Anda di halaman 1dari 11

Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 1

RESEARCH ARTICLE

ANALISIS KONTRADIKSI HUKUM DIDALAM


PP NO 18 TAHUN 2021 TERHADAP TEORI
KEPASTIAN HUKUM
Bimo Kusumo Putro Indarto1 , Sunny Ummul Firdaus2
1 Aktivis Karang Taruna Muda Jaya, Madiun, jawa Timur, Indonesia
2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

 bimokusumo6@gmail.com

ABSTRACT
Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala penyelenggaraan negara haruslah
mendasarkan pada hukum. Termasuk dalam pengelolaan Tanah. Rancangan sistem hukum
pertanahan di Indonesia telah dilakukan guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan negara
guna mencapai tujuan pembangunan nasional dibidang percepatan invesitasi yaitu dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Penguatan
tentang Pertanahan dalam Undang-Undang tersebut diatur pada bagian ke-empat
pertanahan yaitu Pasal 125 sampai dengan 147. Guna melaksanakan amanat pasal 142 dan
Pasal 185 huruf (b) Undang-Undang Cipta Kerja, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan
Pendaftaran Tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis konsepsi,
prinsip-prinsip, dan pengaturan, serta pelaksanaan hukum hak pengelolaan dalam sistem
hukum pertanahan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif
melalui studi kepustakaan dan kajian teori pembentukan perundang-undangan yang baik.
Dalam penelitian ini memuat kajian hukum mengenai inkonsistensi secara internal maupun
vertikal Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. Dimana terdapat beberapa pasal
yang memiliki substansi yang kontradiktif antar pasal lain dan dengan peraturan lainnya
diatasnya. Ini akan menjadi pembandingan dengan bagaimana penerapan teori
pembentukan perundang-undangan yang baik yang seharusnya diterapkan dalam PP ini.
Contohnya beberapa yakni pasal-pasal kontradiktif mengenai Hak Pengelolaan, Hak Guna
Bangunan dan Hak Guna Usaha, serta pengaturan mengenai HGB Warga Negara Asing.
Mengenai hal tersebut menurut kami pemerintah harus segera mengkaji Kembali Peraturan
Pemerintah tersebut agar terciptanya suatu kepastian hukum.
Kata Kunci: Hak Pengelolaan, Teori Pembuat UU, kontradiktif, PP No 18/2021.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
2 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

INTRODUCTION
Hukum mempunyai tujuan yang hendak dicapai, yaitu menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, keseimbangan dan berkeadilan. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat,
diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 dinyatakan negara Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum yang dimaksudkan adalah segala penyelenggaraan Negara haruslah
mendasarkan pada hukum, bukan menggunakan pendekatan kekuasaan dengan berbagai
macam karakteristik negara hukum yang melekat pada negara yang menganut civil law
system dengan penyebutan istilah negara hukum sebagai rechtsstaats atau di negara
common law system dengan istilahnya rule of law.1
Pandangan demikian sebenarnya yang menjadi komando tertinggi dalam
penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri dengan prinsip rule of law, and not of man
dalam konteks nomokrasi atau kekuasaan yang dijalankan oleh hukum.Prinsip negara
hukum hendaknya dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat, serta tidak boleh mengabaikannya. Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka
(machtsstaat) Kehadiran hukum menurut Satjipto Rahardjo di antaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa berbenturan
antara kepentingan yang satu dengan lainnya. Dalam rangka mencapai tujuan hukum dan
kehadiran hukum tersebut, maka dimulai dari pembentukan hukum, yakni pembuatan
perundang-undangan (legislasi) yang dilakukan oleh DPR, DPD atau DPRD sebagai fungsi
legislasi.2
Dalam konteks pembuatan hukum oleh lembaga-lembaga perwakilan, secara vuridis
pembentukannya bermuara kepada Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 10 ayat (1) huruf e menyebutkan
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat, yang merupakan salah satu dari materi
muatan suatu undang-undang. Pemenuhan kebutuhan masyarakat mencerminkan konsep
pembentukan hukum yang responsif dan aspiratif. Indonesia sebagai negara hukum yang
lebih dekat dengan istilah rechtstaats berlandaskan pada historisitas dan filosofis masuk
dalam kategori negara penganut civil law system atau Eropa Kontinental berimplikasi pada
dominannya negara dalam artian eksekutif dan legislatif dalam membentuk berbagai regulasi
yang dibuat, baik dalam tingkatan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri
hingga di level peraturan daerah. Berbagai jenis regulasi tersebut dibentuk sebagai upaya
menciptakan ketertiban dan kepastian hukum di suatu negara, agar pijakan dalam
menjalankan penyelenggaraan negara, masyarakat, badan hukum atau suatu usaha, dapat
memiliki landasan atau payung hukumnya.
Pembuatan hukum pun juga memiliki beberapa jenjang teori. Pemahaman mengenai
teori-teori yang terakit dengan peraturan perundang-undangan diperlukan bagi para
perancang, pembentuk, tim ahli, dan konsultan pembentukan peraturan perundang-
1
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta,
2011.
2
Ibnu Sina Chandranegara, Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi, Jurnal Hukum Ius
Quia Iustum, Vol. 26, No. 3, 2019, hal. 27.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 3

undangan. Pemahaman teoretisi ini akan membantu Lembaga-lembaga perwakilan dalam


menyusun rencangan peraturan perundang-undangan karena pemahaman teoretis ini
dengan menjadikan teori-teori sebagai pisau analisis terhadap aspek formil dan aspek
substansi rancangan peraturan perundang-undangan yang sedang dirancang. Dengan
demikian, akan terbentuk suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki kualitas yang
sangat baik secara formil dan substansi sehingga berdaya guna dan berlaku guna bagi sasaran
norma.
Menurut Jhon Michael Otto, semakin baik suatu negara hukum berfungsi, maka
semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya bila suatu negara tidak memiliki
sistem hukum yang berfungsi secara otonom, maka kecil pula tingkat kepastian hukum.
Terlepas dari negara (berkembang) manapun yang menjadi fokus kajian, kita akan segera
kembali berhadapan dengan pertanyaan pokok seperti: sejauh mana atau pada tingkat apa
kita dapat temukan kepastian hukum nyata? Faktor-faktor yuridis dan non-yuridis apakah
yang menentukan hal ini? dan apa yang dapat kita lakukan untuk memperbesar tingkat
kepastian hukum nyata demikian? Di sini dapat dikatakan bahwa tingkat kepastian hukum
nyata hampir selalu dapat digambarkan beranjak dari tiga jenis faktor. Pertama dari aturan-
aturan hukum itu sendiri, kedua dari instansi-instansi (kelembagaan/institutions) yang
membentuk dan memberlakukan serta menerapkan hukum dan yang bersama-sama dengan
hukum membentuk sistem hukum, dan ketiga dari lingkungan sosial yang lebih luas: faktor-
faktor politik, ekonomi dan sosial-budaya.3
Sebab itu pula, maka peraturan perundang-undangan Indonesia harus melihat dari
berbagai kemungkinan yang dijelaskan diatas tadi. Termasuk dalam pengelolaan sumber
daya agraria yang menjadi salah satu sumber ekonomi nasional. Konsentrasi Agraria
Indonesia tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Pasal tersebut adalah amanat yang termanifestasi dalam Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).Pasal 2 ayat (2) UUPA menyebutkan atas dasar amanat tersebut negara diberikan
wewenang untuk: (1) Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (2) Menentukan dan
mengatur, hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa; (3) Menentukan dan mengatur, hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pengelolaan sumberdaya agraria yang berlangsung selama ini telah menimbulkan
penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatannya dan menimbulkan berbagai konflikakibat keterbatasan lahan secara
fisik. Bentuk upaya pemerintah dalam menanggulangi hal tersebut yaitu melakukan rancang
bangun sistem hukum pertanahan. Sistem hukum pertanahan dilakukan pembaruan
kebijakan mengenai pengelolaan pertanahan yang dibuat guna menjawab tantangan
percepatan investasi pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, ketahanan ekonomi,
daya saing ekonomi, kebutuhan lahan, pemberian hak ruang atas tanah/ruang bawah tanah,
dan percepatan pendafatran seluruh bidang tanah di Indonesia yang selanjutnya dimuat
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Penguatan

3
Ahmad Redi, Hukum Pembentuk Peraturan perundang-Undangan, Sinar Grafika, Bandung, 2018

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
4 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

Pertanahan dalam UUCK diatur pada bagian keempat pertanahan yaitu Pasal 125 sampai
dengan 147 dengan Pasal 136 sampai dengan 142 tentang penguatan hak pengelolaan.
Untuk melaksanakan amanat pasal 142 dan Pasal 185 huruf b UUCK, diterbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah (PP No. 18/2021) pada tanggal 2 Februari
2021. Tujuan penyusunan PP No. 18/2021 adalah kodifikasi dan simplikasi aturan dengan
menyatukan beberapa peraturan, mengganti norma ketentuan yang sudah tidak relevan,
serta mengatur hal-hal baru sesuai dengan kebutuhan hukum dan masyarakat.
Menurut Nurhasan Ismail4, bahwa selain terdapat segi positif yang timbul karena
adanya PP No.18/2021, terdapat pula beberapa isu krusial pada regulasi tersebut, salah
satunya terdapat beberapa pasal yang inkonsistensi. PP No. 18/2021 apabila dikaji dan
ditelaah dari konstensi-tidaknya substansi norma, dari 104 Pasal dapat ditemukan 90 pasal
yang bisa dinyatakan mengandung konsistensi norma baik secara internal maupun vertikal
dan horisontal, sedangkan 16 pasal lainnya bisa dinyatakan mengandung inkonsistensi baik
secara internal maupun secara vertikal.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin menganalisa terkait pasal-pasal mana
saja yang substansi-substansinya mengandung kontradiksi baik internal maupun secara
vertikal (peraturan-peraturan yang lebih tinggi) dan melakukan pembandingan dengan teori-
teori hukum Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan. Hal tersebut bertujuan untuk
memberikan masukan kepada Lembaga legislative dan pemerintah guna mengkaji ulang
beberapa pasal-pasal yang substansinya bertentangan.

METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif melalui studi kepustakaan dan
kajian dokumentasi terhadap data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan
bahan hukum tertier. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif yang
menekankan pada content analysis. Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan
menganalisis serta mengidentifikasi bahan hukum, kemudian diinventarisasi, selanjutnya
bahan hukum diklasifikasikan, serta menggunakan internet untuk menunjang bahan hukum
yang mempunyai relasi dengan isu hukum pada penelitian ini. Analisis yang dipakai
menggunakan pedoman UUPA, UUCK dan Peraturan Perundang-undangan serta teori-
teori yang menjadi dasar pembahasan dalam penelitian ini.

RESULTS & DISCUSSION


Kontradiksi Dalam Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2021 Secara Internal Dan
Vertikal

Pada 2 Februari 2021, pemerintah telah menerbitkan 49 peraturan pelaksana Undang-


Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang terdiri dari 45 Peraturan
Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden. Sejak awal, UU Cipta kerja dibuat untuk menjadi

4
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadja Mada

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 5

stimulus positif bagi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang akan membuka
banyak lapangan kerja masyarakat. UU Cipta Kerja juga merupakan terobosan dan cara
Pemerintah menangkap peluang investasi dari luar negeri lewat penyederhanaan izin dan
pemangkasan birokrasi. Beberapa aturan mencabut atau merevisi aturan terkait yang sudah
ada sebelumnya.
Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 142 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Aturan tersebut memberikan definisi Hak Pengelolaan yakni hak menguasai dari
negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak
Pengelolaan. Hak Pengelolaan dapat berasal dari Tanah Negara dan Tanah Ulayat. Hak
Pengelolaan yang berasal dari Tanah Negara diberikan kepada instansi Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara/daerah, badan hukum milik negara/daerah,
badan bank tanah dan badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan Hak
Pengelolaan yang berasal dari Tanah Ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat. Hak
Pengelolaan yang berasal dari Tanah Negara atau Tanah Ulayat ditetapkan dengan
keputusan Menteri dan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Pemegang Hak
Pengelolaan diberikan sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan Hak Pengelolaan.
Menurut Nuhasan Ismail, terjadi adanya inkonsistensi dan kontradiksi dalam PP 18
Tahun 2021 yang mengatur tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah
Susun, dan Pendaftaran Tanah. PP No.18 Tahun 2021 hanya disandarkan pada UU No.11
Tahun 2020 (UU CK) dan tidakdisebutkan UUPA sebagai dasar rujukan. Seolah-olah
Peraturan tersebut hanya digunakan sebagai pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja
namun tidak menggunakan UUPA sebagai dasar dari pelaksanaan PP tersebut.
Meskipun Secara formal boleh saja PP No.18 Tahun 2021 tidak memasukkan norma
norma UUPA sebagai dasar rujukan. Namun dengan pertimbangan secara materiil atau
substantif PP tersebut wajib memperhatikan asas-asas hukum dalam UUPA karena tidak
ada satu ketentuan dalam UUCK yang menghapus berlakunya UU No.5 Tahun 1960. Hal
ini berlaku dikarenakan UUPA mengandung beberapa asas hukum sebagai hukum yang
khusus (Lex Specialis) sedangkan UUCK berkedudukan sebagai hukum yang umum (Lex
Generalis) sehingga konsekuensinya UUCK tidak boleh mengandung substansi hukum
yang bertentangan dengan UUPA & begitu juga halnya PP No.18 Tahun 2021. Dengan
begitu artinya substansi PP No.18 Tahun 2021 harus menjabarkan ketentuan baik UUPA
maupun UUCK sepanjang ketentuan UUCK tidak bertentangan dengan UUPA.

A) Inkonsistensi Internal

Berdasarkan PP tersebut. Dalam kajian hukumnya terdapat 90 pasal yang


mengandung konsistensi dan tidak kontradiktif baik secara internal maupun vertikal keatas-
kebawah. Namun dapat ditemukan terdapat 16 pasal yang mengandung sifat kontradiksi
dan inkonsistensi internal maupun vertikal. Dan Sebagian besar dari inkonsistensi tersebut
terdapat dalam internal PP tersebut. Adapaun pasal-pasal yang mengalami inkonsistensi
internal pada PP No. 18 yang menimbulkan perbedaan tafsir misalnya terkait dasar

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
6 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

kewenangan pemegang Hak Pengelolaan (HPL) untuk menggunakan dan memanfaatkan


tanah bagi kepentingan dirinya sendiri pada pasal 7 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (1)
huruf a.
Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, sebuah kewenangan memanfaatkan tanah bagi
kepentingan sendiri sudah inheren terkandung dalam HPL itu sendiri, artinya tidak
memerlukan suatu alas kewenangan lainnya. Sedangkan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a
kewenangan memanfaatkan tanah bagi kepentingan pemegang HPL dapat diberikan HGU,
HGB, atau Hak Pakai Dengan Jangka Waktu kepada pemegang HPL. Hal ini merupakan
suatu Kontradiksi Logika Hukum (Contradictio in Lex Logico) yang terdapat dalam pasal-
pasal tersebut.
Selain itu, ada perbedaan ketentuan perpanjangan HGB di atas tanah negara dengan
di atas tanah HPL, yang sama-sama digunakan sebagai tempat Rusun/Sarusun. Ada
Kontradiksi Logika Hukum (Contradictio in Lex Logico) dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a
yang berbunyi :
“Hak guna bangunan di atas Tanah Negara, dapat diberikan sekaligus dengan
perpanjangan haknya setelah mendapat sertifikat laik fungsi”
Dalam pasal tersebut, Perpanjangan HGB untuk Rusun di atas Tanah Negara
diberikan sekaligus bersamaan dengan Pemberian Pertama Kali. Dengan demikian
perpanjangan tersebut diberikan kepada perorangan sebelum rusun dibangun. Hal ini
sedikit bertentangan dengan Syarat pemberian perpanjangan sekaligus tersebut setelah
terbit Sertipikat Layak Fungsi yaitu yang seharusnya ketika Rusun sudah dibangun.
Perbedaan pun terdapat dalam Ketentuan Perpanjangan HGB Di atas Tanah Negara
dengan Di atas Tanah HPL, yang sama juga digunakan sebagai Rusun. Perbedaan tersebut
hanya dimaksudkan memberikan fasilitas kepada Pemegang Hak Milik Sarusun dengan
status Tanah HGB di atas Tanah Negara namun tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan
permasalahan (konflik) hukum yang terjadi antara Pemegang HGB dengan Pemegang HPL
yang berlangsung selama ini dalam praktik. Padahal yang sering muncul permasalahan
hukum dalam praktik adalah perpanjangan HGB di atas Tanah HPL tidak dapat dilakukan
karena pemegang HPL tidak mau memberikan persetujuan tertulis sebagai syarat
perpanjangan.
Kontradiksi hukum dalam pasal-pasal lainnya yakni dalam dalam Pasal 46 huruf b
angka 2 dan Pasal 61 huruf b angka 2 yang merupakan pembatalan Hak Guna, disana
tertera bahwa terhapusnya HGB dan HPJW di atas Tanah Hak Milik melalui ketentuan
batalnya seperti tidak terpenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian
pemanfaatan Tanah Hak Pengelolaan, berdasarkan Pembatalan Hak Tersebut dilakukan
oleh Menteri ATR, sedangkan HGB & HPJW di atas Tanah Hak Milik merupakan suatu
produk hukum yang lahir dari Perjanjian para Pihak sehingga yang berhak Membatalkan
Perjanjian hanyalah Para Pihak atau putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum
tetap sebagai dasar hapusnya HGB dan HPJW di atas Hak Milik.

B) Inkonsistensi Vertikal

Inkonsistensi Secara Vertikal juga terjadi dalam PP ini. Yakni terdapat dalam Pasal 4
dan 5 PP No. 18 Tahun 2021 yang bertentangan dengan Pasal 137 ayat (1) dan (3) UUCK
dan Pasal 3 UUPA yang membahas mengenai asal tanah yang dapat diberikan Hak

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 7

Pengelolaan (HPL). Pasal 4 dan 5 PP No. 18 tahun 2021 menerangkan bahwa asal tanah
yang dapat diberikan untuk Hak Pengelolaan (HPL)di samping Tanah Negara, juga Tanah
Ulayat yang hanya dapat diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat, sedangkan di dalam
ketentuan Pasal 137 UUCK menentukan bahwa tanah yang diberikan dengan HPL hanya
berasal dari Tanah Negara dan tidak mengamanahkan Masyarakat Hukum Adat sebagai
subyek yang dapat diberi HPL. Hal sama juga ditentukan dalam Pasal 3 UUPA bahwa
Tanah Ulayat hanya dapat dilekati Hak Ulayat yang diberikan kepada subyek hukum yaitu
Masyarakat Hukum Adat.
Dalam Webinar “Quo Vadis Regulasi Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?”5 Menurut Maria S.W. Sumardjono6 Labelisasi HPL
bertentangan dengan HMN, Pasal 2 dan Penjelasan Umum II.2 UUPA yang menegaskan
bahwa tanah hak ulayat merupakan entitas tersendiri, disamping tanah negara dan tanah
hak. Penyebutannya adalah tanah (hak) ulayat, tidak perlu “diberi nama” dengan HPL
karena hakekat tanah ulayat berbeda dengan tanah HPL. Pasal 4 PP No. 18/2021 yang
berbunyi : “Hak pengelolaan dapat berasal dari tanah negara dan tanah ulayat” justru
kontradiktif dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (2) PP No. 18/2021 yang mengembalikan
penetapan keberadaan Masyarakat Hukum Adat pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pengertian HPL tidak kompatibel dengan hak ulayat. Hak ulayat kewenangannya
melekat/inheren pada dirinya. Tidak perlu mendapat “pelimpahan” wewenang dari
siapapun, termasuk dari negara.
Labelisasi HPL pada MHA menjadi janggal ketika dikaitkan dengan kewenangan
pemegang HPL pada umumnya (Pemerintah, Pemda, BUMN/D, BHMN/D, Badan Bank
Tanah, badan yang ditunjuk pemerintah pusat). Karakter MHA jelas berbeda dengan subjek
HPL pada Pasal 5 PP No. 18 Tahun 2021 tersebut. Pengaturan tentang MHA dalam PP
No. 18 Tahun 2021 dikaitkan dengan PP No. 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan dan Tanah jo. Permen ATR/Ka BPN No. 19 Tahun 2021 sebagai peraturan
pelaksanaannya, masih terkesan mengikuti arah angin bertiup. Seyogianya ditegaskan bahwa
pengukuhan keberadaan MHA diterbitkan dalam bentuk Perda yang dikaitkan dengan
MHA tertentu (bukan Perda pengaturan tentang MHA secara umum!) atau dalam bentuk
keputusan kepala daerah (SK Gubernur/Bupati/Walikota) sesuai kewenangannya. KLHK
sudah lebih maju mengatur tentang hal ini. Tak ada salahnya ATR/BPN mengikuti KLHK
yang dengan tegas memberlakukan bentuk pengakuan MHA di dalam kawasan hutan negara
dan di luar kawasan hutan negara. Landasan hukumnya adalah Permen LHK No. 7 Tahun
2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, yang diafirmasi dalam Pasal 234 PP No. 23
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. PP No. 19 Tahun 2021 dan Permen
ATR/Ka BPN No. 19 Tahun 2021 belum mengatur tentang ganti kerugian terhadap tanah
ulayat sebagai ruang hidup MHA. Menyamakan MHA dan bukan MHA dalam hal ganti
kerugian, jelas tidak adil bagi MHA.
Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) di atas Tanah HPL yang di atur di dalam
ketentuan Pasal 138 ayat (2) UUCK serta Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 21 PP No.18/2021

5
Presentasi pada Webinar “Quo Vadis Regulasi Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja?”, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pusat Kajian Hukum
Adat Djojodigoeno) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusat Kajian Hukum Agraria dan
Adat/PAgA), 20 September 2021
6
Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Imu
Pengetahuan Indonesia

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
8 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

yang bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUPA. Pasal 21 PP No.18/2021 mengatur
bahwa HGU dapat diberikan di atas Tanah HPL dan ini didukung oleh Pasal 138 UUCK.
Pasal 8 ayat (1) PP No.18/2021 berbunyi :
“Hak Pengelolaan yang penggunaan dan pemanfaatan seluruh atau sebagian tanahnya untuk
digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain sebagaimana dimaksud daiam Pasal 7 ayat
(1) huruf b dapat diberikan Hak Atas Tanah berupa hak guna usaha, hak guna bangunan dan/atau
hak pakai di atas Hak Pengelolaan sesuai dengan sifat dan fungsinya, kepada: pemegang Hak
Pengelolaan sepanjang diatur dalam Peraturan Pemerintah; atau pihak lain, apabila Tanah Hak
pengelolaan dikerjasamakan dengan perjanjian pemanfaatan Tanah.”
sedangkan bunyi pasal 28 ayat (1) UUPA menerangkan bahwa :
“Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan”.
Inkonsistensi ini sudah terjadi antar Undang-Undang yang bersifat horisontal, UUPA
mengatur HGU hanya dapat diberikan di atas Tanah Negara dan bukan di atas Hak
Pengelolaan.
Lalu, ketentuan saat lahirnya Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai di atas Hak
Milik yang tercantum dalam Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (2) PP No.18/2021
bertentangan dengan Pasal 37 huruf b dan Pasal 43 ayat (2) UUPA. Pasal dalam PP
No.18/2021 tersebut menjelaskan bahwa HGB dan HPJW di atas Tanah Hak Milik lahir
atau terjadi sejak didaftarkan Akta Pemberian Haknya di Kantor Pertanahan, sedangkan
dalam ketentuan Pasal 43 ayat (2) UUPA menerangkan bahwa HGB di atas Tanah Hak
Milik lahir/terjadi sejak ditandatanganinya Akta Pemberian Haknya yang dibuat PPAT.
Terakhir Yakni Pemilikan HGB oleh Warga Negara Asing (WNA) yang diatur di
dalam ketentuan Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) PP No.18/2021 sebagai penjabaran
lebih ketentuan Pasal 144 dan Pasal 145 UUCKbertentangan dengan Pasal 36 ayat (1)
UUPA. Pasal 71 ayat (1) huruf b dan ayat (2) menerangkan bahwa WNA boleh mempunyai
HGB yang digunakan untuk bangunan Rusun dan berada di Kawasan Khusus (kawasan
ekonomi khusus, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, kawasan industri, dan
kawasan ekonomi lainnya) dan ini memang dibuka kemungkinannya oleh Pasal 144 & Pasal
145 UUCK.” Pengaturan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUPA
yang menyatakan menutup kemungkinan WNA untuk mempunyai HGB untuk semua
penggunaan.
Menurut pendapat Maria S.W. Sumardjono (2021) mengatakan bahwa pengaturan
mengenai Orang Asing boleh memiliki satuan rumah susun/apartemen/flat/unit dalam
rusun yang tanah bersamanya berstatus HGB (atas tanah negara, atas tanah Hak Milik atau
HPL) jelas bertentangan dengan UUPA dan konsep universal tentang “strata title” yang
mengenal individual sekaligus co ownership atas tanah, benda dan bagian dari rusun.
Berdasarkan asas nasionalitas dalam hukum pertanahan yang diatur dalam UUPA, orang
asing tidak diperkenankan memiliki hak atas tanah tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal
9 ayat (1) UUPA.Hak atas tanah yang mungkin dimiliki warga negara asing adalah Hak
Pakai.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 9

Kajian Teori Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Pp No 18


Tahun 2021

Inkonsistensi akan melahirkan sejumlah akibat, seperti ketidakpastian hukum,


pelaksanaan UU menjadi tidak efektif dan efesien. Lalu, adanya perbedaan interprestasi
terhadap suatu perundang- undangan serta hukum yang menjadi pedoman bagi masyarakat
menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jika dikaitkan dengan teori pembentukan
undang-undang yang baik maka penyusunan perundang-undangan memiliki peranan dan
fungsi sangat vital dan strategis dalam kehidupan suatu negara. Tertib dan tidak tertibnya
masyarakat dipengaruhi peraturan perundang-undangan karena peraturan perundang-
undangan dibentuk untuk membuat tatanan sosial yang tertib sesuai dengan cita-cita
idealnya.
Menurut Teori Kepastian Hukum Jhon Michael Otto, antara perundang-undangan
dengan kenyataan kita temukan adanya jurang yang lebar. Dengan kata lain, hanya ada
sedikit ‘kepastian hukum yang nyata (real legal certainty). (Michael Otto, 2012). Menurutnya
kepastian hukum nyata sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum yuridis,
namun sekaligus lebih dari itu. Jhon Michael Otto mendefinisikannya sebagai kemungkinan
bahwa dalam situasi tertentu:
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh
(accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan) negara;
2. Bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan hukum itu secara
konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya
3. Bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga-negara
menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap
aturan-aturan tersebut;
4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak (independent and
impartial judges) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten
sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum yang dibawa ke hadapan mereka;
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Atas penjelasan diatas, Jhon Michael Otto menegaskan bahwa suatu aturan hukum
melalui instansi instansi pemerintah haruslah jelas dan konsisten. Karena isi dari suatu
peraturan perundang-undangan merupakan norma yang berlaku hidup dalam masyarakat..
PP No 18/2021 memiliki banyak sekali kontradiksi dan inkonsistensi hukum baik secara
internal maupun vertikal keatas.
Seperti pada uraian mengenai sub-pembahasan diatas. terlihat jelas bahwa PP No
18/2021 ini merupakan suatu peraturan yang disandurkan guna melaksanakan UUCK
namun PP ini tidak didasarkan pada UUPA sebagai dasar rujukan pembentukan. Alhasil
situasi tersebut menyebabkan banyaknya konsepsi dan substansi hukum yang tidak jelas dan
inkonsisten. hal ini yang seharusnya dapat dikaji ulang guna tercapainya kepastian hukum.
Selain teori kepastian hukum ada juga asas kepastian hukum agar dihormatinya hak
yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat
administrasi negara. Oleh karena itu, menurut pengadilan, suatu lisensi tidak dicabut
kembali apabila dikemudian ternyata bahwa dalam pemberian izin atau lisensi tersebut
terdapat kekeliruan dari administrasi negara. Jadi, suatu lisensi tidak dapat dicabut kembali
apabila lisensi tersebut:

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
10 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

a. Harus memenuhi syarat materiel (syarat kewenangan bertindak);


b. Telah memenuhi syarat materiel (syarat kewenangan bertindak);
c. Telah memenuhi syarat formal (syarat yang berkaitan dengan bentuk keputusan
tersebut).
Asas kepastian hukum ini penting peranannya dalam system pemerintahan di
Indonesia, demi adanya perlindungan hukum bagi pihak administrabele. Sering terjadi suatu
izin untuk membangun, sedangkan bangunannya belum selesai terbangun, sudah
ditumpangi dengan ketetapan pelebaran jalan, dimana bangunan yang dibangun
berdasarkan HPL tersebut harus digusur berdasarkan ketetapan yang baru itu. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan tidak adanya asas kepastian hukum, pihak administrabele
dapat dirugikan karena perbuatan alat administrasi negara.

CONCLUSION
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2021 merupakan peraturan perundang-undangan
pelaksana yang mengatur mengenai Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan dan Hak Milik
yang hanya bersandarkan pada UUCK dan tidak menyebutkan UUPA sebagai dasar
rujukan. Meskipun demikian, UUPA harus tetap menjadi rujukan karena tidak ada satu
ketentuan dalam UUCK yang menghapus berlakunya UU No. 5 Tahun 1960, artinya
substansi daripada PP No. 18/2021 tidak boleh bertentang dengan peraturan pokok yang
mengatur terkait dengan agraria itu sendiri yaitu UUPA. Hasil kajian oleh para pakar hukum
agraria ditemukan beberapa pasal yang substansinya saling kontradiktif antar pasal dengan
pasal didalamnya dan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dibandingkan dengan teori penyusunan hukum yang dikemukakan John Michael
Otto. Maka teori Kepastian hukum itu haruslah tersedia aturan-aturan hukum yang jelas
dan konsisten, dikarenakan karena perundang-undangan memiliki peranan dan fungsi
sangat vital dan strategis dalam kehidupan suatu negara. Sehingga inkonsistensi dalam PP
No 18/2021 kelas akan melahirkan sejumlah akibat, seperti ketidakpastian hukum,
pelaksanaan UU menjadi tidak efektif dan efesien. Sehingga seharusnya penyusunan PP
tersebut juga memerhatikan aspek kepastian hukum, hal inilah yang harusnya dapat ditinjau
Kembali oleh pemerintah.

REFERENCES
Gloria, Pakar UGM: Terdapat Sejumlah Inkonsistensi dalam PP No. 18 Tahun 2021,
https://www.ugm.ac.id/id/berita/21701-pakar-ugm-terdapat-sejumlah-
inkonsistensi-dalam-pp-no-18-tahun-2021, (diakses pada pukul 14.00 Tanggal 04 Mei
2022)
Ismail, Nurhasan., Catatan Terjadinya Inkonsistensi Internal dan Vertikal Substansi PP No. 18
Tahun 2021, Materi Presentasi Webinar 20 September 2021 yang Diselenggarakan
Oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2021.
Sumardjono, Maria S. W., Quo Vadis Regulasi Pengelolaan Pertanahan Pasca UU Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja?, Materi Presentasi Webinar 20 September 2021 yang

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 11

Diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2021.


Windayana, Suyus., Latar Belakang Penyusunan PP No. 18 Tahun 2021, Materi Presentasi
Webinar 20 September 2021 yang Diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Suyus.
Ahmad Redi, Hukum Pembentuk Peraturan perundang-Undangan, Sinar Grafika, Bandung, 2018
Alhakim, Abdurrakhman. Ginting, Egia., Analisis Pembentukan Undang - Undang Cipta Kerja
Pada Tahapan Perencanaan dan Penyusunan berdasarkan Undang - Undang Pembentukan
Peraturan Perundang – Undangan, Conference on Management, Business, Innovation,
Education and Social Science, Vol. 1, no. 1, 2021.
Putri Maufiroh dkk., Kajian Hukum Terhadap Inkonsistensi Vertikal Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2021, vol. 9, no. 4, Edisi Nopember 2021.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai