Anda di halaman 1dari 18

Kebijakan Pemerintah Daerah Merealisasikan

Izin Usaha Pertambangan

Tugas Pengganti Final


Hukum Sumber Daya Alam
Kelas D

Musthakim Algozaly/B111 14 371


T.A. 2016/2017
BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki suatu perangkat ideologi yang
mengandung nilai-nilai filosofis. Perasan nilai-nilai dan Ideologi (philosophy gronslag)
tersebut bermuatan Ketuhanan, Kemanusiaan, Kesatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial
lalu menjadi padanan terhadap suatu pijakan yang nantinya akan menentukan arah kebijakan
berbangsa dan bernegara. Maka, dilegalkanlah tujuan berbangsa dan bernegara dalam
preamble UUD Negara Republik Indonesia 1945 dengan klausa “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.”
Kajian perspektif negara hukum menurut H. Kaelan dengan membagi dua “tujuan
negara”, yaitu: a) tujuan khusus, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Negara Hukum
Formal) dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
(Negara Hukum Materiil); dan b) tujuan umum, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Politik Luar Negeri
Indonesia).1
Ulasan mengenai kutipan di atas bahwa melalui prinsip negara hukum (rechtstaat dan
rule of law) untuk mencapai kesejahteraan dan dorongan pencerdasan seluruh rakyat
Indonesia, konstitusi telah menjami perlindungan terhadap asa tersebut yang mediumnya ,
jika ditafsirkan sistematis, ialah peraturan perundang-undangan. Proyeksi dari kehidupan
berbangsa dan bernegara tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya
sesuai dengan kehendak rakyat. Artinya, tiap produk politik yang dimanifestasikan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan harus memiliki makna sosial agar bersesuaian dengan
jiwa bangsa (volkgeist). Berdasarkan beberapa literatur bahwa efektivitas hukum dapat diukur
dari seberapa besar penerimaan (recognise) masyarakat terhadap aturan-aturan yang bersifat
memaksa dan membatasi. Akseptabilitas terhadap suatu produk hukum dapat direalisasikan
apabila bersesuaian dengan kehendak “yang diatur” (baca: rakyat).
Selanjutnya, apabila merujuk kepada pendapat Jimly Asshiddiqie bahwa kekuasaan di
abad ke-21 telah terurai dan tidak terpusat pada pemerintahan melainkan dimanisfestasikan

1
Hernold Ferry Makawimbang, Memahami dan Menghindari Perbuatan Merugikan Keuangan Negara: Dalam
Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang, Yogyakarta: Thafa Media, 2015, hlm. 27-28.
dalam konteks yang lebih luas. Kekuasaan tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi negara
(state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society). Kekuasaan tersebut menjadi
penunjang utama dalam pembangunan suatu negara, harmoni di dalamnya menciptakan
percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Sinergitas tiga komponen di atas menjadi titik balik dalam upaya mencapai tujuan
bernegara, khususnya kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karenanya, Indonesia sebagai negara hukum melahirkan kebijakan publik
yang berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi di dalam masyarakat. Pendekatan dan
penggunaan analisis ini harus disusun dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dengan
tidak menghilangkan unsur keadilan, sehingga keadilan dapat menjadi economic standard
yang didasari oleh tiga elemen dasar, yaitu nilai (value), kegunaan (utility), dan efisiensi
(efficiency) yang didasari oleh rasionalitas manusia.2
Tinjauan di atas membantu penulis untuk mencerna realitas bahwa suatu produk
peraturan untuk mensejahterakan sangat berkaitan dengan pangsa pasar dalam suatu negeri.
Usaha Pertambangan menjadi salah satu pendongkrak kekuatan ekonomi, apabila disokong
dengan alur hingga pada tahap industri maka nilai jual akan sangat tinggi. Torehan tersebut
sangat membutuhkan sokongan dari regulasi yang memberikan pedoman guna mencapai
tujuan bersama. Izin usaha pertambangan merupakan saluran salah satu saluran untuk
memperkuat kedudukan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam di Indonesia karena
dalam izin, kedudukan pemerintah lebih tinggi dibandingkan swasta. Dasar normatif tertinggi
berdasar dari konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dana
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Maka dari itu, mekanisme dalam menentukan penguasaan kekayaan alam yang ada di
Indonesia memunculkan alur yang sistematis terlebih lagi substansi dari mekanisme tersebut
yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Di samping syarat-syarat formil-administratif
yang harus dipenuhi, kualitas dari corporate social responsibilty menjadi primadona dalam
perizinan yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan tambang baik itu asing maupun
lokal. Terhususnya untuk Pemerintah Daerah yang diberikan wewenang sekaligus yang
paling mengetahui kondisi lapangan usaha pertambangan beroperasi. Dengan asas otonomi
daerah dan tugas pembantuan, menurut penulis Pemerintah Daerah seharusnya menjadi garda
terdepan dalam merumuskan kebijakan publik bagi masyarakat sekitar yang masuk dalam

2
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, seventh edition, New York: Aspen Publishers, 2007, hlm. 15.
wilayah pertambangan. Hal yang nantinya menjadi landasan bagi masyarakat untuk
mendapatkan hak-haknya sebagai salah satu unsur negara.

B. Rumusan Masalah
1. Sejauh apa wewenang Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan izin usaha
pertambangan?
2. Bagaimana Pemerintah Daerah merealisasikan cita corporate social responsibility dalam
substansi izin usaha pertambangan?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini ialah untuk mengetahui peran-peran stakeholder, yakni
Pemerintah Daerah, swasta (Perusahaan Tambang), dan masyarakat selaku objek
pemberdayaan melalui isi dari klausul-klausul perizinan. Hal ini untuk mempertegas
bahwasanya pemerintah daerah memiliki peran yang strategis dalam pemberian izin yang
bersubstansi pada keberpihakan kepada masyarakat, selain memberikan jalan untuk investor
dapat mengelola kekayaan bumi Indonesia.

D. Pendekatan Penulisan
Pendekatan yang digunakan adalah Statue Approach atau pendekatan perundang-
undangan di mana pendekatan ini mencoba menelaah sistem regulasi yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat melalui izin usaha pertambangan. Pendekatan ini mencoba melihat
harmonisasi peraturan perundang-undangan dan peraturan teknis lainnya guna menghasilkan
pedoman yang rapi dan tersistematis. Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara hukum
maka seluruh tindak tanduk pemerintahan, salah satunya dalam perumusan kebijakan publik
harus diatur melalui naskah perundang-undangan. Selain sumber legitimasi dalam bertindak,
perundang-undangan juga merupakan upaya standardisasi dan penyeragaman mekanisme
oleh pihak-pihak terkait.
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Teori Kewenangan
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan
istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja
dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan,
demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah
dan pihak lain yang diperintah.3
Menurut Herbert G. Hick, wewenang atau otoritas adalah hak untuk melakukan
sesuatu hal, dan itu merupakan kekuasaan yang sah. Dalam suatu organisasi otoritas
merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang untuk menegeluaran instruksi terhadap orang
lain dan untuk mengawasi bahwa semua akan ditaati.4
Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang
dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan
merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di
samping unsur-unsur lainnya, yaitu hukum, kewenangan (wewenang), keadilan, kejujuran,
kebijaksanaan dan kebajikan. Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar
negara dalam keadaaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat berkiprah,
bekerja, berkapasitas, berprestasi dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu negara
harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah5 “kemampuan
seseorang atau sekelompok orang/manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau
kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan
dari orang atau negara.”
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga
Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) dimana
jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu
berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.6 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua
aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum
semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari

3
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998, hlm. 35-36.
4
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hlm. 87
5
Miriam Budiardjo, Log. cit, hlm. 35.
6
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, hlm.
39
luar konstitusi inkostitusional), misalnya melaui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan
jelas bersumber dari konstitusi. Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang.
Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah
bevoegheid dalam istilah hukum Belanda. Menurut Prayudi, ada perbedaan antara pengertian
kewenangan (Authority, gezag) dan wewenang (Competece, bevoegheid). Kewenangan
adalah:
a. Apa yang disebut “kekuasaan formal”, yaitu kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
legisatif (diberi oleh UU) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
b. Kewenangan biasanya terdiri dari beberapa wewenang.
c. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau
kekuasaan terhap sesuatu bidang pemerintahan.
Sedangkan yang dimaksud wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu
tindak hukum publik. Wewenangpun dapat juga dianggap sebagai hak untuk melaksanakan
suatu urusan pemerintahan.7
Ateng Syafrudin menambahkan perbedaan keduanya dengan mengartikan
kewenangan sebagai apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu
onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang (rechtsbevoegheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik,
lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang dalam rangka membuat
keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka melaksanakan
tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.8 Sedangkan jika menggunakan Black’s Law Dictionary,
kewenangan dikatakan Right to exercise powers; to implement and enforce laws; to exact
obedience; to command; to judge; control over; jurisdiction. Often symnonymous with
power.9
Selanjutnya Indroharto mengemukakan ada tiga bentuk kewenangan yang atribusi,
delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undanng-undang
sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sama
sekali. Sedangkan delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ
pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu
7
Jum Anggriani, Op.Cit, hlm 88.
8
Ateng Syarifuddin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab,
Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung: Universitas Parahyangan, 2000, hlm. 22.
9
Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Amerika Serikat: West Publishing Co., 1978, hlm. 121.
semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang
telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima
wewenang. Yang terakhir ialah mandat, yang tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat
masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada pemberi mandat.10

B. Teori Kebijakan Publik


Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi
permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002). Pada sudut
pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik mempelajari
keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi perhatian
publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh
kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik.
Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects, motivation failures,
rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002).
Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu
kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain itu,
dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai
serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan
pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam
proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses
pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung,
yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi
kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan.
Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut
(Mustopadidjaja, 2002).
a. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat
persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan
sebab akibat.
b. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai
melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.

10
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 104.
c. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang
mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
d. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang
dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam
berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model
simbolik, dan lain-lain.
e. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten
untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan
antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta
masyarakat, dan lain-lain.
f. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria
dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas
dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
g. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif
kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan
kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.

C. Pemerintah Daerah
Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan
desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Pemerintahan Daerah
menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi.
Indonesia sebagai negara yang luas, maka diperlukan sub national goverment sebagai unit
pemerintahan di tingkat lokal (daerah) melalui berbagai bentuk pendekatan.
Pendekatan sentralisasi akan cenderung membentuk unit-unit pemerintahan yang
sifatnya perwakilan (instansi vertikal) dalam menyediakan pelayanan publik di daerah.
Pendekatan desentralisasi memprioritaskan pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan
publik. Tujuan utama desentralisasi adalah mengatasi perencanaan yang sentralistik dengan
mendelegasikan sejumlah kewenangan pusat dalam pembuatan kebijaksanaan di daerah
untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengertian
mengenai pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun pengertian pemerintahan pusat menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu,
penyelenggara pemerintahan daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur birokratis yang ada di daerah meliputi tugas-tugas para kepala dinas,
kepala badan, unit-unit kerja di lingkungan pemerintah daerah yang sehari-harinya
dikendalikan oleh Sekretariat Daerah.11

D. Perizinan
Perizinan diistilahkan dengan licence, permit (Inggris); vergunning (Belanda). Izin
hanya merupakan otoritas dan monopoli pemerintah. Tidak ada lembaga lain di luar
pemerintah yang bisa memberikan izin dan ini berkaitan dengan prinsip kekuasaan Negara
atas semua sumber daya alam demi kepentingan hajat hidup orang orang banyak.12
Selain itu, fungsi izin adalah represif. Izin dapat berfungsi sebagai instrumen untuk
menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar
perizinan. Artinya, suatu usaha yang memperoleh izin atas pengelolaan lingkungan, dibebani
kewajiban untuk melakukan penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan yang
timbul dari aktivitas usahanya.13
Instrumen perizinan diperlukan pemerintah untuk mengkonkretkan wewenang
pemerintah. Tindakan ini dilakukan melalui penerbitan keputusan tata usaha negara.
Keputusan izin diberikan untuk melakukan suatu usaha atau kegiatan termasuk bidang usaha
atau kegiatan bidang lingkungan hidup.14

11
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 5.
12
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 28.
13
Ibid.
14
Ibid, hlm. 29.
Menurut ahli hukum Belanda N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, izin merupakan
suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk
dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan (izin
dalam arti sempit).15 Berdasarkan dua pandangan di atas, izin secara bentuk terbagi menjadi
dua, yakni pertama, di mana pemerintah memiliki kekuasaan untuk menentukan persyaratan
perizinan dan kedua, pemerintah dapat memberikan dispensasi kepada pihak lain yang
hendak bertindak di luar mekanisme.

E. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corpoate Social


Responsibility)
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) telah membahas
mengenai CSR yang berdiri pada tahun 1995 beranggotakan lebih dari 120 multinasional
company yang berasal dari 30 negara. Tanggung jawab sosial dikonsepkan sebagai komitmen
dari dunia usaha untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan
berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan hidup dari
karyawan dan keluarganya sekaligus peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat
secara luas.16 Erman Rajagukguk berpendapat bahwa CSR dalam arti luas mencakup
kepatuhan perusahaan kepada hak asasi manusia, perburuhan, perlindungan konsumen, dan
lingkungan hidup. Dalam arti sempit, yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar
perusahaan.17
Berdasarkan Stakeholder Theory, tujuan perusahaan harus dirumuskan oleh manajer
secara bersama-sama dengan stakeholder tentang nilai yang mereka ciptakan dan kepentingan
stakeholders. Selanjutnya Teori Instrumen mengatakan pelaksanaan kegiatan sosial sebagai
strategi mencapai keunggulan kompetitif dari perusahaan. Keunggulan itu mencakup (1)
investasi sosial dalam kompetitif; (2) pandangan dari perusahaan tentang sumber daya alam;
dan (3) kemampuan dinamis dari perusahaan. Kemudian Teori Legitimasi, legitimasi
dikonsepkan sebagai pandangan atau asumsi dari perusahaan, bahwa di dalam pelaksanaan
tanggung jawab sosial harus didasarkan norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, yang ditekankan di dalam pelaksanaan

15
N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, disunting Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya:
Yuridika, 1993, hlm. 77.
16
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep Aplikasi CSR Corporate Social Rensponsibilty, Gresik: Pascho Publishing,
2007, hlm 7.
17
Erman Rajagukguk, Konsep dan Perkembangan Pemikiran tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan¸
Makalah disajikan pada Workshop Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, di Yogyakarta, 6-8 Mei 2008, hlm. 9-10.
CSR, yaitu komunikasi dengan masyarakat. Terakhir, Teori Intergrasi dengan esensi bahwa
terjadi penyatuan dari permintaan atau keinginan masyarakat dengan bisnis yang
dikembangkan oleh pelaku usaha. Dengan pendekatan isu manajemen, tanggung jawab
publik, pemangku kepentingan, dan kinerja sosial perusahaan.18

BAB III Pembahasan


A. Wewenang Pemerintah Daerah dalam Pemberian Izin
Usaha Pertambangan

a) Kewenangan Pemerintah Daerah dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara
E. Utrecht mengatakan bahwa bila pembuat peraturan umumnya tidak melarang
suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara
yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan adminstrasi negara
yang memperkenankan hal tersebut bersifat izin (vergunning). Sjachran Basah
mengemukakan bahwa izin sebagai suatu perbuatan hukum administrasi negara
bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan
persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-
undangan. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, legalitas pengusahaan pertambangan hanya
dalam satu bentuk, yaitu izin. Dalam hal ini, pemerintah kembali mempertegas
kedudukannya sebagai penguasa dari sumber daya alam di Indonesia melalui
metode legislasi. Hal ini merupakan angin segar bagi masyarakat Indonesia bahwa
hasil tambang akan ditingkatkan kualitas dan pemasukannya terhadap negara dalam
bentuk PNBP. Dalam pelaksanaannya, izin secara garis besar terbagi menjadi tiga,
yaitu izin usaha pertambangan, izin pertambangan rakyat, dan izin usaha
pertambangan khusus. Dalam UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009
a. Jenis-jenis Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara, Izin Usaha Pertambangan (IUP)
dibagi atas 2 (dua) tahap, yaitu:
18
Salim H.S. & Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi Buku
Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2016, 114-118.
1) Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi merupakan pemberian izin
tahap pertama yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studi kelayakan. Untuk IUP eksplorasi pertambangan mineral logam
diberikan dalam jangka waktu selama 8 (delapan) tahun.
2) Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi merupakan izin yang
meliputi kegiatan konstrusksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. IUP Operasi produksi
untuk pertambangan mineral logam diberikan dalam jangka waktu paling
lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
tahun. Dalam tulisan ini fokus pembahasan dibatasi pada Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi, Operasi Produksi Khusus
Pengangkutan dan Penjualan.

b. Pejabat yang Berwenang Menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP)


a) Bupati/walikota, berwenang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan
(IUP) apabila wilayah kuasa pertambangannya berada dalam satu
wilayah kabupaten/kota dan atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil dari garis pantai.
b) Gubernur, berwenang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
apabila wilayah kuasa pertambangannya berada dilintas kabupaten/kota
dalam satu provinsi dan atau wilayah laut sampai dengan 12 mil dari
garis pantai.
c) Menteri, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
berwenang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) apabila wilayah
kuasa pertambangannya berada di beberapa wilayah provinsi dan tidak
dilakukan kerjasama antar provinsi, dan atau wilayah laut yang terletak
12 mil laut.

b) Kewenangan Pengelolaan Tambang Mineral Dan Batubara menurut UU No.


23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Penerbitan izin oleh pemerintah daerah dalam UU Minerba berbeda dengan UU
No. 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah. Pada Undang-Undang Pemda, tidak mengatur tentang
kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam Penerbitan Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Hal ini jelas dapat dilihat
dari matriks pembagian urusan konkuren antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Konsekuensi ketiadaan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam
perizinan pertambangan mineral dan batubara di daerah kabupaten kota menurut
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Implikasi hukum yang bisa
timbul dari ketiadaan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam perizinan
pertambangan mineral dan batubara yaitu.
1) Implikasi hukum terhadap Pemerintah Daerah: Adanya pembebanan kepada
pemerintah daerah/kabupaten kota dalam menanggulangi dampak negatif
dari pertambangan mineral dan batubara tanpa diberi kewenangan dalam
menentukan izin tersebut diterbitkan.
2) Implikasi terhadap Pemerintahan Daerah: Daerah kabupaten/kota pasif
dalam menjalankan pemerintahannya karena tidak sesuai dengan asas
desentralisasi.
3) Implikasi terhadap Lingkungan: Dengan tidak adanya kewenangan
mengakibatkan bertambahnya tambang illegal dan sulit untuk pemerintah
kabupaten/kota untuk ikut dalam pencegahan kerusakan ekosistem dan
mengontrol diwilayah pertambangan.

B. Substansi Corporate Social Responsibilty dalam salah satu


substansi Izin Usaha Pertambangan
Keberadaan perusahaan, baik bergerak di bidang pertambangan maupun
bidang lainnya mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pembangunan
nasional karena keberadaan perusahaan itu diharapkan dapat membangun masyarakat
yang berbeda di sekitar wilayah pertambangan maupun yang berada di luar wilayah
pertambangan. Secara yuridis, bahwa tanggung jawab sosial menjadi kewajiban bagi
perseroan uang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam berdasarkan undang-undang. Yang menjadi pertanyaan kini,
apakah perusahaan yang melakukan kewajiban itu, karena merupakan kewajiban
moral, hukum maupun karena sebab lainnya.
Implementasi CSR diawali dengan diajukannya corporate social initiatives
(inisiatif sosial perusahaan). Inisiatif sosial perusahaan dapat didefenisikan sebagai
major activities undertaken by a corporation to support social causes and to fulfill
commitments to corporate social responsibility, yaitu berbagai kegiatan atau aktivitas
utama perusahaan yang dilakukan untuk mendukung aksi sosial guna memenuhi
komitmen dalam tanggung jawab sosial perusahaan.
Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal mendefinisikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ialah yang melekat pada
setiap perusahaan penanaman modal untuk menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma. Dan budaya masyarakat
setempat. Didefinisikan pula di Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 bahwa komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat
pada umumnya.
Jika melihat pada bahasan usaha pertambangan, maka lebih komprehensif
bahasan mengenai CSR dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Dalam Pasal 8
ayat (1) huruf g mengatakan “Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain ..... pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan”. Kemudian pada Pasal 39 ayat (1) huruf j,
“IUP Eksplorasi wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya .... rencana
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan”.
Pasal 108 ayat (2) berkaitan dengan penyusunan program dan rencana harus
dikonsultasikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, terdapat tiga tingkat kegiatan program CSR dalam
usaha memperbaiki kesejahteraan masyarakat yakni:19
a. Kegiatan program CSR yang bersifat “charity”
Bentuk kegiatan seperti ini ternyata dampaknya terhadap masyarakat hanyalah
“menyelesaikan masalah sesaat” hampir tidak ada dampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Selain lebih mahal, dampak jangka panjang tidak
optimal untuk membentuk citra perusahaan. Dari sisi biaya, promosi kegiatan
sama mahalnya dengan biaya publikasi kegiatan. Walaupun masih sangat
relevan, tetapi untuk kepentingan perusahaan dan masyarakat dalam jangka

19
“Kegiatan Program CSR”, http://www.info-csr.blogspot.com/, terakhir kali diakses tanggal 23 Maret 2017.
panjang lebih dibutuhkan pendekatan CSR yang berorientasi pada peningkatan
produktifitas dan mendorong kemandirian masyarakat.
b. Kegiatan program CSR yang membantu usaha kecil secara parsial.
Saat ini makin banyak perusahaan yang menyadari pentingnya pendekatan
CSR yang berorientasi pada peningkatan produktifitas dan mendorong
kemandirian masyarakat. Salah satu bentuk kegiatannya adalah membantu
usaha kecil, tetapi bentuk kegiatan perkuatan tersebut masih parsial,
memisahkan kegiatan program yang bersifat pendidikan, ekonomi,
infrastruktur dan kesehatan. Walaupun lebih baik ternyata pada tingkat
masyarakat kegiatan ini tidak dapat diharapkan berkelanjutan, bahkan
cenderung meningkatkan kebergantungan masyarakat pada perusahaan,
sehingga efek pada pembentukan citra ataupun usaha untuk menggalang
kerjasama dengan masyarakat tidak didapat secara optimal.
c. Kegiatan program CSR yang berorientasi membangun daya saing masyarakat.
Program CSR akan memberi dampak ganda untuk perusahaan dan masyarakat
karena dari awal dirancang untuk meningkatkan produktifitas (sebagai ukuran
data saing) guna meningkatkan daya beli sehingga meningkatkan akses pada
meningkatkan akses pada pendidikan dan kesehatan jangka panjang. Untuk itu
perlu diberikan penekanan pada keberlanjutan penguatan ekonomi secara
mandiri (berjangka waktu yang jelas/mempunyai exit policy yang jelas). Untuk
memberikan ungkitan besar pada pendapatan masyarakat maka kegiatan
perkuatan dilakukan pada rumpun usaha spesifik yang saling terkait dalam
rantai nilai. Setiap pelaku pada mata rantai nilai pada dasarnya adalah organ
ekonomi yang hidup. Perkuatan dilakukan untuk meningkatkan metabolisme
(aliran barang, jasa, uang, informasi dan pengetahuan) dalam sistem yang
hidup tersebut yang pada gilirannya akan meningkatkan performance setiap
organ. Pendekatan CSR yang smart adalah dengan mengambil peran sebagai
fasilitatif-katalistik sehingga kegiatan CSR lebih efesien memberikan dampak
pada rumpun usaha dalam satu rantai nilai. Program pendidikan, kesehatan,
dan infrasturktur-infrastruktur dirancang sinergis dengan penguatan ekonomi
sehingga mampu menigkatkan indeks pembangunan manusia pada tingkat
lokal.
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan
1. Kedudukan pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak sebagai
penentu apakah suatu izin pertambangan mineral dan batubara diterbitkan atau tidak
melainkan sebagai penyelesaian masalah yang timbul dari pertambangan mineral dan
batubara. Eksistensi pemerintah daerah dalam mengelola tambang mineral dan
batubara dihapuskan. Hal ini mengakibatkan terhambatnya pemerintah daerah dalam
mengurus urusan rumah tangga sendiri dalam konteks asas otonom.

2. Pengaturan mengenai CSR terdapat dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun


2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 15 dan Pasal 34 Undang- Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas secara singkat dikatakan bahwa ketentuan
tentang CSR wajib dilaksanakan bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dimana kewajiban Perseroan
itu dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran dan bagi yang tidak
melaksanakan akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dalam bidang penanaman modal ketentuan mengenai CSR itu merupakan
salah satu kewajiban setiap penanam modal yang apabila tidak dilaksanakan akan
dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha,
pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, dan pencabutan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal ataupun sanksi lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Saran
1. Pemerintah dan Parlemen segera melakukan harmonisasi perundang-undangan atau
mensosialisasikan mengenai ketentuan ini. Perbedaan kewenangan pemerintah daerah
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara dengan Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dapat
menimbulkan kegaduhan dalam teknis pelaksanaan pemerintahan dan tata kelola
kebijakan pertambangan.
2. Melalui komunikasi yang harmonis, pemerintah dapat menawarkan memberikan
masukan atau rekomendasi kepada persero untuk memporgramkan CSR yang
meningkatkan kualitas masyarakat lokal. Selain itu, masyarakat lokal pun harus
mengambil bagian dalam perumusan kebijakan CSR yang dilaksanakan oleh
perusahaan agar mengetahui tujuan dan latar belakang diadakan program CSR
tersebut, dan lebih jauh lagi membangun sinergitas dengan perusahaan.
Daftar Pustaka
a. Buku
Anggriani, Jum. 2012. Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Black, Hendry Campbell. 1978. Black’s Law Dictionary, Amerika Serikat: West Publishing
Co.
Budiardjo, Miriam.1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,.
Helmi, 2012, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Jakarta: Sinar Grafika.
H.S, Salim & Erlies Septiana Nurbani, 2016, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi Buku Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers.
Kantaprawira, Rusadi. 2005. Sistem Politik Indonesia : Suatu Model Pengantar, Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Makawimbang, Hernold Ferry, 2015, Memahami dan Menghindari Perbuatan Merugikan
Keuangan Negara: Dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang, Yogyakarta: Thafa
Media.
Posner, Richard A. 2007. Economic Analysis of Law, seventh edition, New York: Aspen
Publishers.
Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Spelt, N.M. dan J.B.J.M. ten Berge, disunting Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum
Perizinan, Surabaya: Yuridika, Yusuf Wibisono, Membedah Konsep Aplikasi CSR Corporate
Social Rensponsibilty, Gresik: Pascho Publishing.
Sunarno, Siswanto 2005.Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta: Sinar Grafika.
Syarifuddin, Ateng. 2000. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung: Universitas Parahyangan.

b. Website
“Kegiatan Program CSR”, http://www.info-csr.blogspot.com/, terakhir kali diakses tanggal
23 Maret 2017.

c. Makalah
Rajagukguk, Erman. Konsep dan Perkembangan Pemikiran tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan¸ Makalah disajikan pada Workshop Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, di
Yogyakarta, 6-8 Mei 2008.

Anda mungkin juga menyukai