan
menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi asas penyatuatapan, di samping melanggar sistematisasi
lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial (Harian Kompas, Kamis 23 September 2004).
Ketiga, terlepas dari persoalan di atas,  rencana pembentukan PP itu sendiri ternyata masih menyisakan
banyak persoalan mendasar seperti: kelamahan-kelamahan dalam hukum acara, tidak adanya mekanisme
koordinasi (khususnya pada tingkat penyidikan), tidak adanya jaksa ad hoc,  tidak jelasnya format
pengadilan yang akan dibentuk, serta kendala-kendala non teknis lainnya.

Berangkat dari tiga hal di atas, melalui tulisan singkat ini akan coba dijelaskan bagaimanakah sebenarnya
posisi serta relevansi keberadaan PP ini dalam konteks pembaruan di bidang perdilan yang saat ini sedang
berjalan, mampukah pengadilan perikanan menjadi sebuah terobosan, serta persoalan apa saja yang perlu
mendapat perhatian.[16]

Inilah persoalannya. Setelah kini ada landasan hukum bagi pembentukan PP, tidak serta merta pesoalan
menjadi selesai. Kalau kita cermati ketentuan-ketentuan dalam UU No. 31/2004, khususnya Bab XIII
tentang Pengadilan Perikanan, ternyata masih banyak hal yang harus dibenahi sebelum lembaga baru ini
benar-benar dibentuk dua tahun ke depan.  Menurut hemat kami, paling tidak ada tiga persoalan pokok
yang perlu mendapat perhatian serius.[17]

Pertama, adanya kelamahan-kelamahan pada hukum acara.  Hukum acara PP mematok waktu cukup
singkat, yaitu 160 hari untuk penyelesaikan  suatu perkara mulai dari penyidikan sampai putusan MA.
Waktu yang cukup singkat dibanding standar KUHAP yang untuk penyelesaian perkara tingkat pertama
saja butuh waktu tiga kali lebih lama.  Persoalannya, jangka waktu yang sedemikian singkat itu akan
berbenturan dengan kondisi rill di lapangan, khususnya berkenan dengan jalur beracara yang harus dilalui.
Acara pemeriksaan di PP mengenal tiga tahapan, yaitu pemeriksaan tingkat pertama (PP), tingkat banding
(PT) dan kasasi (MA). Untuk tiap tahapan tersebut dialokasikan waktu masing-masing 30 hari. Di tingkat
pertama (PP) – dengan dukungan SDM yang memadai serta khusus hanya menangani perkara-perkara
perikanan – mungkin tenggang waktu 30 hari cukup memadai,  tapi bagaimana halnya dengan PT dan MA?
Cukupkah waktu 30 hari? Faktanya perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload.
Kelemahan mekanisme ini sebenarnya terkait dengan tidak adanya mekanisme pembatasan terhadap
perkara-perkara yang akan diajukan bading/kasasi. Disamping itu, tidak adanya hakim ad hoc di tingkat
banding dan kasasi juga akan berpengaruh terhadap kemampuan dab kesigapan  penanganan perkara di
kedua tingkat peradilan ini.[18]

Selain tidak adanya hakim ad hoc di tingkat banding/kasasi, dalam PP juga tidak dikenal jaksa ad hoc.
Padahal keberadaan jaksa ad hoc ini sebenarnya sangat penting, sebab bagaimanapun jaksalah yang akan
membedah dan membuktikan suatu perkara di pengadilan. Kenyataannya, banyak kasus yang lolos di
pengadilan bukan hanya disebabkan oleh hakim yang tidak begitu memahami perkara perikanan, tapi
karena ketidakmampuan jaksa dalam membuktikan tindak pidana di bidang perikanan tersebut.

Hal lain yang tak kalah penting adalah mengenai alat bukti yang masih mengacu pada KUHAP. Padahal
dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, alat bukti yang diatur dalam KUHAP sudah tidak memadai
lagi. Di bidang perikanan data dan informasi hasil pengawasan melalui Vessel Monitoring System (VMS) —
yang saat ini sedang digalakan di Indonesia– sebenarnya  sangat penting bagi proses pembuktian. Namun
sayangnya hal itu justru tidak dimasukan sebagai salah satu alat bukti.[19]

Kedua, tidak adanya mekanisme koordinasi, khususnya pada tingkat penyidikan. Penyidik di bidang
perikanan terdiri darai PPNS, TNI AL, dan Kepolisian. Institusi tersebut sama-sama mempunyai dasar
hukum atas kewenangannya sebagai penyidik di laut. Persoalannya, dalam praktek di lapangan koordinasi
diantara instansi tersebut sangat lemah. Seperti pada kasus-kasus yang telah dikemukakan di atas, akibat
kuatnya ego dan kepentingan  diantara mereka, proses penyidikan tindak-tindak pidana di bidang
perikanan menjadi kurang optimal. Lalu bagaimana UU 31/2004 mengatur hal itu? Ternyata dalam UU
31/2004 nyaris tidak ada sesuatu yang baru yang diharapkan dapat mengatasi persoalan lemahnya
koordinasi tersebut. Diposisikannya PPNS sejajar dengan TNI AL dan Kepolisian sebagai penyidik, serta
diberikannya kewenangan kepada Menteri untuk membentuk forum  koordinasi bagi kepentingan
penyidikan di tingkat daerah, belum memberikan solusi nyata bagi persoalan tersebut. Apalagi forum
koordinasi tersebut nota bene dibentuk pada tingkat menteri, sedangkan Bakorkamla yang sudah lama
eksis dan dibentuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKP) saja nyaris tidak bisa berbuat apa-apa.[20]

Ketiga, banyaknya hal-hal teknis yang belum diatur, khususnya terkait dengan format pengadilan yang
akan dibentuk, seperti: bagaimana susunan PP tersebut (pimpinan, hakim anggota, sekretaris, panitera,
dan lain-lain), apa tugas dari masing-masing perangkat pengadilan tersebut, siapa yang menjadi hakim
ketua, bagaimana mekanisme pengangkatan dan pemberhentian hakim (ad hoc), berapa lama masa
jabatan hakim (ad hoc), apa saja persyaratan untuk diangkat menjadi hakim (ad hoc), apakah semua
perkara harus diputus oleh Majelis (tiga orang hakim) atau dapat oleh hakim tunggal untuk perkara-
perkara yang ringan, dan bagaimana mekanisme pembinaan dan pengawasan terhadap pengadilan ini.
Hal-hal tersebut sama sekali tidak diatur dalam UU 31/2004. Hal ini dikhawatirkan   sedikit banyak akan
menjadi hambatan bagi PP dalam menjalankan fungsinya nanti.[21]

Tentang tidak adanya mekanisme pembinaan dan pengawasan, hal ini sebenarnya sangat fatal, sebab
realisasi pembinaan dan pengawasan terhadap badan peradilan sangat  diperlukan guna menjamin
terwujudnya  penegakan hukum yang benar-benar memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Demikian pula tidak adanya pengaturan mengenai persyaratan untuk diangkat menjadi hakim PP,
menyebabkan tidak jelasnya standar kualifikasi bagi hakim-hakim yang akan diangkat. Kita semua
menyadari, sebaik apapun aturan hukum dibuat,  namun yang lebih menjamin keberhasilannya nanti
adalah sejauh mana integritas moral yang dimiliki oleh hakim-hakim PP dalam membedah kasus-kasus di
pengadilan. Dari optik sosiologis, undang-undang itu hanya ”benda mati”, yang hidup, jika ”dihidupkan”
oleh para penegak hukum.[22]

Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam ketentuan perundang-undangan yakni UU No. 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan induk dan kerangka umum meletakkan dasar serta asas-
asas peradilan secara umum, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas
campur tangan dari pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan demi
terselenggaranya negara hukum.

Dalam negara hukum, teori yang dianut adalah teori kedaulatan hukum. Menurut teori ini, yang memiliki
bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri. Hal tersebut
karena baik penguasa maupun rakyat atau warga negaranya, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk
pada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai dan menurut hukum. Jadi menurut
Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum.

Hal tersebut bermula dari konsep kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui instrumen-instrumen hukum
yang kemudian dalam negara hukum harus diwujudkan dalam sitem kelembagaan negara dan
pemerintahan sebagai institusi hukum yang tertib agar dapat dijalankan.[23]

Dari segi kelembagaan prinsip organisasi kemasyarakatan harus diwujudkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam struktur mekanisme kelembagaan
nagara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi.
Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan, yaitu
melaui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of
power). Pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-
fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and
balances). Sedangkan pembagian kekuasaan lebih bersifat vertikal dalam arti perwujutan kekuasaan itu
dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang
kedaulatan rakyat.
Gagasan mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan negara mendapatkan dasar pijakan, antara lain
Jhon Locke dan Montesquieu. Jhon locke dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment”
mengusulkan agar kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi kepada organ-organ negara yang berbeda,
menurut Jhon Locke agar pemerintah tidak sewenamg-wenang harus ada pembedaan pemegang
kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan yaitu:[24]

Kekuasaan Legislatif (membuat Undang-undang)


Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan Undang-undang)
Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)
Montesquieu melalui bukunya “L’espirit des Lois”, pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak
berbeda dari yang ditawarkan Jhon Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu
diadakan pemisahan kekuasaan negara dalam tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat
Undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana Undang-undang) dan kekuasaan yudikatif
(peradilan/kehakiman untuk menegakkan perundang-undangan kalau terjadi pelanggaran). Ketiga poros
kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain baik mengenai orangnya maupun
kekuasaannya. Ajaran mengenai pemisahan kekuasaan kedalam tiga pusat kekuasaan dari Montesquieu
kemudian oleh Imanuel Kant diberi nama Trias Politica.[25]

Jika dibandingkan antara pendapat Locke dan Montesquieu terlihat ada pembedaan sebagai berikut :

Menurut Locke, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasan yang mencakup kekuasaan yudikatif, karena
mengadili itu berati melaksanakan Undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri)
merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
Menurut Montesquieu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan
luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif. Sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan
yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
Dalam perkembangannya, ternyata cara pembedaan kekuasaan menurut Montesquieu lebih dapat
diterima. Namun dalam praktek ketatanegaraan, konsep Trias Politika sulit dilaksanakan secara murni dan
konsekuen. Oleh karena dalam suatu negara hukum modern, satu organ atau badan kenegaraan itu tidak
hanya diserahi satu fungsi kekuasaan saja. Kenyataan menunjukkan bahwa pembuat undang-undang yang
seharusnya tugas legislatif, ternayata eksekutif juga diikutsertakan.[26] Bahkan di Amerika Serikat yang
dianggap kampiun dalam menjalankan konsep pemisahan negara, ternyata dalam praktek
ketatanegaraannya dikenal sistem saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan (check dan
balance system) antara kekuasaan-kekuasaan negara tersebut. Adanya hak veto dari presiden terhadap
rancangan undang-undang yang diajukan kongres Amerika padaha kekatnya sudah mengurangi
pelaksanaan Trias Politica, karena wewenang menetapkan undang-undang oleh legislatif (kongres) sudah
dikurangi.

UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) tersebut. Pembuat UUD
1945 tidak menghendaki agar sistem pemerintahanya disusun berdasarkan ajaran Tris Politica dari
Montesquieu, karena ajaran atu dianggap sebagai paham liberal. Prof. Soepomo selaku salah seorang
perancang UUD 1945 berpendapat bahwa UUD 1945 mempunyai sitem tersendiri, yaitu berdasarkan
pembagian kekuasaan (distribution of power).[27]

Dalam pembagian kekuasaan dimungkinkan adanya kerjasama antara lembaga-lembaga negara. Pasal 5
ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) menujukkan adanya kerjasama antara DPR dengan pemerintah dalam tugas
legislatif. Disamping itu Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). Ketentuan tersebut menunjukkan
bahwa sumber kekuasaan itu dari tangan rakyat. Selanjutnya sumber kekuasaan itu melalui Majelis
dilimpahkan dan didistribusikan kepada lembaga-lembaga lain, yang kedudukannya bnerada dibawah
Mejelis. Lembaga-lembaga tersebut ialah Presiden (Pasal 4 (1)), DPR (pasal 19), DPA (Pasal 16), BPK (Pasal
23) dan Mahkamah Agung (Pasal 24). Dengan demikian berarti poros kekuasaan yang sejajar dengan
eksekutif menurut UUD 1945 tidak terbatas pada tiga kekuasaan saja, tetapi ada lima poros kekuasaan.
[28]

Dari lima poros kekuasaan tersebut, cabang kekuasaan kehakiman merupakan salah satu cabang
kekuasaan rakyat yang didistribusaikan oleh lembaga negara, sesuai dengan prinsip pembagian poros
kekuasaam dimana cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang
berpuncak kepada Mahkamah Agung yang Independen dan tidak terpengaruh cabang kekuasaan yang
lain.

Sejak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat dielakkan.
Sebagai salah satu agenda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 menjadi begitu mendesak sebab
perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula perubahan yang terjadi dalam supra setruktur
politik perlu direspon dengan perubahan konstitusi sebagai hukum dasar negara yang menjadi pijakan
utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara.

Susunan kekuasaan negara setelah perubahan UUD 1945 menampilkan perubahan yang sangat
fundamental. MPR berubah kedudukannya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga join session
antara DPR dan DPD. DPA dihapus karena dilihat fungsinya tidak lagi setrategis. DPR dipertegas
kewenanganya baik dalam fiungsi legislasi maupun fungsi pengawasan. Aturan tentang BPK ditambah,
selain itu UUD 1945 setelah perubahan memunculkan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah
Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum, Bank Indonesia dan Komisi Yudisial.[29]

Kekuasaan kehakiman setelah UUD 1945, tetapi menjadi kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai
bagian dari poros kekuasaan yang mempunyai fungsi menegakkan keadilan. Kekuasaan kehakiman dalam
susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan pada kekuasaan
yang mendiri bebas dari campur tangan kekuasaan lain. Dalam susunan kekuasaan negara Republik
Indonesia yang baru, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan
peradilan lain dibawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tatausaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan
Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Untuk menjaring hakim-hakim Agung
yang perofesional dan mempunyai integritas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan,
terdapat lembaga yang khusus diadakan untuk rekruitmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial
(Pasal 24B UUD 1945).[30]

Namun dalam perkembangannya puncak kekuasaan kehakiman tersebut berkembang menjadi suatu
puncak yaitu MA dan Mahkamah Konstitusi (MK) Hal tersebut diungkapkan oleh Profesor Jimly Assiddiqie.
Jimly Assidiqie mengungkapkan bahwa, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan
kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis Mahkamah lain yang berada diluar MA. Lembaga
baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sedrajat dengan MA. Sebutanya adalah
Mahkamah Konstitusi (Constitusional Court) yang dewasa ini makain banyak negara yang membentuknya
di luar kerangka MA. Dapat dikatakan Indonesia merupakan negara ke 78 yang mengadopsi gagasan
pembentukan MK yang berdiri sendiri. Setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan
Jerman pada tahun 1948.[31]

Secara umum, untuk landasan hukumnya dapat kita lihat setelah diundangkannya UU No 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, secara organisatoris, administratif dan finansial MK berada dibawah
kekuasaan dan kewenangan MK (Pasal 13 ayat (2) UU No 4 tahun 2004.

Memaksimalkan Sistem Satu Atap Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Komitmen politik untuk menjalankan mekanisme sistem satu atap dalam kekuasaan kehakiman di bawah
kewenangan Mahkamah Agung selain merupakan suatu hal yang telah lama dinanti, namun juga
menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Anggapan bahwa Mahkamah Agung (MA) belum siap dan
mampu menjalankan seluruh tugas dn wewenangnya secara maksimal.
Salah satu yang menjdai sorotan adalah lemahnya kinerja, kulitas dan integritas hakim dan personel
pengadilan, maka yang perlu diupayakan oleh MA adalah peningkatan kualitas dan kinerja serta integritas
melalui perbaikan yang serius dan secara menyeluruh dalam hal pengawasan

Dalam rangka itu, maka dibutuhkan lembaga yang bertugas untuk melakukan kontrol terhadap
pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial (KY). Pembentukan KY akan memberikan dampak
yang positif kepada MA dan pengadilan-pengadilan, baik berupa penyesuaian fungsi, pembenahan
lembaga, maupun perbaikan setiap mekanisme publik yang terkait di dalamnya. Fungsi utama dari KY
adalah , martabat, serta perilaku hakim.[32]

Dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, maka telah terdapat dua lembaga yang
secara normatif memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Pertama
pengawasan oleh Mahkamah Agung dan yang kedua oleh Komisi Yudisial. Dalam rangka mempersiapkan
mekanisme satu atap dalam kekuasaan kehakiman, maka dibuat sebuah landasan hukum, yaitu UU No. 5
Tahun 2004 Tentang Stuktur Organisasi MA yang baru MA menetapkan Ketua Muda Bidang Pengawasan
dan Ketua Muda Bidang Pembinaan berada di bawah Ketua Non-Yudisial. Permasalahannya adalah, tanpa
adanya pengaturan yang memadai mengenai mekanisme pengawasan perilaku hakim, maka lembaga
tersebut tidak akan dapat bekerja secara efektif. Oleh karena itu perlu dilakukan penyususnan sistem dan
mekanisme pengawasan terhadap perilaku hakim yang baik

Berbicara mengenai kewenangan KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim, tidak dapat dipisahkan dari
lemahnya rekruitmen hakim agung selama ini, yang cenderung KKN. Banyak laporan dari masyarakat
mengenai Track Record yang buruk terhadap calon hakim agung seringkali tidak ditindaklanjuti. Selain itu,
DPR yang pada awalnya juga memiliki kewenangan dalam hal recruitmen hakim agung juga sangat kental
dengan nuansa politis. Kiranya wewenang pengusulan pengangkatan hakim agung oleh KY merupakan
pilihan yang tepat.[33]

Selain mengusulkan pengangkatan Hakim Agung telah juga disebutkan sebelumnya bahwa Komisi Yudisial
juga berfungsi Untuk “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, melihat perilaku
hakim. Selama ini kondisi pengawasan peradilan sangatlah memprihatinkan. Sangat sedikit jumlah hakim
yang ditindak, sementara keluhan masyarakat mengenai intregritas penegak hukum terutama hakim
sanngatlah besar, bahkan Komisi Ombusman Nasional mencatat bahwa laporan pengaduan terbanyak
yang masuk komisi ini sebagian besar menyangkut perilaku penegak hukum yang sebagian besar para
hakim. Lemahnya sistem pengawasan internal yang kini terpusat pada MA ini menyebabkan pesimisme di
masyarakat bahwa hakim-hakim ‘nakal’ akan ditindak.

Keberadaan lembaga baru ini akan menjadi harapan besar bahwa akan ada institusi yang dapat diharapkan
mampu melakukan tindakan serius dalam rangka memperbaiki integritas lemahnya hakim di pengadilan.
UU No. 22 Tahun 2004 menyatakan dalam pasal 20 bahwa dalam melaksanakan wewenang tersebut maka
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menjaga
martabat dan keluhuran serta perilaku para hakim. Dalam pelaksanaan kewenangan ini Komisi Yudisial
akan bertugas menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat maupun melakukan tindakan aktif
untuk memanggil dan meminta keterangan hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik. Namun
demikian suatu hal yang sangat disayangkan sangsi yang direkondasikan Komisi Yudisial kepada MA hanya
bersifat rekomendatif, sedangkan keputusan terakhir tetap ada ditangan ketua MA. Hal-hal yang dapat
dilakukan yang dapat di minimalisir dari kelemahan tersebut adalah dengan membuka proses pemeriksaan
dan hasil pemeriksaan komisi kepada publik. Hal ini selain sebagai jaminan akutabilitas dan transparansi,
juga sebagai preasure kepada MA, jika ternyata MA tidak menindaklanjuti rekomendasi KY meskipun telah
terdapat bukti-bukti yang cukup kuat.

Dengan Komisi Yudisial inilah diharapkan ologarki kekuasaan Yudisial yang secara keseluruhan terpusat
kepada MA sejak penyatuatapan kekuasaan kehakiman dapat terawasi dan terkendali sehingga amanat
dari konstitusi tentang penyatuatapan kekuasaan kehaiman tersebut dapat berjalan maksimal untuk
menegakkan keadilan di Republik Indonesia.[34]

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah
adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD
1945, kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara negara merupakan salah satu badan penyelenggara
negara, di samping MPR, DPR, Presiden dan BPK. Sebagai badan penyelenggara negara, susunan
kekuasaan kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara yang lain. Kekuasaan
kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan kehakiman tingkatan lebih rendah.
Sedangkan badan penyelenggara negara yang lain hanya terdiri atas satu susunan. Tidak ada susunan
badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih rendah.

Kekuasaan kehakiman tertinggi dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan
yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut sistem UUD 1945, fungsi
kekuasaan Mahkamah Agung, ialah:

a)      Melakukan kekuasaan kehakiman, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi DPR berperan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah
Agung melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung, yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial.
b)      Dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk memberikan
grasi dan rehabilitasi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi suatu lembaga baru
yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Judisial
ditentukan dalam Pasal 24B UUD 1945, sebagai berikut:

1)      Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.

2)      Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

3)      Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.

4)      Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Implementasi Pasal 24B UUD 1945, yaitu diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang
Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, serta pengawasan terhadap hakim yang
transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga
perilaku hakim. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial mempunyai
wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Dari rincian fungsi masing-masing lembaga tersebut di
atas dapat terlihat bahwa hubungan di antara Presiden, DPR dan Mahkamah Agung, dikembangkan secara
seimbang melalui mekanisme ‘checks and balances’. Melalui mekanisme ‘checks and balances’ tersebut,
ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisial yang tercermin dalam tiga lembaga tersebut dapat
saling mengendalikan dan saling mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara
satu sama lain.[35]
Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang
berada di bawahnya, adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas
perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus dapat bekerja
dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak
dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Karenanya badan ini harus bebas dari
pengaruh kekuasaan lain atau pengaruh kekuasaan pemerintahan.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti dikehendaki
Pasal 24 UUD 1945. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independensi kekuasaan
kehakiman, telah diatur secara konstitusional dalam UUD 1945. Dari konsep negara hukum seperti yang
digariskan oleh konstitusi, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas
melarang kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif) untuk membatasi atau mengurangi wewenang
kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut. Dengan demikian
kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk
menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari
pemerintah.

Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan
konstitusi dan negara hukum. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan
dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[36]

Untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari doktrin Montesquieu
mengenai tujuan dan perlunya ‘pemisahan’ kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya
kebebasan politik anggota masyarakat negara. Montesquieu memberikan arti kebebasan politik sebagai “a
tranquility of mind arising from the opinion each person has of his safety. In order to have this liberty, it is
requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another”. Kebebasan politik
ditandai adanya rasa tenteram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya atau keselamatannya.
Untuk mewujudkan kebebasan politik tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa
agar orang tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut terhadap orang lain
di sekitarnya.

Penataan badan negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut
Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga cabang kekuasaan.
Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh Montesquieu dalam ‘The Spirit
of The Laws’ dalam pembenaran doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power), bahwa:[37] “When
the legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrates,
there can be no liberty; because apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact
tyranical laws, to execute than in a tyranical manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power be
not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and liberty of
the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it
joined to executive power, the judge might behave with violence and oppression. There would be an end
of everything, were to some man, or the somebody, weather of the nobbles or of the people, to the
exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the public resolution and of trying
the causes of individuals.”

Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan
seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau
kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak
semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of
power), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan
dan mencegah kesewenang-wenangan.[38]

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power)
‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Tetapi dengan Perubahan UUD 1945 dapat
dikatakan bahwa Indonesia sedang membangun doktrin hukum mengenai pemisahan kekuasaan
(separation of powers) dan kewenangan masing-masing kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan
(check) terhadap kewenangan kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan
dan kesederajatan, agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization of powers) berada dalam
keseimbangan (balances), atau ‘check and balances among of powers’, untuk mencegah timbulnya
kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam membangun doktrin-doktrin hukum sedemikian ini, dapat dikatakan sebagai inti dari keseluruhan
reformasi berbagai bidang di Indonesia. Dengan konsep check and balances dimungkinkan adanya
pengawasan dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudisial, sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan
demi tercapainya harmonisasi kekuasaan berada dalam keseimbangan untuk mencegah kesewenang-
wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam keseluruhan reformasi
tersebut, kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep check and balances, berkenaan dengan
kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman.

Meskipun UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’
seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka harus tetap
ditegakkan baik sebagai asas dalam negara hukum, maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman
menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana secara sewenang-wenang. Ditinjau dari doktrin pemisahan
kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya
untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan
kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin
dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan
demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan
kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distribution of power), tetapi sebagai
suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian
atas jalannya pemerintahan negara.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of
Human Rights’, dan ‘International Covenant on Civil and Political Rights’, yang di dalamnya diatur
mengenai “independent and impartial judiciary“. Di dalam Universal Declaration of Human Rights,
dinyatakan dalam Article 10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public hearing by in
independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligations and of any criminal
charge against him”. Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka
umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak
dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya. Di dalam International
Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal
charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and
public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law”.[39]

Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya suatu peradilan
(tribunal) yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent, tidak
memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan
pemeriksaan secara terbuka (public hearing). Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan
Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dari konsep negara hukum seperti digariskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam
rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan negara
atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka atau
hakim yang bebas dalam proses peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut.

Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh Russell dalam ‘Toward a General
Theory of Judicial Independence’: “A theory of judicial independence that is realistic and analytically useful
cannot be concerned with every inside and outside influence on judges”. Dalam hal hakim yang bebas
dalam proses peradilan, menurut Kelsen: “The judges are, for instance, ordinarily ‘independent’ that is,
they are subject only to the laws and not to the orders (instructions) of superior judicial or administrative
organs”. Dalam proses peradilan hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah
atau instruksi dari organ yudisial atau administratif yang lebih tinggi. Betapa pentingnya kekuasaan
kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics” mengemukakan, “Certainly no man can over
estimate the importance of the mechanism of justice”. Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman yang
merdeka, Scheltema dalam ‘De Rechtsstaat’, mengemukakan: “Beslissing van rechtsgeschillen door en
onafhankelijkerechter is de basis voor een goed functionerend rechtssystem. Wil men ook garanderen dat
de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal onafhankelijke rechter over klachten van burgers
dienaangaande moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons voldaan.”

Dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas),
merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum
yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka
bebas memutus suatu perkara.

Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang sesuai dengan lingkungan
peradilan masing-masing. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1 Undang-
undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang
lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.[40] Kebebasan dalam melaksanakan wewenang
yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan
sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan
dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan
peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya
berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian
kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam kaitannya dengan
konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas,
hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban
untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang
diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat
prosedural yang disebut Hukum Acara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam
kebebasan hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini,
ada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang
disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper justice).] Dengan
kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat
prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang
bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau
kebebasan hakim dalam proses peradilan.[41]

Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan
kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam
rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk
diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual konkret. Dengan perkataan lain, kekuasaan
kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana
norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan
hukum dasar negara. Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum
dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal
demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum
yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut
sengketa antara warga negara dan pemerintah.[42]

Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka
terkandung tujuan atau konsep dasar, yaitu:[43]

Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian
kekuasaan(distribution of power) di antara badan-badan penyelenggara negara.
Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat.
Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.
Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum dan pengendalian atas jalannya
pemerintahan negara.
BAB III

PEMBAHASAN

Landasan Hukum peran dan fungsi peradilan perikanan


Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta
kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk
kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan
guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap
memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan
pembangunan perikanan nasional.[44]

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona
ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar
internasional yang berlaku.

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional,
terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan
taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudidaya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha
di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya
ikan.[45]

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan
pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi
perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian
lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin
efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan
berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan
kelestarian yang berkelanjutan.[46]

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu
ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang
perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka
menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan,
sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian
hukum merupakaan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang ini lebih memberikan
kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang
mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur
secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak
pidana di bidang perikanan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang¬Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri
sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan
yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan
hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil. Untuk menjamin
kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang
pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam Undang-Undang ini rumusan mengenai
hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.[47]

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang
perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di
lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta
Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka
pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, baru melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat
2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku. Pengadilan perikanan tersebut
bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang
dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua)
orang hakim ad hoc.

Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka Undang-Undang ini mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan:[48]

pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan,


keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan;
pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan pengendaliannya;
pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah;
pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan, yang didukung
dengan penelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu;
pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang
perikanan;
pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana perikanan serta sistem informasi dan
data statistik perikanan;
penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan;
pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan kelautan dan
perikanan;
pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil atau
pembudidaya-ikan kecil;
pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, dan laut
lepas yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan
persyaratan atau standar internasional yang berlaku;
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, zona ekonomi
eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan
memperhatikan kepentingan nasional dan internasional sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan
yang tersedia;
pengawasan perikanan;
pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada penyidik
pegawai negeri sipil perikanan, perwira dan pejabat polisi negara Republik Indonesia;
pembentukan pengadilan perikanan; dan
pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-Undang ini merupakan pembaharuan dan
penyempurnaan pengaturan di bidang perikanan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985
tentang Perikanan.[49]

Pelaksanaan peran dan fungsi peradilan perikanan


Peradilan perikanan yang diciptakan pada pemikiran :

Pertama; tata cara peradilan yang ada tidak menjamin peradilan yang cepat, sehingga perlu dibentuk
peradilan perikanan dengan hukum acara khusus yang akan menjamin peradilan yang cepat.

Kedua; khusus dalam peradilan pidana, ketentuan hukum substantif dianggap belum memcakup
perbuatan-perbuatan yang dirasakan sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran, sehingga perlu perluasan
terhadap perbuatan yang dapat dipidana (stafbaar). Kalaupun telah ada, dianggap kurang berat, sehingga
perlu pemberatan pemidanaan.

Ketiga; ada dugaan keras, hakim-hakim yang ada tidak cakap atau tidak mempunyai etikad baik dalam
memeriksa dan mengadili perkara yang mempunyai dampak luas terhadap kehidupan negara dan
masyarakat. Terhadap keraguan ini, maka selain perubahan hukum substantif dan hukum acara, perlu
ditambahkan hakim-hakim ad hoc. Hakim ad hoc tidak hanya berfungsi mendorong agar hakim-hakim
yang ada menjalankan tugas sebagaimana mestinya, melainkan sangat menentukan karena dalam setiap
majelis jumlah hakim ad hoc lebih banyak dari hakim biasa.[50]

Terlepas dari alasan-alasan pembenaran di atas, suatu upaya penguatan peradilan dalam jangka panjang
tidak semestinya mengke-depankan melahirkan badan-badan peradilan tambahan yang bukan saja
membagi wewenang badan peradilan yang ada melainkan justeru melemahkan badan peradilan yang ada.
Kehadiran peradilan perikanan, lebih-lebih yang disertai sistem ad hoc sekaligus menampakkan dua hal
yaitu kesementaraan dan keadaan tidak normal. Karena itu dalam jangka panjang yang semestinya
dilakukan adalah penguatan dan pemberdayaan (empowering) badan peradilan yang menjadi bagian dari
susunan dasar kenegaraan, bukan justru menggerogoti susunan dasar tersebut. Dalam jangka panjang,
dengan meniadakan kelemahan sistem peradilan yang ada melalui berbagai penguatan dan
pemberdayaan, berbagai peradilan perikanan semestinya di “ahsorb” kembali dalam susunan dan tatanan
peradilan yang merupakan bagian dari susunan dasar kenegaraan kita.

Alasan Didirikannya Peradilan Pidana Perikanan


Alasan kehadiran peradilan pidana perikanan antara lain adalah:
Pertama; dimensi ekonomi. Di berbagai media berita, disebutkan betapa banyak pencurian ikan di laut
oleh nelayan asing. Kerugian bertrilyun rupiah setiap tahun. Tetapi Indonesia tidak berdaya, karena
penegakan hukum tidak memadai. Salah satu yang menerima hukuman sebagai kunci kelemahan
penegakkan hukum pencurian ikan adalah pengadilan. Hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu ringan,
bahkan banyak yang dibebaskan. Untuk itu perlu dibentuk peradilan perikanan sebagai instrumen
penguatan penegakan hukum. Tetapi kalau kita kosekuen terhadap sistem yang disebut “integrated
criminal justice system” atau lebih luas “integrated legal system” maka untuk menunjang penguatan
pengadilan perlu juga penguatan aturan hukum, penguatan pemerintahan, dan penguatan penegak
hukum lain di luar pengadilan. Tanpa penguatan unsur-unsur tersebut, akan selalu muncul kelemahan
penegakan hukum.

Kedua; Dimensi kedaulatan negara di laut. Walaupun hanya terbatas pada tindak pidana perikanan, tetapi
peradilan pidana perikanan akan ikut menunjang penegakan kedaulatan RI di laut. Melalui peradilan
pidana perikanan yang kuat akan mendorong pihak asing menghormati kedaulatan kita di laut, sebagai
bagian dari kesatuan wilayah negara RI.

Undang Undang No 31 Tahun 2004 ini telah memberikan suatu landasan hukum yang yang cukup kokoh
bagi pembangunan perikanan pada umumnya dan penegakan hukum dibidang perikanan pada khususnya
sebab melalui Undang Undang ini diatur antara lain hal-hal sebagai berikut :

Perikanan tidak hanya dipandang sebagai sub sektor, akan tetapi perikanan merupakan sistem bisnis
perikanan mulai sejak pra produksi, produksi, pengolahan, sampai dangan pemasaran.
Memberikan keberpihakan kepada nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.
Memberikan porsi seimbang antara penangkapan dan pembudidayaan ikan.
Pengaturan bidang perikanan yang tidak hanya dilihat sebagai aspek ekonomi semata-mata, melainkan
juga mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial budaya, dan sekaligus merefleksikan laut sebagai
pemersatu bangsa.
Dari aspek pengawasan, memberikan peran yang besar kepada pengawas perikanan dangan didukung
persenjataan dan kapal pengawas perikanan berserta kewenangannya.
Dari aspek penegakan hukum, telah diamanatkan keberadaan Pengadilan Perikanan yang untuk pertama
kalinya dibentuk di Medan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung dan Tual.
Kekhususan Pengadilan Perikanan
Pengadilan Perikanan ini memiliki kekhususan yaitu :

Jaksa Penuntut Umum disyaratkan memahami teknis dibidang perikanan dan pernah mengikuti diklat
dibidang perikanan;
Dimungkinkan adanya Hakim ad hoc yang berasal dari lingkungan perikanan, baik dari dunia akademi,
instansi pemerintah, LSM, asosiasi-asosiasi, dll;
Tenggang waktu penanganan tindak pidana perikanan mulai proses Penyidikan hingga putusan pengadilan
lebih kurang 2,5 bulan;
Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa;
Dengan adanya pengadilan perikanan yang secara khusus mengadili, memeriksa dan memutus perkara
tindak pidana bidang perikanan ini diharapkan penanganan tindak pidana perikanan dapat diproses secara
efektif, efisien dan professional.

Fungsi dan Peranan Pengadilan Perikanan dalam menjalankan tugasnya terhadap perkara tindak pidana
pencemaran dan perusakan sumberdaya perikanan
Fungsi Pengadilan Perikanan

Sesuai Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 di Indonesia dibentuk pengadilan perikanan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Pengadilan perikanan
yang dibentuk berada di lingkungan peradilan umum dan memiliki daerah hukum sesuai dengan daerah
hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pembentukan, pelaksanaan tugas dan fungsi pengadilan perikanan dilaksanakan secara bertahap oleh
pemerintah sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Untuk pertama
kalinya, akan dibentuk pengadilan perikanan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung
dan Tual.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami
berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik yang
menyangkut hukum materil dan hukum formil pada pengadilan perikanan. Guna meningkatkan efisiensi
dan efektifitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan maka diperlukan persiapan
dan pemahaman tentang kewenangan antar pengadilan negeri serta memerlukan kesiapan sumber daya
manusia sarana prasarana dan perangkat penunjang pelaksanaan lainnya baik di lingkungan Pemerintah
maupun lembaga peradilan.

Apabila Pasal 71 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diberlakukan pada waktu yang
telah ditentukan sementara belum ada kesiapan dari institusi yang menangani pengadilan perikanan maka
akan berdampak terganggunya penegakan hukum di bidang perikanan. Hal ini dapat terjadi karena
pengadilan perikanan harus menjalankan tugas dan fungsinya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung
mulai sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Ketentuan hukum yang menyangkut masalah kewenangan Pengadilan Perikanan yang daerah hukumnya
sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri berwenang memeriksa mengadili dan memutus perkara
tindak pidana di bidang perikanan sesuai dengan daerah hukumnya dengan mempergunakan hukum acara
yang berlaku pada Pengadilan Perikanan.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas dan setelah mempertimbangkan Surat Ketua Mahkamah
Agung kepada Presiden Republik Indonesia Nomor KMA/295/IX/2006 tanggal 07 September 2006 perihal
Penerbitan PERPU tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan maka
Pemerintah berpendapat adanya kesamaan pemahaman dengan Mahkamah Agung untuk menangguhkan
pelaksanaan tugas dan fungsi Pengadilan Perikanan dimaksud.[51]

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka perlu menetapkan penangguhan pelaksanaan


tugas dan fungsi Pengadilan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan paling lambat 1 (satu) tahun.

Karena perubahan Undang-Undang harus dilakukan dengan Undang-Undang dan pembahasan Undang-
Undang memerlukan waktu cukup lama sementara saat mulai berlakunya Pasal 71 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada tanggal 6 Oktober 2006 semakin mendesak maka
penangguhan pelaksanaan tugas dan fungsi Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara
Medan Pontianak Bitung dan Tual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Pada prinsipnya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara tindak pidana perikanan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang perikanan.

Penyidikan tindak pidana perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan,
Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik
berwenang melakukan hal-hal sebagai berikut :

Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan
Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi
Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya
Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan dalam atau menjadi tempat
melakukan tindak pidana di bidang perikanan
Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan / atau orang yang
disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan
Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan
Memotret tersangka dan/ atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan
Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan
Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana
Melakukan pengentian Penyidikan
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab
Selain itu untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik juga dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua
puluh) hari.

Apabila terjadi tindak pidana perikanan, setelah dilakukan penyidikan kemudian dilanjutkan dengan proses
penuntutan. Penuntutan dilakukan oleh pihak kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) dengan memenuhi
persyaratan : berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, telah
mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan, serta cakap dan memiliki integritas moral
yang tinggi selama menjalankan tugasnya. Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari
Penyidik maka wajib untuk memberitahukan hasil penelitiannya kepada Penyidik dalam waktu lima hari
sejak tanggal diterimanya berkas Penyidikan. Penyidikan akan dianggap selesai apabila dalam waktu lima
hari penuntut umum sudah tidak mengembalikan hasil Penyidikan atau sebelum batas waktu berakhir
telah ada pemberitahuan tentang hal tersebut dari penuntut umum kepada Penyidik. Dalam kepentingan
penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan guna kepentingan pemeriksaanyang
belum terselesaikan.

Apabila proses Penyidikan dan penuntutan selesai, maka dilanjutkan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc dengan susunan 2 (dua) hakim ad
hoc dan 1 (satu) hakim karier. Hakim ad hoc adalah seseorang yang berasal dari di bidang perikanan,
antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai
keahlian.

Peranan Pengadilan Perikanan

Kegiatan pembangunan yang semakin meningkat mengandung resiko terjadinya pencemaran dan
perusakan di bidang perikanan, akibatnya struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang
kehidupan akan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan di bidang perikanan merupakan beban sosial,
yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya. [52]

Untuk menguragi dan mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan di bidang perikanan sebagai
akibat kegiatan pembangunan, perlu memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam kegiatan
pembangunan. Dalam pengelolaan di bidang perikanan terkandung prinsip-prinsip dasar antara lain
keterpaduan, pencegahan dan transparansi. Dengan demikian maka aspek penindakan diharapkan terjadi
sekecil mungkin. Hal ini didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas baik dari segi waktu, biaya,
dan tenaga yang harus dihabiskan untuk dapat menyelesaikan suatu perkara di pengadilan perikanan.
Tetapi pada kenyataannya kasus pencemaran dan perusakan di bidang perikanan terus saja meningkat,
oleh karena itu penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dan perusakan di bidang perikanan
menjadi penting diterapkan. [53]

Penegakan hukum merupakan tindakan untuk menerapkan perangkat hukum perikanan dalam rangka
memaksakan sanksi hukum perikanan. Penegakan hukum perikanan menjadi kewajiban semua pihak,
dimana pemerintah sebagai regulator perlu melakukan inventarisasi dan evaluasi terhadap
pengembangan kebijakan dalam pengelolaan di bidang perikanan secara berkesinambungan, di lain pihak
secara bersamaan mempunyai kewajiban mendorong penegakan hukum lingkungan baik bagi aparatur
pemerintah maupun bagi masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya.

Untuk menciptakan suatu kondisi yang menjamin terlaksananya penegakan hukum perikanan, arah
kebijaksanaan yang ditempuh adalah sebagai berikut:[54]

Mengembangkan budaya hukum di seluruh lapisan masyarakat. Budaya hukum adalah sikap dan perilaku
selurh anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara memiliki kesadaran, ketaatan dan
epatuhan serta menjunjung tinggi hukum dalam kerangka supremasi dan tegaknya negara hukum.
Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan pelaku pembanunan, termasuk masyarakat, dunia
usaha dan aparat pemerintah dilandasi dengan etika dan moralitas guna mengayomi masyarakat dan
mendukung pembangunan.
Meningkatkan sarana dan prasarana hukum, misalnya informasi hukum, piranti aparat Penyidik termasuk
laboratorium dan lain-lain, untuk menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai
pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Mewujudkan lembaga peradilan perikanan yang mandiri dan bebas dari penguasa dan pihak manapun.
Lembaga peradilan perikanan akan menghasilkan keputusan yang memberikan rasa keadilan bagi mereka
yang bersengketa. Rasa keadilan inilah yang menjadi dambaan setiap manusia Indonesia.
Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas KKN dengan
tetap menjunjung tinggi asas kebenaran dan keadilan. Dengan demikian maka kepastian hukum, segera
didapat dan masyarakat luas dapat menikmati peradilan yang diharapkan.
Mengembangan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam
menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional, termasuk lingkungan hidup
dengan keanekaragaman hayati lainnya.
Mengembangkan penyelesaian sengketa di bidang perikanan diluar peradilan. Ini hanya untuk sengketa
perdata. Diharapan dengan adanya penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini dapat diselesaikan dengan
cepat, murah dan memuaskan pihak yang bersengketa.
Memang harus disadari bahwa sikap tegas terhadap penerapan hukum bagi pelanggar hukum di bidang
perikanan akan menimbulkan konsekuensi ekonomi, tenaga kerja dan lain sebagainya, walau tak
sepenuhnya hal itu benar. Oleh karena itu dalam pengelolaan di bidang perikanan penerapan prinsip
mengutamakan pencegahan akan lebih menguntungan daripada penanggulangan. Di lain pihak upaya
peningkatan kesadaran bagi masyarakat, dunia usaha dan pelaku pembangunan lainnya melalui sosialisasi
serta meningkatkan hubungan yang wajar dan proporsional antara ketiganya dengan menempatkannya
sebagai mitra yang setara yang berasaskan kesetiaan dan kejujuran, diharapkan dapat meningkatkan
kepatuhan terhadap hukum di bidang perikanan. [55]

Dalam penegakan hukum di bidang perikanan sering mengalami kegagalan atau dirasakan penyelesaian
yang ditempuh melalui pengadilan perikanan kurang mencerminkan rasa keadilan. Hal ini disebabkan oleh
faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya, antara lain sulitnya pembuktian, mahalnya biaya penelitian
dan perbedaan persepsi antara aparat penegak huum serta adanya campur tangan kelompok tertentu
terhadap proses pengadilan. Mencermati masalah ini maka pelaksanaan kebijakan penegakan hukum
perikanan dilakukan antara lain: [56]

Pengembangan instrumen hukum dan ekonomi serta peningkatan pendayagunaannya, yakni pada tingkat
pengambilan keputusan dan perencanaan, pada tingkat pelaksanaan melalui penataan baku mutu limbah
dan pada tingkat produksi melalui penerapan standarisasi di bidang perikanan dan pemberian sanksi bagi
pelanggaran di bidang perikanan.
Memberikan kewenangan kepada daerah yang lebih besar dalam pengelolaan lingkungan hidup sejalan
dengan prinsip otonomi daerah. Kewenangan tersebut antara lain pengangkatan pejabat pengawas di
bidang perikanan daerah dan paksaan pemerintah terhadap penanggung jawab usaha atau kegiatan untuk
mencegah dan mengakhiri terjadinya pencemaran serta penanggulangan akibat yang ditimbulkannya.
Mengembangkan kebijakan sebagai dasar pelaksanaan penyelesaian sengketa di bidang perikanan diluar
pengadilan perikanan. Diharapkan melalui kebijakan ini penyelesaian sengketa di bidang perikanan dapat
memberikan kepuasan bagi para pihak.
Untuk dapat mewujudkan tegaknya hukum di bidang perikanan, maka strategi yang dilaksanakan adalah:
[57]

Meningkatkan peran IUU Fishing sebagai instrumen efektif dalam pengelolaan hasil sumberdaya
perikanan.
Meningkatkan koordinasi baik ditingkat pusat maupun daerah dan melakukan pemantauan secara perioik
terhadap kegiatan yang secara potensial menimbulkan pencemaran dan perusakan sumberdaya
perikanan.
Keterbukaan baik pada saat perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Dengan
demikian diharapkan akan dapat meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan.
Meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran maupun
perusakan sumberdaya perikanan dan menindaklanjutinya bila terjadi pelanggaran
Model Spesifik Sistem Segitiga Terpadu Penegakan Hukum Pidana Bidang Perikanan (Triangle Integrated
Environmental Criminal Justice System)
Banyak penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perikanan yang berakhir
dengan kegagalan atau putusan yang kurang memuaskan, karena tidak menimbulkan daya tangkal atau
daya jera. Sebagian besar dari kegagalan tersebut disebabkan kurang efektifnya strategi dan teknis yustisial
yang digunakan oleh Penyidik dalam proses penyidikan dan oleh penuntut umum dalam proses
penuntutan, khususnya padatahap upaya pembuktian dakwaan dan konstruksi penuntutan. [58]

Terbinanya wadah team work yang solid tersebut diupayakan melalui apa yang dinamakan penegakan
hukum pidana melalui model sistem segitiga terpadu antara tiga pemeran utama dalam penegakan hukum
pidana. Penyidik, Penuntut Umum dan Saksi Ahli khususnya atau antara Penyidik, Penuntut Umum dan
Witnesses for the Prosecution pada umumnya. Untuk lebih memantapkan keberhasilan Penyidikan dan
penuntutan perkara tindak pidana di bidang perikanan, diharapkan juga dapat diterapkan secara konsisten
apa yang dinamakan dalam istilah sepak bola yaitu ”Total Football System” yang arti penerapannya dalam
kegiatan penegakan hukum pidana di bidang perikanan adalah agar setiap pemeran dalam pembuktian
tindak pidana seperti Penyidik, Penunut Umum dan Saksi-saksi (Witnesses for the Prosecution)terutama
saksi ahli (expert witness) dapat melaksanakan perannya secara optimal.

Baik Penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum harus menarik garis batas/pembedaan yang jelas dan tegas
antara alat-alat buktu dan saksi-saksi (terutama saksi ahli) yang dapat mendukung dakwaan JPU dengan
alat-alat bukti dan saksi-saksi (terutama saksi ahli) yang akan meng-counter upaya JPU dalam
membuktikan dakwaan. Dengan tetap menaga fairness dan objektivitas alat-alat bukti dan saksi-saksi
terutama saksi ahli, sebelum sidang, sudah harus disusun dan dipersiapkan teknik pendayagunaannya.
Dalam batas-batas tertentu, forum gelar perkara atau ekspose dapat dimanfaatkan dalam menata alat-alat
bukti dan saksi-saksi yang akan didayagunakan. Teknik pendayagunaan alat-alat bukti dan saksi-saksi
tentunya harus dikaitkan dengan fakta-fakta yang merupakan unsur-unsur pasal tindak pidana yang akan
dibuktikan. Dalam upaya pembuktian tindak pidana di bidang perikanan, yang harus dibuktikan tidak
hanya terbatas pada aspek yuridis dari suatu tindak pidana peradilan perikanan, tetapi juga aspek
teknisnya.

Untuk menentukan aspek teknis mana yang relevam dalam upaya pembuktian, JPU memerlukan
kerjasama dan masukan dari saksi ahli yang bersangkutan. Berhubung sifat tindak pidana peradilan
perikanan yang adakalanya memerlukan beberapa dukungan disiplin ilmu maka JPU adakalanya juga
memerlukan beberapa saksi ahli dari beberapa disiplin ilmu yang diperlukan.

Dengan menerapkan total football system diharapan tidak ada sikap dan keterangan Penyidik, Penuntut
Umum dan Saksi-saksi, termasuk Saksi Ahli yang saling bertentangan/melemahkan satu dengan satu yang
lain. Dan sebelum pelimpahan perkara tahap kedua dari Penyidik kepada Penuntut Umum, diharapkan
sudah terbina kontak-kontak koordinasi pribadi antara pihak Penyidik dengan pihak Kejaksaan yang
bersangkutan dan antara Jaksa Penuntut Umum dengan aparat pemda dan aparat teknis sektoral yang
terkait (terutama dengan para saksi ahli yang disiapkan oleh Penyidik/Penuntut Umum). Perlu sekali
diupayakan terbinanya kesamaan persepsi mengenai perkara yang sedang ditangani antara Penyidik,
Penuntut Umum dengan aparat sektor teknis maupun Pemerintah Daerah.

Koordinasi dan Pendayagunaan Saksi Ahli


Pendapat saksi ahli sering merupakan klimaks dalam pembuktian perkara.[59] Namun dalam prakte tidak
selalu mudah bagi Penyidik/Penuntut Umum untuk menentukan saksi ahli yang bagaimana yang
diperlukan dalam membantu Penyidik/Penuntut Umum dalam membuat rencana penyidikan dan
penuntutan (terutama penyusunan surat dakwaan dan pembuktian dakwaan). Dan juga
Penyidik/Penuntut Umum tidak mempunyai akses mengenai informasi/data dimana dan bagaimana
caranya untuk mendapatkan saksi ahli dengan disiplin ilmu yang diperlukan.

Pemecahannya adalah perlu melakukan upaya-upaya konsultasi dengan berbagai pihak (instansi/lembaga
perikanan). Pertanyaan berikutnya adalah: dengan siapa? Jawabnya adalah pertama-tama dapat dilakukan
kontak/konsultasi dengan instansi pemda setempat yang mempunyai tugas dan membantu kepala daerah
melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayahnya, konkritnya adalah dengan kepala Dinas
Perikanan dan Kelautan.[60]

Masalahnya akan menjadi relevan bagi pihak Penuntut Umum yang menerima suatu berkas perkara dari
Penyidik, sedangkan dalam berkas perkara belum ada saksi ahlinya. Dalam hal demikian, banyak hal yang
dapat dibicarakan/dikonsultasikan dengan pejabat tersebut seperti:

Penjelasan tentang aspek-aspek teknis yang terkait dengan perkara yang dihadapi.
Disekitar asas subsidiaritas apakah sudah terpenuhi atau belum.
Mengenai riwayat ketaatan perusahaan tersebut dimasa yang lalu dapat dibuktikan dengan dokumen-
dokumen hasil pengawasan/pemantauan yang dilakukan oleh instansi yang berwenang/pemda diwaktu
yang lalu.
Apakah semua persyaratan tenis dan administratif (kewajiban dan larangan) yang tercantum dalam Surat
Izin Usaha/Kegiatan sudah ditaati dan selanjutnya upayakan untuk mendapat foto copy dari Surat Izin
Usahanya.
Motif kejahatan/tindak pidana yang dilakukan
Potensi dampak sosial yang sudah atau mungkin akan timbul.
Hubungan kerjasama antara perusahaan dengan masyarakat.
Sengketa yang pernah timbul dengan masyarakat setempat dan penyelesaiannya.
Saksi ahli dengan disiplin ilmu yang bagaimana yang diperlukan, nama disertai dengan gelar
kesarjanaannya, agama dan alamat tempat tinggal dan alamat pekerjaannya.
Bukti Kunci Dalam Perkara Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Sumberdaya Perikanan.
Pencemaran lingkungan sumberdaya perikanan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan sumberdaya perikanan oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya menurun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan sumberdaya ikan tidak
dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.[61]

Maka untuk membuktikan apakah terjadi pencemaran lingkungan sumberdaya perikanan, bukti kunci
terletak pada baku mutu ambien lingkungan hidup. Apakah akibat masuk atau dimasukkannya suatu
benda/bahan atau zat ke dalam laut. Baku mutu lingkungan sumberdaya perikanan (ambien) yang
ditetapkan bagi suatu media linkungan sumberdaya perikanan yang dimasukkan menjadi terlanggar atau
tidak. Jika jawabnya terlanggar maka dapat dipastikan telah terjadi pencemaran pada lingkungan
sumberdaya perikanan.
Perusakan lingkungan sumberdaya perikanan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung
atau tida langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lainnya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

Yang perlu dicermati dan diupayakan dalam perkara pencemaran dan pengrusakan lingkungan
sumberdaya perikanan oleh JPU dengan bantuan saksi ahli dan saksi aparat sektor teknis adalah agar
berkas perkara/penyidikan diharapan memuat data/fakta/hal-hal sebagai berikut:[62]

Apakah zat yang masuk terebut termasuk bahan berbahaya/beracun.


Dalam perkara pencemaran lingkungan sumberdaya perikanan perlu diidentifiasikan perbandingan
kualitas air laut pada up stream dengan down stream dan perhitungan beban pencemaran yang
ditimbulkan.
Kepastian dapat diidentifikasinya hubungan kausalitas antara pihak yang menjadi sumber pencemaran
dengan daerah pesisir/laut yang tercemar.
Dilakukan sampling (pengambilan contoh) dan pemeriksaan laboratorium baik terhadap limbah (effluen)
dan juga sampling terhadap air laut (ambien) minimal di dua titik loasi yaitu di up stream dan down
stream.
Fungsi atau peruntukan media lingkungan sumberdaya perikanan yang menjadi objek perkara, baik
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau peruntukannya dalam kenyataan sehari-hari.
Dampak langsung/jangka pendek dan dampak jangka panjang pencemaran terhadap manusia, ikan, dan
sumberdaya hayati lainnya.
Kerugian yang diderita oleh masyarakat pengguna sumberdaya ikan dan sumber hayati lain.
Kegiatan pemulihan yang dilakukan dan perkiraan biayanya.
Hubungan masyarakat dengan pihak terpidana dan reaksi masyarakat.
Terhadap kegiatan sampling agar dibuatkan peta/sketsanya.
Untuk itu dalam upaya memerangi dan menanggulangi praktek-praktek illegal fishing dan tindak pidana
lainnya di laut, Departemen Kelautan dan Perikanan telah merumuskan upaya-upaya sebagai berikut :[63]

Penguatan armada nasional, melalui peningkatan armada perikanan terutama yang dimiliiliki oleh nelayan
skala kecil sehingga mampu beroperasi di wilayah off shore, baik untuk kepentingan ekonomi maupun
fungsi sabuk pengaman atau security belt. Pada saat yang sama secara bertahap tapi pasti kita harus
mengadakan optimalisasi intensitas penangkapan pada setiap wilayah perairan sesuai potensi wilayahnya;
Penerbitan izin kapal ikan asing, yang saat ini telah diterbitkan Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor :
KEP.60/MEN/2001 tentang penataan terhadap status kapal asing atau eks asing melalui skema purchase
on installment, joint venture, atau licensing, sepanjang masih terdapat surplus Jumlah Tangkapan yang
Dibolehkan (JTB);
Pengembangan teknologi pengawasan, melalui pelaksanaan VMS dan system informasi terpadu (CDB)
melalui jasa satelit serta patroli pengawasan dangan menggunakan Kapal Pengawas Perikanan pada
perairan rawan terjadinya illegal fishing;
Penegakan hukum dan pengendalian penangkapan tersangka tindak pidana Perikanan, melalui peranan
PPNS Perikanan, mempercepat proses penanganan ABK, barang bukti, proses pemberkasan tindak pidana
perikanan, dll;
Membangun kelembagaan pengawasan, melalui pembentukan satuan pengawasan di pelabuhan-
pelabuhan perikanan, stasiun dan pos pengawas yang didukung dangan sarana Kapal Pengawas Hiu,
Baracuda, Todak, Marlin dan Kapal Pengawas Hiu Macan, alat komunikasi serta Pusdal Departemen
Kelautan dan Perikanan;
Pengembangan system pengawasan berbasis masyarakat, melaui pembentukan Pokmaswas di berbagai
daerah dengan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat.
Diantara berbagai upaya yang digariskan tersebut, upaya penegakan hukum merupakan upaya yang cukup
strategis. Untuk itu, dari kegiatan peningkatan kapasitas teknis aparat penegak hukum dibidang perikanan
ini dapat dihasilkan rumusan-rumusan konkrit yang dapat dilaksanakan dalam waktu singkat sebagai
tindak lanjut dari hasil kegiatan peningkatan kapasitas teknis aparat penegak hukum dibidang perikanan
ini.[64]
Hak Masyarakat Untuk Mendapatkan Keadilam Di Pengadilan Perikanan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dikenal
beberapa jenis delik perikanan, diatur dalam pasal 86 sampai pasal 101. adapun delik perikanan ini terbagi
atas, delik pencemaran, pengrusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan peledak, delik pengelolaan sumberdaya ikan dan delik usaha perikanan tanpa izin. Dalam tulisan ini
penulis akan mengkaji delik pencemaran, pengerusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan terlarang

Ketentuan mengenai delik ini diatur dalam pasal 84 sampai pasal 87. Pada pasal 84 ayat (1) rumusannya
sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja di wila…wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat/dan atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan
kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) undang-undang perikanan yang dimaksudkan adalah larangan bagi setiap orang
atau badan hukum untuk melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan kimia dan sejenisnya yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan
lingkungannya.

Pada pasal 84 juga ditujukan kepada nahkoda atau pemimpin kapal, ahli penangkapan ikan, dan anak buah
kapal hal ini diatur dalam ayat 2. pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,
penanggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan, hal ini diatur dalam ayat 3.
sedangkan pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,
dan/atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan, diatur dalam ayat 4. Hal ini semua
ditujukan bilamana dilakukan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.[65]

Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya yang tidak
saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan
merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan
dan alat yang dimaksud, pengembalian keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan
mungkin mengakibatkan kepunahan.

Kemudian pada Pasal 85 yang diubah dal;am UU No. 45 Tahun 2009, menyebutkan:

Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat
penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).[66]

Ketentuan dalam pasal 9 mengatur tentang penggunaan alat penangkap ikan yang tidak sesuai dan yang
sesuai dengan syarat atau standar yang di tetapkan untuk tipe alat tertentu oleh negara termasuk juga
didalamnya alat penangkapan ikan yang dilarang oleh negara.

Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk
menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian
sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan
Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas
alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi,
menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.[67]Sedangkan pasal 86
berisi larangan bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, yang dimaksud dengan
pencemaran sumber daya ikan adalah tercampurnya sumber daya ikan dengan mahluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen l

Berdasarkan pasal-pasal larangan diatas, maka semua orang berhak untuk mendapatkan perlindungan
hukum, dan dengan segala hak dan kewajibannya dapat mengajukan kepada Pengadilan Perikanan, dan
pengadilan perikanan berhak memproses dan menyidangkan semua perkara yang diajukan.

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ± 17.508 pulau, wilayahnya terbentang sepanjang 3.9777 mil
antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik telah menjadi salah satu negara dengan kekayaan laut
terbesar di dunia . Namun pemanfaatan sumber daya laut tersebut untuk kesejahteraan masyarakat
ternyata belum optimal, Rp. 20 trilyun pertahun atau 75 % dari kekayaan laut hilang sebagai akibat illegal
fishing .[68]

Upaya penanggulangan illegal fishing telah dilakukan dengan melahirkan Undang-undang No. 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan (UU Perikanan) pada tanggal 6 Oktober 2004 yang pokoknya mengatur tentang
pengelolaan perikanan untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-
besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber
daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. Pengunaan sarana
pidana dalam undang-undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk pengadilan perikanan
pada lima pengadilan negeri, yaitu Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual paling lambat pada
tanggal 6 Oktober 2006, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2
Tahun 2006 pembentukan pengadilan perikanan telah ditangguhkan menjadi paling lambat sampai
dengan 6 Oktober 2007. Kini pengadilan perikanan telah terbentuk lebih dari satu tahun lamanya.[69]

Sebagai suatu kebijakan dalam penanggulangan illegal fishing yang akan menjadi landasan dalam
kebijakan aplikasi maupun eksekusi, maka UU Perikanan telah memuat regulasi/formulasi baik mengenai
hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan. Hukum acara dalam penyidikan, penuntutan
maupun persidangan pada pengadilan perikanan dilakukan menurut KUHAP kecuali telah ditentukan
secara khusus dalam UU Perikanan. Tindak pidana perikanan juga telah mendapatkan legitimasi dalam
Bab XV, yaitu dalam Pasal 84 s/d Pasal 105 UU Perikanan.Makalah ini akan menganalisis mengenai
kelemahan-kelemahan dalam kebijakan formulasi hukum acara pidana dan tindak pidana perikanan dalam
UU Perikanan, karena tahap ini merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pananggulangan
kejahatan melalui “penal policy”. Kelemahan pada kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan
strategis dan oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi efektifitas
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana .

Hukum acara dalam UU Perikanan diatur dalam Bab XIII dan Bab XIV. Pada hakikatnya hukum acara dalam
UU Perikanan sama dengan hukum acara pada pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP. Perbedaan
hanya dalam beberapa ketentuan yang telah diatur secara khusus diatur oleh UU Perikanan.[70]

Di tinjau dari aspek formulasi hukum acara, setelah empat tahun UU perikanan berlaku, kiranya semakin
tampak berbagai kelemahan mendasar yang menghambat penegakan hukum dalam penanggulangan
tindak pidana perikanan sehingga perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu :

Pertama, pembentukan Pengadilan Perikanan didasarkan pada Pasal 71 ayat (1) UU Perikanan.
Pembentukan pengadilan khusus perikanan seharusnya dibentuk berdasarkan undang-undang yang
khusus mengatur tentang pengadilan perikanan, bukan didasarkan pada UU Perikanan. Hal ini didasarkan
pada Pasal 24A Ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi : ”Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara
Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Dari segi teknik
perundang-undangan, frasa ”diatur dengan undang-undang” berarti harus diatur dengan undang-undang
tersendiri .[71]

Kedua, kompetensi relatif pengadilan perikanan sesuai dengan pengadilan negeri yang bersangkutan
(Pasal 71 ayat (4)). Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada
Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana
perikanan yang terjadi di luar wilayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan
diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang (Pasal 106). Ketentuan demikian menjadikan adanya
dualisme rezim hukum, yaitu rezim hukum pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan perikanan.

Ketiga, penyidik tindak pidana di bidang perikanan dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia (Pasal 73 ayat 1). Tampaknya ketentuan ini dimaksudkan sebagai legitimasi bagi PPNS, Perwira
TNI AL maupun Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan tindak pidana
perikanan yang terjadi di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Akan tetapi UU
Perikanan tidak mencabut ketentuan mengenai penyidikan dalam Pasal 14 UU No. 5 Th. 1983 tentang
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yang menentukan bahwa penyidik di ZEEI adalah Perwira TNI AL,
sehingga terhadap tindak pidana dengan locus delicty di ZEEI sering terjadi tarik menarik kewenangan
antar penyidik. Sesuai UU ZEEI sebagai undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai ZEEI
dibandingkan UU Perikanan, maka berlaku asas lex specialist derogat legi generaly, kewenangan
melakukan penyidikan di ZEEI hanyalah milik Penyidik Perwira TNI AL4 .[72]Keempat, persidangan
pengadilan perikanan dilakukan dengan 1 (satu) hakim karier sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang
anggota yang berasal dari hakim ad hoc (Pasal
78). Apabila keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan perikanan untuk menutupi kelemahan sumber
daya manusia yang dianggap ada, hal ini menjadi rancu karena keberadaan hakim ad hoc hanya ada pada
pengadilan tingkat pertama, pada pengadilan tingkat banding maupun kasasi tidak dikenal adanya hakim
ad hoc perikanan.

Kelima, jangka waktu penanganan perkara perikanan diatur cukup singkat, yaitu 20 hari ditingkat
penuntutan sedangkan ditingkat pengadilan perikanan, Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA)
masing-masing 30 hari terhitung penerimaan berkas perkara. Membandingkannya dengan KUHAP,
penyelesaian perkara tidak ditentukan jangka waktunya, yang ditentukan adalah jangka waktu penahanan.

Ketentuan pembatasan waktu tersebut sering berbenturan dengan kondisi riil dilapangan. Pada tingkat
penuntutan akan berbenturan dengan mekanisme kontrol di Kejaksaan yang berjenjang sehingga
penyelesaian di kejaksaan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan pada pemeriksaan di pengadilan
akan berbenturan dengan mekanisme beracara yang harus dilalui. Waktu 30 hari sering tidak cukup karena
digunakannya hak terdakwa mengajukan eksepsi, adanya tanggapan penuntut umum terhadap eksepsi,
tuntutan pidana penuntut umum, pembelaan, replik, maupun duplik. Kesulitan memanggil saksi maupun
pemanggilan saksi atau terdakwa agar syah dan patut menurut KUHAP juga membutuhkan waktu yang
tidak sedikit. Terlebih lagi harus memberikan kesempatan kepada penuntut umum mengajukan tuntutan
pidananya. Penuntut umum biasanya harus menunggu rencana tuntutan (rentut) yang sangat birokratis
hingga Kejaksaan Agung. Pada tingkat pemeriksaan di PT atau MA, waktu 30 hari tersebut juga sering
menyulitkan karena perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload.[73]

Tindak pidana perikanan telah merugikan negara begitu besar dengan hilangnya kekayaan laut yang
seharusnya dapat dinikmati rakyat. Oleh karena itu, memegang aturan secara strict law dengan cara hakim
pengadilan perikanan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima karena jangka waktu
30 hari telah habis sebagai akibat penuntut umum belum dapat mengajukan saksi-saksi atau penuntut
umum belum mengajukan tuntutan pidananya akan berbenturan dengan rasa keadilan masyarakat.
Dengan jangka waktu 30 hari telah digunakan, pada putusan akan melekat asas ne bis in idem. Perkara
yang diputus demikian tidak dapat diajukan kembali kepengadilan oleh penuntut umum sehingga potensi
kerugian negara semakin tidak terhindarkan.[74]

Sebagaimana lazimnya dalam kebijakan formulasi tindak pidana, dalam UU Perikanan telah diformulasikan
dengan memperhatikan 3 (tiga) substansi pokok dari hukum pidana. Permasalahan pokok tersebut
adalah :

pertama, perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau disingkat dengan masalah “tindak pidana”,

kedua, syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk menyalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang


yang melakukan perbuatan itu, atau biasa disingkat dengan masalah “kesalahan” dan tiga, sanksi (pidana)
apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, atau biasa
disebut dengan masalah pidana.

Rumusan Tindak Pidana


Tindak pidana perikanan berdasarkan Pasal 103 UU Perikanan dibedakan dalam dua kategori, yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86,
Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dan Pasal 94 adalah kejahatan sedangkan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99 dan Pasal 100
adalah pelanggaran.
Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut ternyata dalam perumusannya sama-sama
menempatkan kesalahan pelaku sebagai syarat pemidanaan, yaitu dalam Pasal 90 dan Pasal 87
mensyaratkan adanya kesengajaan atau kealpaan yang pada hakikatnya adalah bentuk dari kesalahan.
Padahal doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa pelanggaran adalah delik undang-undang (wetsdelict)
[75] dan untuk dapat dipidananya pelaku tidak perlu menilai sikap bathin pelaku. Terbuktinya pelaku
melakukan perbuatan yang dilarang sudah cukup untuk menjatuhkan pidana kepada pelakuRumusan
Pertanggungjawaban Pidana
Perkembangan hukum pidana telah menganggap bahwa korporasi adalah subyek hukum dalam hukum
pidana sehingga korporasi dapat melakukan tindak pidana sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana. Dalam penerapannya ini dimungkinkan walaupun KUHP hanya mengenal pertanggungjawaban
pidana oleh manusia alamiah (natuurlijke persoon), yaitu dengan adanya Pasal 103 KUHP sebagai pasal
jembatan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus.
Dalam UU Perikanan telah diakui korporasi sebagai subyek hukum yang dapat melakukan tindak pidana.
Akan tetapi korporasi tidak ditentukan dapat dijatuhi pidana, karena yang dipertanggungjawabkan hanya
pengurusnya (Pasal 101) . Pemidanaan hanya kepada pengurus tidak cukup menjadi represi terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Seharusnya korporasi juga ditentukan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana seperti dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 7 Drt 1955 Tentang Tindak
Pidana Ekonomi , yaitu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah :[76]

badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan; atau


mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin/penanggungjawab dalam
perbuatan atau kelalaian; atau
kedua-duanya (a dan b).
Rumusan Sanksi Pidana
Sanksi pidana dalam UU Perikanan dirumuskan secara kumulatif kecuali rumusan pelanggaran pada Pasal
97 dan Pasal 100 yang hanya merumuskan pidana denda. Pada perkara yang dikategorikan sebagai
pelanggaran lainnya, yaitu Pasal 87 ayat (1) dirumuskan sanksi pidananya adalah penjara 2 (dua) tahun dan
denda Rp. 1.000.000.000,- . Perumusan demikian terkesan tidak membeda-bedakan antara kejahatan dan
pelanggaran, karena pada umumnya pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau pidana yang
lebih ringan dari kejahatan .
Terhadap pelaku tindak pidana warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan di ZEEI tidak
dapat dijatuhi pidana penjara kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan
pemerintah negara yang bersangkutan (Pasal 102) . Ketentuan ini paralel dengan Pasal 73 ayat (3) United
Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang tidak membenarkan peraturan negara
pantai melaksanakan hukuman penjara (imprisonment) atau hukuman badan (corporal punishment), jika
tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara bersangkutan. Kerancuannya adalah UU Perikanan
tidak mengatur pengganti apabila denda tidak dibayar oleh terdakwa. Penggunaan terobosan dengan
melakukan perampasan kapal sebagai pengganti denda tidak relevan, mengingat barang bukti telah
ditentukan dapat dirampas untuk negara (Pasal 104 ayat (2)). Dalam praktik pengganti denda tersebut
menggunakan dasar Pasal 30 KUHP yaitu pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau dapat menjadi maksimal 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan
(recidive/concursus).[77]Record atau catatan yang diberikan oleh VMS mengenai record waktu, record
koordinat wilayah dapat memberikan keterangan sebagai locus delicti dan tempus delicti, di mana track
record data tersebut dapat dijadikan dasar penentuan yurisdiksi bagi penyidik dan pengadilan untuk
menentukan wilayah kewenangan mengadili, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, dalam pengaturan  tentang  kewenangan  mengadili  yang  biasa  disebut 
juga kompetensi. Dalam hal kompetensi terdapat dua macam, yaitu:

Kekuasaan berdasarkan peraturan  hukum  mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attribute van
rechtsmacht) kepada suatu macam pengadilan (pengadilan negeri), bukan kepada  pengadilan  lain,  yang 
dapat  disebut  kompetensi mutlak (absolute kompetentie).Kekuasaan berdasarkan peraturan  hukum 
mengenai pembagian  kekuasaan  mengadili  (distributive  van rechtsmacht)  di  antara  satu  macam 
(pengadilan-pengadilan negeri), yang dapat disebut juga kompetensi relatif (relatieve kompetentie).

Kompetensi  mutlak  (absolute)  diatur  dalam  Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 25 ayat (1), berbunyi :

Badan  peradilan  yang  berada  di  bawah  Mahkamah  Agung meliputi  badan  peradilan  dalam 
lingkungan  peradilan  umum,peradilan  agama,  peradilan  militer,  dan  peradilan  tata  usaha negara. , 
dan untuk kewenangan mengadili kasus illegal fishing diatur dalam pasal 71  Undang-Undang  45  tahun 
2009  tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang berbunyi:

Dengan Undang-Undang ini  dibentuk  pengadilan  perikanan yang  berwenang  memeriksa,  mengadili 
dan  memutus  tindak pidana di bidang perikanan.Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan pengadilan  khusus  yang  berada  dalam  lingkungan peradilan umum.

Mengenai kompetensi relatif diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam pasal 84,
berbunyi:

Pengadilan negeri berwenang  mengadili  segala  perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam
daerah hukumnya.Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,
berdiam  terakhir,  di  tempat  ia  diketemukan, atau  ditahan,  hanya  berwenang  mengadili  perkara 
terdakwa tersebut,  apabila  tempat  kediaman  sebagian  besar  saksi  yang dipanggil lebih dekat pada
pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan  pengadilan  negeri  yang  di  dalam  daerahnya  tindak
pidana itu dilakukan.

Sistem  peradilan  pidana  pada  hakekatnya  merupakan  suatu proses  penegakan  hukum  pidana.[78] 
Oleh  karena  itu  berhubungan  erat sekali  dengan  perundang-undangan  pidana  itu  sendiri,  baik 
hukum substantif  maupun  hukum  acara  pidana,  karena  perundang-undangan pidana  itu  pada 
dasarnya  merupakan  penegakan  hukum  pidana  in abstracto  yang akan diwujudkan dalam penegakan
hukum  in concreto . [79]

Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana,  karena  perundang-
undangan  tersebut  memberikan  kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum
atas kebijakanyang  diterapkan.  Lembaga  legislatif  berpartisipasi  dalam  menyiapkan kebijakan  dan 
memberikan  langkah  hukum  untuk  memformulasikan kebijakan  dan  menerapkan  program  kebijakan 
yang  telah  ditetapkan.

Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi  dalam  tiga  bentuk, 
yakni  pembentukan  hukum,  penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam
mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab  individu  harus  benar-benar  merasa  terjamin  bahwa 
mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum  tertulis,  yang 
sudah  ada  terlebih  dahulu  (legality  principle).  Di samping  itu,  atas  dasar  yang  dibenarkan  oleh 
undang-undang  hukum acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency
principle)  yang  berpangkal  tolak  pada  kepentingan  masyarakat  yang dapat ditafsirkan sebagai
kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas dasar ini penuntutan memperoleh
legitimasinya. Asas yang ketiga  adalah  asas  perioritas  (priority  principle)  yang  didasarkan  pada
semakin beratnya beban sistem peradilan pidana.[80] Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang
sama. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat
diterapkan pada pelaku tindak pidana.

Tindak  pidana  perikanan  mencakup  segala  tindakan  hukum berupa tindakan kejahatan dan
pelanggaran yang dilakukan oleh subjek hukum melalui prosedur peradilan. Penentuan tempat terjadinya
tindak pidana ini untuk menentukan pengadilan negeri mana yang berwenangmengadili.   Ada 3 teori
untuk menentukan lokasi terjadinya tindak pidana, yaitu: [81]

Teori Perbuatan materiel (jasmaniah);Teori instrumen (alat)Teori Akibat.

Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana locus delicti Pasal 10 RUU KUHAP tempat
tindak pidana adalah:

Tempat pembuat melakukan  perbuatan  yang  dilarang  oleh peraturan perundang-undangan;Tempat


terjadinya  akibat  yang  dimaksud  dalam  perundang-undangan atau tempat yang menurut perkiraan
pembuat akan terjadi akibat tersebut.

Teori-teori locus delicti yaitu:

Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)Teori bekerjanya alat yg digunakan (de leer van et
instrumen)Teori Akibat (de leer van het gevolg)Teori Tempat yg jamak (de leer van de meervoudige tijd).

Locus delicti sangat penting diketahui dalam hal  mengenai Kompetensi relatif suatu pengadilan  contoh :
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau Pengadilan Negeri Bogor.[82]

Meervoudige  locus  delicti,  bahwa  hakim  diberi  kemerdekaan  memilih diantara  tiga  locus  delicti  ini 
sesuai  dengan  Keputusan  Hoge  Raad 2/1/1923 w.Nr.1108.

Mengenai keberadaan pengadilan perikanan merupakan amanat Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 71, utamanya untuk lebih
mengefektifkan proses penanganan kasus-kasus perikanan. Penggunaan track  record  data  VMS  dapat 
dijadikan  sebagai  penentu  pengadilan negeri mana yang berwenang untuk mengadili kasus illegal fishing
yang terjadi di Indonesia.[83]

Berdasarkan Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas  Undang-Undang  Nomor  31  tahun 
2004  tentang  Perikanan,  yang mengatur penggunaan sarana pidana dalam undang-undang ini dilakukan
dengan  terlebih  dahulu  membentuk  pengadilan  perikanan  pada  lima pengadilan negeri, yaitu Jakarta
Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual.  Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan telah memuat regulasi atau formulasi baik
mengenai hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan.  Hukum  acara  dalam  penyidikan, 
penuntutan  maupun persidangan  pada  pengadilan  perikanan  dilakukan  menurut  KUHAP kecuali telah
ditentukan secara khusus dalam Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 tahun 2004 tentang  Perikanan.[84]  Pembentukan  pengadilan  khusus  perikanan seharusnya
dibentuk berdasarkan undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan perikanan, bukan
didasarkan pada Undang-Undang45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun
2004 tentang Perikanan. Hal ini didasarkan pada Pasal 24A Ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi :   Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara  Mahkamah Agung  serta  badan  peradilan  dibawahnya 
diatur dengan  undang-undang .  Dari  segi  teknik  perundang-undangan,  frasa diatur  dengan  undang-
undang  berarti  harus  diatur  dengan  undang-undang tersendiri .

Akan  tetapi,  dalam  menentukan  kompetensi  relatif  bahwa pengadilan  perikanan  sesuai  dengan 
pengadilan  negeri  yang bersangkutan yang diatur dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang 45 tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Selama belum
dibentuk pengadilan perikanan selain  pengadilan  perikanan  pada  Pengadilan  Negeri  Jakarta  Utara,
Medan,  Pontianak,  Bitung  dan  Tual,  maka  perkara  tindak  pidana perikanan  yang  terjadi  di  luar 
wilayah  hukum  pengadilan  perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan
negeri yang berwenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 106 Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Masyarakat memilki hak untuk mendapatkan perlindungan dibidang Perikanan, dan apabila hak-hak itu
dilanggar oleh orang lain atau badan hukum, maka dapat mengajukannya ke Pengadilan Perikanan.
Pengadilan Perikanan berwenang memeriksa semua orang yang terkait dengan persoalan perikanan.
Namun selama ini pengadilan ini belum optimal memberikan perlindungan, mengingat terdapat factor-
faktor yang menyebabkan itu semua.

IV.2 Saran

Diharapkan peradilan perikanan mampu memberikan kepatian tentang tegaknya kasus=kasus dibidang
perikanan, sehingga hak-hak masyarakat dibidang masyarakat tidak terlanggar, baik oleh masyarakat,
maupun oleh badan hukum

Anda mungkin juga menyukai