Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan konstitusi, menegaskan bahwa Indonesia sebagai

negara hukum dalam artian segala bentuk tindakan masyarakat

maupun pemerintahan negara Indonesia harus didasarkan pada

aturan-aturan hukum yang berlaku. Hal ini pula yang menjadi landasan

bahwa semua warga negara memiliki kedudukannya yang sama di

hadapan hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan dengan baik tanpa ada pengecualiannya.1

Sebagai negara hukum, maka hukum tidak hanya yang tertulis

dalam bentuk peraturan perundang-undangan tetapi juga suatu

ketentuan hukum yang tidak tertulis yaitu suatu kebiasaan hukum yang

hidup dan berlaku di masyarakat yang diyakini dan ditaati masyarakat

sebagai kaidah hukum.2 Keberadaan hukum tersebut baik yang tertulis

maupun tidak tertulis telah diakui dalam konstitusi yang tidak lain

adalah untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia.

1 Handri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia: Ketentuan-ketentuan Hukum Indonesia


dan Hubungannya dengan Hukum Internasional, Cetakan Pertama, (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2016), hlm.2.
2 Ibid, hlm.6.

1
Hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-

undangan merupakan amanat dari sebuah negara hukum, 3 dan

pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut sebagai salah

satu wujud pembangunan di bidang hukum yang merupakan usaha

untuk mencapai tujuan negara hukum. Pembangunan hukum nasional

merupakan bagian dari sistem pembangunan nasional yang memiliki

tujuan mewujudkan tujuan negara untuk melindungi seluruh bangsa

dan rakyat, serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, melalui sistem hukum

nasional.4

Langkah awal mewujudkan cita-cita luhur pendirian bangsa

adalah dengan melakukan pembangunan hukum yang terpadu dan

menyeluruh. Selain itu, pembangunan hukum nasional juga sangat

erat kaitannya dengan pelaksanaan amanat Pasal 1 Ayat (3) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDN RI

1945) yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum

(rechtstaat). Penegasan ini membawa konsekuensi bahwa unsur-unsur

rechtstaat harus terlaksana dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Unsur-unsur tersebut meliputi hak-hak asasi manusia,

3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (3)
menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
4 Tim Penulis Fakultas Hukum Brawijaya, Spirit Hukum (A Brilliant Idea of The

Champ), Cetakan Pertama, (Malang: UP Press, 2010), hlm. 282.

2
pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM,

pemerintah berdasarkan hukum, dan peradilan administrasi dalam

perselisihan.5 Sehingga untuk mewujudkan negara hukum, diperlukan

tatanan yang tertib antara lain di bidang perundang-undangan.6

Sebagai negara hukum, maka hukum sengaja dibuat,

dioperasikan dan dikembangkan melalui mekanisme rule of recognition

atau pembuatan hukum yaitu aturan-aturan hukum yang berbentuk

perundang-undangan, rule of adjudication atau aturan penyelesaian

sengketa dan rule of change atau aturan yang mengesahkan adanya

aturan utama yang baru (perubahan hukum).7 Bentuk peraturan

perundang-undangan ini berfungsi untuk menciptakan tatanan dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ke arah yang

lebih baik. Oleh karena itu, dengan adanya tatanan inilah diharapkan

tercipta kehidupan yang aman dan tertib.

Pada dasarnya, hukum dapat dibagi dalam dua bagian yaitu

hukum privat dan hukum publik.8 Hukum privat lebih cenderung

mengatur hal-hal yang berhubungan antara orang yang satu dengan

orang yang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan

perseorangan, dan hukum publik yaitu hukum yang lebih cenderung

5 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi, (Jakarta: Kencana, 2007),
hlm. 23.
6 Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia,

(Yogyakarta: Lustrum XI Fakultas Hukum UGM, 2006), hlm. 1.


7 Abu Rokhmad, Hukum Progresif Pemikiran Satjipto Rahardjo dalam Perspektif

Teori Maslahah, Cetakan ke-1, (Semarang: Program Pascasarjana IAN Walisongo


dan Pustaka Rizky Putra, 2014), hlm. 31. Lihat pula Sunarmi, Sejarah Hukum, Edisi
Pertama, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 65.
8 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 46.

3
mengatur pada tatanan hukum yang berkaitan dengan pemerintahan

atau antara negara dengan alat-alat perlengkapannya serta yang

berkaitan antara negara dengan individu sebagai warga negara.9

Hukum administrasi negara merupakan salah satu bagian dari

hukum publik karena mengatur sebagian lapangan pekerjaan

administrasi negara dan bagian lain dari pekerjaan administrasi negara

diatur dalam Hukum Tata Negara (HTN), Hukum Privat, dan

sebagainya.10 Kegiatan administrasi negara yang tidak dapat

dipisahkan begitu saja dari kegiatan politik pemerintah. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan-kegiatan

administrasi negara tidak hanya menjalankan keputusan-keputusan

politik pemerintah saja, melainkan juga mempersiapkan segala

sesuatu guna penentuan kebijaksanaan pemerintah, dan juga

menentukan keputusan-keputusan politik.

Pembangunan hukum sangat penting artinya bagi bangsa

Indonesia dan hukum pula menjadi instrumen yang sangat penting

bagi pembangunan bidang lainnya, termasuk pengaturan mengenai

reklamasi. Pemerintah telah mengeluarkan regulasi dalam bentuk

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah

reklamasi agar tercipta ketertiban dan sekaligus kesinkronan

kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan reklamasi.

9Ibid.
10Nur Asiyah, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama, (Jakarta: Deepublish,
2018), hlm. 28

4
Pembangunan di bidang reklamasi merupakan salah satu

kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan

perundang-undangan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU

Reklamasi) dalam Pasal 1 butir 23 dijelaskan bahwa istilah reklamasi

adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam rangka

meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut

lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurukan, pengeringan

lahan, atau drainase. Solusi inipun harusnya dapat digunakan untuk

mengatasi permasalahan dan menjawab isu kurangnya lahan untuk

tempat tinggal bagi masyarakat. Namun pada realitasnya dengan

dilakukannya reklamasi ini sendiri tidak serta merta dapat

menyelesaikan semua isu permasalahan yang ada, dimana masih ada

konflik kepentingan yang timbul antar penduduk yang sehari-hari

berprofesi sebagai nelayan di wilayah yang direklamasi dengan

masyarakat umum yang menginginkan reklamasi sebagai solusi dari

permasalahan kurangnya lahan tempat tinggal akibat pertumbuhan

penduduk yang sangat padat sehingga Indonesia sebagai negara

hukum harus hadir dan mengambil peran untuk menyelesaikan konflik

kepentingan tersebut.

Lembaga eksekutif dan lembaga legislatif sebagai pihak yang

memiliki peran utama dalam membentuk undang-undang, tentunya

memiliki tanggung jawab serta peran yang besar dalam menentukan

5
terciptanya keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum, dimana

kedua lembaga ini harus senantiasa memastikan tidak ada peraturan

perundang-undangan yang saling tumpang tindih, karena apabila

terdapat tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan tentu

akan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum. Untuk tujuan

itu, maka diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-

undangan yang harmonis dan terintegrasi guna mendukung

pembangunan nasional secara umum, khususnya peraturan

perundang-undangan mengenai pemberian izin reklamasi.

Salah satu pelaksanaan pembangunan reklamasi yang banyak

menuai kontroversi yaitu reklamasi Pantai Utara Jakarta yang telah

digagas sejak era pemerintahan Soeharto melalui Keputusan Presiden

Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Kontroversi timbul karena adanya pro kontra di kalangan masyarakat

luas yang mengkhawatirkan terjadinya dampak adanya reklamasi

dikarenakan berpotensi mematikan mata pencaharian nelayan

setempat,11 isu lingkungan akibat reklamasi,12 dan isu korupsi dalam

pelaksanaan reklamasi itu sendiri.13

11 Andrian Ramadhan, Maulana Firdaus, Rizky Aprilian Wijaya dan Irwan Muliawan,
“Estimasi Kerugian Nelayan dan Pembudidaya Ikan Akibat Reklamasi di Teluk
Jakarta (Economic Loss of Fisher and Fish Farmer Due to Reclamation of Jakarta
Bay)”, Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Volume 11 No.1 Tahun 2016,
hlm. 1.
12 Reny Puspasari, Sri Turni Hartati dan Regi Fiji Anggawangsa, “Analisis Dampak

Reklamasi Terhadap Lingkungan dan Perikanan di Teluk Jakarta, (Impact Analysis


of Land Reclamation to Environment and fisheries in Jakarta Bay)”, Jurnal Kebijakan
Perikanan Indonesia, Volume 9 Nomor 2 November 2017, hlm. 85 (85-94).
13 Kasus suap yang berkaitan dengan pembahasan Perda Reklamasi Jakarta. Kasus

itu melibatkan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja yang

6
Selain itu, polemik terkait masalah pembahasan peraturan

perundang-undangan manakah yang menjadi landasan hukum dan

pihak manakah yang paling berwenang dalam memberikan izin

maupun rekomendasi dalam pelaksanaan pembangunan reklamasi

beserta proses kelanjutan pembangunan sarana dan prasarana pada

pulau reklamasi yang telah dibangun sebagai pusat ekonomi,14 jasa

internasional, pemukiman dan pelabuhan wisata.15

Di sisi lain, otonomi daerah telah memberi kewenangan kepada

pemerintah daerah membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan

perizinan reklamasi atau rancangan peraturan daerah yang berkaitan

dengan masalah reklamasi. Raperda yang dimaksud adalah Raperda

tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta

serta Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil (RZWP3K).16 Namun, rancangan kedua Raperda yang

pada awalnya dapat dijadikan sebagai dasar pelaksanaan

pembangunan reklamasi telah dicabut, maka secara otomatis

diduga keras melakukan tindak penyuapan terhadap anggota DPRD DKI Jakarta
Mohamad Sanusi. Dana penyuapan sebesar Rp. 2 miliar, diduga, ditujukan untuk
kepentingan Agung Podomoro terkait reklamasi atas pulau di sebelah utara Jakarta.
Bambang Widjodjanto, “Relasi Korupsi Korporasi dan Korupsi Politik: Kajian Awal
Melacak Korupsi di Korporaso, Jurnal Integritas (KPK.go.id), Volume 3, Nomor 1,
Maret 2017, hlm. 38. (31-52),
14 Nuraini Juwita, “Aspek Hukum tentang Pemberian Izin Kegiatan Reklamasi Pantai

Utara Jakarta”, Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Sriwijaya, Oktober 2019, hlm. 3.
15 Rasminto dan Syurya M. Nur, “Studi Reklamasi Teluk Jakarta Di Pulau C Dan D

Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan dan Nilai-Nilai Pancasila”, Jurnal


Geografi, Edukasi dan Lingkungan (JGEL), Vol. 2, No. 2, Juli 2018, hlm. 103 (102-
110).
16 Redaksi Detik, “Anies Resmi Cabut 2 Raperda Terkait Reklamasi”,
https://news.detik.com/berita/d-3770578/anies-resmi-cabut-2-raperda-terkait-
reklamasi, diakses 19 November 2019.

7
terhentinya seluruh proyek pembangunan reklamasi baik yang sudah

berjalan maupun yang baru tahap pelaksanaan.

Sejumlah regulasi atau peraturan perundang-undangan telah

dibuat dan disusun untuk memantapkan pembangunan reklamasi dari

Keputusan Presiden (Keppres), Undang-Undang (UU), Peraturan

Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah

(Perda), Peraturan Gubernur (Pergub) dan Keputusan Gubernur

(Kepgub). Berbagai peraturan yang sekiranya dapat memperkuat

dasar pijakan pelaksanaan pembangunan reklamas Pantai Utara

Jakarta, justru sejumlah aturan-aturan tersebut banyak menimbulkan

perdebatan sehingga seakan-akan ada asumsi bahwa ketentuan

perundang-undangan yang secara hierarkinya lebih tinggi

kedudukannya dan peraturan yang lebih rendah ada tarik menarik

kewenangan yang saling bertumpang tindih.

Pedoman dan dasar hukum proses reklamasi di Pantai Utara

Jakarta, diantaranya tertuang dalam produk hukum perundang-

undangan berupa peraturan pemerintah sebagai berikut:

1. Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi

Pantai Utara Jakarta (Keppres No.52/1995);

2. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan

Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,

Puncak, Cianjur (Perpres No.54/2008);

8
3. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PP No.22/2012);

4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU

No.1/2014);

5. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang

Penyelenggaraan Reklamasi dan

6. Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta (Perda DKI No.

8/1995);

7. Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 121 tahun 2012 tentang

Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

(Pergub DKI No. 121/2012); dan

8. Perizinan pelaksanaan reklamasi yang bersifat interdepartemen

pada tingkat pemerintahan pusat dan perizinan (kegiatan)

pelaksanaan reklamasi pada tingkat Pemerintah Daerah DKI

Jakarta.

Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur adanya

kewenangan masing-masing pihak seperti izin lokasi tidak dapat

diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan

pelabuhan, dan pantai umum.17 Proyek reklamasi selain ada di wilayah

17Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

9
kewenangan pemerintah DKI Jakarta,18 sebagian yang lain ada di

pantai Teluknaga wilayah Jawa Barat (sekarang Banten),19 sehingga

tanggungjawab masing-masing ada pada gubernur. Sebagai tindak

lanjut Keppres Reklamasi, dibuatlah aturan teknis tata cara

penyelenggaraan reklamasi,20 dan memberi kewenangan kepada

Badan Pelaksana Reklamasi Pantura melalui Perda No.8 Tahun 1995

tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang

Kawasan Pantura Jakarta.

Dalam perkembangan selanjutnya, Keppres No.52 Tahun 1995

(Keppres Reklamasi) dinyatakan tidak berlaku sepanjang terkait

dengan penataan ruang karena telah terbit Perpres No.54 Tahun 2008

tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,

Bekasi, Puncak, Cianjur. Hal ini didasarkan pada prinsip lex superior

derogat legi inferior adalah asas penafsiran dalam teori hukum yang

menyatakan bahwa hukum yang tinggi (lex superior)

mengesampingkan hukum yang rendah (lex inferior). Dengan tidak

berlakunya Keppres No. 52 Tahun 1995, Gubernur DKI Fauzi Bowo

waktu itu mengeluarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No.1 Tahun

2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Melalui Perda ini,

18 Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai


Utara Jakarta, wewenang dan tanggung jawab reklamasi pantai utara Jakarta
berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
19 Keppres No.73 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Kapuknaga Tangerang,

juga diatur bahwa wewenang dan tanggung jawab reklamasi pantai Kapuknaga
ketika itu berada pada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat.
20 Kepgub Provinsi DKI Jakarta Nomor 138 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Penyelenggaraan Reklamasi Pantai Utara Jakarta

10
mengubah aturan pulau-pulau reklamasi sebagaimana yang diatur

dalam Perda DKI Jakarta No.8 Tahun 1995.

Selanjutnya terkait dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 122

Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil, aturan ini mengatur terkait permohonan memperoleh izin lokasi

dan izin pelaksanaan reklamasi diajukan kepada Menteri, Gubernur,

atau Bupati atau Walikota. Di mana, Menteri memberikan izin lokasi

dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional

Tertentu (KSNT), kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan di

pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemerintah. Selain itu, khusus

untuk Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) dan reklamasi

lintas provinsi, dapat diberikan setelah mendapat pertimbangan dari

Bupati atau Walikota dan Gubernur. Sementara, Gubernur dan Bupati

atau Walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi

dalam wilayah sesuai kewenangannya dan kegiatan reklamasi di

pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah.

Selain itu, peraturan yang memiliki kaitan dengan reklamasi

yaitu Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional. Jika ditelaah lebih lanjut teluk Jakarta masuk

ke dalam Kawasan Strategis Khusus Nasional (KSN) dan pihak yang

wewenang pemberian izin pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu

(KSNT) berada pada Menteri Kelautan dan Perikanan. Lantas, apakah

KSNT dan KSN adalah sama. Kawasan Strategis Nasional (KSN)

11
sendiri merupakan wilayah yang penataan ruangnya mendapat

prioritas dikarenakan memiliki pengaruh sangat penting secara

nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan

negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Termasuk juga

pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia serta

pendayagunaan sumber daya alam dan atau teknologi tinggi.

Sedangkan KSNT merupakan suatu kawasan dalam lingkup wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dipandang memiliki

nilai-nilai strategis tertentu. Dalam pengembangannya, KSNT ini

diprioritaskan bagi kepentingan nasional yang berfungsi untuk

pertahanan keamanan, kesejahteraan dan lingkungan.

Adanya tumpang tindih kewenangan dapat dilihat dalam

ketentuan Pasal 50 Ayat (1) UU No.1 Tahun 2014 menyatakan bahwa

Menteri berwenang memberikan dan mencabut izin lokasi dan izin

pengelolaan wilayah perairan, pesisir, dan pulau-pulau lintas provinsi,

KSN, KSNT, dan kawasan konservasi nasional. Sementara, Gubernur

berwenang memberikan dan mencabut izin lokasi dan izin pengelolaan

di wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dan Bupati atau

Walikota berwenang memberikan dan mencabut izin di wilayah

perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, UU No.1

Tahun 2014 tegas hanya membahas izin pengelolaan dan izin lokasi.

Sementara, reklamasi sebagaimana diatur dalam Keppres No.52

Tahun 1995 membahas izin prinsip dan izin pelaksanaan. Dua hal itu

12
berbeda satu dengan lainnya, begitupula dengan UU No.1 Tahun 2014

tidak mengacu pada Keppres No.52 Tahun 1995.

Pada konsideran Keppres No. 52 Tahun 1995 juga dikatakan

bahwa sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1994

tentang Repelita Enam, Kawasan Pantai Utara adalah termasuk

kategori Kawasan Andalan, yaitu kawasan yang mempunyai nilai

strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.

Untuk mewujudkan kawasan andalan tersebut, diperlukan upaya

penataan dan pengembangan Kawasan Pantai Utara melalui

reklamasi pantai utara dan sekaligus menata ruang daratan pantai

yang ada secara terarah dan terpadu. Sehubungan dengan hal

tersebut di atas, perlu menetapkan pengaturan reklamasi Pantai Utara

Jakarta dengan Keputusan Presiden.

Dengan demikian sebagaimana tercantum dalam konsideran

Keppres No. 52 Tahun 1995 tersebut, reklamasi Pantai Utara Jakarta

merupakan kebijakan Presiden dalam rangka mewujudkan fungsi

kawasan Pantai Utara Jakarta sebagai kawasan andalan, dan

bukanlah kebijakan yang menjadi wewenang Gubernur DKI Jakarta

yang berdasarkan Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 hanya memiliki

wewenang dan tanggung jawab dalam pelaksanaan reklamasi

tersebut. Kewenangan Pemda DKI diperoleh melalui pendelegasian

kewenangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 jis Pasal 5 dan

Pasal 6 Keppres No. 52 Tahun 1995, yaitu wewenang dan tanggung

13
jawab melaksanakan reklamasi Pantai Utara Jakarta yang terbatas

hanya pada perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan hasil

reklamasi.

Seharusnya wewenang untuk mengubah penetapan Reklamasi

Pantai Utara Jakarta (termasuk menghentikan kegiatan reklamasi)

hanya ada pada Presiden sesuai dengan penerapan asas contrarius

actus.21 Pemda DKI Jakarta sebagai penerima delegasi tidak memiliki

kewenangan untuk menghentikan pelaksanaan Reklamasi Pantai

Utara Jakarta karena seluruh izin pelaksanaan reklamasi mengacu

pada Keppres No.52 Tahun 1995 sehingga penghentian reklamasi ada

di tangan presiden.

Mengingat luasnya cakupan tentang masalah reklamasi, maka

untuk lebih mempersempit pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini,

penulis hanya membahas tentang pencabutan izin reklamasi melalui

Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 1409 Tahun 2018

yang berisi tentang Pencabutan Beberapa Keputusan Gubernur

tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi khususnya untuk

21 Asas contrarius actus merupakan salah satu asas dalam hukum administrasi
negara. Menurut asas ini, dalam kewenangan badan atau pejabat tata usaha negara
untuk menetapkan suatu keputusan melekat kewenangan pada badan atau pejabat
tata usaha negara yang bersangkutan untuk mengubah, membatalkan, atau
mencabut keputusan tersebut, Pasal 64 ayat (3) huruf b dan huruf c, dan Pasal 66
ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 (UU 30 Tahun 2014)
Tentang Administrasi Pemerintahan mengatur mengenai kewenangan ini dalam
Pasal 63 sampai dengan Pasal 69, walaupun tidak menetapkan suatu keputusan,
atasan dari pejabat yang menetapkan keputusan, dan pengadilan dapat
menetapkan keputusan pencabutan dan keputusan pembatalan terhadap keputusan
yang bersangkutan. Dengan demikian, asas contrarius actus ini adalah asas yang
menyatakan Badan atau Pejabat TUN yang menerbitkan Keputusan TUN dengan
sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya.

14
Pulau F, Pulau H, dan Pulau I. Banyak pihak yang menilai penghentian

segala bentuk proses reklamasi erat kaitannya dengan pemenuhan

janji politik sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.22

Berdasarkan pencabutan pelaksanaan reklamasi untuk ketiga

pulau F, H, dan I, penulis mengangkat satu putusan Pengadilan Tata

Usaha Negara Nomor 153/G/2019/PTUN-JKT dalam perkara gugatan

pencabutan izin reklamasi pulau F yang izinnya diberikan kepada PT.

Agung Dinamika Perkasa. Sebagai pihak yang dirugikan atas

keputusan tersebut, PT. Agung Dinamika Perkasa menggugat Pemda

DKI Jakarta karena pencabutan tersebut dinilai bertentangan dengan

hukum. Karena tindakan Pemda DKI Jakarta yang menerbitkan

pencabutan izin reklamasi merupakan cara yang dilakukan untuk

menghentikan proyek reklamasi, dan hampir seluruh pemegang izin

terkait reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dicabut oleh Pemda DKI

Jakarta merupakan tindakan yang dilakukan di luar kewenangannya.

Berdasarkan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Keppres No.52 Tahun

1995, Pemda DKI Jakarta berwenang dan bertanggung jawab dalam

pelaksanaan reklamasi dan untuk melaksanakan reklamasi tersebut,

Pemda DKI Jakarta membentuk sebuah Badan Pengendali dengan

ketua/penanggung jawab adalah Gubernur DKI Jakarta. Melalui Badan

Pengendali yang diketuai oleh Pemda DKI Jakarta bertugas untuk

22 Redaksi Kontan, “Minta Kaji Ulang GSW, DPRD DKI Nilai Anies Sedang Mainkan
Peran Poitiknya,” https://nasional.kontan.co.id/news/minta-kaji-ulang-gsw-dprd-dki-
nilai-anies-sedang-mainkan-peran-politiknya, diakses 25 April 2020.

15
mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan

reklamasi serta mengendalikan penataan kawasan pantura.23

Adanya peristiwa perselisihan hukum terkait Reklamasi Pantai

Utara Jakarta itulah timbul permasalahan mengenai Proses reklamasi

pulau F di Pantai Utara Jakarta yang didasari oleh Keputusan Presiden

No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dimana

Keppres ini juga mengatur tentang wewenang dan tanggung jawab

pelaksanaan izin reklamasi Pantai Utara Jakarta berada pada

Gubernur DKI Jakarta selaku Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Pada tahun 2012 Gubernur Fauzi Bowo menerbitkan Surat Keputusan

Gubernur No. 1290/-1.794.2 tentang izin prinsip untuk Pulau F.

Kemudian pada pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama

mengeluarkan perpanjangan izin prinsip yang dikeluarkan oleh

Gubernur Fauzi Bowo untuk Pulau F dengan diterbitkannya Surat

Keputusan Gubernur No. 544/-1.794.2 tentang Perpanjangan

persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau F dan menerbitkan Surat

Gubernur No. 2268 Tahun 2015 tentang izin pelaksanaan reklamasi

Pulau F kepada PT. Agung Dinamika Perkasa. Namun pada

pemerintahan Gubernur Anies Baswedan izin reklamasi yang telah

23 Berdasarkan Keppres No. 52/1995 Pasal 4 dikatakan wewenang dan tanggung


jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Selanjutnya Pasal 5 Keppres No. 52/1995 mengatur bahwa dalam rangka
mengendalikan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, dibentuk sebuah Badan Pengendali
dengan Ketua/Penanggung Jawab adalah Gubernur DKI Jakarta, dan Pasal 6
Keppres No. 52/1995 mengatur bahwa Badan Pengendali bertugas untuk: (a)
mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan reklamasi Pantai Utara
Jakarta, dan (b) mengendalikan penataan kawasan Pantai Utara Jakarta.

16
dikeluarkan oleh Gubernur sebelumnya dibatalkan dengan terbitnya

Surat Keputusan Gubernur No. 1409 Tahun 2018 dengan mencabut

Keputusan Gubernur No. 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin

Pelaksanaan Reklamasi Pulau F.

Atas Keputusan Gubernur Anies Baswedan ini pihak

pengembang melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara

atas Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1409 Tahun 2018

tentang Pencabutan beberapa Keputusan Gubernur tentang

Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi pantai utara Jakarta.

Khususnya terhadap Pencabutan Keputusan Gubernur Propinsi DKI

Jakarta No. 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan

Reklamasi Pulau F kepada Pengembang. Peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang Proses Reklamasi Pantai Utara

Jakarta seyogyanya dapat menjadi pedoman dan dasar hukum.

Namun pada kenyataannya peraturan pemerintah yang mengatur

tentang reklamasi pantai utara Jakarta ini menimbulkan ketidak

selarasan antara ekspektasi (das sollen) dengan realita (das sein)

dalam penegakan hukum di Indonesia.

Beranjak dari persoalan hukum di atas, Penulis tertarik untuk

meneliti lebih lanjut dalam penulisan skripsi dengan judul:

PENEGAKAN HUKUM PROSES REKLAMASI PULAU F DI KAWASAN

PANTAI UTARA JAKARTA DALAM PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM.

17
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini

mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kepastian hukum terhadap proses reklamasi Pulau

F di Pantai Utara Jakarta?

2. Bagaimanakah penegakan hukum dalam proses reklamasi Pulau F

di Pantai Utara Jakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kepastian hukum terhadap proses reklamasi

Pulau F di Pantai Utara Jakarta.

2. Untuk mengetahui penegakan hukum dalam proses reklamasi

Pulau F di Pantai Utara Jakarta.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan uraian tujuan penelitian di atas, maka kegunaan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah

khasanah pengetahuan tentang ilmu hukum tata negara terkait

dengan penegakan hukum proses reklamasi Pulau F di kawasan

Pantai Utara Jakarta dalam perspektif kepastian hukum.

18
2. Secara praktis, penelitian dapat memberikan bahan masukan dan

saran bagi semua pihak khususnya bagi pemangku kepentingan

dalam kaitannya dengan peraturan reklamasi Pantai Utara Jakarta.

E. Kerangka Teori

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas serta

menghindari penafsiran ganda terhadap penelitian ini, maka perlulah

dibuat kerangka teori yang merupakan penjelasan singkat variabel-

variabel yang ada di judul dan diuraikan secara sistematis dengan

konsep-konsep teori yang berhubungan dengan variabel penelitian.

Agar tidak terjadi pemaknaan ganda dalam penelitian, maka kerangka

teori dalam penulisan skripsi ini meliputi teori penegakan hukum, teori

kepastian hukum, teori hierarki peraturan perundang-undangan dan

teori reklamasi pantai. Keempat teori tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Teori penegakan hukum

Pada dasarnya hukum yang ada dan berlaku di masyarakat

baik yang terkodifikasi dalam bentuk peraturan perundang-

undangan maupun yang tidak tertulis (hukum adat/kebiasaan yang

sudah berlaku sejak lama), keberadaannya untuk mengatur

pergaulan hidup masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial

atau sebagai alat untuk mengubah masyarakat (a tool of social

19
engineering).24 Dikarenakan hukum sebagai alat, maka penegakan

hukum dapat dilihat dari proses pelaksanaan hukumnya yang

dijalankan oleh aparat penegak hukum baik melalui penindakan

maupun pencegahan yang dijalankan berdasarkan aturan hukum

yang berlaku dengan harapan akan terciptanya suatu kepastian

hukum. Dengan demikian, penegakan hukum dapat dimaknai

sebagai salah satu proses, cara, perbuatan menegakkan,

sedangkan menegakkan dapat diartikan sebagai suatu tindakan

mendirikan, menjadi tegak, atau agar tetap berdiri, memelihara dan

mempertahankan kemerdekaan, tata tertib, hukum, dan

sebagainya.25

Kepastian hukum juga tidak akan mudah untuk ditegakkan

jika tidak ada ketaatan hukum dari masyarakat maupun penegak

hukumnya. Di satu sisi aparat penegak hukum tidak bisa serta

merta melaksanakan tugasnya dengan baik jika tidak ada aturan

secara legal formal, di lain hal penegakan hukum terletak pula pada

ketaatan atau kepatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

Berkaitan dengan tujuan dari penegakan hukum, Gustav

Radburch mengungkapkan pendapatnya bahwa penegakan hukum

bukan semata-mata untuk terciptanya kepastian hukum, akan tetapi

untuk membuahkan kemanfaatan dan keadilan sebagai nilai-nilai

24 Johan Jasin, Penegakan Hukum Dan Hak Asasi Manusia di Era Otonomi Daerah,
Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Deepublish, 2019), hlm.53
25 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi

Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 1417.

20
dasar hukum.26 Dengan adanya kepastian hukum, masyarakat

pencari keadilan dapat menemukan harapan karena akan

mengetahui kejelasan hak dan kewajibannya menurut hukum

sehingga dapat mencegah dari tindakan sewenang-wenang dari

aparat penegak hukum yang terkadang berlaku arogan dalam

menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum; keadilan

merupakan tujuan yang yang paling penting karena menyangkut

hubungan hak dan kewajiban seseorang; hukum juga harus

memberikan kemanfatan bagi setiap orang dalam artian dalam

penegakan hukum tidak boleh menimbulkan keresahan dalam

masyarakat.

Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan berkaitan dengan

masalah penegakan hukum bahwa untuk menjamin penegakan

hukum akan dapat dilaksanakan secara benar dan adil, tidak ada

kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan,

ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap

penegakan hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas

kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara

benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara

benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari

keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas

dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan.

26 Ibid., hlm.58.

21
Dikaitkan dengan kekuasaan dan kemungkinan penyalahgunannya,

pelaksanaan asas tersebut hanya dapat berjalan apabila ada

mekanisme pengawasan. Setiap kekuasaan tanpa mekanisme

pengawasan secara cepat atau lambat kekuasaan tersebut akan

disalahgunakan.27

Dengan demikian, penegakan hukum dapat dimaknai

sebagai proses dijalankannya suatu ketentuan hukum yang

semata-mata bukan hanya menjadi tugas penegak hukum, tetapi

juga menjadi tugas dari masing-masing individu, yaitu ketaatan

atau kepatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri,28 serta

adanya mekanisme pengawasan dalam penegakan hukum agar

tidak terjadi penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan penegak

hukum atau ketidakberdayaan dari penegak hukum.

2. Teori kepastian hukum

Keberadaan hukum tidak lain adalah sebagai tatanan untuk

menciptakan ketertiban, karena ketertiban merupakan suatu syarat

dari adanya masyarakat yang teratur. Untuk menciptakan

hubungan yang tetap dan teratur antar anggota masyarakat, maka

dibutuhkan suatu tatanan (ubi societas ibi ius – ada masyarakat

ada hukum), karena ada tatanan inilah kehidupan menjadi tertib.29

Agar dapat mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat,

27 Zarof Ricar, Disparitas Pemidanaan Pembalakan Liar dan Pengaruhnya Terhadap


Penegakan Hukum di Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, (Bandung: Alumni,
2012), hlm.78.
28 Johan Jasin, Op.Cit., hlm.55
29 Abu Rokhmad, Op.Cit., hlm.30.

22
diusahakan untuk mengadakan kepastian. Kepastian hukum itu

sendiri mengandung 2 (dua) makna, yaitu kepastian hukum dalam

hukum yang dapat dimaknai adanya suatu aturan yang bersifat

umum membuat individu mengetahui apa yang dilarang atau

diperbolehkan dan kepastian hukum karena hukum yang dimaknai

sebagai hukum yang memberikan keamanan bagi individu dari

kesewenangan pemerintah.30

Menurut Bagir Manan, ada beberapa komponen kepastian

hukum (rechtzekerheid, legal certainty) yaitu kepastian aturan

hukum yang diterapkan, kepastian proses hukum baik dalam

penegakan hukum maupun pelayanan hukum, kepastian

kewenangan menetapkan atau mengambil suatu keputusan hukum,

kepastian waktu dalam setiap proses hukum, dan kepastian

pelaksanaan seperti kepastian eksekusi putusan hakim, atau

keputusan administrasi negara.31

Permasalahan reklamasi yang sampai saat ini tidak kunjung

selesai karena berbagai persoalan regulasi hukum menjadi salah

satu sumber polemik dalam pelaksanaan reklamasi Pantai Utara

Jakarta. Berbagai aturan yang saling mengatur dan memberi

kewenangan pada masing-masing pihak baik Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah, Kementerian Kelautan, adanya pemberian izin

kemudian adanya pembatalan izin yang kemudian adanya gugatan

30 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999), hlm.23.
31 Bagir Manan, Toei dan Politik Konstitusi, (Jakarta: FH UI, 2015), hlm.96.

23
di pengadilan telah mengakibatkan tidak ketidakpastian bagi

pengembang dalam berinvestasi. Meskipun Keppres No. 52 Tahun

1995 telah diatur sebagai acuan berbagai pihak dalam

menggulirkan reklamasi pantai utara Jakarta, sehingga memberi

kepastian bagi dunia usaha. Jika dalam perjalanannya ada

kekurangan, maka harus dibenahi guna menyempurnakan aturan

itu.

Dengan demikian, kepastian hukum pada hakikatnya adalah

suatu kepastian tentang bagaimana para warga masyarakat

menyelesaikan masalah hukum, bagaimana peran dan lembaga

hukum bagi masyarakat, dan berjalannya aturan hukum itu sendiri

karena tidak jarang suatu kepastian hukum tidak dapat ditentukan

karena aturan hukum yang tidak dapat diketahui dengan pasti.

Dalam artian peraturan perundang-undangan, ketidakpastian dapat

timbul karena perbedaan atau pertentangan antara berbgaai

ketentuan yang ada baik secara horizontal ataupun vertikal.

Ketidakpastian hukum juga terjadi karena rumusan yang tidak jelas

bahkan lambatnya menetapkan aturan pelaksanaan yang

diperlukan sangat mempengaruhi dari kepastian hukum itu sendiri.

3. Teori heirarki Peraturan Perundang-undangan

Hierarki adalah tata susunan yang dalam konsep norma atau

peraturan Perundang-undangan pertama kali diperkenalkan oleh

24
Hans Kelsen melalui teorinya Stufentheorie.32 Hans Kelsen

menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga

dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma yang mengatur

perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut

sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spesial.33

Menurut hierarki norma hukum negara (die Theorie vom

Stufenordnung de Rechtsnormen) yang dikemukakan Hans

Nawiasky sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu norma

hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-

jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar

pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai

pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.34

Secara teori hierarki peraturan perundang-undangan dapat

mengacu pada ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, disebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

32 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan 1 (Jenis, Fungsi dan Materi


Muatan), Cetakan ke-4. (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm 41.
33Jimly Asshiddiqie et al., Theory Hans Kelsen tentang Hukum, Cetakan ke-1.

(Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm.
110.
34 Maria Farida, Op.Cit., hal.44.

25
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan tingkatan hierarki tersebut, maka keberlakuan

suatu norma hukum yang lebih rendah akan sangat tergantung

kepada norma yang ada di atasnya, yang menjadi gantungan atau

dasar bagi berlakunya norma tersebut.35 Dengan kata lain kekuatan

hukum peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan

hierarki tersebut dan peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.36 Ketentuan-ketentuan yang digariskan

oleh suatu norma yang lebih tinggi merupakan das sollen bagi

pembentukan norma yang lebih rendah. Dengan demikian, suatu

norma hukum yang lebih rendah akan dicabut atau tidak berlaku

lagi apabila norma hukum yang di atasnya menjadi dasar dan

menjadi sumber berlkaunya norma tersebut dicabut atau dihapus.37

35 Marjan Miharja, Gesetzgebungswissenschaft: Bahan Ajar Ilmu Perundang-


undangan, (Jakarta: Kiara Media, 2019), hlm.42.
36 Pasal 7 ayat (2) UU 12 Tahun 2011 dan penjelasannya.
37 Marjan Miharja, Op.Cit.

26
4. Teori Reklamasi Pantai

Berdasarkan pengertiannya secara bahasa, reklamasi

berasal dari kata “to reclaim” dimaknai memperbaiki sesuatu yang

rusak, sebagai menjadikan tanah (from the sea). Arti kata

reclamation diartikan sebagai pekerjaan memperoleh tanah.38 Atas

dasar pemahaman tersebut, maka reklamasi dapat dimaknai suatu

upaya untuk mendapatkan ruang binaan baru yang bisa dilakukan

baik di darat maupun di badan air untuk berbagai keperluan seperti

untuk membangun pelabuhan, kawasan wisata, Kawasan ekonomi

khusus, tempat pembuangan dan pengolahan limpah terpadu, dan

untuk kawasan kota berupa water front city.

Secara awam, reklamasi dapat dipahami sebagai usaha

untuk mewujudkan daratan baru melalui proses pengurukan

dengan material tanah, batu, dan pasir pada lahan yang

sebelumnya terdiri dari air. Dalam artian secara umum, reklamasi

adalah sebagai pekerjaan penimbunan/pengurukan pada suatu

wilayah atau lahan yang relative tidak berguna/masih kosong dan

berair menjadi lahan berguna. Faktor-faktor yang menentukan

reklamasi meliputi pemanfaatan lahan, persyaratan keamanan,

lingkungan, dan biaya. Sementara itu, perlu dilakukan evaluasi dan

38 John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia : An English –


Indonesian Dictionary, (Jakarta: PT Gramedia, 2005), hlm. 342.

27
monitoring secara ketat, terus menerus dan terpadu untuk

meminimalkan dampak negatif.39

Pengertian reklamasi dapat ditemukan dalam Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang intinya menyatakan bahwa

reklamasi adalah meningkatkan sumber daya lahan dari yang

kurang bermanfaat menjadi lebih bermanfaat ditinjau dari sudut

lingkungan, kebutuhan masyarakat dan nilai ekonomis dengan cara

pengurukan, pengeringan lahan, atau drainase.

Pada umumnya usaha pembuatan lahan baru dengan cara

reklamasi bertujuan untuk memanfaatkan suatu daerah atau

wilayah yang dahulunya tidak memiliki nilai manfaat strategis

kemudian dilakukan usaha reklamasi agar diperoleh lahan yang

dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan

masyarakat. Dengan demikian, secara teori tujuan yang ingin

dicapai dari reklamasi itu sendiri yaitu untuk mendapatkan lahan

baru yang sekiranya dapat mengurangi tekanan atas meningkatnya

kebutuhan lahan di bagian kita yang semakin padat, menghidupkan

kembali moda transportasi air sehingga beban transportasi darat

berkurang, membuka peluang pembangunan nilai tinggi,

meningkatkan pariwisata bahari, meningkatkan pendapatan

daerah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar

39Muh Aris Marfai, dkk, Kajian Daya Dukung dan Ekosistem Pulau Kecil: Studi
Kasus Pulau Pari, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018), hlm.9.

28
kawasan pantai maupun ekonomi perkotaan, dan meningkatkan

sosial ekonomi masyarakat.40

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Setidaknya dalam berbagai literatur tentang metode

penelitian hukum terdapat dua jenis penelitian yaitu penelitian

yuridis normatif dan penelitian empiris/sosiologis. Berdasarkan

kedua jenis metode tersebut, pada penelitian ini yang digunakan

adalah metode yuridis normatif atau juga disebut dengan istilah

penelitian doktriner.41

Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengkaji

secara terbatas pada hukum positif yaitu peraturan-peraturan yang

tertulis atau bahan-bahan hukum lain yang saling terkait dengan

penelitian,42 khususnya tentang masalah penegakan hukum proses

reklamasi pulau F di kawasan Pantai Utara Jakarta dalam

perspektif kepastian hukum dengan melihat perkara putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 153/G/2019/ PTUN-JKT

dan dengan melihat ketentuan awal landasan hukumnya yaitu

Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi

40 Insan Harapan Harahap dan Nana Suryana, “Urgensi Kebijakan Reklamasi Pantai
Utara Dki Jakarta Dan Dampak Yang Ditimbulkan”, TATA LOKA, Volume 21 Nomor
4, November 2019, hlm.692 (689-704).
41 Jonaedi Effendi dan Jhonny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan

Empiris, Cetakan kedua, (Jakarta: Kencana, 2018), hlm. 234.


42 Ibid.

29
Pantai Utara Jakarta untuk mewujudkan pantai utara Jakarta

sebagai kawasan andalan, akan tetapi dikemudian hari ada tarik

menarik kewenangan bahkan pro kontra sehingga pembangunan

reklamasi dihentikan melalui surat Keputusan Gubernur No.1409

Tahun 2018 tentang Pencabutan Beberapa Keputusan Gubernur

tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi.

Sebagai suatu penelitian hukum normatif, maka penelitan ini

berbasis pada analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam

arti peraturan perundang-undangan, maupun hukum dalam arti

putusan-putusan pengadilan. Untuk itu, obyek yang dianalisis

adalah norma hukum, baik dalam bentuk peraturan perundang-

undangan maupun yang sudah secara kongkrit diterapkan dalam

putusan-putusan hakim di pengadilan.

Penelitian ini dilakukan dengan mengkategorikan sebagai

penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Bersifat deskriptif

maksudnya penelitian yang bertujuan untuk melukiskan keadaan

obyek atau peristiwanya.43 Sedang kualitatif diartikan sebagai

kegiatan menganalisis data secara komprehenship, yaitu data

sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik yang berupa

buku, peraturan perundangan, disertasi, tesis dan hasil penelitian

lainnya maupun informasi dari media massa.

43 Sutrisno Hadi, Metodologi Reseacht, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hlm. 3.

30
2. Pendekatan Penelitian

Dengan melihat jenis penelitian yang berorientasi pada

penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang paling sesuai

dengan penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan,

karena yang hendak diteliti lebih lanjut lebih tertuju pada aturan

hukum dalam hal ini Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995

tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang menjadi fokus sentral

penelitian.44 Begitu pula mengingat penelitian ini menggunakan

contoh kasus atas gugatan pembatalan izin pelaksanaan reklamasi

yang menggugat surat Keputusan Gubernur No.1409 tentang

Pencabutan Beberapa Keputusan Gubernur tentang Pemberian

Izin Pelaksanaan Reklamasi melalui putusan Putusan Nomor

153/G/2019/ PTUN-JKT.

3. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data

yang dikumpulkan berasal dari data primer dan data sekunder.

a. Data Primer, merupakan data yang diperoleh di lapangan

yang dijadikan sebagai pendukung dengan melakukan

wawancara dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan dan

keterkaitan dengan penulisan ini. Untuk memperdalam data

sekunder tersebut dilakukan wawancara dengan pihak-pihak

terkait.

44 Ibid, hlm. 235.

31
b. Data Sekunder, data yang diperoleh dari penelitian bahan

pustaka dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam

peraturan perundangan, buku-buku, dan artikel yang ada

hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Data

sekunder terdiri dari tiga bahan hukum yang antara lain

mencakup:

1) Bahan Hukum Primer dari penelitian ini berupa peraturan

perundang-undangan terkait seperti:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD NRI 1945);

b) Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang

Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Keppres No.52/1995);

c) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang

Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok,

Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Perpres

No.54/2008)

d) Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang

Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PP

No.22/2012);

e) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil (UU No.1/2014);

32
f) Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1995

tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata

Ruang Kawasan Pantura Jakarta (Perda DKI No.

8/1995);

g) Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 121 tahun 2012

tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai

Utara Jakarta (Pergub DKI No. 121/2012); dan

h) Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 1409

Tahun 2018 tentang Pencabutan Beberapa Keputusan

Gubernur tentang Pemberian Izin Pelaksanaan

Reklamasi.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang bersumber dari

sumber sekunder seperti buku-buku literatur hukum dan

tulisan-tulisan hukum lainnnya yang berkaitan dengan

penulisan ini.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti kamus hukum, dan ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mempermudah perolehan data, maka diperlukan

suatu teknik agar data mudah dikumpulkan dalam satu kesatuan

yang disusun berdasarkan kriteria yang dibutuhkan. Adapun teknik

yang digunakan penulis untuk memperoleh data adalah melalui

33
studi kepustakaan (library research), yaitu suatu usaha

mengumpulkan data dengan cara melakukan telaah literatur seperti

buku baik dalam bentuk fisik maupun buku online, jurnal, hasil

penelitian, sumber berita dan literatur lain yang relevan dengan

topik penelitian.

5. Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif

kualitatif. Maka setelah diperoleh data sekunder, dilakukanlah

pengelompokan data yang sama sesuai dengan kategori yang

ditentukan. Dalam penelitian ini bahan hukum yang telah

dikumpulkan, terlebih dahulu diolah dan dianalisis secara sistematis

berdasarkan analisis yuridis kualitatif yaitu dengan memperhatikan

peraturan perundang-undangan terkait dengan masalah yang teliti.

34

Anda mungkin juga menyukai