Volume 1 Nomor 1, Agustus 2021 Galih Pambaru W., Eddy Mulyono dan Gautama Budi A.
ISSN 2807-2359
Abstrak
Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah perairan terluas di dunia. Dengan luas
perairan yang dua luas daratan terdapat berbagai macam sumber daya alam dan mineral yang
terkandung di perairan Indonesia. Untuk melindungi dan menjaga kedaulatan perariran
Indonesia serta menegakan hukum yang berlaku, pemerintah Indonesia membentuk agency yang
memiliki tugas dan wewenang untuk menegakan kedaulatan dan penegakan hukum di perairan
Indonesia seperti Sea and Coast Guard Units, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Namun, pembentukan berbagai instansi yang memiliki kemiripan tugas
dan wewenang telah mengakibatkan tumpang tindih kewenangan dan disharmonisasi peraturan
perundang-undangan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model kelembagaan untuk
penegakan kedaulatan dan hukum perairan Indonesia yang sesuai dengan sistem hukum di
Indonesia, dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan komparatif. Hasil
penelitian ini adalah penguatan Bakamla melalui Undang-Undang Keamanan Laut dengan
menggabungkan kewenangan beberapa instansi dalam hal patrol kemaanan laut seperti yang
dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok melalui China Coast Guard Agency.
Kata kunci: Reformasi hukum, penegakan kedaulatan, penegakan hukum, keamanan maritim
1. Pendahuluan
Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mendapatkan perhatian
khusus dari masyarakat internasional. Melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS 1982), masyarakat internasional mengakui
adanya suatu rezim hukum yang dikenal dengan archipelagic state. Pengakuan ini tidak terlepas
dari upaya Indonesia sejak dideklarasikannya Deklarasi Wilayah Perairan Indonesia pada 13
Desember 1957. Melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 (selanjutnya disebut Undang-
Undang Perairan Indonesia), Indonesia secara resmi menuangkan ketentuan-ketentuan dalam
UNCLOS 1982 ke dalam hukum nasionalnya.
Pada Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Perairan Indonesia disebutkan bahwa pelaksanaan
penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia dilaksanakan melalui
suatu Badan Koordinasi Keamanan Laut. Tujuan dibentuknya Badan Koordinasi Keamanan Laut
80
ISSN 2807-2359 Jurnal Indonesia Maju
Volume 1 Nomor 1, Agustus 2021
pembaruan hukum perairan Tiongkok melalui peleburan kelembagaan penegak kedaulatan dan
penegak hukumnya.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif, yakni tipe penelitian yang bertujuan
untuk memberikan eksposisi secara sistematis terhadap aturan-aturan hukum yang berlaku,
menganalisis hubungan antara aturan-aturan hukum, dan menjelaskan bagian-bagian dari aturan-
aturan hukum (Susanti dan Efendi, 2014). Pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian
ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan
perbandingan.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan suatu metode pendekatan
yang dilakukan dengan cara menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan isu hukum yang dibahas (Marzuki, 2014). Pendekatan ini ditujukan untuk menganalisis
dan menyimpulkan mengenai peraturan perundang-undangan beserta perjanjian-perjanjian
internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam upaya penegakan kedaulatan di
wilayah perairan Indonesia.
Pendekatan konseptual merupakan suatu metode pendekatan yang dilakukan dengan cara
mempelajari pandangan-pandangan ahli hukum dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang
(Marzuki, 2014). Pendekatan perbandingan merupakan suatu metode pendekatan yang
memperbandingkan hukum, yakni memperbandingkan berbagai macam sistem hukum yang
berlaku di negara-negara lain guna diadopsi ke dalam sistem hukum nasional (Marzuki, 2014).
Dalam upaya pembaruan hukum perairan Indonesia, penulis hendak memperbandingkan sistem
kelembagaan penegakan kedaulatan perairan antara Indonesia dengan Tiongkok.
dibawa oleh delegasi Indonesia ke dalam Konvensi Hukum Laut 1958 di Jenewa. Namun,
Deklarasi Wilayah Perairan Indonesia tersebut tidak mendapatkan hasil yang diinginkan,
mengingat konsepsi negara kepulauan masih dalam tataran akademisi dan belum memadainya
ilmu pengetahuan mengenai konsep negara kepulauan (Kusumaatmadja, 1978).
Konsepsi negara kepulauan pada Deklarasi Wilayah Perairan Indonesia secara resmi
diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia pada
18 Februari 1960. Pengundangan Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 yang dilakukan
sebelum pelaksanaan Konferensi Hukum Laut 1960 di Jenewa merupakan langkah politis
Pemerintah Indonesia untuk tidak bergantung kepada konferensi internasional. Langkah politis
Pemerintah Indonesia kemudian terbukti ketika Konferensi Hukum Laut 1960 ternyata tidak
menghasilkan konvenan apapun. Namun pada konferensi tersebut, Indonesia berkesempatan
mengedarkan Salinan Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 beserta peta garis pangkal lurus
yang ditarik dari pulau-pulau terluar Indonesia yang kemudian dimuat dalam dokumen
Sekretariat Konferensi (Kusumaatmadja, 1978).
Konsepsi negara kepulauan kembali diajukan oleh Indonesia pada Konferensi Hukum Laut
1973 yang diselenggarakan di New York. Indonesia, bersama-sama dengan Fiji, Filipina, dan
Mauritus, mengajukan usul yang terperinci mengenai pengaturan-pengaturan negara kepulauan
yang berbentuk rancangan pasal-pasal mengenai negara kepulauan. Usulan keempat negara ini
kemudian tidak mengalami pertentangan dari negara-negara peserta konferensi, sampai pada
akhirnya draft yang diajukan oleh keempat negara tersebut berhasil dipertahankan hingga
ditandatanganinya naskah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut pada 10
Desember 1982 (Fahrudin dan Solihin, 2012).
Dalam perkembangannya di kawasan Association South East Asian Nations (ASEAN),
Indonesia beserta negara-negara ASEAN ditambah Republik Rakyat Tiongkok telah
menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada 4 November
2002. Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea secara jelas menyebutkan 3
(tiga) tujuan: mempromosikan upaya-upaya untuk membangun rasa saling percaya di antara para
pihak, pelibatan dalam kerjasama maritim, dan sebagai dasar diskusi dan penyusunan dokumen
yang formal dengan berkentuan hukum yang mengikat (Li, 2014).
Akan tetapi, Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea bukanlah suatu
konvenan atau traktat yang memiliki sanksi terhadap pelanggarnya. Akibatnya, banyak pihak-
Keamanan Laut. Masing-masing lembaga diberikan kewenangan secara atribusi oleh peraturan
perundang-undangan yang membentuknya. Akibatnya, sistem penegakan kedaulatan dan
penegakan hukum di perairan Indonesia yang seharusnya terpadu menjadi bersifat sektoral
(Darajati dan Syafei, 2018).
Contohnya pada Undang-Undang Perikanan, penyelenggaraan penegakan hukum
perikanan dapat dilaksanakan oleh TNI Angkatan Laut, Polisi Perairan, dan Udara (Polairud),
serta Pengawas Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini tidak terlepas dari
diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2014 tentang
Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan yang memiliki tugas menyelenggarakan pengawasan
tertib regulasi perikanan baik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia,
kapal perikanan, pelabuhan perikanan, sentra kegiatan perikanan, kawasan konservasi perikanan,
serta tempat-tempat lainnya yang ditentukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2014).
Selain itu, pada Undang-Undang Pelayaran diamanatkan pembentukan Indonesian Sea and
Coast Guard sebagai aparatur penegakan hukum di laut. Tugas pokok Indonesian Sea and Coast
Guard adalah melakukan keselamatan dan keamanan pelayaran; pengawasan, pencegahan, dan
penanggulangan pencemaran di laut; pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal;
pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta ekplorasi dan
eksploitasi kekayaan laut; pengamanan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; serta mendukung
pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut (Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008).
Dalam menjalankan tugas pokoknya, Indonesian Sea and Coast Guard memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan patroli keamanan laut, pengejaran seketika,
memberhentikan dan memeriksa kapal, serta melaksanakan penyidikan (Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008). Pengaturan mengenai sea and coast guard lebih lanjut seharusnya diatur
dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat Pasal 281 Undang-Undang Pelayaran.
Namun, hingga saat ini realisasi pembentukan Indonesian Sea and Coast Guard belum
terlaksana meski Undang-Undang Pelayaran mengamanatkan pembentukan sea and coast guard
paling lambat 3 (tiga) tahun semenjak Undang-Undang Pelayaran diundangkan.
Diundangkannya Undang-Undang Kelautan memuat pembentukan sebuah lembaga baru
yaitu Bakamla. Pembentukan Bakamla pada awalnya diharapkan dapat menyelesaikan tumpang
tindih kewenangan antar Kementerian/Lembaga terkait keamanan laut. Bakamla memiliki tugas
pokok untuk menyelenggarakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia
dan wilayah yurisdiksi Indonesia (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014).
Secara garis besar, Bakamla diberikan kewenangan yang hampir serupa dengan Indonesian
Sea and Coast Guard sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Pelayaran, yakni
melaksanakan pengejaran seketika; memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan
menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih
lanjut; dan mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan
Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014). Namun,
Bakamla tidak memiliki kewenangan menyelenggarakan penyidikan terhadap dugaan tindak
pidana. Tiadanya wewenang untuk melakukan penyidikan mengharuskan Bakamla menyerahkan
kapal (beserta awak kapalnya) kepada lembaga pemerintah lainnya yang memiliki kewenangan
untuk melaksanakan proses hukum lebih lanjut (Kurnia, 2020).
Dalam Pasal 28 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut
memang diatur mengenai adanya Unit Penindakan Hukum Bakamla yang terdiri atas berbagai
Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan penegakan kedaulatan dan penegakan hukum
di perairan Indonesia. Namun, Unit Penindakan Hukum Bakamla memiliki kewenangan terbatas,
hanya untuk menyelenggarakan penyidikan di tingkat awal saja (Setyawanto dan Hardiwinoto,
2016). Di samping itu, Kementerian/Lembaga lain masih memiliki kewenangan
menyelenggarakan patroli keamanan laut meski Bakamla telah terbentuk. Dengan tidak
dicabutnya kewenangan tersebut, tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraan
penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di perairan Indonesia masih tetap terjadi.
Selain tumpang tindih kewenangan, ego sektoral antar lembaga penegakan kedaulatan, dan
penegakan hukum di perairan Indonesia masih cukup kental. Pada tahun 2015 silam misalnya,
Kementerian Perhubungan dibawah Ignasius Jonan berencana membentuk Direktorat Jenderal
Penjagaan Laut dan Pantai sebagai wujud realisasi Pasal 276 Undang-Undang Pelayaran serta
penguatan terhadap Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai yang sudah ada. Namun
upaya tersebut dianggap tidak sesuai menurut The National Maritime Institute, karena yang
diperlukan adalah pembentukan coast guard secara single agency, bukan multi-agency
(Bisnis.com, 2015).
of Sea Areas Law, dan Maritime Traffic Safety Law. Kedua undang-undang yang disebutkan
diawal merupakan undang-undang subtantif yang diundangkan pasca Tiongkok meratifikasi
UNCLOS 1982 (Haozhe, 2015).
Masing-masing Law tersebut tidak mengatur mengenai pejabat yang berwenang
melaksanakan penegakan kedaulatan dan penegakan hukum, kecuali pada Fisheries Law dan
Maritime Traffic Safety Law. Dengan demikian, CCGA hanya bergantung kepada Law on
Administrative Penalty dan People's Armed Police Law sebagai landasan hukum bagi penegakan
kedaulatan perairan Tiongkok (Haozhe, 2015).
Apabila merunut hierarki peraturan perundang-undangan Tiongkok mengenai
pembentukan CCGA beserta peraturan perundang-undangan pendukungnya, Law memiliki
hierarki lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Regulation. Law dibentuk oleh Kongres
Rakyat Nasional dan/atau Badan Pekerja Kongres Rakyat Nasional. Pembentukan Law oleh
Kongres Rakyat Nasional hanya terbatas pada Law yang bersifat pokok atau dasar, seperti Law
on Administrative Penalty. Sedangkan pada Law yang bersifat umum, pembentukannya hanya
melalui Badan Pekerja Kongres Rakyat Nasional. Pembentukan Regulation merupakan
wewenang dari Dewan Negara Tiongkok guna menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan
melaksanakan Law yang telah dibentuk oleh Kongres Rakyat Nasional dan/atau Badan Pekerja
Kongres Rakyat Nasional (Guodong Du, 2020).
Wang Haozhe menyatakan bahwa pembentukan CCGA melalui IISS 2013 sejatinya telah
tepat, mengingat sebelum dibentuknya IISS 2013, upaya penegakan kedaulatan dan penegakan
hukum masih diselenggarakan oleh banyak lembaga. Meski demikian, Wang Haozhe
menyayangkan Tiongkok belum memiliki undang-undang yang bersifat pokok yang mengatur
mengenai kelautan Tiongkok. Wang Haozhe berpendapat bahwasanya undang-undang pokok
mengenai kelautan Tiongkok harus terlebih dahulu ada, baru setelahnya dibentuk undang-undang
yang bersifat pendukung. Dengan demikian, CCGA memiliki legalitas dalam menyelenggarakan
penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di perairan Tiongkok (Haozhe, 2015).
Dalam perkembangannya, CCGA kemudian dilebur ke dalam People’s Armed Police pada
22 Juni 2018. Peleburan CCGA ke dalam People’s Armed Police berjalan seiringan dengan
kehendak Badan Pekerja Kongres Rakyat Nasional untuk memperkuat kepentingan maritim
Tiongkok dengan memperkuat aparat penegak kedaulatan dan penegak hukum di perairan
(Changhao Wei, 2020). Pada 22 Januari 2021, Badan Pekerja Kongres Rakyat Nasional
Tiongkok mengesahkan Coast Guard Law of the People’s Republic of China. Merunut laman
NPC Observer, Coast Guard Law diketahui tidak masuk dalam Program Legislasi, baik Program
Legislasi 5 Tahun maupun Program Legislasi Tahunan. Pembahasan Coast Guard Law yang
diajukan oleh Central Military Commission, dimulai pada 13 Oktober 2020, kemudian terdapat
revisi pada 22 Desember 2020, dan diundangkan pada 22 Januari 2021 serta resmi berlaku per 1
Februari 2021 (NPC Observer, 2021).
d. Pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi, dan
eksploitasi kekayaan laut;
e. Pengamanan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; dan mendukung pelaksanaan kegiatan
pencarian dan pertolongan jiwa di laut.
Guna menjalankan tugas pokoknya, sea and coast guard memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan patroli keamanan laut, pengejaran seketika (hot pursuit), memberhentikan
dan memeriksa kapal di laut, serta melaksanakan penyidikan (Pasal 278). Pengaturan mengenai
sea and coast guard lebih lanjut seharusnya diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana
amanat Pasal 281 Undang-Undang Pelayaran. Namun, hingga saat ini realisasi pembentukan sea
and coast guard belum terlaksana meski Undang-Undang Pelayaran mengamanatkan
pembentukan sea and coast guard paling lambat 3 (tiga) tahun semenjak Undang-Undang
Pelayaran diundangkan.
Apabila merujuk kepada Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai yang dianggap sebagai
representasi Indonesian Sea and Coast Guard, maka hal tersebut tidak tepat menurut penulis.
Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor KM 65 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pangkalan Penjagaan Laut dan
Pantai, sedangkan pengaturan pembentukan Indonesian Sea and Coast Guard adalah melalui
Peraturan Pemerintah. Hal ini mengakibatkan adanya kekosongan pengaturan serta kesalahan
penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, Undang-Undang Perikanan yang mengamanatkan dibentuknya Pengawas
Perikanan membuat makin beragamnya lembaga yang memiliki kewenangan dalam upaya
penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di perairan Indonesia. Pembentukan Pengawas
Perikanan seharusnya dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam
Pasal 70 Undang-Undang Perikanan. Namun hingga 2014, baru terbentuk Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas
Perikanan yang merupakan pengaturan teknis dari kementerian terkait, sementara Peraturan
Pemerintah mengenai Pengawas Perikanan belum dibentuk dan diundangkan.
Berdasarkan analisis penulis terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan
Laut, maka upaya yang dilakukan oleh pemerintah dapat dikatakan tepat. Dengan adanya
Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Laut, upaya penegakan kedaulatan dan
penegakan hukum yang sebelumnya terdiri atas berbagai peraturan perundang-undangan yang
bersifat sektoral dapat diatur terperinci melalui sebuah undang-undang tersendiri.
Pembentukan Undang-Undang Keamanan Laut dapat menyesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat sektoral, seperti Undang-Undang Zona Ekonomi
Eksklusif, Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia, Undang-Undang Perikanan, Undang-
Undang Pelayaran, dan Undang-Undang Kelautan. Pada Undang-Undang Zona Ekonomi
Eksklusif, ketentuan dalam Pasal 14 dapat diubah dengan menambahkan kewenangan Bakamla
sebagai aparatur penegakan hukum di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Pada Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia, ketentuan dalam Pasal 9 diubah dengan
menghapuskan kewenangan penegakan hukum dan penjagaan keamanan laut yurisdiksi nasional
yang diselenggarakan oleh TNI Angkatan Laut. Hal ini disebabkan perubahan kewenangan
penegakan hukum dan penjagaan keamanan laut dari yang sebelumnya juga diselenggarakan
oleh TNI Angkatan Laut menjadi diselenggarakan oleh Bakamla seutuhnya.
Melalui Undang-Undang Keamanan Laut, fungsi patroli wilayah perairan yang
diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga teknis dilebur ke dalam Bakamla selaku lembaga
yang menerima peleburan. Hal ini dengan cara mencabut ketentuan dalam Bab XVII tentang
Indonesian Sea and Coast Guard pada Undang-Undang Pelayaran serta melakukan perubahan
terhadap Bab XII tentang Pengawasan Perikanan pada Undang-Undang Perikanan dengan
pemberian kewenangan kepada Bakamla untuk menyelenggarakan penyidikan terhadap dugaan
tindak pidana perikanan di laut. Disamping itu, pada Undang-Undang Kelautan dapat
diatribusikan kewenangan penyidikan guna mendukung tugas dan fungsi Bakamla. Dengan
demikian Bakamla dapat menyelenggarakan tugasnya, yakni penegakan kedaulatan dan
penegakan hukum di perairan Indonesia.
Dalam hal koordinasi secara vertikal, Bakamla untuk sementara berkoordinasi di bawah
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Apabila di kemudian hari dibentuk
sebuah kementerian khusus yang menangani keamanan nasional, maka Bakamla dapat
disematkan ke dalam kementerian tersebut seperti halnya CCGA yang disematkan ke dalam
MPS meskipun dibawah koordinasi Central Military Command.
Dalam hal hubungan antara Bakamla dengan TNI Angkatan Laut sebagai komponen
pertahanan negara, cakupan wilayah kerja Bakamla akan lebih luas apabila dibandingkan dengan
TNI Angkatan Laut. Merujuk pada hubungan antara CCGA dengan PLAN pada masa damai,
CCGA memiliki yurisdiksi atas laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif
Tiongkok. Sementara People’s Liberation Army Navy (PLAN) memiliki yurisidiksi atas Zona
Ekonomi Eksklusif Tiongkok dan laut lepas guna melindungi kepentingan Tiongkok.
Dalam hal hubungan horizontal antara Bakamla dengan Polri sebagai komponen keamanan
negara yang saling beririsan, cakupan wilayah kerja Bakamla hanya terbatas pada wilayah
perairan Indonesia beserta wilayah yurisdiksi Indonesia. Selain itu, Bakamla juga memiliki
kewenangan untuk memeriksa kapal berbendera asing yang melintas pada Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) sebagai upaya penegakan kedaulatan di Perairan Indonesia. Pada daerah
sungai, danau, serta wilayah pelabuhan, Polisi Republik Indonesia merupakan penanggung jawab
utama upaya penegakan hukum. Selain itu, tindak pidana dan/atau pelanggaran hukum yang
dapat ditindaklanjuti oleh Bakamla hanya meliputi perikanan, pelayaran, lingkungan hidup
(apabila berkaitan dengan pembuangan limbah oleh kapal yang tengah berlayar di Perairan
Indonesia), serta pertambangan lepas pantai.
Dalam hal keamanan negara, upaya penegakan kedaulatan di Peraian Indonesia
diselenggarakan oleh Bakamla sebagai komponen utama dan TNI Angkatan Laut sebagai
komponen pendukung. Upaya penegakan kedaulatan tersebut dilaksanakan terhadap kapal sipil
asing yang melintas dan/atau beroperasi di Perairan Indonesia serta kapal ikan asing yang
beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Peranan TNI Angkatan Laut hanya
sebatas pada penegakan kedaulatan terhadap kapal perang asing yang melintas di Perairan
Indonesia. Dalam hal pertahanan negara, Bakamla dapat difungsikan sebagai komponen
pendukung TNI Angkatan Laut guna mendukung operasi militer untuk perang.
6. Kesimpulan
Upaya penegakan kedaulatan atas perairan Indonesia telah berlangsung sejak Deklarasi
Wilayah Perairan Indonesia pada 13 Desember 1957. Setelah melalui proses diplomasi yang
panjang, konsepsi Negara Kepulauan yang diajukan oleh Indonesia pada akhirnya diterima
masyarakat dunia melalui ditandatanganinya UNCLOS 1982. Sebagai negara yang ikut
meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia menuangkan ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS 1982
ke dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Melalui Undang-
Undang Perairan Indonesia, diamanatkan pembentukan suatu badan koordinasi yang menangani
penegakan kedaulatan dan penegakan hukum yang sebelumnya dilakukan oleh masing-masing
Kementerian/Lembaga. Namun, Bakorkamla tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya akibat
tingginya ego sektoral antar Kementerian/Lembaga. Meski telah dibentuk Bakamla sebagai
pengganti Bakorkamla, tumpang tindih kewenangan tetap terjadi akibat tidak dicabutnya
kewenangan Kementerian/Lembaga lain untuk menyelenggarakan patroli perairan dan
terbatasnya kewenangan yang diberikan Undang-Undang Kelautan kepada Bakamla. Dalam
upaya penataan kelembagaan penegakan kedaulatan dan penegakan hukum, Indonesia dapat
meniru Tiongkok. Tiongkok merupakan salah satu negara yang dapat dikatakan sukses
menggabungkan 4 (empat) lembaga menjadi 1 (satu) lembaga dibawah CCGA. Penggabungan
tersebut merupakan kehendak bersama antara Badan Pekerja Kongres Rakyat Nasional beserta
Partai Komunis Tiongkok guna meningkatkan keefektifan kelembagaannya. Dengan demikian,
Bakamla sebagai otoritas yang memiliki kewenangan menyelenggarakan patroli perairan serta
penegakan kedaulatan dan penegakan hukum dapat diperkuat dengan diundangkannya
Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Laut. Secara instansi, Bakamla dan TNI
Angkatan Laut dapat saling bahu-membahu melaksanakan penegakan kedaulatan dan penegakan
hukum dengan pembagian beban kerja sebagaimana CCGA dengan PLAN.
DAFTAR PUSTAKA
Bisnis.com. 2015. Ide Jonan Membentuk Ditjen Penjagaan Laut dan Pantai Dikritik. 11 Juni
2015. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20150611/98/442574/ide-jonan-
membentuk-ditjen-penjagaan-laut-pantai-dikritik.
Darajati, Muhammad Rafi, dan Muhammad Syafei. 2018. Politik Hukum Pembentukan Badan
Keamanan Laut dalam Menjaga Keamanan Maritim di Indonesia. (Era Hukum: Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum Vol. 16 No.1). Jakarta, Universitas Tarumanagara.
Du, Guodong. 2018. What’s Chinese Legal System? - China Legal Research Guide. Diakses dari
https://www.chinajusticeobserver.com/a/what-is-chinese-legal-system.
Fahrudin, Achmad, dan Akhmad Solihin. 2012. Perkembangan Hukum Laut Internasional dan
Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Haozhe, Wang. 2015. Completion of the Restructuring of China’s Coast Guard Administration:
Challenges and Opportunities. Disertasi. World Maritime University.
kompas.com. 2020. Pemerintah Tarik RUU Keamanan Laut dari Prolegnas Prioritas 2020,
Pertahankan RKUHP dan RUU PAS. 2 July 2020. Diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/02/14050161/pemerintah-tarik-ruu-keamanan-
laut-dari-prolegnas-prioritas-2020-pertahankan.
Kurnia, Aan. 2020. Penguatan Sistem Keamanan Laut dan Peran Bakamla RI. Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1978. Hukum Laut Internasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman.
Li, Mingjiang. 2014. Managing Security in the South China Sea: From DOC to COC. Kyoto
Review of Southeast Asia.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media.
NPC Observer. 2021. Coast Guard Law of the People’s Republic of China
中华人民共和国海警法. Diakses dari https://npcobserver.com/legislation/coast-guard-
law/.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2014 tentang Pelaksanaan
Tugas Pengawas Perikanan.
Samuderanesia. 2020. Membentuk Coast Guard, Gunakan RUU Kamla atau Omnibus Terkait
Kamla?. Diakses dari https://samudranesia.id/membentuk-coast-guard-gunakan-ruu-kamla-
atau-omnibus-law-terkait-kamla/.
Setyawanto, L. Tri dan Soekotjo Hardiwinoto. 2016. Kewenangan Badan Keamanan Laut
(Bakamla) dalam Pelaksanaan Pengamanan di Wilayah Perairan Indonesia. (Jurnal
Hukum Vol. 5 No. 4). Semarang, Universitas Diponegoro.
Supriyanto, Ristian Atriandi, dan Siswanto Rusdi. 2013. Maritime Security Agencies in
Indonesia: More Not Merrier. By Ristian Atriandi Supriyanto & Siswanto Rusdi, RSIS
Commentaries 001/2013 (Singapura: S. Rajaratnam School of International Studies, 2013).
Susanti, Dyah Ochtorina dan A’an Efendi. 2018. Penelitian Hukum (Legal Research). Jakarta:
Sinar Grafika.
Republik Indonesia. 2018. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia.
Republik Indonesia. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia.
Wei, Changhao. 2018. NPCSC Defers Vote on E-Commerce Law, Grants Law Enforcement
Powers to Military-Controlled Coast Guard. 22 June 2018. Diakses dari
https://npcobserver.com/2018/06/22/npcsc-defers-vote-on-e-commerce-law-grants-law-
enforcement-powers-to-military-controlled-coast-guard/.