Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Harmonisasi Hukum Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia
Indonesia berkeistimewaan memanfaatkan dan mengelola wilayah perairan nasional
sebagaimana konsepsi negara kepulauan berdasarkan UNCLOS. Negara kepulauan bermakna
sebagai wilayah yang dikelilingi oleh satu hingga lebih pulau-pulau serta mencakup
kepulauan lainnya.1 Konsepsi negara kepulauan ditegaskan konstitusi nasional sebagai
wilayah, batas, dan hak yang melekat bagi Indonesia menguasai wilayah nasional. Kepulauan
bermakna penting bagi Indonesia menentukan status hukum pulau-pulau nasional. 2 Indonesia
identik dengan keberadaan PPKT berdasarkan pengakuan masyarakat internasional sebagai
negara kepulauan. Istilah PPKT termaktub dalam Pasal 47 ayat (1) UNCLOS sebagai sistem
penarikan titik pangkal kepulauan lurus menghubungkan titik terluar pulau hingga karang di
kepulauan terluar.3 Peristilahan “pulau” ditegaskan Pasal 121 konvensi yang berfokus pada
pembentukan wilayah daratan secara alami (naturally formed area of land) sebagai syarat
utama diakuinya pulau yang dikelilingi oleh air dan berada diatas permukaan air pada air
pasang (bukan pulau buatan atau reklamasi).4

Negara kepulauan mempunyai keuntungan untuk mengelola dan memanfaatkan


gugusan pulau alami yang diakui sebagai kesatuan utuh geografi nasional. Pengaturan status
hukum PPKT merupakan elemen utama negara menegakkan kepemilikan pulau. Persaingan
negara memperluas wilayah perairan maritim melalui penguasaan PPKT di wilayah
perbatasan merupakan tekanan utama negara menguatkan kedaulatan dan yurisdiksi. 5
Ketetapan UUD-1945 menjadi fondasi utama pembentukan Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 27/2007).
Instrumen tersebut merupakan kesatuan konsep pengelolaan PPKT yang berfokus pada
perlindungan, pemanfataan, konservasi, dan pengembangan sumber daya alam
berkelanjutan.6 PPKT merupakan prinsip utama Indonesia mewujudkan visi dan misi
mencapai kepentingan nasional pada sentra kelautan berdasarkan UU No. 27/2007.

Lahirnya Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 memberikan makna


terbentuknya konsepsi kepulauan nasional dalam menguatkan pengakuan internasional bagi
1
Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Convention on the Law of the Sea, (1982), hlm. 17, Ps.
46.
2
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 25.
3
UNCLOS 1982, Ps. 47 ayat (1).
4
UNCLOS 1982, Ps. 121.
5
Massie, Cornelis Djelfie, Pengantar Hukum Kawasan Perbatasan dan Pulau-Pulau Terluar
Indonesia, cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Referensi, 2019), hlm. 2-4.
6
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27
Tahun 2007, Ps. 4.
Indonesia. Deklarasi berimplikasi pada pernyataan Indonesia yang menentukan perairan
nasional yang menghubungkan PPKT tanpa mengkaitkan lebar dan luas wilayah sebagai
bagian tak terpisahkan. Kebijakan Indonesia terhadap konsep negara kepulauan melahirkan
penarikan garis pangkal lurus bersifat mengikat PPKT. 7 Perkembangan deklarasi memberikan
kewajiban negara mengatur penarikan garis pangkal kepulauan menyatukan titik terluar
PPKT. Kewajiban penarikan garis pangkal PPKT, panjang garis pangkal dan penarikan garis
dasar dan pangkal wajib sesuai dengan konfigurasi negara kepulauan.8

Indonesia dikelilingi 17.509 gugusan pulau berdasarkan konferensi UNCSGN dan


UNGEGN yang merupakan perwujudan rekomendasi teknis mengenai standarisasi penamaan
geografis tingkal global dan kelompok penamaan geografis PBB diinisiasikan bersama
Dewan Ekonomi dan Sosial.9 Besarnya potensi PPKT, negara menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PP No.
62/2010) sebagai peraturan pelaksana UU No. 27/2007. Maklumat PPKT diproklamirkan
sebagai pulau-pulau kecil melingkupi titik dasar menghubungkan batas pangkal laut. 10
Pemanfaatan PPKT memaksimalkan potensi perairan kepulauan terluar berjarak 12-mil dari
garis pantai yang bertujuan menegakkan kedaulatan nasional. Kepentingan nasional
mengelola PPKT berfokus pada pengelolaan sumberdaya alam, lingkungan, ekonomi dan
sosial. Terlebih, kedaulatan PPKT membutuhkan peningkatan aspek pertahanan dan
keamanan dalam menguatkan status hukum PPKT keseluruhan.11

Perumusan Perpres No. 78/2005 melibatkan sektor utama sebagai landasan


pembangunan PPKT diantaranya sumber daya alam beserta lingkungan, infrastruktur beserta
perhubungan, kewilayahan, pertahanan dan keamanan, ekonomi dan sosial yang melengkapi
kompleksitas pengembangan wilayah PPKT. Indonesia menerbitkan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPMJN) periode 2020-2024 sebagai pedoman pembangunan wilayah
nasional.12 RPMJN merupakan program strategis mewujudkan pembangunan dan
perencanaan nasional selama periode lima tahunan. Berpedoman pada RPMJN 2020-2024,
pembangunan berfokus pada peningkatan konektivitas, aksesibilitas wilayah, dan penguatan
keamanan PPKT termasuk Pulau Natuna sebagai peningkatan kedaulatan nasional.

7
Dhiana Puspitawati, Hukum Laut Internasional, cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 23.
8
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut), UU No. 17 Tahun 1985.
9
United Nations, “United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names”,
https://www.un-ilibrary.org/content/series/25227947, diakses 15 Maret 2022.
10
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, PP No. 62 Tahun
2010, Ps. 1 ayat (2).
11
Arif Sutiarnoto, “the Management of Indonesia’s Outermost Small Islands as A National Strategic
Region Based On Eco Marine Tourism” ANR Conference Series 01 (2018), hlm. 219.
12
Indonesia, Peraturan Presiden Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Perpres
No. 18 Tahun 2020.
Sebelumnya, rencana pembangunan PPKT diproyeksikan melalui RPMJN 2015-2019 dan
dilanjutkan pada periode 2020-2024.

Kebijakan pemerintah terhadap pembangunan dan pengelolaan bertujuan pada


pengembangan dan pemanfaatan PPKT seluas 2000 km² berdasarkan titik dasar koordinat
geografis yang terhubung dengan garis pangkal laut kepulauan. 13 Merujuk Perpres No.
78/2005, inisiasi bangsa mengupayakan pembangungan PPKT bersifat berkelanjutan dan
berbasis masyarakat. Pentingnya penguatan lembaga diantara pemerintah pusat dan daerah
terhadap suksesi pembangunan PPKT, memerlukan efektivitas sinergisitas pembangunan dan
kelembagaan yang mencakup sektor lingkungan, infrastruktur, pengembangan wilayah,
ekonomi, sosial dan pertahanan.

Regulasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem (UU No. 5/1990)
melengkapi fokus pengembangan PPKT membatasi unit lingkungan dan sumber daya melalui
pemanfaatan dan perlindungan sumber kekayaan hayati beserta ekosistem sebagai
perwujudan keseimbangan ekosistem laut.14 Aspek lingkungan PPKT identik dengan kegiatan
penelitian dan riset yang bermanfaat bagi peningkatan IPTEK nasional. Perlindungan
kawasan PPKT berbasis lingkungan menjamin berkembangnya ekologis kepulauan yang
berguna bagi kehidupan masyarakat pesisir.15 Terlebih, kualitas lingkungan PPKT bermanfaat
bagi ekosistem nasional, sehingga diatur larangan menyangkut subjek hukum melakukan
aktivitas terlarang khususnya perdagangan lintas pelayaran terlarang.

Peraturan pengelolaan lingkungan hidup (UU No. 23/1997) melindungi potensi


sumber daya hayati dan ekosistem yang diimbangi dengan wewenang pemerintah terhadap
pengelolaan lingkungan hidup yang berfokus pada proteksi lingkungan mencakup
pengawasan pengelolaan sebagai pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan. 16
Ketentuan ini mengedepankan pengendalian atas pemanfaatan sumber daya dan menghindari
timbulnya pencemaran lingkungan dan kerusakan ekosistem. Kemandirian dan integritas
masyarakat pesisir diwajibkan usahanya dalam menanggulangi pencemaran lingkungan untuk
mencapai tujuan pembangunan PPKT yaitu terwujudnya kelestarian lingkungan. 17 Praktis,
sasaran pembangunan nasional terhadap pengelolaan PPKT berbasis lingkungan
dimungkinkan tercapai seutuhnya, sepanjang implementasi peraturan nasional mencapai
tingkat efektifitas dan kemandirian yang maksimal.

13
Indonesia, Peraturan Presiden Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Perpres No. 78 Tahun
2005, Ps. 1 ayat (1).
14
Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No.
5 Tahun 1990, Ps. 3-5.
15
UU No. 5 Tahun 1990, Ps. 7.
16
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997, Ps. 8.
17
UU No. 23 Tahun 1997, Ps. 4.
Peranan aktivitas pelayaran berpengaruh terhadap konektivitas jalur maritim nasional
berdasarkan alur geografis PPKT berdasarkan ketetapan tentang pelayaran (UU No.
21/1992). Operasi pelayaran nasional bergantung pada penyelenggaraan navigasi yang
memadai di sepanjang alur kepulauan.18 Jangkauan PPKT yang terpadu, berbasis
kepelabuhan, aman, dan berkembang memaksimalkan perluasan pelayaran nasional dan
internasional yang menguntungkan secara ekonomis bagi negara. Indonesia dapat
mengintegrasikan pembangunan PPKT berdasarkan standar okupasi meliputi bangunan dan
instalasi mencakup keamanan, keselamatan, dan navigasi pelayaran. 19 Alur lintas dan rute
laut memberikan keamanan lalu lintas pelayaran dengan ditetapkannya kebutuhan operasi,
rute dan pemetaan hidrografi yang bermanfaat bagi kualitas jalur maritim.

Penetapan titik-titik PPKT berdasarkan konsep perairan nasional diatur melalui


ketetapan tentang perairan Indonesia (UU No. 6/1996) dan ketetapan pemerintah tentang
daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia (PP No. 38/2002).
Kedua instrumen hukum berfungsi menetapkan luas wilayah perairan nasional sebagai bagian
kedaulatan negara.20 Perairan nasional yang termaktub dalam UU No. 6 /1997, diperkuat
dengan perhitungan kondisi garis terluar wilayah PPKT berciri khas daerah yang dikelilingi
perairan sebagai batas terluar kepulauan. Konfigurasi titik terluar PPKT ditetapkan sebagai
batas terluar nasional meliputi lokasi dan letak PPKT dan besar luasnya wilayah daratan.
Perhitungan garis pangkal nasional diukur berdasarkan pembaharuan titik koordinat PPKT
secara keseluruhan dalam menentukan garis pangkal kepulauan.

Pemanfaatan wilayah PPKT tidak terlepas dari pentingnya efektifitas penataan ruang
sebagai pedoman pembinaan wilayah pembangunan yang diatur berdasarkan peraturan
tentang penataan ruang (UU No. 26/2007). Keanekaragaman struktur wilayah PPKT,
memerlukan pembinaan dan tata kelola strategis demi tercapainya pemanfaatan ruang.
Konsep penataan PPKT dipadukan dengan asas keseimbangan, keberlanjutan, terpadu untuk
memaksimalkan ruang wilayah.21 PPKT nasional dipertimbangkan sebagai dasar
pembangunan yang berpengaruh terhadap geopolitik dan geostrategi nasional. Terlihat,
bagaimana pembangunan pulau yang berdampingan dengan batas maritim negara lain
mempertimbangkan strategi pertahanan dan keamanan berdasarkan stabilitas kawasan.
Penataan PPKT diwujudkan berdasarkan besarnya potensi kawasan meliputi pertahanan dan
keamanan, ekonomi, teknologi, dan politik hukum untuk menegakkan wilayah kedaulatan
dan yurisdiksi nasional.22 Anasir potensi PPKT dilaksanakan berdasarkan kemampuan negara

18
Indonesia, Undang-Undang tentang Pelayaran, UU No. 21 Tahun 1992, Ps. 5.
19
UU No. 21 Tahun 1992, Ps. 8.
20
Indonesia, Undang-Undang tentang Perairan Indonesia, UU No. 6 Tahun 1997, Ps. 4.
21
Indonesia, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, Ps. 2.
22
UU No. 26 Tahun 2007, Ps. 6.
mengakomodir kebutuhan wilayah untuk memaksimalkan keunggulan dan meminimalisir
kekurangan wilayah pesisir.

Sektor pertahanan dan keamanan sebagai garda terdepan penegakkan hukum dan
kedaulatan PPKT diatur melalui peraturan tentang pertahanan negara (UU No. 3/2002).
Penyelenggaraan penegakan kedaulatan dilaksanakan melalui pengelolaan pertahanan yang
dibentuk berdasarkan kebijakan pertahanan nasional. Daya tangkal dan penangguhan
ancaman kedaulatan merupakan tujuan utama karakter pertahanan negara di PPKT khususnya
wilayah terluar yang berdampingan langsung dengan perairan internasional. PPKT
difungsionalkan kondisi dan tatanannya melalui perwujudan kesatuan pertahanan yang
berdaulat.23 Integrasi pelaksanaan pertahanan negara dilakukan melalui aparat penegak
hukum meliputi instansi TNI dan kepolisian. Ketentuan penegakan kedaulatan dan
pelaksanaan yurisdiksi dikolaborasikan kedua institusi penegakan hukum dengan
mengedepankan penghormatan dan keselamatan nasional.

Konsepsi penetapan wilayah perbatasan PPKT ditinjau berdasarkan wilayah laut


termasuk ruang udara dan wilayah daratan. Batas wilayah laut nasional terbagi atas perairan
teritorial, ZEE, dan landas kontinen. Penetapan batas perairan teritorial didasarkan pada
posisi dua negara yang berlawanan atau bersandingan diantaranya. Tidak ada satupun negara
memiliki hak kecuali disepakatinya perjanjian yang bertentangan diantara batas teritorial
diluar garis tengah yang dibatasi serta dua titiknya berjarak sama dengan titik garis pangkal
terdekat dari lebar laut teritorial.24 Penetapan batas teritorial dilakukan melalui pembuatan
peta berdasarkan penetapan titik koordinat wilayah, dan alasan sejarah yang dapat
mengesampingkan kedua metode penetapan sebelumnya. Lebar perairan teritorial terbatas
pada 12-mil laut berdasarkan garis pangkal lurus dan biasa. 25 Menurut UNCLOS, negara
diakui kedaulatannya sebagai negara pantai melalui jalur laut yang bersandingan dengan laut
teritorial mencakup daratan, laut pedalaman dan perairan kepulauan.

Penentuan perbatasan laut teritorial ditegaskan pasal 2-32 UNCLOS sebagai indikator
negara menetapkan titik pangkal dalam mengukur perairan teritorial. Garis pangkal lurus
ditetapkan melalui garis pantai yang masuk dan menikung dimana terdapatnya pulau-pulau di
sepanjang garis pantai yang berdekatan.26 Sedangkan garis pangkal biasa ditetapkan
berdasarkan rezim zona maritim meliputi ZEE, zona tambahan, dan landas kontinen.
Peraturan nasional menetapkan UU No. 6/1996 sebagai instrumen hukum penetapan batas
wilayah laut nasional. Laut teritorial Indonesia ditetapkan dari titik pangkal kepulauan

23
Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No. 3 Tahun 2002, Ps. 5.
24
UNCLOS 1982, Ps. 15.
25
UNCLOS 1982, Ps. 2.
26
UNCLOS 1982, Ps. 7.
nasional sebagai batas lurus yang menghubungkan batas terluar garis air rendah pulau dan
karang terluar kepulauan nasional.27

Selain hukum nasional yang menyelaraskan UNCLOS dan UU No. 6/1996, beberapa
kesepakatan internasional tentang batas zona teritorial yang melibatkan Indonesia dengan
negara lain telah dicapai dan dalam proses perundingan. Kesepakatan batas teritorial
merupakan inisiasi negara menetapkan zona maritim atas pengamanan PPKT di wilayah
terluar nasional:
1. Perjanjian batas maritim laut teritorial antara Indonesia dengan Malaysia tertanggal
17 Maret 1970 dan diratifikasi peraturan nasional tentang ditetapkannya garis batas
laut kedua negara di Selat-Malaka;28
2. Perjanjian antara Malaysia dan Indonesia serta diratifikasi pada 1983 tentang rezim
hukum nusantara dan hak negara Malaysia di perairan teritorial dan nusantara
beserta ruang udara di atas laut teritorial;29 dan
3. Perjanjian batas maritim laut teritorial Indonesia dan Singapura masih dalam proses
perundingan untuk segmen timur khususnya area delimitasi garis batas perairan
teritorial.

Batas zona ZEE menjadi bagian wilayah laut nasional yang berperan terhadap
penetapan status hukum PPKT. UNCLOS menetapkan ZEE sebagai wilayah terluar dan
bersandingan dengan perairan teritorial.30 Penetapan ZEE ditetapkan sejauh 200-mil laut yang
dihitung berdasarkan garis pangkal dari pengukuran perairan teritorial. Pengukuran dan
penetapan ZEE sangatlah penting, mengingat penetapan titik dasar ZEE dihitung berdasarkan
posisi PPKT suatu negara.31 Kondisi ZEE nasional yang luas dan dikelilingi PPKT,
melimpahkan keistimewaan negara memaksimalkan aktivitas pemanfaatan sumberdaya, dan
hak berdaulat. Kewenangan negara berpantai di ZEE ditegaskan pasal 56 Konvensi untuk
dimanfaatkan potensi sumberdaya alam dan bahari khususnya wilayah PPKT yang termasuk
cakupan 200-mil laut.
Indonesia menetapkan peraturan perundang-undangan tentang ZEE (UU No. 5/1983).
Peraturan tersebut menekankan pentingnya penegakan hukum di zona ZEE yang
berdampingan dengan negara lain berkaitan dengan kepentingan nasional bagi peningkatan
kesejahteraan dan pemanfaatan sumberdaya termasuk perlindungan atas kepentingan
27
Indonesia, Undang-Undang tentang Perairan Indonesia, UU No. 6 Tahun 1996, Ps. 5.
28
Indonesia, Undang-Undang tentang Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang
Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka, UU No. 2 Tahun 1971.
29
Indonesia, Undang-Undang tetang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Malaysia
Tentang Rejim Hukum Negara Nusantara dan HakHak Malaysia di Laut Teritorial dan Perairan Nusantara Serta
Ruang Udara Diatas Laut Teritorial, Perairan Nusantara dan Wilayah Republik Indonesia ynag Terletak di
Antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat, UU No. 1 Tahun 1983.
30
UNCLOS 1982, Ps. 55.
31
Massie, Cornelis Djelfie, hlm 138.
nasional. Negara mengharmonisasikan pengaturan ZEE nasional yang diklasifikasikan pada
pengelolaan sumberdaya di kawasan PPKT:
1. Peraturan perundang-undangan tentang perairan nasional;32
2. Peraturan perundang-undangan tentang perikanan;33
3. Peraturan perundang-undangan tentang konservasi sumberdaya hayati dan
ekosistem;34 dan
4. Peraturan perundang-undangan tentang penggunaan sumberdaya di ZEE nasional.35
Sebagai tindak lanjut penetapan UU No. 5/1983, konsepsi bangsa kepulauan yang
dengan keberadaan PPKT memperoleh pengakuan hukum internasional terhadap
perkembangan rezim ZEE diantaranya:36
1. Melindungi negara berpantai terhadap tindakan pemanfaatan sumber daya oleh
negara lain yang posisi geografisnya berdampingan dengan negara pantai;
2. Sumberdaya hayati yang berlimpah pada wilayah dimungkinkan pulih kembali,
namun pembatasan pemanfaatan dan pengelolaan perlu diterapkan untuk
menghindari eksploitasi diluar surplus; dan
3. Melindungi hak dan kepentingan nasional negara berpantai melaksanakan
pelestarian dan perlindungan laut termasuk dilakukannya kegiatan penelitian
maritim bagi ilmu kelautan.

Dalam menguatkan status hukum kawasan ZEE, pemerintah merundingkan


kesepakatan batas maritim ZEE dengan negara lain untuk menghindari pelanggaran batas
wilayah dan klaim pulau terluar yang berdampingan dengan batas maritim nasional:
1. Perjanjian batas maritim ZEE antara Papua Nugini dan Indonesia tertanggal 12
Februari 1973 dan diratifikasi oleh Indonesia pada 8 Desember 1973;37
2. Perjanjian batas maritim antara Indonesia dan Australia mencakup ZEE dan landas
kontinen dari laut selatan Jawa mencakup Pulau Christmas dan Ashmore.38
3. Perundingan batas maritim ZEE Vietnam dan Indonesia masih tahapan
perundingan terkait batas ZEE serta penarikan garis di LTS yang berfokus pada
kegiatan perikanan kedua negara; dan

32
Indonesia, Undang-Undang tentang Perairan Indonesia, UU No. 6 Tahun 1996.
33
Indonesia, Undang-Undang tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009.
34
Indonesia, Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Eksosistemnya, UU No. 5
Tahun 1990.
35
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Sumber Daya Alam di Zona Ekonomi Eksklusif,
PP No. 14 Tahun 1984.
36
Effendy Abdullah, Strategi Mengatasi Problematika Batas Perairan Negara Kepulauan Republik
Indonesia, cet.2, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2020), hlm. 116.
37
Indonesia, Undang-Undang tentang Perjanjian Antara Indonesia dan Australia Mengenai Garis-Garis
Batas Tertentu Antara Indonesia dan Papua New Guinea, UU No. 6 Tahun 1973.
38
Harmen Batubara, Pertahanan Kedaulatan di Perbatasan, cet. 2, (Bandung: Wilayah Pertahanan,
2017), hlm. 286
4. Memorandum of Understanding antara Indonesia dengan Australia perihal hak
penangkapan perikanan di wilayah terluar perairan Australia yang berbatasan
dengan PPKT nasional bagian timur Indonesia.39

Landas kontinen sebagai bagian penetapan wilayah laut nasional diartikan sebagai
bagian tepian kontinen diantara garis pantai dan patahan landas atau tidak terlihatnya
kemiringan diantaranya garis pantai dan titik kedalaman air diatasnya. 40 Merujuk Pasal 76
UNCLOS, batasan kontinen negara pantai terdiri atas perpanjangan dasar laut dari wilayah
darat negara berpantai termasuk dasar laut dan wilayah dibawahnya dari daerah bawah laut
terbentang di luar perairan teritorial sampai tepi luar kontinen sampai 200-mil laut dimana
tepi luar kontinen tidak mencapai jarak.41 Secara yuridis, Indonesia berhak menetapkan batas
terluar daratan kontinennya dimanapun tepian kontinennya melampaui batas dengan
menetapkan lereng kontinen.
Penentuan landas kontinen diantara negara yang berpantai yang saling berhadapan
diwajibkan melakukan persetujuan pengaturan landas kontinen dalam menghindari sengketa
batas.42 Pengaturan sementara dibentuk masing-masing negara untuk menghindari konflik
batas maritim yang dimungkinkan timbul akibat kegiatan nelayan lintas negara. UNCLOS
mempertegas penyelesaian penentuan landas kontinen dan ZEE melalui negosiasi atau
perundingan dengan memperhatikan hukum internasional serta memberikan asas
kemanfaatan bagi masing-masing negara. Kawasan PPKT yang tersebar dari wilayah barat ke
timur Indonesia memberikan potensi ditetapkan landas kontinen untuk mengukuhkan
kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya PPKT mencakup wilayah Pulau Papua menuju
wilayah utara Indonesia, wilayah pulau Sumba menuju wilayah selatan Indonesia, dan
wilayah Aceh menuju wilayah barat Indonesia.43
Indonesia memiliki peraturan nasional landas kontinen jauh sebelum terbentuknya
UNCLOS melalui peraturan perundang-undangan landas kontinen nasional (UU No. 1/1973).
UU No. 1/1973 dibentuk berdasarkan pedoman Geneva Convention 1958 yang secara
substantif berbeda dengan kodifikasi UNCLOS 1982. UU No. 1/1973 menekankan batas
kedalaman 200-meter untuk dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumberdaya sebagai hak
eksklusif negara atas kekayaan alam berdasarkan amanat konstitusi. Perkembangan
kompetensi UNCLOS perlu dimasukan pada RUU landas kontinen nasional untuk
mengembangkan muatan pengaturan hukum internasional yang bermanfaat bagi penarikan
39
Ida Kurnia, Kedudukan Negara-Negara Pada Zona Ekonomi Eksklusif Berdasarkan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut 1982, cet. 1, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 47.
40
Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS), the Continental Shelf,
https://www.un.org/depts/los/clcs_new/continental_shelf_description.htm, diakses 25 Maret 2022.
41
UNCLOS 1982, Ps. 76.
42
UNCLOS 1982, Ps. 83.
43
Massie, Cornelis Djelfie, hlm 154.
landas kontinen pada 350-mil laut.44 Disamping itu, Indonesia menyepakati kesepakatan
landas kontinen dengan negara lainnya, diantaranya:
1. Perjanjian Indonesia - Australia tertanggal pada 1971 dan diratifikasi oleh
Indonesia;45
2. Perjanjian Indonesia - India pada 1974 dan dirafitikasi Indonesia; 46
3. Perjanjian Indonesia - Malaysia pada 1969 dan diratifikasi Indonesia; dan47
4. Perjanjian Indonesia - Vietnam pada 2003 dan diratifikasi Indonesia.48

Selain penetapan batas PPKT berdasarkan wilayah laut, penetapan wilayah darat
merupakan bagian ditentukannya batas wilayah nasional antar negara. Penentuan batas darat
PPKT berbatasan dengan negara tetangga (Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste)
ditetapkan berdasarkan perbatasan yang terasing (alienated border), perbatasan yang hidup
berdampingan (coexistent border), perbatasan yang saling bergantung (interdependent
border), dan perbatasan terintegrasi (integrated border).49 Alienated border merupakan
wilayah perbatasan yang timbul akibat aktivitas agresi mencakup perang dan konflik serta
perbedaan ideologi. Kondisi ini timbul pada batas wilayah Indonesia - Papua Nugini yang
terjadi perang saudara sejak tahun 1965.50 Coexistent border merupakan wilayah perbatasan
konflik wilayah, namun dapat dikendalikan berkaitan dengan penguasaan konsesi
sumberdaya wilayah. Kondisi perbatasan ini timbul akibat melimpahnya kekayaan alam
untuk dikuasai negara seperti perbatasan Blok-Ambalat yang memiliki potensi migas terletak
di perbatasan tapal batas landas kontinen Indonesia - Malaysia.51
Interdependent border merupakan wilayah perbatasan yang memiliki tanda batas
berdasarkan hasil interaksi hubungan internasional. Perbatasan ini memberikan keuntungan
timbal balik bagi kedua negara yang berfokus pada tingkat kesejahteraan dan perekonomian
masyarakat pesisir. Konsep ini ditemui diantara perbatasan Entikong - Sarawak yang
berdampingan langsung dengan kehidupan penduduk perbatasan menjalani kebutuhan hidup

44
UNCLOS 1982, Ps. 76.
45
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Pemerintah
Commonwealth Australia Tentang Penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu, Keppres No. 42 Tahun 1971.
46
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Republik India tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara, Keppres No.
51 Tahun 1974.
47
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Pemerintah
Malaysia tentang Penetapan Garis-Garis Landas Kontinen Antara Kedua Negara, Keppres No. 89 Tahun 1969.
48
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Republik Sosialis Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen, UU No. 18 Tahun 2007.
49
Bangun, Budi Hermawan, “Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Negara: Perspektif Hukum
Internasional,” Tanjungpura Law Journal 1 (2017), hlm. 55.
50
Arya Damarjana, “Postur Kebijakan Perbatasan Indonesia – Papua New Guinea,” Jurnal Analisis
Hubungan Internasional 3 (2012), hlm. 108.
51
Bakhtiar, Aziz Ikhsan, “Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Ambalat
Menurut Hukum Laut Internasional,” Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 2015, hlm. 3.
berdasarkan interaksi jual beli atau perdagangan transnasional. 52 Sedangkan integrated
border merupakan perbatasan yang menyatu akibat intensifnya hubungan masyarakat kedua
negara. Konsep perbatasan ini ditemui kembali di perbatasan Sarawak - Entikong yang
terbentuk berdasarkan hubungan erat masyarakat akibat hubungan perdagangan dan ekonomi.
Penetapan perbatasan wilayah darat PPKT tertuang pada Undang-Undang Nomor 43
Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (UU No. 43/2008). UU No. 43/2008 menekankan
pentingnya pengelolaan wilayah darat PPKT sebagai batas kawasan terluar untuk dikelola
dan dikembangkan melalui:53
1. Perundingan dengan negara lain yang berbatasan langsung dengan pesisir daratan
PPKT berdasarkan hukum internasional dan nasional;
2. Penetapan kebijakan pengembangan dan pengelolaan kawasan perbatasan;
3. Membangun simbol batas di wilayah darat perbatasan;
4. Pendataan wilayah perbatasan yang berdampingan dengan negara lain termasuk
PPKT dan unsur geografisnya;
5. Membentuk peta wilayah kawasan perbatasan; dan
6. Pengamanan dan penegakan wilayah perbatasan.

Perbatasan darat tidak terlepas dari konflik dan penyelesaian penetapan batas wilayah.
Konsep stabilitas perbatasan atau border stability berperan terhadap antisipasi negara
menyelesaikan batas wilayah darat dengan negara lain. Konsep ini mengedepankan
terjaminnya stabilitas perbatasan terhadap proses penyelesaian batas wilayah. 54 Konsep ini
timbul pada wilayah perbatasan darat Indonesia dan Malaysia khususnya di Camar Bulan,
Kabupaten Sambas.55 Terhitung sejak 1980, wilayah perbatasan tersebut belum mencapai
kesepakatan kawasan perbatasan darat akibat perbedaan perspektif pengaturan batas wilayah
yang menghambat diselesaikannya perjanjian perbatasan. Penggunaan konsep ini perlu
dilakukan setiap negara yang wilayah daratannya berbatasan untuk mengendalikan stabilitas
dan hubungan masyarakat pesisir melalui harmonisasi pengaturan hukum. Konsep stabilitas
perbatasan diperkuat dengan prinsip hukum Uti Possidetis Juris yang merupakan penguasaan
negara terhadap wilayah atau teritori berdasarkan aspek historis penjajahan.56

52
Pusat Pengkajian dan Pengenbangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia, “Pembangunan Pelabuhan Daratan (Dry Port) di Entikong Kalimantan Barat,”
(Laporan disampaikan pada laporan akhir tentang Peluang Sinergi Perdagangan Lintas Batas Indonesia dan
Malaysia, Jakarta, November 2017), hlm. 38.
53
Indonesia, Undang-Undang tentang Wilayah Negara, UU No. 43 Tahun 2008, Ps. 10.
54
Massie, Cornelis Djelfie, hlm. 110.
55
Jayanti, Yustina Dwi, “Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Darat Antara Indonesia dan Malaysia
(Studi Kasus di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat),” Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum (2014), hlm.
4.
56
Harmen Batubara, hlm 213.
Indonesia bersepakat mengadakan perjanjian perbatasan darat dengan negara lain
guna mengantisipasi konflik perbatasan:
1. Perjanjian sementara perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste tertanggal
8 April 2005;57
2. Perjanjian perbatasan darat antara Indonesia dan Papua Nugini tertanggal 12
Februari 1973; dan
3. Nota kesepahaman perbatasan barat antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan
tahun 1978 (belum disepakati termasuk 10 titik perbatasan).58

Penetapan geografis PPKT mengalami pembaharuan berdasarkan pelaksanaan survei


dan pemetaan dalam menghitung total keseluruhan PPKT berdasarkan koordinasi
kementerian. Kegiatan survei dan pemetaan PPKT merupakan praktik negara melaksanakan
kewenangan hidrografi kelautan.59 Hidrografi terhadap identifikasi perbatasan darat dan laut
bermanfaat bagi identifikasi PPKT. Fokus utama hidrografi mengidentifikasi PPKT adalah
menentukan garis pantai melalui penempatan diantara perairan dengan daratan. 60 Cakupan
PPKT terdiri atas pulau besar dan kecil yang diakui sebagai perairan kepulauan. Pengakuan
perairan kepulauan merupakan istilah wilayah kelautan terhadap kepemilikan PPKT sebagai
bagian kedaulatan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Kelautan (UU No. 31/2014).
UU No. 31/2014 membahas terbentuknya citra negara kepulauan meliputi keberadaan
PPKT diantaranya daratan dan perairan kepulauan sebagai kedaulatan negara. 61 Konsepsi
PPKT cukup kompleks akibat kondisi geografis negara kepulauan bereksistensi perairan yang
luas. Rezim kepulauan nasional memperkuat ketetapan negara berdasarkan kondisi PPKT
yang diklasifikasikan sebagai pulau berdasarkan hukum internasional. Penetapan PPKT
merupakan tindakan praktik negara dalam menguasai dan menetapkan status hukum wilayah.
Persoalan status hukum menjadi kekhawatiran setiap negara mengamankan dan menguasai
wilayah terluar.
Praktik negara terhadap pembentukan peraturan nasional yang bersifat administratif
memberikan harapan masyarakat terhadap penetapan status hukum PPKT. Dengan
ditetapkannya instrumen hukum nasional sebagai dasar penetapan status hukum, kemampuan
negara mengakomodasi, verifikasi, dan mengembangkan kawasan tetap berpedoman pada
hukum internasional melalui UNCLOS sebagai konvensi yang otorisasikan pengaturan

57
Mutia Anggita, “the Agreement on the Land Boundary Between RI and Timor Leste: A Study of
Indonesian Border Diplomacy,” Jurnal Penelitian Politik 11 (2014), hlm. 23.
58
Muhammad, Simela Victor, “Masalah Perbatasan Indonesia – Malaysia,” Jurnal Hubungan
Internasional 3 (2011), hlm. 6.
59
UNCLOS 1982, Ps. 21.
60
Lubis, M. Zainudin, Pengantar Survei Hidrografi, cet. 1, (Bogor: IPB Press, 2017), hlm. 2-4.
61
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kelautan, UU No. 32 Tahun 2014, Ps. 5.
hukum laut dan penetapan batas maritim negara. Hukum internasional mengatur kepemilikan
pulau alami dan memberikan kepastian hukum negara pantai yang berciri khas kepulauan.
Penyesuaian hukum internasional dan nasional diperlukan negara dalam mengakomodir
penetapan status dan kepastian hukum keberadaan PPKT. Perjanjian perbatasan mendorong
terjaminnya integritas perbatasan wilayah dengan negara lain untuk mendorong
penghormatan wilayah negara. Penegakan kedaulatan PPKT nasional dapat dikuasai dan
dikembangkan sebagai tanggung jawab negara terhadap pengelolaan wilayah negara
berdasarkan mandat konstitusi negara.

2.2. Hakikat Kedaulatan Negara Negara Terhadap Penegakan Hukum Wilayah


Perbatasan Maritim
Negara berperan besar mewujudkan kedaulatan yang tangguh dalam menjaga dan
mempertahankan stabilitas wilayah kedaulatan. Pakar hukum internasional yaitu Mochtar
Kusumaatmadja berpendapat, kedaulatan merupakan sifat dan hakikat negara sebagai
kekuasaan tertinggi yang terbatas.62 Pendapat tersebut merupakan konsepsi yang
menimbulkan diskusi khusus masyarakat internasional atas “kekuasaan tertinggi”. Apabila
negara memiliki kekuasaan tertinggi sebagai elemen kedaulatan, maka hukum internasional
tidak mengikatkan sistem hukumnya kepada negara apabila negara merupakan kekuasaan
tertinggi yang tidak mengakui kedudukan kekuasaan tertinggi daripadanya. Pendapat tersebut
mempertegas konsepsi kedaulatan yang bercondong pada kekuasaan tertinggi negara yang
terbatas pada wilayah. Konsepsi kedaulatan diperkuat oleh prinsip kedaulatan nasional yang
dibatasi oleh wilayah sehingga timbul kewajiban penghormatan dan pengakuan wilayah
negara.63
Teori kedaulatan yang diinisiasikan Mochtar Kusumaatmadja berfokus pada
kedaulatan internal dan eksternal. Teori kedaulatan beliau selaras dengan pandangan Max
Huber yang menetapkan kedaulatan internal dan eksternal merupakan konsep “Nation State”
yang berfokus pada hak eksklusif dan personalitas hukum internasional. Konsepsi kedaulatan
internal dan eksternal menitikberatkan kewenangan negara secara eksklusif dalam
menjalankan kekuasaan terhadap pemenuhan hukum positif suatu negara.
Pemahaman khusus Indonesia terhadap konsep kedaulatan menitikberatkan pada
kondisi geografis nusantara. Indonesia mengartikulasikan kedaulatan sebagai kekuatan
mempertahankan wilayah teritorial. Wilayah perbatasan nasional mewujudkan pemenuhan
kedaulatan sebagai dasar hak dan kewenangan negara memanfaatkan dan menguasai teritori.
Konvensi menetapkan perairan teritorial sebagai kedaulatan negara pantai dengan tunduk
pada ketentuan hukum internasional.64 Di wilayah teritorial inilah, negara pantai yakni
62
Mochtar Kusumaatmadja, hlm. 16-17.
63
Sefriani, hlm. 27.
64
UNCLOS 1982, Ps. 2.
Indonesia menjalankan kekuasaan penuh kedaulatannya, sehingga konsepsi kedaulatan
maritim yang digaungkan oleh Ir. Soekarno sebagai “nation building” negara kepulauan,
selaras dengan pembangunan maritim yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya di titik
perbatasan.
Perspektif kedaulatan negara memberikan intuisi ruang maritim yang terhubung
dengan persepsi kedaulatan sehingga melahirkan teritorialisasi maritim. Negosiasi yang
dilaksanakan UNCLOS dilakukan selama tahapan konferensi yaitu UNCLOS-I tahun1956-
1958, UNCLOS-II tahun 1960 dan UNCLOS-III tahun 1973-1982 memperkenalkan rezim
kedaulatan negara memperpanjang pola kedaulatan laut sehingga menimbulkan sengketa
klaim wilayah laut sejak UNCLOS-I memposisikan ideasional kedaulatan yang
menghubungkan ruang maritim dengan identitas nasional untuk melengkapi kedaulatan dan
kemerdekaan negara.65 Negara maritim seperti Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia
merupakan negara tervokal terhadap penegakan kedaulatan maritim dan pelaksanaan hak
yurisdiksi.66
Selain memiliki keistimewaan wilayah geografis, negara maritim menimbulkan
konsepsi keamanan sebagai perwujudan kedaulatan. Tolak ukur keamanan ditinjau
berdasarkan pemahaman aktivitas penegakan hukum. Penegakan hukum mempengaruhi
kegiatan negara menanggapi setiap persoalan perbatasan wilayah. Praktik keamanan maritim
oleh negara pantai mempertimbangkan penguasaan laut menjadi tiga fonik yaitu: 67
a. Penguasaan wilayah laut oleh negara merupakan wilayah yang berkedaulatan penuh
atasnya;
b. Pemanfaatan wilayah laut oleh negara, terbatas pada hak dan kewenangan
berdasarkan hak berdaulat; dan
c. Wilayah laut memiliki yurisdiksi tertentu bagi negara.

Kepemilikan laut memberikan pemahaman bahwa wilayah laut suatu negara memiliki
kedaulatan penuh tetapi terbatas pada hak dan kewenangan. Kedaulatan negara maritim
berhubungan dengan kemampuan negara menjelajahi laut berdasarkan dua pendekatan yaitu
pendekatan kekuatan laut (sea power) dan sekuritisasi (securitization).68 Pendekatan sea
power berfokus pada kemampuan negara melaksanakan fungsionalitas kekuatan militer
dalam menegakan hukum. Skema tersebut merupakan perkembangan gagasan tradisionalis
terhadap keamanan yang mengaitkan negara sebagai aktor utama dan kekuatan laut sebagai
komponen utama. Sedangkan pendekatan securitization berpedoman pada kemampuan
65
Rebecca Strating, “Maritime Territorialization, UNCLOS and the Timor Sea Dispute,” Contemporary
Southeast Asia 40, (2018), hlm. 102.
66
UNCLOS 1982, Ps. 56.
67
Natalie Klein, Maritime Security and the Law of the Sea, ed. 1, (United Kingdom: Oxford University
Press, 2011), hlm. 37.
68
Agastasia, I.G.B. Dharma, Maritime Security in the Indo-Pacific, cet. 1, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2016), hlm. 4-7.
negara menyediakan kebijakan pertahanan untuk mengamankan wilayah laut berdasarkan
ketentuan hukum internasional dan nasional.

Amanat konvensi terhadap kedaulatan negara termaktub secara inklusif pada perairan
kepulauan, teritorial, dan pedalaman. Perairan kepulauan menurut UNCLOS merupakan
perwujudan kedaulatan negara maritim menggunakan alur laut di sepanjang perairan
kepulauan dengan memperhatikan keselamatan navigasi, alur laut, dan skema pemisah lalu
lintas terhadap lintas kapal.69 Ketentuan alur laut dan skema pemisah lalu lintas di perairan
teritorial merupakan hak negara maritim yang bersifat penuh. Kedaulatan negara maritim
diatur untuk menetapkan batas perairan teritorial negara tidak melebihi batas dua belas-mil. 70
Kedaulatan negara maritim memiliki hak penuh di perairan teritorial. Pengaturan batas
teritorial melahirkan kewajiban internasional atas penghormatan hak lintas damai
berdasarkan Pasal 17 UNCLOS. Berdasarkan konvensi, negara berkonsep kepulauan
memegang keistimewaan menetapkan perairan pedalaman berdasarkan Pasal 8 UNCLOS.
Suatu negara dapat menetapkan batas perairan pedalaman sepanjang pantai dan alur
kepulauan, sehingga menghasilkan persamaan wilayah berdasarkan sisi darat negara.71

Kedaulatan berekuivalen dengan hak berdaulat melaksanakan kewajiban negara. Hak


berdaulat negara maritim melingkupi ZEE dan landas kontinen. Negara pantai menyandang
hak berdaulat melaksanakan pemanfaatan wilayah laut meliputi eksplorasi dan eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan kekayaan laut dari perairan diatas dan dari dasar laut berkenaan
dengan eksplorasi dan eksploitasi.72 Ekspansi hak berdaulat ZEE negara pantai tidak dapat
melebihi 200-mil dari lebar perairan teritorial, sehingga hak berdaulat terbatas pada jarak
yang ditetapkan. Selain ZEE, hak berdaulat negara maritim ditetapkan melalui batas landas
kontinen. Negara maritim menetapkan hak berdaulat negara pantai terhadap batas landas
kontinen yang memanjang dari daratan pantai sampai jarak 200-mil dan tidak melebihi batas
luar sejauh 350-mil laut.73 Landas kontinen memungkinkan mengalami perluasan alami
daratan sampai ke tepi luar batas atau sampai jarak 200-mil dari perairan teritorial. Hak
berdaulat negara di landas kontinen bertujuan melindungi sumber kekayaan laut sebagai
bagian yurisdiksi negara pantai.

Hukum internasional sebagai sistem hukum yang mengatur hubungan antar negara,
memberikan makna kedaulatan tidak terbatas pada kekuatan militer dan perang. Aspek
pendukung lainnya merupakan bagian kedaulatan yang tidak terpisahkan bagi suatu negara.
Seorang negarawan asal Inggris yaitu Sir Walter Raleigh beranggapan bahwa pendekatan

69
UNCLOS 1982, Ps. 22.
70
UNCLOS 1982, Ps. 3.
71
UNCLOS 1982, Ps. 8.
72
UNCLOS 1982, Ps. 56.
73
UNCLOS 1982, Ps. 76.
yang dilakukan negara terhadap perwujudan penegakan hukum maritim tidak hanya
bergantung pada kekuatan laut, tetapi perdagangan lintas perairan (seaborne trade) dan geo-
politik global berpengaruh terhadap penegakan kedaulatan negara. Karenanya, konsep
kedaulatan negara maritim melingkupi berbagai faktor perwujudan dan tidak berfokus
tunggal pada persoalan militerisasi. Kedaulatan negara maritim memerlukan konteks
hubungan antar negara sebagai sistem hukum internasional yang mengatur hubungan
internasional.

Kedaulatan berdasarkan hukum internasional dibahas pada Konferensi Den Haag


1930. Konferensi tersebut memfokuskan ketetapan negara mengatur kedaulatan melingkupi
batas laut teritorial mencakup dasar laut dan tanah dibawahnya, permukaan laut, dan wilayah
udara diatasnya berdasarkan keberlakukan rezim hukum kedaulatan penuh. Sebagaimana
konseptual penetapan wilayah laut, Konferensi Den Haag 1930 diperbaharui melalui
Konferensi PBB Hukum Laut 1958. Penetapan laut teritorial sebagai bagian kedaulatan
didukung oleh negara-negara maritim untuk dikembangkan sebagai doktrin hukum laut. 74
Konferensi PBB Hukum Laut 1958 dikodifikasikan melalui UNCLOS-1958 menegaskan
wewenang negara pantai di laut teritorial mencakup pengawasan, penegakan, dan
membangun pertahanan.

Pandangan masyarakat internasional terhadap kedaulatan menimbulkan krisis


multilateralisme hubungan antar negara.75 Konsekuensi kewajiban negara pantai melindungi
hak wilayah perbatasan mengidahkan kerjasama batas maritim dan melakukan inisiatif
sepihak terhadap kedaulatan yang bertentangan dengan konvensi dan Piagam PBB. Mengkaji
pentingnya inisiatif antar negara, berguna bagi kepentingan masyarakat lokal dan global.
Sebagai contoh, persoalan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya terlarang di perairan
Natuna yang dilakukan negara lain berpotensi menimbulkan instabilitas kedaulatan negara
kawasan. Akibatnya, urgensi isu batas maritim berpotensi timbul atas dampak aktivitas
eksplorasi terlarang. Hak wilayah perbatasan wajib dilindungi melalui pembentukan
instrumen hukum dalam memaksimalkan penegakan dan praktik hukum.

Pentingnya multilateralisme terhadap penegakan kedaulatan negara dibutuhkan untuk


meminimalisir kekuasaan berdaulat tanpa batas. Secara limitatif, Konvensi Montevideo 1933
menuangkan persamaan kedaulatan diantara negara sebagai hak dasar melaksanakan
hubungan internasional.76 Secara absolut, fungsi negara diatur berdasarkan hak kebebasan
dan kemerdekaan tanpa intervensi asing. Kedaulatan menurut konvensi sejalan dengan
74
Wagiman dan A.S. Mandagi, Terminologi Hukum Internasional, cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika,
2016), hlm. 269.
75
Ribeiro, Marta Chantal et al., Global Challenges and the Law of the Sea, ed.2, (Switzerland: Springer
Nature Switzerland, 2020), hlm. 3-6.
76
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, (1933), hlm.
4, Ps. 4.
pembukaan konstitusi nasional yaitu diakuinya kemerdekaan negara memperoleh pengakuan
masyarakat internasional sebagai negara berdaulat.77 Pengakuan masyarakat wilayah
perbatasan menjadi indikator negara mengembangkan potensi kawasan. Posisi negara yang
berdampingan dengan perbatasan daratan dan laut, mengemban tugas menegakkan
kedaulatan negara. Tugas dan tanggung jawab negara menegakkan hukum wilayah
perbatasan berpedoman pada kekuasaan negara. Kekuasaan negara terhadap kedaulatan perlu
memperhatikan hak dasar negara berdasarkan persamaan kedaulatan, kemerdekaan,
yurisdiksi, dan hak mempertahankan diri.

2.3. Pembangunan Infrastruktur Militer Sebagai Peningkatan Kapasitas Penegakan


Hukum Wilayah Perbatasan PPKT

Kedudukan negara berdaulat memiliki kepentingan dan tujuan nasional untuk


mencapai efektifitas pengamanan wilayah perbatasan melingkupi pertahanan dan keamanan.
Negara berdaulat menyimpan persamaan kedaulatan yang melahirkan kewajiban atas
penghormatan wilayah dan kekuasaan negara lain dalam kehidupan internasional yang
menjunjung tinggi perdamaian.78 Wilayah negara sebagai bagian kedaulatan, menjamin
kesejahteraan dan kepastian hukum rakyat melakukan hak berdaulat sepanjang diatur hukum
internasional dan nasional. Seorang pengamat militer yaitu Paul Whelan menulis kajian
pertahanan berjudul “Generational Change: Implications for the Development of Future
Military Leader,” mengungkapkan keterlibatan negara menjaga kedaulatan wilayah
perbatasan bertransisi dari kemungkinannya perang menjadi upaya partisipasi bersama
mencapai operasi perdamaian global.79 Pendekatan negara terhadap upaya peningkatan
kedaulatan yang mengalami transisi berdasarkan fungsi hukum internasional dianggap
sebagai hasil sistem hubungan antar negara.

Berbagai negara beserta wilayah dan kekuatan pertahanan besar, memberikan


pemahaman negara yang secara geografis diuntungkan untuk menguasai wilayah. Pengamat
militer asal negeri Paman Sam yaitu Thomas W. Mcshane berpendapat dalam “Guide to
National Security Policy and Staretgy, U.S. Army War College” bahwa perkembangan dan
evolusi hukum internasional berkembang ke suatu tingkat dimana kedaulatan sebagai prinsip
pengorganisasian hubungan internasional menjadi komponen penting dari sistem hukum

77
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
78
Syaiful Anwar, Melindungi Negara, cet.1, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2016), hlm. 6.
79
Paul Whelan, “Generational Change: Implications fot the Development of Future Military Leaders,”
Partnership for Peace Consortium of Defense Academies and Security Studies Institutes 5, (2006), hlm. 161.
internasional.80 Konotasi negara besar identik dengan kekuatan militer memberikan pengaruh
terhadap dunia internasional khususnya bidang diplomasi, pertahanan dan ekonomi.

Untuk mempertahankan integritas kedaulatan wilayah perbatasan, diperlukan upaya


perlindungan melalui pertahanan dan keamanan dalam menjaga wilayah negara sebagai
bentuk kepentingan nasional. Sistem internasional yang berfokus pada hubungan antar
negara, mengantarkan posisi negara menjaga kedaulatan berdasarkan instrumen diplomasi
yang bergerak di garda terdepan mempertahankan hubungan antar negara melalui instrumen
militer sebagai perumusan strategi, upaya, dan sasaran pertahanan melindungi wilayah
negara. Penting bagi negara merumuskan kebijakan terkait penegakan kedaulatan, kolaborasi
instrumen diplomasi dan militer dalam mengaktualisasikan perlindungan wilayah perbatasan
dan perdamaian global.

Analis pertahanan dan keamanan nasional yaitu Dr. Connie Rahakundini Bakrie
mengekspresikan kepentingan nasional sebagai pengendali utama perilaku negara dalam
tatanan politik internasional.81 Identitas nasional terikat terhadap perilaku negara menjalin
hubungan antar negara yang menentukan arah kebijakan dalam mencapai objektivitas politik
internasional. Terdapat negara besar yang memiliki pengendali utama dalam suatu kawasan
yang mempengaruhi kedaulatan wilayah perbatasan, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok.
Kedua negara memberikan posisi mengkhawatirkan bagi negara di kawasan Indo-Pasifik dan
LTS. Aktivitas kedua negara di kawasan strategis tersebut, menjadikan negara maritim
seperti Indonesia memanfaatkan peluang meningkatkan strategi penegakan hukum dan
pengamanan wilayah perbatasan melalui militer dan diplomasi dalam meningkatkan
pengaruh terhadap stabilitas wilayah perbatasan.

Kekuatan nasional negara tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan aspek militer.


Praktiknya, ancaman wilayah perbatasan negara yang timbul merupakan kombinasi
instrumen diplomasi, ekonomi, dan hukum. Penting kiranya bagi negara, mengusulkan
strategi pertahanan yang strategis menghadapi ancaman wilayah dengan memperhatikan
ketentuan hukum yang berlaku. Upaya pertahanan maritim merupakan simbolisme kehadiran
negara menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Persepsi integrasi bangsa merupakan
operasi khusus pertahanan negara melindungi bangsa yang berdaulat dalam mewujudkan
keamanan nasional.82 Prinsip hukum internasional yang mencakup kebiasaan internasional,
hukum nasional, demokrasi, dan lingkungan hidup merupakan pedoman perwujudan prinsip
pertahanan negara.83 Artinya, komponen militer tidaklah cukup mewujudkan prinsip

80
J. Boone Bartholomees et al., Guide to National Security Policy and Strategy, ed. 2, (United States:
U.S. Army War College, 2006), hlm. 43
81
Agastasia, I.G.B. Dharma.
82
Syaiful Anwar, hlm. 53.
83
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pertahanan Negara, UU No. 3 Tahun 2002, Ps. 3 ayat (1).
pertahanan negara secara tunggal. Kelangsungan hidup dan eksistensi bangsa dipengaruhi
oleh kemampuan negara memahami dan menguasai kondisi wilayah perbatasan negara
khususnya geografis.84

Stabilitas kawasan merupakan situasi atau keadaan ideal negara menjalankan fungsi
wilayah negara berdasakan aspek kehidupan berbangsa. Negara maritim yang dikelilingi
kepulauan merupakan kondisi ideal negara memperkuat kekuatan pertahanan dalam
memaksimalkan wilayah perbatasan. Pembatasan limitatif negara terhadap perairan laut,
melahirkan kewajiban pemaksimalan kekuatan sebagai kepentingan nasional. Kebijakan
negara terhadap pengembangan Angkatan Laut tidak berfokus tunggal pada modernisasi
alutsista. Kompleksitas penjaminan kedaulatan negara mencakup stabilitasnya jalur
perdagangan laut dan navigasi. Untuk memaksimalkan cakupan perairan maritim yang aman,
pengembangan Angkatan Laut membangun pangkalan militer terintegrasi dibutuhkan sebagai
wujud kehadiran negara menjaga dan melindungi teritori laut.

Terdapat karakteristik ditentukannya pembangunan pangkalan militer Angkatan Laut


yang berpotensi dilakukan oleh negara diantaranya kondisi geografis, potensi sumber daya
alam, dan karakteristik pemerintahan.85 Posisi geografis berpengaruh terhadap proyeksi
pembangunan pangkalan militer negara maritim. Dalam menjalankan penyelenggaraan
kedaulatan negara, fungsi-fungsi militer dan peperangan merupakan strategi utama negara
menyelenggarakan postur pertahanan negara.86 Kawasan geografis menentukan metode dan
proyeksi pembangunan pembangunan militer yang ideal berdasarkan opsi strategi pertahanan
menghadapi ketidakpastian wilayah perbatasan. Selain kondisi geografis, karakteristik
potensi kekayaan alam menjadi pertimbangan negara memproyeksikan infrastruktur
pertahanan. Kapasitas alam PPKT menjadi sasaran negara asing mengekploitasi demi
kepentingan ekonomi nasional.

Sumber daya alam merupakan fokus negara maritim memperoleh nilai ekonomis
terhadap peningkatan ekonomi nasional.87 Negara dengan dominasi wilayah laut,
menegakkan kedaulatan melalui pembangunan pangkalan militer dalam melindungi sumber
daya seperti perikanan, migas, dan ekosistem bahari. Karakteristik terakhir yang signifikan
adalah fungsi pemerintahan. Kepentingan negara mengelola laut dituangkan pada kebijakan
maritim nasional. Melalui kebijakan maritim, negara mengatur perangkat realisasi
84
Hermina Manihuruk, “Strengthening the State Defense System of the Republic of Indonesia through
Implementation of the State Defense Policy,” Udayana Journal of Social Sciences and Humanities 5, (2021),
hlm. 2-3.
85
Astika, I made Jiwa et al., “Measurement of Indonesian Naval Base Development in a Border Area,”
International Journal of Applied Engineering Research 13, (2018), hlm. 1561.
86
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, “Pengembangan Postur Pertahanan Militer Guna
Mendukung Terwujudnya Poros Maritim Dunia,” Wira Jurnal 59, (2016), hlm. 17.
87
Tri Sulistyaningtyas, Sinergitas Paradigma Lintas Sektor di Bidang Keamanan dan Keselamatan Laut,
cet. 1, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015), hlm. 193.
pembangunan wilayah berdasarkan pertimbangan anggaran, tujuan, dan wewenang
pemerintahan terhadap implementasi kebijakan. Sinergi otoritas pemerintahan terhadap
suksesi pembangunan kekuatan Angkatan Laut penting dalam realisasi pengelolaan maritim.
Berikut ini adalah pilar kebijakan maritim Indonesia dalam mewujudkan identitas kelautan
nasional:88

a. Pengembangan sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya kelautan;


b. Pertahanan dan keamanan serta penegakan hukum dan keselamatan kelautan;
c. Kelembagaan dan tata kelola kelautan;
d. Infrastruktur, ekonomi, dan kesejahteraan;
e. Perlindungan lingkungan kelautan dan pengelolaan ruang laut;
f. Diplomasi maritim; dan
g. Budaya bahari

Kebijakan negara mewujudkan kekuatan maritim berimplikasi pada kawasan yang


berdampingan. Setiap negara wajib menaati praktik pengembangan kekuatan pertahanan
berdasarkan prinsip Piagam PBB yaitu perwujudan perdamaian dan keamanan
internasional.89 Negara berhak mempertahankan wilayah negaranya dari ancaman kedaulatan.
Konteks hak melindungi kedaulatan wilayah merupakan tanggung jawab negara menjaga
integritas wilayah perbatasam. Penulis sastra kontemporer yang melahirkan pendirian The
Review of Contemporary Fiction 1981 yaitu John O’brien, menyatakan tindakan pencegahan
negara dalam mempertahankan kedaulatan wilayah memerlukan prinsip proposionalitas
dalam melaksanakan hak negara terhadap integritas wilayah. 90 Pendapat John O’brien
berimplikasi pada karakteristik pembangunan infrastruktur militer yaitu asas proposionalitas
yang berfokus pada peranan pemerintahan terhadap penegakan kedaulatan dan penggunaan
kekuatan Angkatan Laut terhadap pengamanan wilayah perbatasan. Keseimbangan
pelaksanaan hak dan kewajiban pengamanan wilayah pesisir menjadi fokus kelembagaan
negara memanfaatkan potensi dan penegakan hukum di titik perbatasan dengan
memperhatikan keabsahan hukum.

Negara maju menerapkan pembangunan infrastruktur militer untuk meningkatkan


kapasitas penegakan hukum berdasarkan kondisi geografis yang dimungkinkannya penguatan
pertahanan. Singapura sebagai negara kepulauan, menetapkan pangkalan militer diantaranya
“Changi Naval Base” dan “Tuas Naval Base”.91 Pembangunan “Changi Naval Base” tahun
2004 diinisiasikan oleh Perdana Menteri Singapura, yaitu Goh Chok Tong. Pangkalan
88
Indonesia, Peraturan Presiden tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, Perpres No. 16 Tahun 2017.
89
Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Charter, (1945), hlm. 6, Ps. 2.
90
John O’brien, International Law, ed. 1, (United Kingdom: Cavendish Publishing Limited, 2001), hlm.
683.
91
Singapore Government, Naval Bases, https://www.mindef.gov.sg/web/portal/navy/assets/naval-bases/,
diakses 18 Maret 2022.
diproyeksikan Singapura dalam mengakomodasi kebutuhan negara mencakup area seluas 86
hektar dan ruang berlabuh seluas 6,2 kilometer. Sedangkan, pangkalan Angkatan Laut “Tuas
Naval Base” resmi dibuka pada 1994, berlokasi di barat Singapura, seluas 28 hektar dan
ruang belabuh seluas 2 kilometer. Kedua pangkalan militer Angkatan Laut Singapura
distrategiskan sebagai optimalisasi penegakan kedaulatan maritim Singapura yang
berdampingan dengan batas maritim negara ASEAN.

Selain Singapura, negara Malaysia turut membangun pangkalan militer terletak di


Lumut (Perak), Tanjung Gelang (Kuantan), dan Pulau Labuan. 92 Pemerintah Malaysia
membangun pangkalan militer di Lumut, Perak tahun 1984 sebagai pangkalan armada utama.
Pangkalan lainnya terletak di Tanjung Gelang, Kuantan di pantai timur semenanjung
Malaysia yang rampung tahun 1981. Pangkalan Tanjung Gelang, diproyeksikan sebagai
garda penjagaan dan pelaksanaan wewenang lintas kapal dari semenanjung Malaysia dan
keluar dari Sabah dan Serawak. Malaysia melakukan perluasan tanggung jawab terkait
peningkatan kedaulatan maritim dan perubahan pengaturan keamanan regional. Pangkalan
militer di perbatasan Pulau Labuan terletak 6 mil di lepas pantai barat laut di luar teluk
Brunei Darussalam merupakan realisasi Malaysia terhadap perluasan tanggung jawab
regional.93 Wilayah Pulau Labuan yang strategis di LTS, menjadikan potensi besar kekayaan
alam sebagai tonggak proyeksi pembangunan infrastruktur militer negeri kelantan.
Peningkatan militerisasi Malaysia berfokus pada operasi pengamanan di Selat Malaka dan
LTS sebagai bagian jalur perdagangan internasional yang memerlukan perlindungan
kedaulatan sepanjang ZEE. Urgensi Malaysia terhadap proyeksi infrastruktur militer
ditekankan pada penguatan stabilitas kawasan regional yang menimbulkan kekhawatiran
Malaysia terhadap batas maritim yang memiliki tingkat sengketa maritim yang besar.

Negara Taiwan mengantongi persoalan teritorial LTS dengan membangun pangkalan


militer sebagai peningkatan kedaulatan perbatasan. Pemerintah Taiwan membangun fasilitas
militer laut utama di wilayah perbatasan Kenting bagian semenanjung Hengchun, pelabuhan
Suao, dan Keelung. Infrastruktur militer diperluas dengan dimilikinya pangkalan di wilayah
Anping, Hsinchu, Hualien, Tamshui, dan Wu Chi. 94 Pada 2002, Taiwan membangun
pangkalan tambahan untuk menampung kapal selam yang ditempatkan di sepanjang pantai
timur untuk mengantisipasi pelanggaran batas maritim di perairan yang berdampingan
dengan LTS. Kebijakan pertahanan Taiwan merupakan tanggapan serius atas persepsi

92
Global Security, Royal Malaysian Navy,
https://www.globalsecurity.org/military/world/malaysia/navy.htm, diakses 18 Maret 2022.
93
Bashiran Begum dan Nor Asiah Mohamad, “Labuan: Its Legal History and Land Tenure System,”
Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 82, (2009), hlm. 18.
94
Global Security, Taiwan Naval Bases, https://www.globalsecurity.org/military/world/taiwan/naval-
base.htm#:~:text=Taiwan%20has%20major%20naval%20facilities,with%20helicopters%20operating%20from
%20destroyers., diakses 18 Maret 2022.
ancaman dan pergeseran pendekatan militer Tiongkok kepada Taiwan yang rentan konflik
lintas selat.95

Negara Filipina sebagai negara maritim dan kepulauan yang cukup luas,
mengantisipasi ancaman dan pelanggaran kedaulatan maritim nasional melalui pembangunan
pangkalan militer. Filipina memiliki pangkalan Angkatan Laut Rafel Ramos terletak di Kota
Lapu-Lapu, Cebu.96 Lokasi tersebut merupakan lokasi perbatasan strategis dan ideal bagi
Filipina memaksimalkan kapasitas Angkatan Laut mengawasi perairan selatan dan utara.
Infrastruktur diperbaharui melalui sistem drainase dan dermaga untuk memenuhi kebutuhan
kapal militer sebagai inventarisasi Angkatan Laut Filipina. Tujuan utama Filipina terhadap
infrastuktur militer adalah reformasi pertahanan dan efektifitas strategi maritim. 97 Reformasi
pertahanan Filipina berimplikasi pada penguatan wilayah utara kawasan yang mengalami
dampak atas perluasan LTS. Keputusan Filipina menguatkan unsur pertahan merupakan
bentuk pelaksanaan sektor kekuatan laut (sea power) dan sekuritisasi (securitization)
kedaulatan perbatasan.

Kedaulatan negara maritim berhubungan dengan kekuatan laut sebagai aktor


penegakan hukum. Infrastruktur militer memaksimalkan tugas Angkatan Laut, merealisasikan
pendekatan kekuatan dan pengamanan. Pendekatan kekuatan laut merupakan pendekatan
negara menghadapi persoalan kemaritiman, tetapi tidak mempertimbangkan kebijakan atau
tindakan dalam memprioritaskan keamanan maritim. Pendekatan pengamanan berfokus pada
kebijakan negara menyediakan strategi pengamanan wilayah laut berdasarkan pertimbangan
keputusan aktor internasional, baik negara ataupun bukan negara. Strategi negara terhadap
infrastruktur militer dilakukan berdasarkan strategis kebijakan maritim. Kebijakan
pembangunan pertahanan merupakan hasil pengkajian lembaga negara terhadap beberapa
potensi wilayah dan kawasan melingkupi pertahanan, ekonomi, hukum, dan sosial.
Percepatan pembangunan infrastruktur militer merupakan fokus negara berdaulat untuk
mengamankan wilayah dengan prinsip pertahanan Indonesia yang bercondong pada tindakan
membela diri (defense).

Sea
Control

95
Arthur S. Ding dan Paul A. Huang, “Taiwan’s Paradoxical Perceptions of the Chinese Military,”
China Perspectives 4, (2011), hlm. 43.
96
Republic of the Philippines News Agency,Maritime
Cebu Naval Base Ideal for PN’s Frigates, Large Ships,
Power
Deterrence
https://www.pna.gov.ph/articles/1040953, diakses 18Sovereignty
Maret 2022. Estimation
97 Strategy“Implementing the Philippine Defense Reform
Severino V. T. David dan Aaron C. Taliaferro,
Program in Partnership with US Department of Defense Support of Philippine Defense Institutions,” Journal of
Indo-Pacific Affairs Summer, (2019), hlm. 17.

Maritim
e
Gambar 2: Diagram Strategi Kedaulatan Perbatasan Maritim

Idealnya, strategi negara menegakkan kedaulatan perbatasan maritim memperhatikan


keempat elemen untuk memaksimalkan pembangunan infrastruktur militer wilayah
perbatasan. Strategi kedaulatan maritim merupakan konsep pertahanan sebagai visi negara
melindungi wilayah perbatasan maritim. Praktik keamanan maritim bertujuan
menyeimbangkan kekuatan laut yang dibentuk secara menunjang. 98 Strategi kedaulatan
maritim bertujuan tercapainya keamanan kawasan berdasarkan tindakan, penegakan, dan
pengawasan dalam menghalangi indikasi ancaman pelanggaran integritas wilayah.
Penguasaan wilayah laut merupakan visi utama negara maritim menjelajah dan menguasai
perairan.

Dalam mendukung infrastruktur militer, teknologi pangkalan militer seperti


perkembangan teknologi informasi dan pengawasan seperti radar dibutuhkan negara maritim
semacam Indonesia. Infrastruktur maritim didukung penyelenggaraan fungsi pembekalan,
berlabuh, pembinaan pangkalan, dan logistik. 99 Infrastruktur maritim dianggap sebagai
kewajiban negara pantai mendukung operasional Angkatan Laut memaksimalkan pertahanan
maritim. Penyelenggaraan fungsi pembekalan berfokus pada pengadaan (logistik),
pengendalian, dan penyaluran armada Angkatan Laut melaksanakan tugas pengamanan dan
penegakan hukum. Fungsi fasilitas berlabuh dilakukan melalui pembangunan landasan kapal
perang, pesawat tempur, dan pelengkap patroli militer yang berfungsi sebagai tempat
berlabuh Angkatan Laut. Fungsi pembinaan berfokus pada jaminan suksesi pembangunan
pangkalan militer sebagai sarana penegakan kedaulatan maritim.

Maritime
Infrastructure

98
Indonesian Navy, “Indonesian Naval Power to Achieve the Global Maritime Fulcrum,” the Horizon
Military
Magazine of the Indonesian Navy Base
3, (2020), hlm. 6. Supplies Facility
99
Construction
Dr. Marsetio, A World Class Indonesian Navy: The New (Logistic)
Paradigm, ed.2, (Jakarta: Indonesian Navy
Head Quarters, 2014), hlm. 47.
Gambar 3: Diagram Ideal Pembangunan Infrastruktur Militer

Kemampuan militer menjadi komponen utama pendukung proses penegakan hukum.


Kedaulatan maritim bersifat mutlak, sehingga efektifitas Angkatan Laut meliputi sarana dan
prasarana termasuk pangkalan militer menjangkau wilayah pelanggaran maritim merupakan
komponen utuh. Postur pertahanan negara maritim merupakan syarat utama kebijakan
permbangunan insfrastruktur militer secara optimal. Pencegahan strategi turut menjadi bagian
utama Angkatan Laut melalui berbagai diplomasi pertahanan yang berfungsi mengadakan
kerjasama dan koordinasi penegakan hukum perbatasan dalam mewujudkan perdamaian.
Sehingga, posisi internasional dalam menghormati persamaan kedaulatan dapat terjamin
berdasarkan interaksi hukum internasional sebagai sistem hubungan antar negara. Kapasitas
kekuatan maritim, memainkan kemampuan negara memanfaatkan angkutan kelautan yang
kuat menjelajahi perairan dan menguasai jalur ekonomi global. 100 Struktur pembangunan
infrastruktur militer bermanfaat bagi keamanan nasional negara khususnya wilayah pesisir
yang rentan terganggungnya stabilitas kawasan akibat pelanggaran wilayah.

Dalam mencapai fungsi pertahanan negara yaitu keamanan nasional, inisiasi negara
memperkuat infrastruktur militer menjaminkan perlindungan terhadap komponen penegakan
hukum diantaranya keamanan fisik, ekonomi, politik, lingkungan, dan sumber kekayaan
alam.101 Keamanan fisik merupakan dimensi utama penegakan hukum yang berpusat pada
kehadiran aparat militer dalam melaksanakan mobilisasi pencegahan dan perlindungan
ancaman wilayah yang berpotensi menganggu kelangsungan hidup masyarakat dan kondisi
wilayah pesisir. Pentingnya sarana infrastruktur yang terjangkau, memungkinkannya
perlindungan maksimal wilayah dan masyarakat terhadap potensi pelanggaran kedaulatan.
Keamanan fisik mengedepankan integritas teritorial mencakup ancaman internal dan
eksternal. Instrumen negara merespon ancaman keamanan fisik meliputi penangkalan,
diplomasi, dan pencegahan. Membangun keamanan negara membutuhkan penguatan

100
Chappy Hakim, Pertahanan Indonesia: Angkatan Perang Negara Kepulauan, cet.1, (Indonesia: Red
& White Publishing, 2011), hlm. 54.
101
AB Susanto, Manajemen Bela Negara Pendekatan Modern Menjadi Bangsa Yang Besar, cet. 1,
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2020), hlm. 6.
profesionalisasi dan modernisasi pertahanan yang mengarah pada kekuatan militer
berdasarkan “non-provocative defense”.102

Keamanan ekonomi berkaitan dengan konektivitas maritim terhadap peningkatan


kualitas ekonomi melalui jalur laut. Ekspansi ekonomi bertumpu pada aktivitas ekspor dan
impor yang melibatkan sektor maritim dalam mengintegrasikan komoditas lintas negara.
Kebijakan negara membangun kekuatan maritim mempertimbangkan keamanan zona maritim
dalam menciptakan peningkatan kualitas ekonomi nasional. Sedangkan keamanan politik
berperan besar terjaminnya stabilitas kawasan dan wilayah perbatasan. Pertahanan maritim
wajib mempertimbangkan kondisi politik kawasan demi terwujudnya keamanan dan
perdamaian global ketika meningkatkan pertahanan negara. Negosiasi, perundingan, dan
peran lembaga politik diperlukan sinergitasnya terhadap jaminan wilayah perbatasan Natuna.

Kualitas lingkungan identik dengan ekosistem bahari merupakan pertimbangan negara


meningkatkan sarana infrastruktur militer untuk melindungi potensi alam pesisir. Keamanan
lingkungan memposisikan kedudukan militer menjelajah wilayah yang rentan eksploitasi
keanekaragaman hayati oleh asing. Pencurian dan perombakan ekosistem merupakan
persoalan umum pelanggaran batas negara maritim dalam meningkatkan kualitas kelautan
melalui perusakan kualitas lingkungan. Sumber kekayaan alam beroerientasi pada hak negara
pantai mengelola potensi kekayaan alam di zona maritim. Penting bagi negara meningkatkan
daya jelajah serta kualitas Angkatan Laut menjalankan tugas dan wewenangnya menjaga
wilayah maritim terhadap eksploitasi dan eksplorasi terlarang. Terlebih, PBB membentuk
tujuan pembangunan berkelanjutan atau “United Nations Sustainable Development Goals”
yang merupakan bagian dari cita-cita masyarakat global atas keamanan sumber daya alam
global.

102
Kusnanti Anggoro, “Keamanan Nasional, Pertahanan Negara, dan Ketertiban Umum,” (Makalah
pembanding disampaikan pada seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14 Juli 2003), hlm.
8.

Anda mungkin juga menyukai