RESEARCH ARTICLE
bimokusumo6@gmail.com
ABSTRACT
Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala penyelenggaraan negara haruslah
mendasarkan pada hukum. Termasuk dalam pengelolaan Tanah. Rancangan sistem hukum
pertanahan di Indonesia telah dilakukan guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan negara
guna mencapai tujuan pembangunan nasional dibidang percepatan invesitasi yaitu dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Penguatan
tentang Pertanahan dalam Undang-Undang tersebut diatur pada bagian ke-empat
pertanahan yaitu Pasal 125 sampai dengan 147. Guna melaksanakan amanat pasal 142 dan
Pasal 185 huruf (b) Undang-Undang Cipta Kerja, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan
Pendaftaran Tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis konsepsi,
prinsip-prinsip, dan pengaturan, serta pelaksanaan hukum hak pengelolaan dalam sistem
hukum pertanahan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif
melalui studi kepustakaan dan kajian teori pembentukan perundang-undangan yang baik.
Dalam penelitian ini memuat kajian hukum mengenai inkonsistensi secara internal maupun
vertikal Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. Dimana terdapat beberapa pasal
yang memiliki substansi yang kontradiktif antar pasal lain dan dengan peraturan lainnya
diatasnya. Ini akan menjadi pembandingan dengan bagaimana penerapan teori
pembentukan perundang-undangan yang baik yang seharusnya diterapkan dalam PP ini.
Contohnya beberapa yakni pasal-pasal kontradiktif mengenai Hak Pengelolaan, Hak Guna
Bangunan dan Hak Guna Usaha, serta pengaturan mengenai HGB Warga Negara Asing.
Mengenai hal tersebut menurut kami pemerintah harus segera mengkaji Kembali Peraturan
Pemerintah tersebut agar terciptanya suatu kepastian hukum.
Kata Kunci: Hak Pengelolaan, Teori Pembuat UU, kontradiktif, PP No 18/2021.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
2 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022
INTRODUCTION
Hukum mempunyai tujuan yang hendak dicapai, yaitu menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, keseimbangan dan berkeadilan. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat,
diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 dinyatakan negara Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum yang dimaksudkan adalah segala penyelenggaraan Negara haruslah
mendasarkan pada hukum, bukan menggunakan pendekatan kekuasaan dengan berbagai
macam karakteristik negara hukum yang melekat pada negara yang menganut civil law
system dengan penyebutan istilah negara hukum sebagai rechtsstaats atau di negara
common law system dengan istilahnya rule of law.1
Pandangan demikian sebenarnya yang menjadi komando tertinggi dalam
penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri dengan prinsip rule of law, and not of man
dalam konteks nomokrasi atau kekuasaan yang dijalankan oleh hukum.Prinsip negara
hukum hendaknya dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat, serta tidak boleh mengabaikannya. Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka
(machtsstaat) Kehadiran hukum menurut Satjipto Rahardjo di antaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa berbenturan
antara kepentingan yang satu dengan lainnya. Dalam rangka mencapai tujuan hukum dan
kehadiran hukum tersebut, maka dimulai dari pembentukan hukum, yakni pembuatan
perundang-undangan (legislasi) yang dilakukan oleh DPR, DPD atau DPRD sebagai fungsi
legislasi.2
Dalam konteks pembuatan hukum oleh lembaga-lembaga perwakilan, secara vuridis
pembentukannya bermuara kepada Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 10 ayat (1) huruf e menyebutkan
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat, yang merupakan salah satu dari materi
muatan suatu undang-undang. Pemenuhan kebutuhan masyarakat mencerminkan konsep
pembentukan hukum yang responsif dan aspiratif. Indonesia sebagai negara hukum yang
lebih dekat dengan istilah rechtstaats berlandaskan pada historisitas dan filosofis masuk
dalam kategori negara penganut civil law system atau Eropa Kontinental berimplikasi pada
dominannya negara dalam artian eksekutif dan legislatif dalam membentuk berbagai regulasi
yang dibuat, baik dalam tingkatan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri
hingga di level peraturan daerah. Berbagai jenis regulasi tersebut dibentuk sebagai upaya
menciptakan ketertiban dan kepastian hukum di suatu negara, agar pijakan dalam
menjalankan penyelenggaraan negara, masyarakat, badan hukum atau suatu usaha, dapat
memiliki landasan atau payung hukumnya.
Pembuatan hukum pun juga memiliki beberapa jenjang teori. Pemahaman mengenai
teori-teori yang terakit dengan peraturan perundang-undangan diperlukan bagi para
perancang, pembentuk, tim ahli, dan konsultan pembentukan peraturan perundang-
1
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta,
2011.
2
Ibnu Sina Chandranegara, Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi, Jurnal Hukum Ius
Quia Iustum, Vol. 26, No. 3, 2019, hal. 27.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 3
3
Ahmad Redi, Hukum Pembentuk Peraturan perundang-Undangan, Sinar Grafika, Bandung, 2018
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
4 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022
Pertanahan dalam UUCK diatur pada bagian keempat pertanahan yaitu Pasal 125 sampai
dengan 147 dengan Pasal 136 sampai dengan 142 tentang penguatan hak pengelolaan.
Untuk melaksanakan amanat pasal 142 dan Pasal 185 huruf b UUCK, diterbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah (PP No. 18/2021) pada tanggal 2 Februari
2021. Tujuan penyusunan PP No. 18/2021 adalah kodifikasi dan simplikasi aturan dengan
menyatukan beberapa peraturan, mengganti norma ketentuan yang sudah tidak relevan,
serta mengatur hal-hal baru sesuai dengan kebutuhan hukum dan masyarakat.
Menurut Nurhasan Ismail4, bahwa selain terdapat segi positif yang timbul karena
adanya PP No.18/2021, terdapat pula beberapa isu krusial pada regulasi tersebut, salah
satunya terdapat beberapa pasal yang inkonsistensi. PP No. 18/2021 apabila dikaji dan
ditelaah dari konstensi-tidaknya substansi norma, dari 104 Pasal dapat ditemukan 90 pasal
yang bisa dinyatakan mengandung konsistensi norma baik secara internal maupun vertikal
dan horisontal, sedangkan 16 pasal lainnya bisa dinyatakan mengandung inkonsistensi baik
secara internal maupun secara vertikal.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin menganalisa terkait pasal-pasal mana
saja yang substansi-substansinya mengandung kontradiksi baik internal maupun secara
vertikal (peraturan-peraturan yang lebih tinggi) dan melakukan pembandingan dengan teori-
teori hukum Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan. Hal tersebut bertujuan untuk
memberikan masukan kepada Lembaga legislative dan pemerintah guna mengkaji ulang
beberapa pasal-pasal yang substansinya bertentangan.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif melalui studi kepustakaan dan
kajian dokumentasi terhadap data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan
bahan hukum tertier. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif yang
menekankan pada content analysis. Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan
menganalisis serta mengidentifikasi bahan hukum, kemudian diinventarisasi, selanjutnya
bahan hukum diklasifikasikan, serta menggunakan internet untuk menunjang bahan hukum
yang mempunyai relasi dengan isu hukum pada penelitian ini. Analisis yang dipakai
menggunakan pedoman UUPA, UUCK dan Peraturan Perundang-undangan serta teori-
teori yang menjadi dasar pembahasan dalam penelitian ini.
4
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadja Mada
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 5
stimulus positif bagi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang akan membuka
banyak lapangan kerja masyarakat. UU Cipta Kerja juga merupakan terobosan dan cara
Pemerintah menangkap peluang investasi dari luar negeri lewat penyederhanaan izin dan
pemangkasan birokrasi. Beberapa aturan mencabut atau merevisi aturan terkait yang sudah
ada sebelumnya.
Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 142 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Aturan tersebut memberikan definisi Hak Pengelolaan yakni hak menguasai dari
negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak
Pengelolaan. Hak Pengelolaan dapat berasal dari Tanah Negara dan Tanah Ulayat. Hak
Pengelolaan yang berasal dari Tanah Negara diberikan kepada instansi Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara/daerah, badan hukum milik negara/daerah,
badan bank tanah dan badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan Hak
Pengelolaan yang berasal dari Tanah Ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat. Hak
Pengelolaan yang berasal dari Tanah Negara atau Tanah Ulayat ditetapkan dengan
keputusan Menteri dan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Pemegang Hak
Pengelolaan diberikan sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan Hak Pengelolaan.
Menurut Nuhasan Ismail, terjadi adanya inkonsistensi dan kontradiksi dalam PP 18
Tahun 2021 yang mengatur tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah
Susun, dan Pendaftaran Tanah. PP No.18 Tahun 2021 hanya disandarkan pada UU No.11
Tahun 2020 (UU CK) dan tidakdisebutkan UUPA sebagai dasar rujukan. Seolah-olah
Peraturan tersebut hanya digunakan sebagai pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja
namun tidak menggunakan UUPA sebagai dasar dari pelaksanaan PP tersebut.
Meskipun Secara formal boleh saja PP No.18 Tahun 2021 tidak memasukkan norma
norma UUPA sebagai dasar rujukan. Namun dengan pertimbangan secara materiil atau
substantif PP tersebut wajib memperhatikan asas-asas hukum dalam UUPA karena tidak
ada satu ketentuan dalam UUCK yang menghapus berlakunya UU No.5 Tahun 1960. Hal
ini berlaku dikarenakan UUPA mengandung beberapa asas hukum sebagai hukum yang
khusus (Lex Specialis) sedangkan UUCK berkedudukan sebagai hukum yang umum (Lex
Generalis) sehingga konsekuensinya UUCK tidak boleh mengandung substansi hukum
yang bertentangan dengan UUPA & begitu juga halnya PP No.18 Tahun 2021. Dengan
begitu artinya substansi PP No.18 Tahun 2021 harus menjabarkan ketentuan baik UUPA
maupun UUCK sepanjang ketentuan UUCK tidak bertentangan dengan UUPA.
A) Inkonsistensi Internal
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
6 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022
B) Inkonsistensi Vertikal
Inkonsistensi Secara Vertikal juga terjadi dalam PP ini. Yakni terdapat dalam Pasal 4
dan 5 PP No. 18 Tahun 2021 yang bertentangan dengan Pasal 137 ayat (1) dan (3) UUCK
dan Pasal 3 UUPA yang membahas mengenai asal tanah yang dapat diberikan Hak
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 7
Pengelolaan (HPL). Pasal 4 dan 5 PP No. 18 tahun 2021 menerangkan bahwa asal tanah
yang dapat diberikan untuk Hak Pengelolaan (HPL)di samping Tanah Negara, juga Tanah
Ulayat yang hanya dapat diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat, sedangkan di dalam
ketentuan Pasal 137 UUCK menentukan bahwa tanah yang diberikan dengan HPL hanya
berasal dari Tanah Negara dan tidak mengamanahkan Masyarakat Hukum Adat sebagai
subyek yang dapat diberi HPL. Hal sama juga ditentukan dalam Pasal 3 UUPA bahwa
Tanah Ulayat hanya dapat dilekati Hak Ulayat yang diberikan kepada subyek hukum yaitu
Masyarakat Hukum Adat.
Dalam Webinar “Quo Vadis Regulasi Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?”5 Menurut Maria S.W. Sumardjono6 Labelisasi HPL
bertentangan dengan HMN, Pasal 2 dan Penjelasan Umum II.2 UUPA yang menegaskan
bahwa tanah hak ulayat merupakan entitas tersendiri, disamping tanah negara dan tanah
hak. Penyebutannya adalah tanah (hak) ulayat, tidak perlu “diberi nama” dengan HPL
karena hakekat tanah ulayat berbeda dengan tanah HPL. Pasal 4 PP No. 18/2021 yang
berbunyi : “Hak pengelolaan dapat berasal dari tanah negara dan tanah ulayat” justru
kontradiktif dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (2) PP No. 18/2021 yang mengembalikan
penetapan keberadaan Masyarakat Hukum Adat pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pengertian HPL tidak kompatibel dengan hak ulayat. Hak ulayat kewenangannya
melekat/inheren pada dirinya. Tidak perlu mendapat “pelimpahan” wewenang dari
siapapun, termasuk dari negara.
Labelisasi HPL pada MHA menjadi janggal ketika dikaitkan dengan kewenangan
pemegang HPL pada umumnya (Pemerintah, Pemda, BUMN/D, BHMN/D, Badan Bank
Tanah, badan yang ditunjuk pemerintah pusat). Karakter MHA jelas berbeda dengan subjek
HPL pada Pasal 5 PP No. 18 Tahun 2021 tersebut. Pengaturan tentang MHA dalam PP
No. 18 Tahun 2021 dikaitkan dengan PP No. 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan dan Tanah jo. Permen ATR/Ka BPN No. 19 Tahun 2021 sebagai peraturan
pelaksanaannya, masih terkesan mengikuti arah angin bertiup. Seyogianya ditegaskan bahwa
pengukuhan keberadaan MHA diterbitkan dalam bentuk Perda yang dikaitkan dengan
MHA tertentu (bukan Perda pengaturan tentang MHA secara umum!) atau dalam bentuk
keputusan kepala daerah (SK Gubernur/Bupati/Walikota) sesuai kewenangannya. KLHK
sudah lebih maju mengatur tentang hal ini. Tak ada salahnya ATR/BPN mengikuti KLHK
yang dengan tegas memberlakukan bentuk pengakuan MHA di dalam kawasan hutan negara
dan di luar kawasan hutan negara. Landasan hukumnya adalah Permen LHK No. 7 Tahun
2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, yang diafirmasi dalam Pasal 234 PP No. 23
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. PP No. 19 Tahun 2021 dan Permen
ATR/Ka BPN No. 19 Tahun 2021 belum mengatur tentang ganti kerugian terhadap tanah
ulayat sebagai ruang hidup MHA. Menyamakan MHA dan bukan MHA dalam hal ganti
kerugian, jelas tidak adil bagi MHA.
Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) di atas Tanah HPL yang di atur di dalam
ketentuan Pasal 138 ayat (2) UUCK serta Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 21 PP No.18/2021
5
Presentasi pada Webinar “Quo Vadis Regulasi Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja?”, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pusat Kajian Hukum
Adat Djojodigoeno) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusat Kajian Hukum Agraria dan
Adat/PAgA), 20 September 2021
6
Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Imu
Pengetahuan Indonesia
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
8 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022
yang bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUPA. Pasal 21 PP No.18/2021 mengatur
bahwa HGU dapat diberikan di atas Tanah HPL dan ini didukung oleh Pasal 138 UUCK.
Pasal 8 ayat (1) PP No.18/2021 berbunyi :
“Hak Pengelolaan yang penggunaan dan pemanfaatan seluruh atau sebagian tanahnya untuk
digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain sebagaimana dimaksud daiam Pasal 7 ayat
(1) huruf b dapat diberikan Hak Atas Tanah berupa hak guna usaha, hak guna bangunan dan/atau
hak pakai di atas Hak Pengelolaan sesuai dengan sifat dan fungsinya, kepada: pemegang Hak
Pengelolaan sepanjang diatur dalam Peraturan Pemerintah; atau pihak lain, apabila Tanah Hak
pengelolaan dikerjasamakan dengan perjanjian pemanfaatan Tanah.”
sedangkan bunyi pasal 28 ayat (1) UUPA menerangkan bahwa :
“Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan”.
Inkonsistensi ini sudah terjadi antar Undang-Undang yang bersifat horisontal, UUPA
mengatur HGU hanya dapat diberikan di atas Tanah Negara dan bukan di atas Hak
Pengelolaan.
Lalu, ketentuan saat lahirnya Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai di atas Hak
Milik yang tercantum dalam Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (2) PP No.18/2021
bertentangan dengan Pasal 37 huruf b dan Pasal 43 ayat (2) UUPA. Pasal dalam PP
No.18/2021 tersebut menjelaskan bahwa HGB dan HPJW di atas Tanah Hak Milik lahir
atau terjadi sejak didaftarkan Akta Pemberian Haknya di Kantor Pertanahan, sedangkan
dalam ketentuan Pasal 43 ayat (2) UUPA menerangkan bahwa HGB di atas Tanah Hak
Milik lahir/terjadi sejak ditandatanganinya Akta Pemberian Haknya yang dibuat PPAT.
Terakhir Yakni Pemilikan HGB oleh Warga Negara Asing (WNA) yang diatur di
dalam ketentuan Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) PP No.18/2021 sebagai penjabaran
lebih ketentuan Pasal 144 dan Pasal 145 UUCKbertentangan dengan Pasal 36 ayat (1)
UUPA. Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) menerangkan bahwa WNA boleh mempunyai
HGB yang digunakan untuk bangunan Rusun dan berada di Kawasan Khusus (kawasan
ekonomi khusus, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, kawasan industri, dan
kawasan ekonomi lainnya) dan ini memang dibuka kemungkinannya oleh Pasal 144 & Pasal
145 UUCK.” Pengaturan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUPA
yang menyatakan menutup kemungkinan WNA untuk mempunyai HGB untuk semua
penggunaan.
Menurut pendapat Maria S.W. Sumardjono (2021) mengatakan bahwa pengaturan
mengenai Orang Asing boleh memiliki satuan rumah susun/apartemen/flat/unit dalam
rusun yang tanah bersamanya berstatus HGB (atas tanah negara, atas tanah Hak Milik atau
HPL) jelas bertentangan dengan UUPA dan konsep universal tentang “strata title” yang
mengenal individual sekaligus co ownership atas tanah, benda dan bagian dari rusun.
Berdasarkan asas nasionalitas dalam hukum pertanahan yang diatur dalam UUPA, orang
asing tidak diperkenankan memiliki hak atas tanah tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal
9 ayat (1) UUPA.Hak atas tanah yang mungkin dimiliki warga negara asing adalah Hak
Pakai.
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 9
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
10 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022
CONCLUSION
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2021 merupakan peraturan perundang-undangan
pelaksana yang mengatur mengenai Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan dan Hak Milik
yang hanya bersandarkan pada UUCK dan tidak menyebutkan UUPA sebagai dasar
rujukan. Meskipun demikian, UUPA harus tetap menjadi rujukan karena tidak ada satu
ketentuan dalam UUCK yang menghapus berlakunya UU No. 5 Tahun 1960, artinya
substansi daripada PP No. 18/2021 tidak boleh bertentang dengan peraturan pokok yang
mengatur terkait dengan agraria itu sendiri yaitu UUPA. Hasil kajian oleh para pakar hukum
agraria ditemukan beberapa pasal yang substansinya saling kontradiktif antar pasal dengan
pasal didalamnya dan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dibandingkan dengan teori penyusunan hukum yang dikemukakan John Michael
Otto. Maka teori Kepastian hukum itu haruslah tersedia aturan-aturan hukum yang jelas
dan konsisten, dikarenakan karena perundang-undangan memiliki peranan dan fungsi
sangat vital dan strategis dalam kehidupan suatu negara. Sehingga inkonsistensi dalam PP
No 18/2021 kelas akan melahirkan sejumlah akibat, seperti ketidakpastian hukum,
pelaksanaan UU menjadi tidak efektif dan efesien. Sehingga seharusnya penyusunan PP
tersebut juga memerhatikan aspek kepastian hukum, hal inilah yang harusnya dapat ditinjau
Kembali oleh pemerintah.
REFERENCES
Gloria, Pakar UGM: Terdapat Sejumlah Inkonsistensi dalam PP No. 18 Tahun 2021,
https://www.ugm.ac.id/id/berita/21701-pakar-ugm-terdapat-sejumlah-
inkonsistensi-dalam-pp-no-18-tahun-2021, (diakses pada pukul 14.00 Tanggal 04 Mei
2022)
Ismail, Nurhasan., Catatan Terjadinya Inkonsistensi Internal dan Vertikal Substansi PP No. 18
Tahun 2021, Materi Presentasi Webinar 20 September 2021 yang Diselenggarakan
Oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2021.
Sumardjono, Maria S. W., Quo Vadis Regulasi Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja?, Materi Presentasi Webinar 20 September 2021 yang
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 11
© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia